"Bagaimana Mentari, apa kamu mau menikah dengan saya?" tanya pria berjas hitam dengan perawakan tinggi, badannya gemuk dengan perut yang membuncit bak perempuan hamil. Wajahnya sangat jauh dari kata tampan serta usianya yang sama dengan ayah Mentari.
What? Gue nikah sama pria tua ini? Ogah!
"Bapak melamar saya? Bukannya bapak sudah punya istri?" tanya Mentari dengan hati-hati. Ia harus pandai bersikap, jangan sampai bosnya ini marah dan melakukan hal yang tidak senonoh padanya. Walau tidak tertarik, Mentari atau yang biasa disapa Tari ini harus tetap bersikap manis pada bosnya.
Pria yang dipanggil bos itu tersenyum, "Ya, tapi istri pertama saya itu sudah cukup tua karena memang dia lebih tua dua tahun dari saya dan sedang sakit-sakitan. Lalu istri kedua saya baru saja melahirkan dan saya tidak bisa dong menyentuh dia, memang saya suami kejam apa. Lalu istri ketiga saya, dia itu super sibuk dengan dirinya sendiri, mentang-mentang masih muda sukanya kelayapan. Untung dia cukup memuaskan diranjang, kalau tidak saya sudah hempaskan sejak lama."
What the .... jadi ceritanya gue mau dijadiin istri keempat. I must have got up on the wrong side of bed! Ya, gue pasti mimpi buruk tadi.
Dengan susah payah mentari menelan salivanya, pria ini benar-benar menjijikan di mata Mentari. Wajahnya saja tidak tampan dan tubuhnya tidak bagus, tapi sok-sokan mau menambah istri.
Nggak sadar diri!
Bosnya itu tersenyum sambil menatap penuh minat pada Mentari. Padahal hari ini dan hari-hari sebelumnya Mentari tidak mengenakan pakaian yang kurang bahan bahkan kelebihan bahan menjadi ciri khasnya agar tidak dilarak-lirik oleh pria bermata keranjang. Tapi tatapan bosnya ini membuat Tari ingin mencolok kedua matanya.
"Maaf Pak, saya tidak bisa," tolak Tari dengan halus.
Bosnya itu cukup kaget karena di tolak oleh Mentari. Ia pikir Mentari akan langsung menerimanya karena biasanya para wanita itu mencari calon suami yang mapan dan berkantong tebal.
"Lho, kamu menolak saya? Lebih baik jangan langsung ditolak. Pikirkan saja dulu, oke!" usulnya.
Mikir pala lu! Ogah ya ogah! Masa gue move on dari Ezio ke lelaki model ini. Ezio bisa ketawa-ketawa kalau sampai dia tahu gue putus dari dia dan menikah sama lansia.
Tari tersenyum paksa, "Kalau begitu saya permisi Pak."
.
.
Malam harinya di rumah, Tari terus memikirkan lamaran dari bosnya itu. Bukan memikirkan untuk menerimanya melainkan bagaimana cara ia bebas dari bos genitnya yang tidak tampan itu.
Ia hanya bisa memandang langit malam dari teras rumahnya sambil memegangi ponselnya.
"Masa iya gue harus resign dari kantor itu? Terus gue kerja dimana dong? Mama sama papa pasti nggak ngizinin dan kalau sampai papa tahu, bisa-bisa dia malah nyuruh gue kawin sama lansia itu."
Tari memijat pelipisnya, ia harus menentukan jalan yang akan ia ambil. Beberapa saat termenung, ia mendadak terpikirkan mencari info lowongan pekerjaan di internet. Ia lebih baik pergi jauh sebelum sesuatu yang tidak ia inginkan terjadi.
Cukup lama jarinya berselancar di atas ponselnya mencari sesuatu yang ia inginkan. Hingga akhirnya matanya menangkap satu postingan yang langsung membuatnya girang.
"Gue udah punya banyak pengalaman dan sekarang gue juga sekretaris. Ini lowongan di perusahaan gede juga nyari sekretaris. Gue daftar ah, sekalian besok gue ngasih surat resign."
Mentari dengan semangat masuk ke kamarnya dan mulai membuat surat pengunduran diri. Ia begitu bersemangat bahkan ia juga sudah menyiapkan segala dokumen yang ia perlukan untuk melamar kerja di perusahaan baru itu. Ia juga sudah mendaftarkan diri via online di situs yang tersedia.
.
.
"Jadi kamu mengundurkan diri Tari?" tanya Pak Eko, bagian HRD.
Mentari mengangguk, "Saya nggak bisa lagi kerja disini Pak. Pak Santoso masa ngelamar saya buat jadi istri ke empat. Ya saya nggak mau lah Pak!" curhat Mentari.
Semua karyawan yang ada di ruangan HRD itu pun tertawa. Mereka sudah hapal dengan kelakuan pemilik perusahaan. Tua-tua keladi, makin tua makin jadi!
Wajah Mentari langsung kusut ditertawakan satu ruangan seperti itu. Jadi selama ia bekerja di kantor ini tiga tahun, ia tidak tahu tentang bosnya. Ia mengira wanita yang biasa datang ke kantor itu hanya wanita panggilan saja eh ternyata istri sah.
"Kenapa nggak kamu terima aja Tari? Kalau saya jadi kamu ya diterima aja, tapi pas malam pertama langsung kasih racun biar mati. Tapi sebelum itu jangan lupa bikin surat wasiat yang isinya pengalihan harta. Hahahaha."
Suara sumbang dari Pak Anton itu membuat ruangan kembali gaduh dan Mentari kali ini ikut tertawa.
"Pria tua itu emang nggak sadar diri. Itu si Minah istri ketiganya itu dulu Office girl di kantor ini eh tahu-tahu naik ranjang sama pak Santoso. Gila aja!" sambung Bu Kanti.
Pembahasan di ruangan itu justru malah menggibah pria yang memberikan mereka gaji. Hingga jam makan siang tiba, Tari kembali ke ruangannya untuk mengambil tas dan berencana akan makan bersama teman-teman kantornya untuk yang terakhir sebagai tanda perpisahan.
.
.
Dua hari berlalu setelah Mentari mengundurkan diri, ia uring-uringan di kamarnya dan kedua orang tuanya tidak tahu jika Tari sudah berhenti bekerja. Mereka hanya tahu anak perawan satu-satunya itu sedang cuti kerja.
Menjadi pengangguran tidak ada dalam rencana hidup Mentari tapi sejak dua hari ini resmi menyandang gelar itu. Panggilan kerja tak kunjung datang dan ia justru sudah keluar dari perusahaan pak Santoso. Membuat hidup Tari jadi kacau dan ia terus menggerutu sepanjang hari.
Tringg ...
^^^+62823********^^^
^^^Selamat pagi saudari Mentari, kami dari perusahaan PT. Bagaspati Anugrah ingin menginformasikan bahwa berkas anda sudah lulus seleksi dan kami mengharapkan agar besok anda bisa datang untuk wawancara, terima kasih.^^^
Membaca pesan tersebut langsung membuat Tari jingkrak-jingkrak di atas tempat tidur sambil berteriak kalau ia bebas dari pengangguran.
Pagi sekali Tari bangun dan menyiapkan semua keperluannya, ia bahkan sangat memperhatikan penampilannya karena perusahaan kali ini lebih besar dari dua perusahaan tempatnya dulu bekerja.
Tari keluar kamar dan ikut sarapan dengan kedua orang tuanya.
"Udah mulai masuk kerja lagi?" tanya Pak Rama, papa Tari yang kerjanya sebagai anggota di meubel tetangga.
Tari mengangguk kemudian ia mengisi piringnya dengan makanan. "Iya pa, doain semoga semua pekerjaannya lancar," jawab Tari.
Kedua orang tuanya meng-aamiini ucapan Tari barusan dan mereka sarapan dalam keheningan.
Setelah sarapan Tari berpamitan dan langsung naik di atas motor matic kesayangannya yang cicilannya sudah lunas setahun yang lalu. Sambil terus berusaha bersikap santai dan tidak gugup, Tari menyetir motornya hingga sampai di parkiran kantor yang bangunannya menjulang tinggi.
Saking gugupnya bahkan Tari sampai menghitung berapa jumlah tingkatan di gedung tersebut namun ia pasrah karena gagal menghitung dengan benar. Ia pun masuk ke dalam kantor tersebut dan langsung digiring pihak keamanan ke ruangan yang sudah di sediakan.
Rupanya di depan ruang HRD itu--setelah Tari membaca papan nama di depan pintu, ada tiga orang peserta wawancara. Itu artinya bukan hanya ia saja yang berkasnya lulus namun di postingan yang ia baca beberapa hari yang lalu, perusahaan ini hanya menerima satu sekretaris baru saja. Tapi semakin gugup.
Satu jam menunggu akhirnya namanya di panggil dan Tari menghirup udara sebanyak-banyaknya sebelum membuka pintu tersebut.
"Silahkan duduk," ucap pria yang Tari yakin sebaya dengannya.
"Mentari Ramadhani binti Ramadhan, itu nama kamu?" tanya pria itu.
Mentari meringis, ia selalu saja kesal jika seseorang membaca nama lengkapnya yang tertera di KTP, Ijazah dan tanda pengenal lainnya.
Papa emang nggak mikir kalau gue itu nggak nyaman sama nama gue.
"Oh lahir di bulan puasa ya," tebaknya.
Mentari menggeleng membuat pria itu mengernyit heran. Umumnya nama ini identik dengan bulan puasa, pikir pria itu.
"Lalu?"
Tari menghela napas, "Kata papa saya biar samaan sama namanya," jawab Tari.
Pria itu terbengang lalu tergelak.
Ada-ada saja.
Melihat wajah pria di hadapannya ini sedang menahan tawa, Tari kembali merutuki papanya di dalam hati.
"Oke kembali ke topik. Dari data yang kamu kirimkan, kamu sudah pernah bekerja di dua perusahaan berbeda dan yang terakhir kamu menjadi sekretaris selama tiga tahun. Di daftar riwayat dan pengalaman kerja kamu juga kamu tidak memiliki kendala apapun dalam pekerjaan. Mengapa memilih berhenti? Oh ya, saya Frits."
Pria yang akhirnya di ketahui namanya itu bertanya setelah membaca riwayat singkat data diri Mentari Ramadhani binti Ramadhan.
Wajah Tari langsung kusut lagi, "Karena bapak bertanya alasannya saya akan jawab karena saya kabur dari perusahaan itu. Saya tidak mau dijadikan istri keempat pemilik perusahaan. Saya mana mau jadi istri pria lansia, Pak Frits. Saya masih muda dan apa kata mantan saya kalau saya malah move on sama pria bau tanah!"
Jawaban Tari membuat Frits kaget, ia sampai membelalakkan matanya dan beberapa detik kemudian ia tertawa.
"Masa sih?" godanya.
Tari langsung berdecak, "Saya nggak bohong ya Pak. Mending saya nggak nikah kalau sama pria tua itu, jadi istri ke empat Pak, ke-e-m-p-a-t!" ucapnya dengan menekankan kata 'keempat' itu.
Frits akhirnya tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Tari apalagi di dukung ekspresi wajah imut Tari yang terlihat kesal saat menceritakannya.
"Kamu ini lucu sekali. Tapi kayaknya kali ini kamu juga salah masuk tempat kerja. Tapi by the way, kamu di terima kerja di tempat ini dan besok sudah bisa bekerja," ucap Frits sambil mengulurkan tangannya dan Tari langsung menyambutnya dengan senang juga bingung.
"Kok salah Pak?" tanya Tari.
Frits terkekeh, "CEO kita ini memang masih muda bahkan seumuran saya. Tapi ... dia itu Casanova kelas kakap. Kamu harus hati-hati ya," ucapnya sambil terkikik-kikik.
Mata Tari membulat sempurna.
Oh sial! Ini namanya keluar kandang macan masuk kandang singa. Huhuuu ... semoga gue aman-aman aja.
Frits yang melihat gelagat Tari seperti orang ketakutan tak kuasa menyembunyikan kekehannya. "Santai aja. Pak Ezio juga nggak bakalan macam-macam ke sembarang orang," hiburnya.
Eh? Ezio? Kok namanya mirip mantan bangsat gue?
Pagi sekali Mentari sudah bersiap berangkat ke kantor barunya. Semangatnya jauh lebih membara dibandingkan ketika ia berangkat kerja ke perusahaan pak Santoso dulu. Kali ini ia bisa sedikit jumawa karena mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan raksasa di negara ini. Gajinya besar dan fasilitasnya oke punya. Mentari merasa beruntung dan tidak sia-sia keluar dari perusahaan pria lansia yang berniat menjadikannya istri keempat.
"Tapi …."
Mentari yang sedang menatap pantulan dirinya di cermin itu meragu, ia teringat akan nama CEO di kantor barunya itu.
"Nggak! Nggak mungkin dia lah. Emang cowok model Zio gitu bisa jadi CEO, nggak mungkin! Dia itu bisanya jadi pemandu tour ranjang panas."
Mengingat Zio membuat Mentari menjadi kesal. Bagaimana tidak kesal, ia yang cinta setengah mati ternyata salah jatuh cinta. Kekasihnya itu–lebih tepatnya mantan kekasihnya itu ternyata seorang playboy dan memiliki banyak kekasih.
"Bodoh amat lah! Intinya sekarang gue harus berangkat kerja biar nggak telat," ucap Mentari, ia pun keluar dan ikut sarapan bersama kedua orang tuanya.
Seusai sarapan Mentari langsung bergegas ke kantornya, kali ini jarak yang ia tempuh cukup jauh dari kantor lamanya sehingga ia harus lebih pagi lagi.
Mentari mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi karena tidak ingin terjebak macet justru harus mengalami nasib sial karena ban motornya bocor. Dadakan!
"Ck!" Mentari berdecak kesal. "Kenapa lu harus bocor saat gue buru-buru sih? Ini hari pertama kerja gue tahu nggak!" gerutu Mentari yang memang paling suka menggerutu daripada berpikir.
Akhirnya ia mencoba mendorong motonya untuk menemukan bengkel terdekat.
Pyaarrr ….
Mobil mewah berwarna hitam melintas dan tak sengaja ban mobilnya melindas air genangan hingga mengenai baju Mentari yang kini kotor bukan main. Mentari yang sedang kesal semakin geram. Ia membuka helmnya kemudian ia lemparkan pada mobil tersebut.
Bruukkk ….
Mobil tersebut berhenti dan dengan bersungut-sungut Mentari berjalan mendekatinya. Ia menggedor-gedor kaca mobil tersebut.
"Turun nggak lu!" teriaknya, ia bahkan sudah tidak peduli dengan siapa yang ada di dalam mobil tersebut sekalipun itu presiden Mentari tidak peduli. Ia sedang sakit hati dan butuh pelampiasan amarah.
Pintu mobil tersebut terbuka, seorang pria dengan mengenakan setelan jas formal dan kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya itu keluar dari mobil.
"Lu bisa nyetir nggak sih? Lu cipratin genangan air ke gue dan lu dengan santainya melaju tanpa minta maaf atau ganti rugi. Cari mati lu?!" sungut Mentari.
Pria itu melipat kedua tangannya di perut sambil memandang Mentari dengan penuh makna. Ia kemudian membuka kacamatanya yang membuat Mentari terbengang.
"Zio?!" pekik Mentari.
Oh … oh … mimpi apa Mentari semalam bisa melihat wajah mantan kekasihnya yang tampan ini. Wajah garangnya tadi sudah berubah menjadi putri keraton begitu tahu siapa pria yang sedang ia marahi ini.
"Udah puas lu marah-marah ke gue? Sensi banget sih mantan gue ini. Marah-marah mulu, pingin balikan ya sama gue?"
Mentari yang tadinya sudah kalem seperti putri keraton mendadak kembali menjadi kucing garong yang siap menerkam Zio.
"Lu! Sialan lu. Emang siapa yang mau balikan sama lu. Jangan gede rasa deh lu. Pokoknya gue nggak mau tahu lu harus ganti rugi!" tuntut Mentari.
Kok dia bisa tahu sih kalau gue emang masih pingin balikan?
Zio mengangkat sebelah alisnya, "Ganti rugi? Nggak salah? Coba deh lu tengok bodi mobil gue yang lu timpuk pakai helm lu. Rusak tahu nggak! Mahal tuh perbaikinya. Pokoknya lu yang ganti rugi. Mana duitnya, siniin!" Zio menengadahkan telapak tangannya meminta yang dari Mentari.
Mata Mentari membulat sempurna. Mana mungkin dia mau menggantinya, bisa-bisa tabungan Mentari habis terkuras hanya untuk memperbaiki mobil Zio.
Mentari menggeleng, "Nggak! Nggak ada ganti rugi. Lu juga udah bikin gue rugi. Kita impas! Mending lu enyah deh dari hadapan gue, muak tahu nggak lihat lu lama-lama!" usir Mentari, padahal yang sebenarnya ia takut jika Zio menuntutnya terus.
Zio mengangkat kedua bahunya, kemudian ia berbalik badan dan langsung masuk ke dalam mobil. Mentari akhirnya bernapas lega, namun hanya sesaat karena Zio kembali menyembulkan kepalanya dari jendela mobil.
"Nanti gue bakalan kirimin nota pembayarannya ke rumah lu. Pokoknya lu ganti rugi titik."
Zio berlalu begitu saja meninggalkan Mentari yang tengah melongo mendengar ucapannya barusan.
"Mantan bangsat! Kenapa gue pernah jatuh cinta sama cowok brengsek kayak dia sih!" umpat Mentari kemudian ia kembali mendorong motornya.
Di dalam mobil Zio kini tengah senyam-senyum sendiri, ia tidak menyangka bisa bertemu dengan mantannya itu. Sudah lima tahun dan mereka baru bertemu lagi dengan cara yang tidak pernah ia pikirkan.
"Tari, lu tetap aja sama. Suka meledak-ledak. Emang cuma gue yang bisa jadi pawang lu," gumam Zio.
.
.
Mentari bernapas lega karena akhirnya ia bisa sampai di kantor dua menit sebelum jam kerja dimulai. Untung saja ia selalu membawa pakaian ganti di bagasi motornya sehingga pakaian kotornya bisa ia ganti di toilet SPBU tadi.
Mentari melenggang masuk ke dalam gedung pencakar langit itu dan sesekali melempar senyum pada karyawan yang berpapasan dengannya. Sebagai anak baru, Mentari harus bersikap ramah agar tidak ada yang mem-bully dirinya di kantor ini.
Ia pun masuk ke dalam lift dengan lantai 30 sebagai tujuannya. Ruang kerjanya berada di sana dan berdampingan dengan CEO. Mengingat CEO, Mentari mulai menerka-nerka seperti apa bentuk rupa bos barunya ini.
Apakah tengil?
Galak?
Dingin?
Atau genit dan mesum seperti pak Santoso?
Opsi terakhir itu membuat Mentari bergidik ngeri. Ia berdoa semoga bos barunya ini dingin saja daripada beberapa opsi yang ia pikirkan tadi.
Ia kapok dengan bos mesum dan tidak suka cowok tengil seperti Zio. Apalagi galak, Mentari tidak siap jika setiap hari harus kena amukan bosnya. Ia masih ingin awet muda, belum siap keriput karena beban pikiran dimarahi bos melulu.
Lift terbuka dan Mentari langsung menuju ke mejanya. Disana sudah ada pria yang berusia sekitar 28 tahun sedang menunggunya. Pria itu tinggi dengan kulit sedikit kecoklatan. Wajahnya cukup tampan namun terlihat datar dan sedikit menyeramkan.
"Mentari Ramadhani binti Ramadhan, kamu sekretaris baru itu, 'kan?"
Dengan tampang mengenaskan Mentari mengangguk mengiyakan.
Bisa nggak sih nggak usah sebut nama panjang gue? Nama gue itu emang bagus tapi nggak tepat. Gue nggak lahir di bulan ramadhan dan kenapa juga pakai ditaruh binti segala. Huuhh nyesek gue, potek hatiku maak.
"Perkenalkan, saya Ramon, asisten CEO. Dalam beberapa hari ini kamu akan berada di bawah naungan saya dan ketika kamu sudah mampu menghandle pekerjaan sekretaris lama maka saya tidak akan lagi mendampingi kamu. Jadi sebisa mungkin kamu harus fokus saat saya menjelaskan," ucap Ramon dengan suara yang datar dan dingin.
Bikin merinding. Gue kok takut gini sama di Ramon?
"Baik pak Ramon, saya pasti akan fokus," jawab Mentari dengan mantap.
Ramon tidak tersenyum tidak pula berekspresi lain padahal Mentari sudah memasang senyuman sejuta Watt.
Ck, ternyata disini ada kulkas sepuluh pintu.
"Oh ya, sebelum itu kamu sekarang masuk ke ruangan CEO dan perkenalkan diri kamu," titah Ramon.
Mentari mengangguk, ia meletakkan tasnya di atas meja kerjanya dan langsung mengetuk pintu ruangan CEO.
"Masuk!"
Terdengar suara dari dalam dan Mentari seperti pernah mendengar suara itu. Ia mendorong pelan pintu ruangan itu dan matanya menatap sosok yang sedang sibuk di balik laptopnya.
Dagu Mentari seakan jatuh ke lantai begitu melihat siapa pria yang saat ini sedang menatapnya dengan terkejut pula.
"Lu!" pekik keduanya bersamaan.
"Lu!" pekik keduanya bersamaan.
Baik Tari maupun Zio sama-sama terkejut karena mengetahui siapa bos dan siapa sekretarisnya. Andai saja, andai saja Mentari tahu jika Ezio yang dimaksud Pak Frits itu adalah mantan bangsatnya ini, ia mungkin akan berpikir lagi menerima pekerjaan ini.
Lutut Mentari terasa lemas apalagi kemarin ia dengan begitu bersemangat menandatangi surat perjanjian kerja. Saking semangatnya keluar dari kandang pria bangkotan yang ingin menjadikannya istri kesekian ia malah tidak mencari tahu siapa pemimpin perusahaan ini. Jika saja ia tahu di pemandu tour ranjang panas ini adalah CEO-nya mungkin Mentari akan menolak … oh … oh atau bahkan ia juga meng-iyakan mengingat dirinya yang masih mencintai pria brengsek ini.
Pantas saja pak Frits mengatakan jika CEO mereka ini adalah Casanova kelas kakap, rupanya ia memang benar.
"Lu ngapain disini?" tanya Mentari, ia tidak sadar dengan pertanyaannya barusan karena masih kesal pada Zio.
Zio memandang Mentari dengan tatapan yang sulit diartikan. Jujur saja ia terkejut dengan pertanyaan Mentari yang menurutnya begitu aneh.
"Gue ngapain disini? Gue pemilik perusahaan ini. Nah lu, lu ngapain di perusahaan gue? Nyusulin gue? Masih kangen lu?" tanya balik Zio, ia belum tahu kalau Mentari ini adalah sekretaris barunya.
"Wah wah, lu kira gue nggak ada kerjaan selain ngangenin elu. Halu aja lu kerjanya!" cibir Mentari. Emang sih, gue emang masih dan selalu rinduin lu.
Namun ungkapan itu hanya bisa tertahan dalam hati saja.
Zio berdecak, "Jangan bilang kalau sekretaris baru gue itu elu?" sentak Zio.
"What? Jadi CEO Casanova kelas kakap itu elu?" pekik Mentari.
"Apa lu bilang? Coba ulangi sekali lagi," tekan Zio yang membuat mulut Mentari mengatup sempurna.
Gue bilang lu CEO Casanova kelas kakap. Kenapa, lu nggak terima? Lu emang nggak dengar gue ngomong atau lu udah mulai tuli sih! Ganteng-ganteng kok tuli.
Namun lagi dan lagi umpatan itu hanya ada di dalam hati Mentari. Ia mana berani mengatakannya langsung kepada atasan barunya ini.
Merasa kesal dengan ucapan Mentari tadi, Zio pun berteriak memanggil Ramon. Dengan cepat Ramon datang dan melihat ada aura permusuhan di ruangan ini. Ia juga bisa melihat sektretaris baru dan bosnya ini sedang bertatapan sengit. Ramon mengernyit, ia bingung dengan situasi saat ini.
Jangan-jangan bos Zio baru saja menggoda sekretaris barunya ini. Secara matanya itu tidak bisa melihat yang bening langsung disosor.
Melihat Ramon yang sibuk dengan pikirannya sendiri membuat Zio semakin kesal. Ia menggerutu, entah apa yang ia mimpikan semalam sehingga pagi ini ia sudah dibuat kesal berkali-kali oleh sang mantan yang sialnya masih awet di hatinya ini walaupun mereka sudah putus sejak lima tahun yang lalu.
"Ramon!" pekik Zio.
"Ah ya, ada apa bos?" tanya Ramon yang akhirnya berhenti melamun.
Zio berdecak kesal. Ia memang sedikit pemarah, tidak sabaran, songong, tengil dan masih banyak lagi sifat buruk yang ada pada dirinya. Sebentar-sebentar marah sebentar-sebentar membentak dan Ramon sudah kebal dengan semua itu.
"Siapa wanita buruk rupa itu?" tanya Zio sambil menunjuk Mentari dengan dagunya.
"What? Gue buruk rupa? Wah tuan Dimas Ezio Rasyid, ternyata anda selain tuli anda juga sudah mulai rabun ya. Orang secantik saya ini dibilang buruk rupa? Anda sehat, 'kan? Dulu aja suka muja-muji bilang gue cantik. Rambut gue bagus, bibir gue manis dan kulit gue lembut. Eh sekarang lu bilang gue buruk rupa? Lu nggak lupa minum obat, 'kan?"
Nah, 'kan. Mentari kembali lagi lupa segalanya ketika sedang kesal. Ia tidak peduli pria yang baru saja ia kata-katai ini adalah bosnya, atasannya sekaligus orang yang akan memberikannya gaji. Yang penting ia bisa mengeluarkan kekesalannya pada orang yang membuatnya kesal, ia tidak peduli siapapun itu kecuali sang mama yang tidak bisa ia lawan karena jika ia mulai membantah maka akan keluar kata-kata pamungkas mamanya yang berkata, "Mentari mau melawan Mama? Nggak tahu ya mama ngangkang dua hari dua malam nahan sakit karena lahirin Mentari? Mau jadi anak durhaka? Mau mama kutuk jadi perawan tua?" Nah kalau sudah begitu Mentari mana bisa menumpahkan kekesalannya pada sang mama.
Mendengar ucapan Mentari membuat emosi Zio naik ke ubun-ubun, "Apa lu bilang? Gue tuli, rabun dan nggak waras? Enak banget mulut lu ngatain gue. Dulu emang gue muja-muji lu karena kita 'kan pacaran. Sayang-sayangan. Nggak mungkin waktu itu gue bilang lu jelek, lu dekil, rambut lu lepek, kulit lu kasar, lu bisa marah nanti. Gimana sih lu. Dulu juga lu muja-muji gue. Bilang gue ganteng, gue keren, gue hebat, kenapa sekarang lu ngatain gue tuli dan gila? Cari mati lu?!"
"Ya iya, dulu 'kan kita pacaran. Lu cowok gue dan gue sayang sama lu, mana mungkin gue ngatain lu yang jelek-jelek. Gimana sih lu!"
"Nah itu lu tahu."
Rasanya Ramon ingin menghilang saja dari ruangan ini. Ia ingin melipir dan tidak ingin terlibat dalam perdebatan mantan kekasih ini. Ia akhirnya pun tahu mengapa mereka berdebat, rupanya masih ada sisa masalah yang belum selesai pada masa lalu dan ia tidak ingin jadi penengah dari keduanya yang sama-sama keras kepala dan jika ia perhatikan keduanya ini seperti masih saling menyayangi namun gengsi. Juga, ia melihat keduanya ini walau tengah berdebat tetap saja mereka kompak.
Ramon merasa seperti berada di tengah-tengah pasangan suami istri yang sedang berkelahi karena sang suami gagal dapat jatah malam Jumat dan sang istri yang tidak mendapat jatah uang jajan.
"Ah sudahlah, malas gue lama-lama satu ruangan sama lu. Mending gue keluar dan lanjutin pekerjaan," ucap Mentari yang sudah lelah berdebat. Ia tahu, berdebat dengan Zio ini tidak akan ada habisnya.
Baru saja Mentari hendak keluar, suara lantang Zio langsung menghentikan langkahnya.
"Ramon, berikan dia SP satu dan jangan lupa potong gajinya sepuluh persen!"
Mata Mentari langsung membulat sempurna bahkan mulutnya menganga lebar mendengar ucapan Zio barusan.
"Baik bos," ucap Ramon.
"Kok bisa gaji gue dipotong sepuluh persen?" tanya Mentari tidak terima.
"Lu gue kasih SP satu karena lu nggak sopan sama gue. Gue ini atasan lu dan lu bawahan gue walaupun selama kita pacaran lu nggak pernah ada dibawah gue. Dan mengenai potongan gaji, lu jangan pura-pura lupa kalau lu harus ganti rugi untuk kerusakan mobil gue," papar Zio yang membuat Mentari terbengang.
Kok dia masih ingat aja sama mobilnya?
"Lu juga harus ganti ru–"
"Ramon, potong gajinya jadi lima belas persen!"
Mata Mentari melotot sempurna, "Apa lagi ini? Lu belum puas?"
Zio menyeringai, "La-lu, La-lu, gue ini atasan lu kalau lu lupa. Ngomong yang sopan dong. Gunakan bahasa yang formal sama gue. Lu ngerti 'kan bahasa formal?"
"Tapi anda bebas berbicara non formal dengan saya," cicit Mentari yang kini sadar bahwa tadi ia begitu meledak-ledak hingga lupa posisi dan situasi keduanya yang kini menjadi atasan dan bawahan.
"Lah, itu terserah gue dong. Gue bosnya disini, perusahaan juga milik gue, jadi suka-suka gue," ujar Zio sambil menatap dengan penuh ejekan pada Mentari.
Mentari menghela napas, "Baik Pak, saya minta maaf. Kalau begitu saya permisi," ucap Mentari sebisa mungkin meredam emosinya.
Zio hanya mengibaskan tangannya yang membuat Mentari meradang.
Oh Tuhan, gimana nasib gue kedepannya? Gue pasti akan cepat tua kalau kerja di sini bareng si mantan bangsat itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!