"Ameraaa! Cepat bangun! Nanti ketinggalan bis!"
"Masih ngantuk, Ma."
"Cepaaat! Atau mamah siram air?!!"
Begitulah drama yang hampir terjadi setiap pagi di rumah kecil ini. Sejak dulu sampai sekarang tidak pernah ada berubah sekali. Maklum, aku anak tunggal dari pasangan ayah dan ibuku. Tapi kini aku hanya mempunyai seorang ibu. Seorang ibu yang kucintai setengah mati. Karena ayah telah pergi meninggalkanku.
"Cepat mandi dan sarapan. Lalu lekas siapkan bekal untuk studi tur hari ini!"
Hari ini adalah hari paling bersejarah bagiku. Bagaimana tidak, baru hari ini aku bisa bernapas lega setelah mengikuti ujian akhir nasional. Ya, aku baru saja mengikuti ujian kelulusan dan tinggal menunggu ijazah dibagikan. Tentunya hasil ujian sudah kudapatkan. Aku mendapat predikat A dari empat puluh siswa. Aku juga berhasil mendapat ranking ke lima.
Kini aku harus bersiap untuk mengikuti studi tur sekolahku. Sekolah kejuruan yang aku sukai. Aku pun lekas mandi dan berdandan rapi. Tak lupa juga segera menyiapkan bekal sebelum pergi. Karena tidak tahu apakah di sana akan segera dapat makan siang atau tidak. Jadi ya sudah mari segera bergegas untuk beraktivitas hari ini. Studi tur akan segera kujalani.
Satu setengah jam kemudian...
Saat ini pukul sepuluh pagi waktu ibu kota dan sekitarnya. Dan kini aku baru sampai di museum kota bersama teman-temanku. Aku bersama kelompok studi turku yang telah dibuat di hari sebelumnya. Ada Ira, Toni, Bimbim dan juga Haikal. Aku kedapatan tiga teman lelaki dan satu perempuan.
Usiaku saat ini baru genap delapan belas tahun. Tapi kata orang-orang cara berpikirku sudah seperti orang dewasa. Mungkin karena sering membantu ibu membuatkan pesanan makanan. Dan juga sering mengantarkannya dari rumah ke rumah. Sehingga pola pikirku seperti orang yang bekerja keras. Sangat sayang mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak ada manfaatnya.
"Ayo semua kelompok berkumpul. Kita bentuk barisan sebelum masuk ke museum!"
Begitulah yang dikatakan guru pembimbing studi tur kami agar kami dapat segera berkumpul di halaman museum dan membentuk barisan sesuai kelompok masing-masing. Hari ini kami akan bertamasya sekaligus belajar tentang benda-benda bersejarah yang dimiliki negeri ini. Tapi kudengar ada sebuah lukisan kuno yang tidak boleh disentuh. Hanya boleh dilihat dari jarak yang jauh. Katanya sih lukisan itu bisa menyedot siapa saja yang memaksa melihatnya dari dekat. Entah benar atau tidaknya, aku juga tidak tertarik untuk melihatnya.
"Kelompok selanjutnya, kelompok tujuh. Haikal, Toni, Bimbim, Ira dan Amera. Silakan menyusul kelompok enam!"
Dan akhirnya satu per satu kelompok studi tur kami memasuki area museum dengan satu guru petunjuk arah di depannya. Yang mana nantinya setiap tiga kelompok mendapatkan satu guru penanggung jawab. Dan ya, aku bersama teman-teman mulai memasuki museum kota ini. Tak lupa kukeluarkan ponsel untuk memotret dan mengabadikannya. Aku siap menjalani studi tur hari ini.
Lima belas menit kemudian...
"Amera, nanti kalau lihat barang-barang kuno jangan kau sentuh, ya." Ira, teman satu kelompokku memeringatkan saat kami melihat-lihat benda pusaka negeri ini.
"Contohnya apa?" tanyaku seraya menoleh ke arahnya.
"Apa saja. Senjata, pedang, mangkok, lukisan atau apapun." Dia berkata lagi.
Aku mengangguk lalu memotret pedang pusaka yang kulihat ini. Sedang teman-teman yang lain berpencar dan melihat-lihat ke sekeliling area museum ini.
Museum ini begitu luas. Aku jadi penasaran. Adakah barang peninggalan penjajah dulu?
Tak tahu mengapa aku ingin sekali melihat benda peninggalan penjajah negeri ini. Lantas saja aku memisahkan diri dari kelompok dan bergabung bersama kelompok lain. Tak lama kulihat sebuah lukisan bergambar candi dan seorang pria bermahkota emas di sana. Tapi sayang pria itu membelakangi jarak pandangku. Pada akhirnya aku pun mendekati lukisan itu karena ingin tahu.
Aku melangkah menuju lukisan yang ada di salah satu sudut museum ini. Dan ternyata ada sebuah kompas yang menggantung di bawah lukisan itu. Entah mengapa atmosfer sekitar pun berubah seketika. Aku merasa hal aneh sedang terjadi di sini. Udara sekitar berubah dingin seperti suhu AC yang mengecil hingga mencapai 16° Celcius. Lantas aku pun mencoba menepuk pipiku sendiri. Dan ternyata rasanya sakit.
Ini nyata. Aku tidak bermimpi.
Aku kemudian menoleh ke belakang untuk memastikan rombongan teman-temanku masih ada. Mereka pun kulihat masih bercengkerama di sana. Hatiku jadi sedikit tenang melihatnya. Tapi saat ingin menoleh kembali ke lukisan itu, tiba-tiba saja ada anak kecil yang mendorongku. Aku pun tanpa sengaja mengenai kompas yang tergantung di lukisan itu.
"Aduh!"
Kompas itu tertarik olehku. Lalu kemudian aku pun melihat cahaya yang begitu besar, menyilaukan mataku. Tak lama aku seperti tertarik ke dalam lukisan itu. Sebisa mungkin aku pun menolak untuk masuk. Tapi semakin mencoba mengelak, semakin besar kekuatan itu menarikku. Dan pada akhirnya seperti ada yang menghisap tubuhku.
Jangan! Tubuhku!
Aku tak berdaya melawannya. Aku berusaha berteriak minta tolong tapi nyatanya suaraku tertahan di tenggorokan. Aku pun memasrahkan diri ini. Aku banyak-banyak berdoa dalam hati. Sampai akhirnya aku tidak ingat apa-apa lagi.
Beberapa saat kemudian...
"Aduuhh!! Sakit!!!"
Itulah yang kukatakan pertama kali saat merasa jatuh di sebuah tempat. Aku jatuh terlungkup di atas rerumputan yang entah ada di mana. Aku pun mencoba bangun untuk melihat keadaan sekitar. Dan ternyata aku sedang berada di dalam hutan.
Ini di mana?
Kulihat pohon-pohon besar menjulang tinggi di sekitarku. Cahaya matahari pun minim sekali masuk ke sini. Sangat gelap. Tapi aku yakin benar jika hari masih sore. Cahaya matahari yang masuk lewat sela-sela daun pepohonan ini masih begitu terang. Tidak salah lagi jika hari masih siang.
Untung tas masih kubawa.
Kulihat diriku masih membawa tas ransel dan juga ponselnya. Aku pun mencoba menghidupkan lokasinya. Tapi nyatanya tidak ada sinyal di sini. Aku jadi heran di mana gerangan ini berada. Apakah aku nyasar ke hutan yang lebat tanpa sengaja?
Tidak ada sinyal. Bagaimana ini?
Lantas aku mencoba untuk tidak panik. Sebisa mungkin mencari aliran air untuk menuju ke hilir. Tapi keadaan begitu tidak memungkinkan. Penerangan cahaya matahari sangat minim sekali. Sampai-sampai aku harus menggunakan senter ponselku. Aku mencari jalan keluar dari tempat kujatuh. Aku ingin kembali ke duniaku.
Puluhan menit kemudian...
Tak tahu sudah berapa lama aku berjalan, rasanya lelah sekali. Dan kini aku duduk di sebuah bebatuan dekat jembatan yang kutemukan. Aku pun mencoba menarik napas panjang dan dalam. Tapi saat itu juga aku melihat seseorang. Aku melihat seorang anak lelaki kecil berusia sekitar sepuluh tahun sedang mencari rerumputan. Dia seorang diri di sana.
Siapa anak kecil itu?
Aku tidak tahu siapa anak kecil itu. Tapi saat ini aku tidak mempunyai jalan selain bertanya kepadanya. Di manakah aku berada dan apakah bisa pulang secepatnya?
Aku harus bertanya padanya.
Lantas aku pun mendekati anak kecil itu. Aku berdehem dari kejauhan agar dia tidak kaget melihatku. Aku pun mulai menyapanya.
"Em, permisi." Dan begitulah yang kukatakan padanya.
Dia kemudian berbalik ke arahku. Saat berbalik, saat itu juga aku terkejut melihatnya. Dia mirip sekali dengan seorang tokoh di film India yang terkenal. Aku rasa sedang nyasar ke negeri orang.
"Siapa?" Dia bertanya padaku.
Aku pun menarik napas dalam-dalam. "Em, aku sedang tersasar. Tiba-tiba tersadarkan sedang berada di dalam hutan. Bisakah mengantarkan aku pulang?" tanyaku.
"Tersasar?" Dia tampak bingung. "Memangnya Kakak dari mana?" tanyanya padaku.
"Em, aku ... aku dari ibu kota," jawabku ragu.
"Hah? Ibu kota? Apakah Kakak dari Andalusia?" Dia menanyakan lagi.
Aku mengangguk saja agar dia tidak banyak bertanya padaku. Dia pun akhirnya mengerti perkataanku ini.
"Ini adalah Hastinapura. Sebuah kota yang ada di India." Anak kecil itu berkata padaku.
Hastinapura??? Astaga! Jadi aku mengalami time travel ke tempat ini?!
Sungguh tak kusangka, sungguh tak kuduga. Entah mengapa aku malah nyasar ke tempat ini. Aku pun mencoba menepuk pipiku, mencubit lenganku. Dan rasanya sakit sekali. Ternyata aku benar-benar mengalami penjelajahan waktu.
"Em, ini tahun berapa ya?" tanyaku lagi.
"Tahun empat ratus sebelum masehi," jawabnya.
UUAAPAAA??!!!
Saat itu juga aku terkejut. Jantungku seperti ingin copot dari tempatnya. Ternyata oh ternyata aku berada di tahun sebelum masehi. Sungguh tak menyangka sekali.
Mungkin lebih baik aku pingsan saja.
Lantas aku tak mengerti harus bagaimana lagi. Napasku berangsur-angsur pelan, aliran darahku seolah ikut terhenti. Kepalaku terasa pusing sekali memikirkan di mana keberadaan ini. Dan akhirnya aku tidak ingat apa-apa lagi. Pandanganku menjadi gelap, pendengarannku juga semakin berkurang. Aku merasa seperti tidak menemukan jalan pulang untuk kembali ke bumi. Aku terjatuh pingsan dengan penuh kepasrahan.
Beberapa saat kemudian...
Pusing. Itulah yang kurasakan saat mencoba tersadar dari hal yang kualami. Aku pun membuka mata untuk melihat keadaan sekitar. Dan ternyata aku sedang berada di bawah atap rumbia. Perlahan-lahan hidungku pun mencium aroma yang tidak biasa. Seperti aroma dupa yang menyengat sekali.
Di mana ini?
Lantas aku mencoba bangun. Dan kulihat sedang berada di atas dipan bambu. Sekelilingku pun masih berlantai tanah dan belum ada semennya. Tidak salah lagi jika aku kembali ke zaman dulu. Ke sebuah zaman yang tidak pernah kuduga sama sekali. Zaman sebelum masehi.
"Kau sudah sadar?" Tiba-tiba ada seorang nenek tua membawa nampan di tangannya.
Aku pun terkejut seketika. Aku takut sekali.
"Jangan takut. Kami bukanlah orang jahat. Kami penduduk lama Hastinapura," katanya kepadaku.
"Kakak, kau sudah siuman? Syukurlah kalau begitu. Ini kubawakan tebu untukmu." Anak kecil yang kulihat tadi juga datang ke arahku.
"Kalian?" Aku pun bertanya-tanya kepada mereka.
"Namaku Amar, Kak. Dan ini nenekku." Anak laki-laki itu mengenalkan padaku.
Amar???
Sontak aku pun membenarkan apa yang ada di pikiranku. Aku memang berada di suatu tempat yang sangat asing. Tapi kurasa akan mulai menikmati perjalanan ini. Aku ingin tahu ada apa saja di sini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!