NovelToon NovelToon

Jodoh Tak Diundang

Pria Asing

'Apa yang terjadi? Sebenarnya apa yang terjadi? Lalu, siapa pria ini?'

Gadis itu menjerit dalam hati kala menyadari jika dirinya tengah berada di sebuah kamar yang terlihat asing hanya dengan memakai dalaman tank top putih miliknya, ia pun semakin dibuat terkejut saat mendapati seorang pria yang bahkan tak dirinya kenal tengah tertidur lelap di sampingnya tanpa menggunakan baju.

Gadis itu pun membekap mulutnya dengan kedua telapak tangannya yang gemetar, berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengeluarkan suara yang bisa saja membangunkan pria tersebut.

Perlahan ia menoleh ke arah pria tersebut, mencoba menghapal wajah pria yang telah berbagi ranjang dengan dirinya.

Wajah khas western, dengan hidung mancung dan rahang yang tegas, bulu mata lentik, serta memiliki warna surai kuning keemasan, bak visual lukisan karya seni indah yang terpajang di museum Louvre.

Gadis itu perlahan meraih sebuah kemeja yang tergantung dan segera memakainya dengan tergesa-gesa, lalu mengambil tas miliknya yang berada di atas sofa dan segera mengambil dompet di dalamnya.

"So-sorry banget, Aku cuma ada uang segini dan cincin ini. Semoga bisa ganti rugi atas perbuatanku dan juga kemejamu yang Aku pakai. Aku berdoa agar Kita kelak gak akan bertemu lagi," ucapnya sebelum akhirnya ia benar-benar pergi meninggalkan pria tersebut seorang diri.

Sepanjang jalan ia tak henti-hentinya mengingat apa yang sebenarnya terjadi, tetapi tidak ada satupun memori yang berhasil ia dapatkan seakan ingatannya terputus sejak ia dipaksa meminum segelas wine yang diberikan oleh temannya.

Kepalanya masih terasa berat, gadis itu hanya memandang jendela taksi yang ia naiki sambil terus mengingat walaupun terasa sulit.

***

BUM! BUM! BUM!

Suara musik yang terdengar memekikkan telinga, seakan tak mengganggu para pengunjung yang tengah bereuforia di bawah kelap-kelip lampu yang temaram. Seorang gadis yang tampak kikuk, hanya berdiam diri saja sambil terduduk di sebuah kursi yang berada di hadapan seorang bartender.

"Udahlah, Lo gak usah pikirin lagi! Nih Gue ajarin caranya senang-senang biar pikiran Lo gak kusut lagi!" seru seorang gadis lain, yang diduga adalah teman yang datang bersamanya.

Wanita berusia dua puluh lima tahun yang bernama Siera Aryana itu menghembuskan napasnya dengan berat, lalu berusaha menikmati suasana yang terasa asing bagi dirinya.

Cukup lama ia berdiam diri sendirian, sambil meminum segelas mocktail dan melihat temannya tengah berlenggak lenggok dengan pria tak dikenal di lantai dansa.

Sejenak ia berpikir, jika tempat itu sama sekalian tidak menjadi jalan keluar untuk melupakan permasalah yang tengah ia hadapi.

"Diem aja Lo, bay the way ada yang mau kenalan! Kita ke sana yuk!" ucap temannya yang bernama Velly seraya menunjuk tiga orang pria asing yang semudah menunggu di tempat tak jauh dari mereka.

Tiga orang pria muda itu melambaikan tangan mereka, salah satunya bahkan mengedipkan sebelah matanya kepada Siera.

"Duh, gak deh! Gue mau balik aja," ucap Siera menolak secara halus.

Namun tiba-tiba salah satu dari ketiga pria tersebut berjalan mendekati mereka, sambil membawa segelas wine dengan senyuman ramahnya.

"Hei!" sapanya ramah.

Velly yang melihat kedatangan pria itu turut menyapanya dengan ramah, bahkan tanpa segan ia langsung merangkul pinggang pria yang baru ditemuinya tersebut.

"Hei, Bob! Perkenalkan, teman kerjaku namanya Siera. Siera ini Bobby!" seru Velly memperkenalkan keduanya.

Merasa tidak enak hati akhirnya Siera menjabat tangan pria bernama Bobby itu, walaupun tidak dapat dipungkiri jika suasana hatinya semakin terasa tidak enak saat itu.

Setelah berbincang singkat, Bobby menyodorkan segelas wine di tangannya kepala Siera, mengatakan jika wine tersebut sebagai hadiah dan juga tanda akan perkenalkan mereka.

"Sorry, Gue gak bisa minum alkohol, lagi pula udah mau balik kok!" tolak Siera.

"Yah, jangan begitu dong. Kamu, kan gak jadi ngumpul bareng kita. Setidaknya terima saja hadiah ini," ucap Bobby paksa.

"Terima kasih, tapi beneran Gue gak bisa minum ini."

"Ya elah, Ra. Sedikit aja, hargai orang lah! Gue aja tadi udah minum bareng mereka kok! Habis ini Kita balik deh!" seru Velly meyakinkan.

"Tapi, Vel!"

"Minum seteguk gak akan buat Lo mabuk!" paksa Velly dengan raut wajah yang sudah terlihat masam.

Karena sudah menolak ajakan Velly dan Bobby berkumpul, serta memaksa untuk pulang terlebih dahulu. Siera tak mampu lagi menolak wine tersebut, ia tidak ingin membuat Velly malu atas sikapnya yang kaku akan dunia malam.

"Ok," ucapnya.

Perlahan-lahan Siera mulai mendekatkan gelas berkaki tersebut dengan bibirnya. Sontak semerbak aroma alkohol yang menyengat mengusik indra penciumannya. Siera yang tak terbiasa pun hanya bisa menahan napasnya, lalu meneguk wine tersebut dengan cepat.

"Terima kasih untuk minumannya. Yuk Vel, kita pulang!" ajak Siera.

Baru aja gadis itu melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja Velly berhenti dan meraih ponsel miliknya. Ia pun sontak menarik tangan Siera dan memasang raih wajah mengiba.

"Sorry, Ra. Gue ada perlu sekarang jadi gak bisa antar Lo pulang."

"Oh ya sudah, Gue naik taksi aja," jawab Siera sambil tersenyum walau di dalam hatinya sudah jengkel.

Siera pun terlebih dahulu berjalan keluar dari klub malam tersebut, berjalan cepat agar bisa segera menjauh dari tempat tersebut.

Siera mengedipkan matanya beberapa kali, kepalanya tiba-tiba saja terasa sangat berat hingga membuatnya terhuyung. Pandangan matanya pun semakin buram dan membuatnya menyadari jika ada sesuatu yang ia aneh dari wine yang telah diminumnya.

Sekuat tenaga ia mencoba kian mempercepat langkah kakinya tetapi tiba-tiba saja ada seseorang yang membekap mulutnya dari arah belakang.

"Hai gadis sombong, malam ini kita akan bersenang-senang," bisik seseorang.

Siera yang mengenal suara tersebut berusaha untuk memberontak dan mengeluarkan suara, tetapi seberapa keras ia berusaha semua hasilnya nihil. Sesuatu yang sudah bereaksi di dalam tubuhnya benar-benar telah membuat dirinya tak berdaya sama sekali.

Gadis itu hanya bisa mengumpat dan menyesali keputusannya untuk datang ke tempat tersebut.

Bruk!

"Lepaskan!"

Siera merasakan tubuhnya direbut dengan paksa oleh seseorang, bahkan ia juga mendengar suara seseorang yang tengah berkelahi hingga akhirnya kesadarannya benar-benar telah hilang.

***

Masalah Lagi

Bab 2 - Masalah Lagi

Sinar matahari yang menusuk lewat celah jendela itu pun membangunkan seorang pria dari tidur lelapnya. Perlahan ia mulai membuka matanya seiring dengan terkumpulnya kesadarannya.

"Hemm ...," gumamnya merasa ada sesuatu hilang.

Setelah menyadari sesuatu, pria itu pun segera bangkit dan mencari sosok gadis yang sudah ia selamatkan semalam. Ia mencari di balkon bahkan hingga kamar mandi, namun gadis itu pun tak terlihat batang hidungnya.

"Kemana perginya kelinci kecil itu?" tanyanya bermonolog sendiri.

Tak sengaja ia melihat secarik kertas yang berada di atas meja dan membacanya. Senyuman sontak terpampang pada wajah tampannya yang dihiasi lesung pipi yang dangkal. Terlebih

Pria berdarah Rusia memiliki nama Nikolai Alexei itu pun meraih ponsel miliknya yang berada di atas nakas, lalu menghubungi Tomi yang tidak lain merupakan asisten pribadinya.

"Tomi, tolong cari tahu tentang wanita semalam, dan segera bawakan pakaian untukku!" titahnya dan segera mematikan sambungan teleponnya.

Niko tersenyum, mengingat gadis yang baru saja ia tolong semalam. Langkah kakinya membawanya menuju minibar yang terletak di dalam kamarnya, lalu meraih sekaleng orange juice dan meminumnya perlahan.

Tidak berselang lama ketukan pintu pun terdengar, Niko bergegas untuk membukanya dan terlihat Tomi sudah datang dengan sebuah paper bag di tangannya.

"Ini, Bos!" tuturnya seraya memberikan paper bag tersebut kepada Niko.

"Bagaimana, Kau sudah mendapatkan identitasnya?" tanya Niko sambil berjalan masuk ke dalam kamar dan duduk di atas sebuah sofa.

Tomi pun mengikuti langkah kaki Niko, pria itupun turut duduk di sofa yang berada di sebelah atasannya itu sambil memberikan ponsel miliknya.

"Siera Aryana berusia dua puluh lima tahun, putri bungsu dari Bramana Yudhakasih. Dia memiliki saudari kembar bernama Siena Aryani dan seorang kakak laki-laki," ungkap Tomi.

Kening Niko tiba-tiba saja berkerut saat membaca siapa nama dari kakak laki-laki Siera dan apa pekerjaannya. Senyuman tertarik dari wajah tampannya.

Berkali-kali ia mencoba membacanya, meyakinkan jika penglihatannya tidaklah salah, lalu Niko pun mengalihkan pandangannya ke arah Tomi dan berkata, "Kau tidak salah informasi tentang kakaknya ini, kan?"

"Tidak mungkin, Bos! Saya ini, kan asisten Anda yang paling perfeksionis dan loyal. Mana mungkin Saya salah," jawabnya penuh percaya diri.

Gelak tawa kian terdengar keras, Niko meletakkan ponsel milik sang asisten di atas meja, sementara itu dirinya bangkit sambil meraih paper bag yang sedari tadi ia letakkan di atas sofa.

"Hah, ayo kita kembali! Sepertinya ini akan sangat jadi hal menantang!"

***

Siera mulai membuka pintu rumahnya dengan perlahan, berusaha untuk segera masuk ke dalam kamarnya tanpa ketahuan satu orang pun anggota keluarganya. Namun baru saja ia melangkah, seorang pria sudah menunggu kehadirannya sambil duduk di atas sofa, tatapan matanya tajam terlebih melihat penampilan Siera yang kacau balau.

"Dari mana saja Kau semalaman?" tanyanya dengan wajah garang.

Jantung gadis itu berdegup kencang, bahkan tangan dan kakinya pun gemetar untuk menjawab pertanyaan dari kakak tertuanya.

"A-aku ...," jawabnya gugup.

Pria berusia tiga puluh lima tahun yang bernama Ricky Wicaksono itu pun mulai bangkit dan berjalan menuju adiknya, bahkan sorot matanya pun dengan detail melihat penampilan Siera yang janggal.

"Kau memakai kemeja laki-laki? Kau bermalam dengan seorang laki-laki?" tuduh Ricky.

Deg!

Lidah Siera begitu kelu untuk menjawab berondong pertanyaan dari Ricky, ia hanya bisa diam dan menundukkan kepalanya. Apa yang dituduhkan Ricky memang tidak sepenuhnya salah, tetapi dirinya tidak melakukan semua itu karena kehendaknya sendiri. Siera merutuki dirinya sendiri, karena ia bahkan tak bisa membela diri sedikitpun.

"Keterlaluan Kau, Siera! Mau jadi apa Kamu ini? Tingkah laku Kamu ini sudah di luar batas, Kamu benar-benar membuat malu keluarga!" maki Ricky.

"Kak, sudah! Kasihan Siera." Tiba-tiba aja dengan setengah berlari Siena menghampiri Ricky yang tengah mencaci maki Siera. Gadis yang bahkan nyaris memiliki wajah serupa dengan Siera itu berusaha membujuk Ricky serta meredam emosinya agar tidak semakin mencecar pada Siera.

"Hah, wajah kalian serupa kenapa tingkah laku kalian ini sangat berbeda?"

Mendengar perkataan Ricky, Siera kian menggigit bibirnya hingga terluka, hatinya kian sesak seakan ada sesuatu yang mengikatnya dengan kuat.

"Kamu lihat kakakmu! Tidak ada celah pada dirinya, gak seperti Kamu yang liar dan selalu seenaknya sendiri. Coba saja ...,"

"Coba saja Kamu memiliki sedikit dari sifat Siena. Hah, *****!" gumam Siera meneruskan perkataan Ricky dan diakhiri oleh sebuah umpatan.

"Bicara apa Kau, Siera! Dasar kurang ajar!" bentak Ricky.

"Sudah, Kak! Biar Aku yang bicara kepada Siera."

Tanpa menoleh Siera pun segera berlari dan masuk ke dalam kamarnya yang terletak di lantai dua rumah mewah itu.

Tangisannya seketika pecah, sakit hatinya sudah tak mampu ia tahan lebih lama lagi. Rasa selalu dibandingkan dengan Siena membuatnya menjadi sosok pemberontak, dan haus akan perhatian.

Siera mengambil koper yang ada di dalam kamarnya, lalu memasukkan beberapa pakaiannya. Pikirannya tak mampu berpikir jernih lagi karena rasa amarah yang bahkan telah menutupi akal sehatnya.

"Siena, Siena, Siena, Siena! Peduli setan!" pekik Siera lalu melempar apapun yang berada di hadapannya.

Prang!

Tok! Tok! Tok!

"Siera! Siera buka pintunya! Ini Aku, Siena." Suara Skema terdengar jelas setelah ketukan pintu terdengar beberapa kali. Siera yang kalut pun hanya berusaha mengacuhkannya, ia menutup kedua telinganya dengan telapak tangannya.

"Siera, Kamu kenapa? Tolong buka, yuk cerita sama Aku."

'Hah! Kenapa? Sudah bertahun-tahun baru tanya kenapa, selama ini Aku ini apa? Kenapa Aku selalu diperlakukan berbeda?'

Siera bermonolog dalam hati, hatinya semakin sakit mengingat semua yang sudah terjadi bertahun-tahun lamanya.

Gadis itupun segera mengganti pakaiannya, tekadnya untuk keluar dari rumah semakin matang. Baginya, sudah tidak ada lagi alasannya untuk bertahan di tengah keluarga itu, ada atau tidak adanya ia di sana, tidak akan mempengaruhi apapun. Karena di mata seluruh anggota keluarga, dia hanyalah anak pembangkang dan keras kepala walau sekeras apapun ia berusaha untuk menjadi seorang anak yang baik.

Klak!

Pintu kamarnya terbuka memperlihatkan Siera yang sudah rapih dengan sebuah koper yang ia bawa

"S-siera, Kamu mau kemana?" tanya Siena yang mulai panik.

Tanpa menjawab pertanyaan saudari kembarnya, gadis itu terus saja berjalan. Bahkan ia membiarkan Siena terus memanggil namanya sambil berusaha mengejar dengan tubuhnya yang lemah.

"Si-Siera tu-tung-gu," ucap Siena dengan napasnya yang terengah-engah.

Keringat sudah membasahi keningnya dengan napas pendeknya buang kian cepat berembus. Siena terus berusaha sekuat tenaga yang ia miliki untuk mengejar dan menghentikan langkah adiknya, hingga akhirnya dadanya terasa sakit dan sesak, membuat seluruh kesadaran yang ia miliki sirna begitu saja.

...****************...

Kelinci Kecil

"Siena!" Siera berteriak histeris, saat melihat saudari kembarnya sudah tergeletak di lantai dengan darah yang mengalir dari kedua lubang hidungnya.

Suara teriakannya terdengar jelas dan membuat seluruh pekerja di rumahnya itu segera menghampiri sumber suara.

"Ya ampun, Non Siena!"

"Bibi, tolong Bi! Cepat panggil ambulance!" titah Siera yang kian panik setelah memeriksa denyut nadi Siena yang mulai melemah.

Tidak berselang lama ambulan yang telah ditelepon pun datang, membawa Siena menuju salah satu rumah sakit mewah yang berada di pusat kota Jakarta.

Setelah lima belas menit lamanya akhirnya kini mereka sampai di rumah sakit tersebut. Siena yang sudah menjadi pasien VIP rumah sakit tersebut pun segera mendapatkan penanganan yang cepat, sedangkan Siera menunggu dengan resah di depan ruang IGD.

"Siera!" suara teriakan seorang wanita seketika terdengar memekikkan telinga.

Siera menolehkan kepalanya dan melihat ibu dan ayahnya sudah berjalan mendekati dirinya.

"Mami, Siena, Mih!"

Plak!

"Dasar anak kurang ajar! Kamu mau membunuh kakakmu, hah?" bentak Rani kepada putri bungsunya.

Rasa panas pada pipi sebelah kanan gadis itu membuat telinganya berdenging. Siera terdiam karena rasa sakit di hatinya berkali-kali lipat lebih besar dibandingkan sakit di wajahnya.

Tetapi lagi-lagi ia hanya bisa bungkam, bahkan dirinya tak berdaya untuk sekedar mengucapkan sepatah katapun.

"Mih, sudah! Jangan buat semua semakin runyam!" seru Bram yang tak tega melihat raut wajah putri sulungnya.

"Tapi, Pih! Sudah berapa kali dia buat Siena kolaps akibat ulahnya? Kalau Dia mau pergi ya pergi saja, gak perlu membuat susah semua orang!"

Kedua tangan Siera mengepal dengan kuat, bertahun-tahun lamanya ia memimpikan sebuah kasih sayang yang seimbang tetapi hari itu semua mimpinya seakan telah musnah tak tersisa. Hanya kemarahan yang jelas tersirat dari sepasang mata sang ibu, membuatnya merasa menjadi seorang anak yang tidak berguna dan tak memiliki arti apapun di keluarga.

Caci maki terus terlontar dari bibir wanita paruh baya itu tanpa terkendali, membuat Siera langsung pergi begitu saja daripada harus semakin sakit hati.

Namun baru saja ia mau keluar dari ruang tunggu, tiba-tiba ia berpapasan dengan seorang pria yang tengah memakai snelli lengkap dengan stetoskop yang menggantung pada lehernya.

"Siera, Kamu kenapa?" tanyanya kala melihat wajah Siera yang sembab dengan sebelah pipinya yang sedikit terlihat memar.

Rasa sesak kian membesar tak tertahankan lagi, pria di hadapannya itu benar-benar semakin membuat suasana hatinya semakin memburuk. Tanpa menjawab apapun, gadis itu memilih tetap pergi, meninggalkan pria itu yang menatap Siera hingga hilang dari pandangan matanya.

Kakinya terus melangkah tak tentu arah, terlalu banyak kejadian hari itu yang telah membuat dirinya terperosok jauh ke dalam lubang luka yang dalam.

Di luar terlihat Bibi Aisyah yang tengah terduduk sendiri, sontak saja gadis itu pun segera berlari ke arah asisten rumah tangga yang sudah bekerja pada keluarganya sejak ayah dan ibunya baru menikah.

"Bibi!"

"Non Siera, Non kenapa?" tanyanya yang mulai khawatir dengan keadaan Siera.

"Maafkan Siera, Bi. Siera sudah gak sanggup lagi! Lebih baik Siera pergi daripada Siera semakin menjadi anak pembangkang "

Tangis gadis itu tumpah ruah, baginya hanya Bi Aisyah sajalah yang sayang dan peduli padanya, bahkan kasih wanita paruh baya itu terasa jelas

melebihi kasih sayang seluruh anggota keluarganya.

Belaian lembut terasa di kepalanya, tetapi semua itu membuat dirinya semakin sedih dan mengingat akan kejadian lima belas tahun silam.

"Non Siera sudah dewasa. Non bisa hidup dengan mencari kebahagiaan sendiri. Pergilah, jika semua bisa melepaskan jerat yang sudah membelenggu Non Siera selama ini, Bibi yakin jika Non Siera bisa hidup dengan baik," ucap Bi Aisyah.

Setelah dirasa cukup tenang, akhirnya Siera memutuskan untuk kembali ke rumahnya terlebih dahulu. Sepanjang perjalanan gadis itu membulatkan tekadnya untuk keluar dari lingkaran yang selama ini menjerat dirinya.

Walaupun berat untuk pergi meninggalkan orang tua serta kakaknya, tetapi Siera harus berani. Karena bagaimanapun akan sulit bagi dirinya untuk hidup satu atap jika Siena sudah menikah.

Akhirnya ia pun kembali ke rumah yang penuh akan kenangan buruk pada ingatannya untuk sekedar membawa kembali koper miliknya yang masih berada di sana.

Siena menaiki satu persatu anak-anak tangga, mencari koper miliknya yang ternyata sudah kembali di di dalam kamarnya.

"Mau kemana kamu, Siera?"

Suara Ricky sontak mengagetkan Siera yang baru saja melangkahkan kakinya untuk keluar dari dalam kamarnya.

Ricky mendekat ke arah adik bungsunya dengan kedua tangannya yang melipat di depan dada.

"Maafkan Kakak jika sudah keterlaluan, Kakak cuma gak mau kamu salah pergaulan," ucap Ricky seraya mengusap pucuk kepala Siera.

Siera menundukkan kepalanya, lagi dan lagi keraguan untuk pergi melanda dirinya, membuat dirinya goyah hanya karena sedikit perhatian dan kata maaf yang selama ini ia inginkan.

"Aku ...."

"Kalau kami pergi nanti Siena akan sedih. Kamu gak mau, kan jika Siena terus-menerus sedih memikirkan kamu, apalagi akhir-akhir ini kesehatannya tidak stabil," ucap Ricky tanpa memperdulikan jawaban dari adiknya.

Deg!

Senyuman getir tersemat di wajahnya. Baru saja hatinya diterbangkan tinggi kini terhempas begitu saja. Siera mengadahkan kepalanya perlahan dengan senyum yang masih terus ia paksaan.

"Maaf, Kak. Aku tetap akan pergi demi kebaikan semuanya. Siena akan baik-baik saja, toh sedikit lagi ia akan menikah dengan Nuga."

***

"Ini gak benar! Gak benar ini!" Sudah satu jam lamanya, Nikolai termenung sambil bergumam sendiri. Pria yang terkenal gila kerja itu untuk pertama kalinya tidak bisa fokus dengan pekerjaan yang ada di hadapannya.

Sosok gadis yang berhasil membuatnya berbagi ranjang semalam itu terus saja berputar di kepalanya, seolah tengah menghipnotis dirinya.

"Ha-ha-ha ... Aku bisa gila!" ucapnya kembali sambil mengusap wajahnya dengan telapak tangan.

Ide gila pun seketika berkelebat di dalam kepalanya, Nikolai tersenyum lalu segera meraih kunci mobilnya.

"Bos, mau kemana?" tanya Tomi yang mulai panik. Pria berkacamata itu segera mengikuti Niko, dan menuntut penjelasan dari atasannya tersebut.

"Mau keluar, ada keperluan sangat penting!" jawab Niko.

"Tapi, Bos. Dua jam lagi kita ada rapat dengan klien. Ini, kan project penting yang sudah Bos tunggu," jawab Tomi kembali dan kali ini berhasil menghentikan langkah Nikolai tepat di depan pintu lift.

Pria itu mengerutkan keningnya seakan tengah memikirkan suatu hal yang sangat sulit.

"Tom, apakah Kamu ini kompeten dan loyal?" tanya Nikolai kembali.

Dengan berbangga hati pria itu pun menjawab dengan lantang, "Tentu saja! Saya adalah asisten pribadi yang paling kompeten dan bisa diandalkan!"

Ting!

Suara lift berbunyi dan tak lama pintu lift pun mulai terbuka.

"Kalau begitu Aku bisa tenang! Karena Kau asisten pribadiku yang berkualitas dan kompeten!" ucap Nikolai sambil berjalan masuk ke dalam lift lalu segera menutup pintunya.

Perkataan yang terlontar dari Nikolai sontak saja membuat Tomi tersentak dan baru menyadari jika lagi dan lagi ia sudah dijebak oleh permainan kata-kata yang dilontarkan Nikolai.

"Yah, Bos! Yah, yah, yah! Bala ini! Udahlah, bala ini!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!