Di sebuah ruang kerja berdinding ekspos batu bata dikelilingi rak buku berwarna gelap, duduklah seorang pria tua. Usianya hampir delapan puluh tahun.
Tangannya yang keriput sedang memegang selembar kertas putih. Surat dari kepala sekolah SMU tempat cucu keduanya, Russel Halim bersekolah.
"Russel, apakah kakek sudah salah mendidikmu? Kenapa kamu jadi berandalan begini? Masuk geng motor dan terlibat tawuran. Oh, Tuhan!" Kakek Hidayat menghela nafas dalam-dalam. Lalu meletakkan surat yang dibawanya ke atas meja kayu yang ada di hadapannya.
Setelah berpikir sejenak dan memantapkan hati, ia mengambil sebuah amplop cokelat yang ada di atas meja dan membukanya perlahan. Mengeluarkan isi amplop dan membacanya dengan teliti.
Sebuah data tentang seorang gadis berparas cantik, beriman teguh dengan segudang prestasi. Pelajaran, seni lukis dan olahraga nilainya sempurna. Latar belakang kehidupannya juga menarik.
'Semoga gadis ini memang jodohnya Russel dan dapat merubah tabiat buruk Russel,' batin kakek.
Setelah itu kakek tua mengambil ponsel yang ada di saku celananya. Menekan layar ponselnya, menelepon sekertaris pribadinya.
"Selamat siang, Tuan Hidayat."
"Ronny, tambahkan sumbangan dana pembangunan gedung C sekolah Russel. Dua miliar! Aku kira nominal itu cukup untuk membuat kepala sekolah Russel tidak terus menerorku dengan surat-surat panggilan kenakalan Russel."
"Baik, Tuan Hidayat."
"Lalu ... panggil ayah dan gadis baik multi talented yang akan menerima beasiswa itu. Minta mereka datang ke Semarang dan menemuiku di sini."
"Baik, Tuan Hidayat. Saya akan segera mengurus semua masalah Tuan Russel dan menghubungi keluarga gadis penerima beasiswa itu. Secepatnya mereka akan saya jemput kemari," ucap Pak Ronny.
"Saya mau mereka besok pagi sudah ada di sini," titah kakek Hidayat ingin segera menyelesaikan masalahnya.
"Baik, Tuan Hidayat. Akan saya usahakan."
Kakek Hidayat menutup panggilan telepon.
Dan manik mata tuanya tertuju pada sebuah foto yang diambil sebelas tahun yang lalu. Terbingkai elok walaupun sudah belasan tahun berlalu. Kakek Hidayat mengambil pigura foto itu dan mengamati isinya.
Foto seorang wanita cantik dikelilingi tiga lelaki tampan.
Nama wanita itu, Rosa Hidayat, putri semata wayang kakek Hidayat. Sedang duduk diapit dua anak laki-lakinya. Rayner Halim dan Russel Halim. Di belakang Rosa berdiri seorang pria tampan dengan senyum menawan, Erick Halim, suami Rosa, menantu kakek Hidayat.
"Seandainya Erick adalah suami yang setia pada satu wanita, pasti Rosa akan hidup berbahagia bersama keluarganya. Bukan bertengkar setiap hari dan kemudian bercerai. Meninggalkan kedua putranya yang masih kecil dan membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya di rumahku ini," gumam kakek tua itu.
"Karena melihat kedua orang tuanya sering bertengkar hingga adu jotos dan babak belur, Rayner jadi anti pati pada wanita, sedangkan Russel jadi anak berandalan dengan masa depan suram, karena kurang kasih sayang orang tua." Kakek tua menghela nafas.
"Aku tidak bisa membiarkan garis keturunanku berhenti dan keluargaku menjadi berantakan," ucap kakek Hidayat dengan wajah sendu.
***
Di sebuah rumah jelek yang ada di Jawa Tengah.
"Anak gadis kok pulangnya malam-malam. Apa kamu mau jadi wanita penggoda seperti ibumu?" Nenek menjambak rambut hitam panjang Aileen yang masih basah berkeringat. Menariknya kuat-kuat lalu mendorong tubuh Aileen yang masih berbalut baju seragam basket ke lantai rumahnya.
Padahal Aileen baru saja menjejakkan kaki ke dalam rumah. Kembali dari pertandingan basket se Jawa Tengah. Tubuhnya letih dan kotor, ia membutuhkan istirahat untuk memulihkan stamina.
Bukan hinaan pada sosok ibu yang rela mempertaruhkan nyawa untuk melahirkannya ke dunia. Ibu yang telah tiada karena pendarahan hebat yang dialami saat harus melahirkan seorang diri di dalam kamar mandi.
Klontang!
Piala MVP player wanita yang sebelumnya ada di pelukan Aileen, sekarang sudah jatuh ke lantai dan terbelah menjadi dua. Aileen menghela nafas dalam-dalam, merangkak cepat menyelamatkan piala itu sebelum diinjak-injak oleh neneknya.
Duk! Duk! Plak!
Nenek membabi buta menendang dan memukuli punggung Aileen dengan keras. Membuat air mata yang sejak tadi ditahan Aileen agar tidak menyembul ke permukaan, akhirnya lolos juga dari pelupuk matanya. Rasa sakit dan nyeri di sekujur punggung Aileen terasa makin berdenyut saat luka lama kembali yang belum sembuh benar kembali terkelupas.
"Mana, mana uangnya? Buat apa membawa pulang piala? Piala itu tidak bisa untuk membeli beras, telur dan sayur mayur di pasar. Dasar gadis bodoh!" umpat Nenek marah-marah tiap Aileen pulang ke rumah tengah malam karena latihan basket atau mengikuti pertandingan basket di luar kota. Pulang tidak membawa uang pasti akan disiksa habis-habisan.
"Kau sembunyikan di mana uangnya, Aileen?" tanya Nenek sambil merayapi tubuh Aileen yang tinggi langsing itu. Menepuk-nepuk setiap inchi tubuh Aileen, memastikan ada segulungan uang yang sengaja disembunyikan Aileen dari mata tuanya.
"Tidak ada uang di tubuh Aileen, Nek. Pihak sekolah sudah mengambilnya tadi," jawab Aileen sambil memohon agar Nenek melepaskannya. Tidak memukulinya lagi karena Aileen sudah mengatakan yang sejujurnya.
"Tidak mungkin. Pasti ada sedikit uang yang pihak sekolah berikan padamu karena kau sudah mengharumkan nama sekolah. Dan kamu pasti menyembunyikannya dari Nenek, iya kan? Jawab jujur, gadis tengik!" bentak Nenek sebelum melayangkan tamparan ke pipi mulus Aileen.
Plak! Plak!
"Aileen jujur sejujurnya, Nek. Pihak sekolah akan membuka rekening bank untuk Aileen dan mentransfer uangnya ke rekening Aileen. Jika Nenek tidak percaya, Nenek bisa menelepon kepala sekolah besok pagi," ucap Aileen yang masih memegangi pipinya yang pedas karena ditampar Nenek.
"Awas kalau kamu tidak jujur! Nenek akan memukulmu sampai sekarat!" pekik Nenek sambil menghentakkan kakinya yang besar gemuk ke lantai.
Setelah Nenek gemuk yang galak itu masuk ke dalam kamarnya, Aileen segera memunguti pecahan piala miliknya. Membawanya ke dalam sebuah ruangan yang menurut manusia jaman now lebih layak disebut gudang barang tidak terpakai daripada disebut kamar tidur.
Kamar Aileen penuh dengan tumpukan kardus-kardus yang terlipat rapi, koran-koran bekas yang sudah diikat rafia, botol-botol plastik dan sampah-sampah plastik yang siap didaur ulang. Barang-barang bekas yang masih memiliki nilai jual dan dapat menjadi beberapa lembar uang untuk mengenyangkan isi perut.
Semuanya adalah barang-barang yang dikumpulkan ayah Aileen dengan susah payah.
Ya, ayah Aileen adalah seorang pemulung barang-barang bekas. Pekerjaan yang dipandang sebelah mata oleh orang-orang terpaksa ayah Aileen jalani setelah ia dipecat dari pekerjaannya di finance departement perusahaan batik terbesar di Indonesia. Karena ayah Aileen terbukti menggelapkan sejumlah uang perusahaan.
Setelah menyesali semua perbuatannya di dalam dinginnya penjara selama setahun, akhirnya ayah Aileen dapat menikmati kembali udara bebas. Namun sayang ayah Aileen harus kehilangan istri dan pekerjaannya sebagai karyawan kantoran selama-lamanya.
Semua perusahaan dari besar sampai yang terkecil sekali pun menolak lamaran kerja ayah Aileen karena ayah Aileen tercatat punya catatan hitam di bidang hukum. Jatuh ke dalam dosa yang merugikan perusahaan hingga ratusan juta rupiah. Mereka khawatir ayah Aileen akan kembali mengulangi perbuatan curangnya dan kembali merugikan perusahaan tempatnya bekerja.
Plak!
Aileen meletakkan pecahan pialanya di atas sebuah meja tulis tua. Mengambil lem perekat dan isolasi bening di dalam laci mejanya. Dan mulai merekatkan satu-persatu pecahan pialanya dengan berurai air mata.
"Piala ini sungguh berharga bagiku, Nek. Setidaknya dengan berhasil mendapatkan piala ini, aku merasa orang di sekelilingku menghargai keberadaanku. Tim basket dan sekolah membutuhkanku untuk meraih kemenangan," gumam Aileen sambil menyeka air matanya.
'Aku berharga di mata orang lain, Nek!' batin Aileen.
Setelah beberapa lama berkutat dengan lem dan isolasi, senyum sendu akhirnya melengkung di bibir tipis Aileen.
"Akhirnya piala ini dapat berdiri tegak kembali dan menambah deretan koleksi pialaku," gumam Aileen sambil menggeser piala itu ke ujung meja tulisnya. Bersanding di sebelah piala-piala yang lain.
"Mama, lihatlah! Ini piala ke tiga aku menjadi pemain MVP. Semoga mama melihatnya di surga dan bangga memiliki putri sepertiku," gumam Aileen sambil mendesah pelan.
"Sekarang aku harus membersihkan tubuhku yang kotor dan bau sebelum tidur." Aileen membuka kaus olah raganya secara hati-hati, menahan rintih kesakitan saat luka di punggungnya terasa perih menyayat.
"Tuhan, Aileen yakin suatu hari nanti, Tuhan akan mengutus hamba-Mu untuk menolong Aileen keluar dari penderitaan ini. Lindungi Aileen selalu, Tuhan. Sebelum utusanmu datang untuk memberikan kebahagiaan dalam hidup Aileen. Terima kasih, Tuhan. Amin," doa Aileen dengan khusuk.
Bagi Aileen, seorang gadis belia yang baru saja memasuki usia 17 tahun, berdoa kepada Tuhan adalah jalan satu-satunya yang membuat Aileen dapat menjalani hidupnya dengan tegar dan kuat. Entah apa yang akan terjadi, jika Aileen tidak mengenal Tuhan dalam hidupnya.
Mungkin saja Aileen sudah jatuh ke dalam limbah depresi. Memiliki sifat yang bertolak belakang dengan sifat yang sekarang ia miliki. Tetap ceria dan periang walaupun hidupnya sangat menyesakkan.
Dengan bersandar pada Tuhan, walaupun hidup dalam siksaan dan caci makian, Aileen tetap tumbuh menjadi gadis yang sabar, tabah dan kuat menghadapi semua cobaan hidupnya. Tumbuh menjadi pribadi yang tak kenal lelah untuk selalu berjuang dan bertahan. Karena ia percaya, Tuhan senantiasa mendengar doanya.
Dengan kesabaran dan ketekunan dalam doa dan usaha, Aileen berharap suatu saat talenta yang Tuhan berikan dapat merubah hidupnya menjadi lebih baik.
Aileen mengambil pakaian rumahnya dari lemari, handuk yang tersampir di atas kursi dan segera keluar dari kamar tidurnya untuk mandi. Membasuh tubuhnya yang kotor, kemudian mengobati luka-luka di punggungnya dengan obat merah.
Ketika hari sudah mulai beranjak subuh, Aileen menutup matanya rapat-rapat. Tidur dengan posisi telungkup di atas sebuah kasur tipis yang keras. Agar luka di punggungnya segera mengering dan sembuh.
Saat matahari menampakkan diri di ufuk timur, Aileen membuka matanya yang masih mengantuk. Ia baru saja tertidur beberapa jam, tapi di hari Minggu pagi, Aileen tidak boleh bermalas-malasan di atas kasur tipis kerasnya itu.
Aileen segera bangkit berdiri, mengganti bajunya dengan gaun sederhana, mencuci wajah dan menggosok gigi. Kemudian berjalan cepat ke dapur untuk memasak dua mangkuk mie rebus tanpa telur ceplok. Karena hanya ada beberapa bungkusan mie instant di dalam lemari. Sedangkan beras dan telur sudah habis dua hari yang lalu.
Aileen selalu menyiapkan sarapan untuk keluarganya sebelum pergi beraktivitas di luar rumah. Agar ketika Nenek dan Ayahnya bangun, sudah ada makanan yang tersaji di meja. Mereka berdua hanya perlu duduk manis menikmati sarapan. Tidak perlu mengomel marah-marah karena meja makan kosong melompong.
Tok! Tok! Tok!
Aileen menoleh ke arah sumber bunyi yang mengagetkan jantung Aileen. Hari Minggu pagi biasanya jarang ada orang yang bertamu. Karena biasanya teman, kenalan atau tetangga di sekitar rumahnya sedang bersiap diri untuk menghadiri perayaan Ekaristi di gereja yang dibangun di dekat lapangan olah raga kampung Aileen.
Begitu pula dengan Aileen, setelah selesai menyiapkan sarapan untuk nenek dan ayah, Aileen berniat untuk pergi ke gereja.
"Siapa yang datang pagi-pagi begini?" gumam Aileen buru-buru menutup hasil masakannya dengan tudung saji. Sebelum berlari ke arah pintu dan membukanya dengan cepat.
Nampak dua orang pria berjas hitam rapi berdiri di depan pintu rumahnya. Sementara mobil mewah hitam mereka diparkir tepat di depan pagar. Hingga mengundang decak kagum para tetangga yang sudah mulai berjalan kaki menuju ke gereja.
"Apakah anda Nona Aileen Beatrice?" tanya pria berjas hitam yang tampak lebih senior dibanding pria yang satunya.
"Benar, Pak," jawab Aileen gugup. Tidak biasanya ada pria paruh baya yang mengetahui namanya.
Aileen memang terkenal di dunia olah raga dan seni, tapi penggemarnya adalah kawula muda, bukan orang dewasa. Apalagi yang terlihat seperti orang kaya yang memiliki kekuasaan.
"Apakah anda ingin bertemu dengan ayah saya?" tanya Aileen karena merasa tamu di depannya mungkin adalah tamu ayahnya.
"Ya, tolong panggil ayah Nona kemari. Saya ingin berbicara dengan anda dan ayah Nona," jawab pria berjas hitam.
'Mereka juga ingin berbicara denganku? Berarti mereka bukan sepenuhnya tamu ayah,' batin Aileen.
Aileen melihat jarum jam di dinding ruang tamu. Masih menunjukkan pukul tujuh lebih sepuluh menit. Biasanya ayah Aileen bangun jika jarum jam pendek sudah di angka sepuluh. Dan jika Aileen membangunkan ayahnya sepagi ini, Aileen khawatir ayahnya akan marah-marah. Apalagi jika keperluan tamu tersebut dapat ditangani sendiri oleh Aileen.
"Kalau boleh tahu. Ada masalah apa ya, Pak? Karena ayah saya masih tidur. Beliau tidak suka ada yang menganggu tidurnya di hari Minggu pagi," jawab Aileen apa adanya.
Pria berjas hitam itu tersenyum menyeringai. Berdehem sedikit sebelum mulai membicarakan topik kedatangannya.
"Saya kemari untuk menawarkan beasiswa pendidikan sekaligus fasilitas tinggal di asrama SMU Maria Regina Semarang. Juga memberikan uang saku yang cukup untuk Nona Aileen Beatrice," ujar pria berjas hitam serius.
"Beasiswa dan fasilitas lengkap? Masih diberi uang saku?" tanya Aileen tak percaya.
"Benar, Nona."
"Kalau boleh saya tahu, siapa nama bapak?" tanya Aileen.
"Saya Ronny, sekertaris CEO pabrik perakitan bus di Semarang, Nona." Ronny mengangsurkan sebuah kartu nama pada gadis belia berusia 17 tahun itu.
Aileen segera membaca kartu nama milik Ronny.
"Oh ya, saya sampai lupa meneruskan pesan beliau. Kakek Hidayat, pemilik CV mengundang anda dan ayah anda untuk datang ke rumahnya di Semarang. Menerima beasiswa dari yayasan pendidikan milik kakek Hidayat," jawab Ronny.
Aileen mencubit lengan tangannya hingga ia dapat merasakan rasa sakit.
'Aku tidak bermimpi. Ini kenyataan. Beasiswa dan fasilitas lengkap dari sekolah elite di Semarang akhirnya datang. Ya Tuhan, apakah semalam Kau mendengar doa yang kupanjatkan? Apakah pagi ini Kau telah menjawab doaku dan mengabulkannya?' batin Aileen.
"Terima kasih Tuhan untuk berkatMu yang berlimpah ini," gumam Aileen tidak dapat menahan perasaan harunya.
Jantung Aileen berdegup kencang, hatinya sangat bahagia. Sebentar lagi ia akan diangkat dari kepahitan hidupnya. 17 tahun ia tersiksa tinggal bersama neneknya. Akhirnya ia akan keluar dari rumah yang sudah seperti neraka kehidupan. Pindah ke sebuah asrama.
"Apakah sekarang kita berdua bisa berangkat menemui Kakek Hidayat, Pak?" tanya Aileen yang tidak ingin merusak kebahagiaan pagi ini dengan kemarahan ayahnya yang terusik tidurnya.
Apalagi jika sampai neneknya terbangun dan melihat kedatangan Pak Ronny. Bisa-bisa beasiswa itu menguap ke udara dan menghilang. Karena neneknya pasti lebih meminta beasiswa dan semua fasilitas yang ditawarkan itu diuangkan dalam bentuk cash daripada dipakai untuk membiayai pendidikan Aileen ke jenjang lebih tinggi.
"Hah?" Ronny terperangah kaget saat Aileen dengan cepat menutup pintu rumahnya. Seperti telah siap berangkat meninggalkan rumah tua jelek milik Neneknya.
"Apakah Nona yakin tidak ingin memberitahu ayah Nona sebelum pergi dengan saya?" tanya Ronny khawatir keluarga Aileen mencari Aileen. Ronny juga tidak mau dicap sebagai penculik gadis belia yang cantik dan berprestasi ini.
"Jangan khawatir, ayah saya tidak akan mencari saya. Karena ayah sudah hafal jadwal saya di hari Minggu. Ke gereja dan latihan basket setelahnya," jawab Aileen.
"Baiklah, Nona. Kalau begitu saya jauh lebih tenang sekarang. Ayo kita berangkat!" ajak Ronny dengan hati lega.
"Sebelum pergi ke Semarang, apakah saya boleh mampir ke gereja yang ada di ujung jalan ini? Saya ingin mengikuti misa Minggu pagi dahulu sebelumnya. Karena sepuluh menit lagi misa sudah dimulai," ucap Aileen.
"Oh, boleh, Nona. Dengan senang hati, saya akan mengantar dan menemani anda," balas Ronny tak ingin menyebabkan Aileen terlambat menuju ke rumah Tuhan.
"Misanya hanya satu jam kok. Maaf membuat bapak terlambat satu jam membawa saya menghadap Kakek Hidayat," ucap Aileen sungguh-sungguh.
"Kakek Hidayat akan memakluminya, Nona."
Aileen, Ronny dan supir pribadi keluarga Hidayat segera masuk ke mobil. Menuju gereja di dekat lapangan olah raga.
Satu jam kemudian, Aileen sudah berada dalam perjalanan menuju ke Semarang. Perjalanan dari tempat tinggal Aileen ke Semarang lewat tol hanya membutuhkan waktu satu jam.
Akhirnya mobil yang ditumpangi Ronny dan Aileen memasuki kawasan perumahan elite di Semarang. Berhenti di sebuah rumah mewah dua lantai yang didesain tropical. Tumbuhan dan pepohonan rindang pada halaman rumah makin menambah kesan tropis.
"Silahkan turun, Nona." Ronny membuka pintu mobil penumpang dan Aileen segera turun dari mobil.
"Rumah yang sangat indah," gumam Aileen yang terpesona dengan interior dan eksterior rumah yang serba kayu.
Mereka berdua segera melangkah ke dalam ruang kerja Kakek Hidayat. Ronny mengetuk pintu kayu sebelum masuk ke dalam.
"Selamat siang, Tuan. Nona Aileen sudah datang," salam Ronny sembari mempersilahkan Aileen untuk duduk di sebuah kursi yang ada di depan meja tulis seorang kakek keriput.
"Selamat siang, Tuan. Nona Aileen sudah datang," salam Ronny sembari mempersilahkan Aileen untuk duduk di sebuah kursi yang ada di depan meja tulis seorang kakek keriput.
Kakek keriput itu mengambil tongkat kayu bergagang burung elang emas dari samping kursinya. Kemudian bertumpu pada tongkat itu untuk membantunya berdiri.
"Selamat siang, Kakek." Aileen membungkuk hormat sambil tersenyum menyeringai pada sang penolongnya. Punggungnya yang terluka berdenyut perih saat membungkuk.
"Ronny, berikan surat perjanjiannya. Jelaskan semuanya pada gadis ini," ucap Kakek Hidayat sambil terus mengawasi Aileen yang sudah berhenti tersenyum begitu mendengar ada perjanjian yang harus ditanda tangani.
Kakek Hidayat berjalan pelan menuju ke sofa empuk yang ada di sudut ruang kerja. Duduk di sana sambil mendengarkan penjelasan Ronny pada gadis cantik yang sangat cocok menjadi calon cucu menantunya.
"Nona Aileen Beatrice. Ini adalah surat perjanjian yang meminta anda untuk mendekati cucu ke dua Kakek Hidayat, menjadi salah satu sahabatnya dan kemudian membuatnya bertobat," tutur Ronny.
Aileen mengernyitkan keningnya.
Bertobat? Memangnya cucu ke dua kakek ini melakukan dosa apa? Dosa kecil atau dosa berat?
Ronny mengangsurkan sebuah surat perjanjian yang harus ditanda tangani beserta surat penerimaan beasiswa dan semua fasilitas lainnya ke hadapan Aileen.
Berlembar-lembar dengan tulisan yang diketik rapi di komputer. Membuat Aileen hanya membaca point-point penting yang tercetak tebal di sana. Melewatkan beberapa hal yang dianggap remeh oleh Aileen.
"Jika Nona menandatangani surat perjanjian ini, maka surat penerimaan beasiswa ini akan segera diproses. Dan hari Senin besok, Nona sudah dapat bersekolah di SMU Maria Regina," tutur Ronny lagi.
"Kalau saya menolak menandatangi surat perjanjian, apakah beasiswanya batal diberikan?" tanya Aileen sedikit kecewa ternyata ada udang di balik bakwan. Tidak ada yang gratis di dunia ini. Sebelum menerima hadiah mewah, pasti ada sebuah tugas maha sulit yang harus ia kerjakan.
Ronny mengangguk.
Aileen menelan salivanya dengan kasar.
'Aduh, tak ada gunanya aku jauh-jauh kemari. Ternyata Kakek Hidayat bukan penolong yang diutus Tuhan untuk mengangkatku dari penderitaan,' batin Aileen.
Aileen menghela nafas panjang dan otak cerdasnya mulai dipakai untuk berpikir keras.
"Menurut saya, tugas untuk menjadi sahabat cucu ke dua Kakek Hidayat sedikit mudah. Saya mudah bergaul dengan siapa saja. Tapi kalau membuatnya bertobat dan kembali ke jalan yang benar agak sulit. Bagaimana jika saya gagal, Pak?" tanya Aileen sendu.
"Tidak masalah Nona. Jika anda tidak berhasil, apa boleh di kata. Manusia boleh berencana tapi Tuhan lah yang menentukan." Ronny menunjuk ke tulisan klausul yang dimaksudnya.
"Oh ya? Saya tidak perlu mengembalikan uang pendidikan dan semua hal yang sudah diberikan pada saya?" tanya Aileen mulai berbinar-binar senang karena tidak ada tuntutan misinya harus berhasil.
"Tidak perlu, Nona. Jadi bagaimana, Nona? Apakah anda menyetujui perjanjian ini?" tanya Ronny.
"Tentu saja, saya setuju kalau tidak ada penalty apa pun jika saya gagal." Aileen langsung mengambil pena dan menandatangani perjanjian itu dengan hati gembira.
Ronny tersenyum senang pada Kakek Hidayat. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan oleh Ronny dari Aileen. Karena sebuah senyum penuh makna melengkung di bibir Kakek Hidayat.
Sayang, Aileen tidak melihatnya.
"Maaf, Nona. Saya memang pelupa," ucap Ronny setelah Aileen selesai membubuhkan tanda tangannya di atas materai sepuluh ribu.
"Lupa? Lupa apa, Pak?" tanya Aileen kaget.
"Maaf, beribu-ribu maaf, Nona. Tadi saya lupa mengatakan kalau Nona tidak berhasil membuat cucu ke dua kakek Hidayat bertobat, maka Nona akan menjadi tunangannya," tutur Ronny yang memang sengaja tidak mengatakan pinalty yang akan didapat Aileen jika gagal menjalankan misi.
Itulah mengapa Ronny tersenyum pada Kakek Hidayat beberapa menit yang lalu. Ternyata mereka berdua sudah bersiasat untuk merahasiakan apa yang akan diterima Aileen jika Aileen gagal dalam misinya.
Aileen menelan salivanya. Langsung membuka lembaran kertas perjanjian yang masih ada satu halaman lagi di belakangnya. Halaman yang belum sempat ia baca sebab terlalu antusias membubuhkan tanda tangan di atas materai. Aileen kira itu adalah surat perjanjian halaman terakhir. Ternyata ia salah.
Dan di lembar terakhir itu Aileen membaca klausul seperti yang diucapkan Ronny.
Aileen menepuk dahinya dengan keras. Merasa kesal pada dirinya sendiri karena begitu bodoh percaya pada ucapan sekertaris Kakek Hidayat yang pelupa itu.
Ronny segera mengambil surat perjanjian yang ditanda tangan Aileen sebelum gadis belia ini menyobek-nyobek surat perjanjian itu.
Buru-buru menyimpannya di dalam amplop sebelum gadis belia itu sadar sudah membuat kesalahan fatal yang tidak dapat dibatalkan.
"Pak, apakah ada penalty jika saya minta surat perjanjian itu dibatalkan sekarang juga?" tanya Aileen yang sudah tahu kalau surat perjanjian tersebut tidak dapat dibatalkan secara sepihak.
"Lebih baik jangan dibatalkan, Nona. Kerugian besar akan menanti di pelupuk mata Nona. Masa depan Nona sedang dipertaruhkan di sini. Nona ingin memiliki masa depan cerah atau masa depan suram?" tanya Kakek Hidayat penuh kemenangan telah berhasil membuat gadis belia tertipu.
Aileen mengepalkan tangannya untuk meredakan emosi yang sudah meliputi hatinya. Ia ingin menangis sekencang-kencangnya karena sudah berbuat kebodohan.
"Hanya bertunangan, Nona. Pernikahan Nona masih lima tahun lagi, kok," tutur Kakek Hidayat.
Aileen menghirup nafas dalam-dalam. Mengenyahkan perasaan kurang suka pada perjodohan yang diatur untuknya. Ada hal lain yang lebih penting untuk dipikirkan daripada marah atau merutuki nasib sial.
'Hmm ... Bertunangan selama lima tahun? Hello, lama banget ya lima tahun! Usiaku sudah 22 tahun saat itu. Aku sudah sangat dewasa dan mandiri saat itu. Apakah kakek yakin aku akan tetap setiap mempertahankan pertunanganku? Sepertinya kakek tidak tahu jika aku juga punya sedikit sifat nakal yang dapat memporak porandakan pertunanganku,' batin Aileen.
'Jadi kenapa aku harus ketakutan sekarang? Lebih baik, selesaikan misi dengan baik. Dan jika misi gagal, aku akan membuat ulah hingga calon tunanganku ogah menikah denganku. Segera mengakhiri hubungan pertunangannya sebelum janur kuning melengkung. And I'm free,' batin Aileen.
Aileen tersenyum lalu bangkit berdiri, mendekati Kakek Hidayat yang masih duduk di sofa. Ada rasa senang di hati Aileen karena surat perjanjian itu memiliki cela untuk sedikit dilanggar agar tidak merugikan Aileen.
"Terima kasih untuk beasiswanya, Kakek. Aileen akan menjalankan misi dan pantang menyerah sebelum berhasil. Aileen yakin dengan doa dan usaha keras, Aileen akan berhasil. Hmm ... Apakah Aileen boleh pulang sekarang? Aileen hendak mengabarkan kabar bahagia ini pada ayah dan nenek," ucap Aileen senang.
"Tidak usah pulang ke rumah jelek itu. Pergilah ke rumah sakit, obati dulu semua lukamu. Setelah itu, pergilah membeli beberapa baju, seragam, peralatan sekolah dan apa pun yang kamu butuhkan. Ditemani Ronny. Ia akan membayar semuanya. Kau tak perlu khawatir. Malam ini, kau menginap di hotel dan besok kau sudah bisa pindah ke asrama sekolah," balas kakek Hidayat sambil menyimpan surat perjanjian ke brankas yang ada di balik lukisan pelukis ternama.
Aileen sontak menyentuh punggungnya yang terluka.
'Darimana Kakek Hidayat tahu kalau punggungku penuh luka dan memar?' batin Aileen.
"Aku melihatmu meringis kesakitan saat membungkuk di awal pertemuan kita. Pasti nenekmu menyiksamu kemarin malam karena kau pulang larut malam setelah pertandingan basket. Dasar nenek jahat!" ujar Kakek Hidayat terlihat kesal calon menantunya disiksa sampai terlihat sangat menyedihkan.
Mata Aileen terbelalak melihat kejelian mata tua Kakek Hidayat. Rasa kagum mulai merambat di hati Aileen. Kakek Hidayat ternyata bukan orang yang jahat. Memang terlihat kaku dan keras, tetapi hatinya baik. Beliau cukup perhatian pada calon cucu menantunya.
Cie ... Calon cucu menantu. Padahal tadi Aileen mati-matian tidak mau jadi cucu menantu Kakek Hidayat.
"Sudah jangan banyak tanya lagi. Aku akan menelepon ayahmu dan mengabarinya. Kau tidak usah khawatir. Sejumlah uang akan kukirimkan ke rumahmu atas nama Aileen Beatrice agar ayah dan nenekmu rela melepasmu sekolah di Semarang," ucap Kakek Hidayat lagi.
"Terima kasih, Kakek." Aileen berpamitan keluar ruang kerja Kakek Hidayat bersama Ronny.
"Pak, apakah Kakek Hidayat itu sudah menyelidiki kehidupan saya sebelum saya datang kemari?" tanya Aileen penasaran dari mana Kakek Hidayat tahu kalau Neneknya sering menyiksa Aileen.
Ronny mengangguk.
Beberapa hari yang lalu, Kakek Hidayat meminta Ronny mengumpulkan daftar gadis-gadis berprestasi dengan wajah di atas rata-rata. Ronny pun segera bekerja. Sepuluh daftar nama dan foto gadis-gadis cantik itu, Ronny seleksi lagi menjadi tiga. Agar memudahkan tuannya dalam memilih.
Ronny tidak menyangka Kakek Hidayat tidak menyukai tiga daftar nama gadis yang ia serahkan. Kakek Hidayat meminta daftar nama gadis yang lain. Terpaksa Ronny pun menyerahkan tujuh daftar nama gadis yang lain.
Dan Kakek Hidayat memilih Aileen Beatrice, kandidat yang Ronny singkirkan di awal seleksinya. Karena Aileen Beatrice memiliki riwayat hidup yang tragis walaupun prestasinya sangat luar biasa.
Bukankah biasanya seorang CEO menginginkan calon cucu menantu yang berasal dari kalangan atas, yang sederajat dengan keluarganya? Tapi kenapa Hidayat, CEO CV terpandang malah memilih gadis miskin yang tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu sejak ia dilahirkan?
Jangan-jangan ada udang di balik bakwan lagi nih!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!