..."Jangan Ragukan Usahamu, Jangan Ragukan Pekerjaanmu, dan Jangan Ragukan Hasil Yang Kamu Dapatkan. Dengan Begitu Kamu Pasti Akan Mengerti Tentang Bagaimana Caranya Bersyukur." @dokterhoki_...
Mimpi _ Aku yakin jika ini hanyalah mimpi! Jelas-jelas aku di kantor dengan siksaan pekerjaan itu! Argh! Pikiranku kacau!
"Enna? Kamu nggak papa?" Tanya seorang bocah kecil di depanku.
"A-aku.. Aku baik-baik saja kok." Aku hanya berbicara asal, tentunya saat itu pikiranku berada di tempat lain.
"Ayo ikuti aku!" Kata anak itu sembari menarik tanganku, aku tersadar jika aku tengah memegang infus stand di tanganku.
"Jangan buru-buru." Kataku mengimbangi gerak kakinya.
"Iyya." Balasnya lembut membuatku merasa jika anak ini lucu.
Kami berjalan melewati beberapa koridor tempat suster dan pasien berlalu-lalang. Karena tidak mengerti apa yang sedang terjadi, aku pun hanya mengikuti langkah kaki anak laki-laki itu hingga sampai pada satu tempat.
"Ini tempat pribadi kakakku, maaf jauh dari tempat semula. Kamu benar-benar gak dimarahin orang tua kan?" Tanya bocah itu panjang lebar, aku tidak mengerti namun mulutku tiba-tiba tergerak.
"Tidak apa-apa, Daddy bilang akan mengunjungiku minggu depan dan paman Inho bilang dia akan ke sini besok pagi." Ucapku tiba-tiba.
"Baiklah, ayo masuk." Ajaknya yang dengan senang hati kulakukan.
Disaat pintu sederhana itu terbuka, betapa terkejutnya aku melihat isinya yang begitu mewah dan luas. Nafasku sempat tertahan karena kagum, lukisan-lukisan menghiasi dinding berwarna emas lembut yang tidak terlalu mencolok.
"Kamu tidak apa-apa?" Tanya anak itu mengaburkan lamunanku.
"Oh, yeah! Ngomong-ngomong baru pertama kali ini aku melihat ruangan besar seperti ini yang berada tepat di belakang gedung rumah sakit." Ucapku menutupi kekagumanku.
"Ini adalah tempat istirahat kakakku ketika waktu luang, tetapi biasanya dia akan kesini malam hari karena sibuk di siang hari." Ucapnya yang kubalas dengan anggukan kecil.
Tangannya yang masih memegang tanganku tiba-tiba menarikku menuju tempat yang lebih luas, aku dikode untuk duduk di kursi. Mengapa bukan sofa di pojok? Sudahlah! Aku hanya ingin mengikuti tanpa tau apapun! Lagipula nanti aku akan terbangun dari mimpi ini.
"Aku ambilkan makanan di lemari. Kamu suka jamur?" Tanya bocah itu menatapku dengan mata beningnya.
"Suka! Jamur adalah makanan kesukaanku hmm meskipun lebih enak makan es krim." Ucapku sesuai keadaan nyata, aku memang menyukai makanan manis tapi tak membenci sayuran.
"Tidak boleh makan manis! Kamu sakit karena itu! Setidaknya untuk sekarang." Teriaknya dengan pipi gembul yang mengembang, lucu sekali bocah ini.
"Iya, aku mau makan apapun itu asalkan tidak berbau aneh." Ucapku dibalas anggukan setuju olehnya.
'Namanya siapa sih? Aneh kalo aku-kamu gitu manggilnya.' Batinku sedikit berfikir.
Disaat itu aku memandanginya mengambil satu mangkuk yang ditutupi alumunium, dapat ditebak jika itu telah disiapkan oleh seseorang. Dia membuka alumunium itu dan memasukkannya ke microwave, sembari menunggu ia menyiapkan minuman dengan blender. Aku terkejut melihatnya dapat dengan baik mengoperasikan alat-alat itu, tangannya begitu luwes sampai aku mengira cita-citanya adalah koki.
"Maaf, jadi minuman dulu yang sampai di meja." Ucapnya, lagi-lagi aku dibuat terkejut dengan hidangan minuman sehat jus stroberi yang tampak mewah dan rapih.
"Kamu kok pintar banget mengoperasikan alat dapur, bahkan aku terkejut kamu tidak takut menggunakan pisau dapur. Apa cita-cita kamu? Biar kutebak, sepertinya ingin menjadi seorang koki?" Kataku sambil memandang matanya yang berbinar.
"Terimakasih! Tapi aku akan menjadi seorang dokter! Aku akan menyelematkan orang-orang dari segala macam penyakit, itu adalah impianku." Ucapnya membuatku tertawa dengan sikapnya yang jujur dan ceria.
"Ngomong-ngomong enaknya aku panggil kamu apa? Aku merasa perlu memanggilmu dengan spesial."
"Panggil aku Alan." Ucapnya membuatku sedikit bingung.
"Namamu Matler Andrew, mengapa ingin dipanggil Alan? Hik!" Tanyaku membuatnya tersenyum lebar. Sontak aku terkejut karena tiba-tiba mulutku berbicara sendiri. Padahal aku bahkan tidak tau namanya.
"Karena ibuku memanggilku seperti itu haha jadi aku ingin kamu memanggilku seperti itu karena kamu spesial."
"Aku spesial? Waw!"
Mesin microwave itu tiba-tiba berbunyi, bocah itu langsung berlari mengambil hidangan. Tangannya menaruh berbagai taburan yang membuatnya tampak lezat, bocah ini sangat pandai memasak batinku. Istrinya pasti akan bahagia karena suaminya dapat memasak makanan untuknya.
"Hidangan sudah sampai, ada sup jamur gratin dengan jus. Sederhana tapi mengenyangkan." Ucapnya, sekali lagi itu mengejutkanku.
'Sayang sekali ini hanya mimpi, jadi tidak akan ada rasanya.' Batinku kecewa.
Disaat aku menyuap sesendok sup kedalam mulut, betapa terkejutnya aku setelah rasa gurih itu menghidupkan perasaku. Aku berfikir mengapa mimpiku menjadi begitu lezat?
"Enak loh." Ucapku, bocah itu hanya memandangku dengan tangan menumpu wajahnya. Mata berkilaunya yang fokus padaku membuat hatiku berdebar.
"Jangan hiraukan aku, jujur aku senang kamu menikmatinya." Ucapnya membuatku semakin gugup.
'Dia hanya anak kecil! Jangan berlebihan!'
"Baiklah." Balasku sambil tersenyum dan sedikit menepuk lembut kepalanya lalu melanjutkan makan.
Aku seperti melihat adikku. Tanpa kusadari pipi bocah itu memerah, kukira itu hanya demam namun ia tersenyum.
"Makan yang banyak supaya kita dapat menjadi orang dewasa dan aku diperbolehkan untuk menikahimu." Ucapnya tiba-tiba membuatku terkejut hingga batuk. Dia membantuku dengan mengambil air putih.
"Jangan terburu-buru." Ucapnya khawatir.
"Eh! Kita masih kecil sudah bicara nikah itu dilarang, Alan ini jangan bicara yang aneh-aneh oke?" Celotehku penuh arti.
"Iyya~" Dia membalasku dengan senyum manisnya.
Lagi-lagi aku luluh oleh senyuman itu, kulanjutkan menyuap makanan.
'Enaknya sih nggak bohong, tetapi aku bingung kok dapat merasakan makanan jika ini hanyalah mimpi.'
"Aneh.." gumamku.
"Apanya yang aneh?" Tanyanya membuatku tanpa sadar menjawab.
"Makanannya kok bisa terasa enak di dalam mulut ya?"
"Ahahahhaha! Kamu bicara apasih? Hahaha." Bocah itu meledekku, dia bahagia sekali. Tetapi aku akhirnya ikut tertawa.
"Aku memasak itu tadi pagi." Ucapnya.
"Hah? Masak sendiri?" Tanyaku membuatnya mengangguk dan mengambil mangkuk serta gelas di depanku.
Dia mencuci piring dan merapikannya setelah mengelap alat-alatnya.
"Lalu kamu makan apa?" Tanyaku padanya.
"Aku biasanya dibawakan garlic bread oleh kakakku, enak loh yang tokonya ada di samping rumah sakit." Ucapnya yang kubalas anggukan kecil.
"Aku jadi memakan sup yang seharusnya dicampur garlic bread itu kan."
"Tidak-tidak! Aku memang ingin memberikan masakanku untukmu, karena kata ibu sup masakanku enak dan pas."
Wajahnya tampak bahagia menceritakan ibundanya yang sekarang tengah tidur di atas kasur pasien, jika ada yang bertanya bagaimana aku bisa tau. Ini adalah cerita bikinanku, aku adalah seorang penulis. Terakhir kali aku dipanggil ke kantor untuk segera menandatangani kontrak dengan penerbit luar kota. Hidup di kota memang tidak sedamai di desa karena banyaknya tekanan tagihan sana-sini, belum lagi berbagai kebutuhan sehari-hari. Hidupku sebenarnya tidak merepotkan. Namun, ternyata kejadian itu yang membuatku sampai kesini.
Bersambung
・ω・☞ "Please Vote and Coment🌟"
^^^-Thx^^^
..."Susah, Susah, Itu Susah! Baiklah kukerjakan karena besok aku akan mengatakan jika Itu Mudah." @dokterhoki_...
Minggu _ Seorang gadis perempuan tengah menggerutu di sepanjang perjalanan menuju tempat yang pasti bukan taman hiburan ataupun alun-alun tempat berlibur. Hari itu ia memiliki janji dengan manager Lili terkait novel buatannya.
"Hari liburku rusak! Padahal aku hanya ingin tidur seharian setelah dua minggu dipenuhi deadline."
Setelah turun dari bus terakhir, matanya langsung disuguhi gedung PT Wijaya yang terkenal dengan buku-buku besarnya.
"Elena!" Terdengar suara teriakan dari samping gedung.
"Oh, hallo manager Lili." Sapa Elena si gadis yang tak ikhlas hari liburnya direngut paksa oleh janji.
"Kenapa kau terlambat?"
"Gimana gak telat coba? Lili baru mengirimkan pesan padaku pukul 05.00 pagi! Dan menyuruhku datang pukul 06.30 pagi, kau pikir aku Batman? Enak kalo jadi Batman yang gak nunggu rute bus dan bisa terbang! Dan masih mending aku bukan Hulk, jika aku menjadi Hulk sudah kuhancurkan gedung ini." Marah Elena.
"Jangan! Nanti kau cari uang dimana kalau gedung ini hancur? Sudahlah! Kita sudah ditunggu seseorang yang spesial!" Ucap Lili menarik tangan Elena dengan paksa.
"Huh! Seandainya aku punya kekuatan menghilang, mending jadi hantu dan membegal orang-orang pemerintah penipu rakyat atau koruptor-koruptor profesional. Lagian siapa sih orang penting pengganggu hari liburku?" Celoteh Elena blak-blakan.
"Hush! Sebaiknya kamu diam! Aku juga lelah, kau pikir dua minggu ini aku tidur-tiduran?" Ungkap Lili dengan sorot mata berlingkar panda yang menandakan betapa lelahnya ia.
Elena hanya diam mengikuti, dia memang terkadang suka membuat onar namun tak suka terlalu lama mengoceh kecuali kepada orang-orang tertentu. Tetapi ketahuilah jika saat ini hatinya memiliki banyak umpatan-umpatan spesial dengan berbagai rasa dan spesies unik.
Setelah menaiki lift dan beberapa tangga, barulah mereka sampai di ruangan khusus. Yang pasti bukan ruangan CEO, hanya ruangan khusus tamu-tamu penting yang berkunjung.
"(Tok tok) Permisi, saya Lili Lennart membawakan penulis Elena Letopia." Ucap Lili melepaskan tangan Elena.
"Masuk." Terdengar suara dari dalam pintu besar itu.
Elena dan Lili memasuki ruangan gold mewah yang luas. Disana seorang pria tengah duduk menikmati teh dengan beberapa camilan ringan, ruangan itu tampak asing bagi Elena. Sebelumnya ia hanya pernah mengunjungi ruang direktur dan tidak pernah mengunjungi kantor lagi, semuanya tersalurkan melalui manager Lili.
"Ruangan apa ini bro?" Bisik Elena tanpa pertahanan.
"Hush! Dia orang penting, jangan asal berbicara." Perintah Lili menekan.
"Baiklah, oke, aku mengerti, Ya." Kalimat bertubi pun muncul, Elena tak pernah menghilangkan cara bercandanya yang tidak tau waktu.
"Jadi dia penulis buku novel terkenal itu." Ungkap pria itu sembari menyeruput teh dari cangkirnya.
"Iya, saya penulis novel Elena Letopia." Elena menyungging senyum manisnya.
"Saya suka novel anda. Karena saat saya membacanya langsung disuguhi kata-kata pengatar yang membuat siapapun menjadi penasaran akan isinya." Puji pria itu sembari menyilangkan kedua tangannya.
"Terimakasih banyak atas pujiannya." Balas Elena tetap sopan.
Suasana kembali menjadi hening, Elena perlahan merasa kakinya mulai pegal. Perjalanan antara rumah dengan kantornya tidaklah dekat, Elena harus menunggu tiga rute bus.
"Silahkan duduk, mengapa anda diam ketika kursi ada di hadapan kalian?" Ungkap pria itu tersenyum. Sungguh pria arogan, batin Elena.
"Baiklah, terimakasih pak." Elena tetap sopan menahan segala umpatan dari dalam hatinya.
Elena masih memasang raut wajah tidak ikhlas akan hari liburnya yang direnggut paksa, kata managernya ini adalah tamu penting.
"Mengapa anda diam? Apakah tidak ada yang ingin anda katakan?" Tanya pria itu sedikit menggoda Elena.
"Enaknya saya memanggil anda apa?" Elena mulai kesal dengan nada mengejek pria di depannya.
Pria itu tersenyum seakan mendapatkan apa yang ia inginkan. "Jeon Victoria."
"Hah? Maaf, Itu nama karakter novel?" Jeon si pria arogan membalasnya dengan tawa renyah.
'Siall! Asal ceplosnya Elena bahaya sekali!' Batin manager Lili sedikit khawatir.
"Hahahaha tentu saja bukan.. nama karakter novel yang kau buat adalah Victoria Previo Oliver bukan?" Elena hanya membalas pernyataannya dengan anggukan kecil.
"Baik pak Jeon, saya ingin bertanya mengapa anda memanggil saya?" Elena memandang serius, ia ingin cepat pulang meninggalkan kantor.
"Hoho~ panggil saya Jeon saja, toh kita seumur-"
"Ini kantor pak Jeon Victoria." Tegas Elena kesal.
'Sekali-kali ia pintar juga.' Batin Manager Lili menghela nafas lega.
"Tidak apa, pelan-pelan saja dan nikmati waktumu." Jeon terlihat santai seakan menahan Elena. Elena yang kesal pun berusaha untuk tetap terlihat biasa saja, memangnya aku kemari untuk liburan?
"Saya merasa kasihan dengan manager saya yang kurang tidur dalam beberapa pekan terakhir dan hari ini adalah hari libur pertama saya setelah novel VPO (Victoria Previo Oliver) berakhir. Saya mohon perhatiannya dan saya harap bapak menyelesaikan pertemuan ini dengan cepat. Terimakasih." Tegas Elena dengan seutas senyum paksa tertera di atas wajahnya.
"Baik saya mengerti. Sebenarnya saya ingin membicarakan tentang peningkatan royalty anda dengan memperluas wilayah pemasaran, saya membutuhkan tanda tangan anda pada surat kontraknya. Saya menghargai segala keputusan anda." Kali ini Jeon serius mengetahui ia tidak bisa terus menggoda Elena yang marah.
"Saya menyetujui segala perubahan maupun perluasan pasar, tetapi apakah hanya itu yang ingin anda sampaikan?" Tanya Elena ragu, ia bertanya-tanya hanya karena itu ia harus datang ke kantor. Mengapa tidak melalui manager Lili atau Gmail saja, batinnya.
"Iya hanya itu." Balas Jeon singkat, ia menaruh setumpuk kertas kontrak.
Elena meraih setumpuk surat kontrak, dibacanya satu persatu dari kontrak itu lalu ia menemukan satu kalimat yang membuatnya penasaran.
"Pak Jeon, saya ingin bertanya." Elena menatap tajam wajah Jeon.
"Iya silahkan." Jeon tersenyum.
"Apa maksud kata, yang sudah terjadi tidak akan dapat kembali dan kehidupan yang sudah ada tidak akan terjamin? Saya juga menemukan kata-kata, mimpi akan terwujud setelah goresan tinta menyentuh secarik kertas." Elena menyerngitkan dahinya bingung.
"Hm.. coba baca sekali lagi, baca dengan teliti dan pikiran setiap katanya dengan cermat, agar tidak salah memilih." Ucap Jeon sedikit menekankan kalimat terakhir.
"Baiklah." Elena menandatangani kontrak tanpa keraguan sedikitpun.
'Paling karena penulisan dibuat rumit, tetapi cukup bagus.' Batin Elena menaruh pena dan kertas di atas meja. Jeon menyeringai lebar layaknya puas akan sesuatu.
Sekilas elena memandang Managernya yang sudah pegal, ia benar-benar tidak bisa membiarkan ibu dengan satu anak itu menderita lebih lama lagi.
"Pak apakah saya dan manager saya sudah diperbolehkan untuk pulang ke rumah?" Elena menyilangkan kedua tangannya.
"Baiklah, silahkan pulang. Oh karena aku sudah menggangu waktumu bagaimana jika kuganti dengan makan siang di waktu lain?" Jeon tersenyum lebar tanpa mengharapkan sesuatu.
"Maaf pak, lain kali saja kita makan siang bersama. Saya masih ada sesuatu yang harus dikerjakan, saya undur diri. Terimakasih dan selamat siang." Elena mengakhiri pertemuan itu lalu pergi bersama manager Lili.
Elena melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 10.00 dan itu membuatnya tidak enak kepada manager menyebalkannya. Elena berniat untuk mengucapkan kata maaf kepada Lili yang sedari tadi diam menatap jalan, karena meskipun menyebalkan Lili selalu memikirkan Elena.
"Manager.." belum sempat Elena berbicara, manager Lili langsung memotong ucapannya.
"Terimakasih banyak Elena! Aku akhirnya bisa pulang dengan tenang!" Manager Lili terlihat senang.
"Bagaimana dengan Liam? Menjaga anak laki-laki itu susah bukan?" Ungkap Elena beraut peduli pada managernya.
"Tidak. Jujur semenjak bercerai dengan suamiku akhirnya anakku hidup dengan baik, orang tuaku yang menjaganya sekarang. Tapi yang terpenting hari ini aku ingin menghabiskan waktu dengan putraku, hilangnya seorang ayah membuatku harus berperan lebih." Curhat manager Lili, meskipun hidupnya dipenuhi cobaan ia tetap tersenyum cerah. Itulah yang membuat Elena kagum dengan managernya.
"Semangat kak, ini kan sudah di luar jam kerja jadi aku akan memanggil kakak! Oh iya aku punya sedikit hadiah..." Mendengar ucapan Elena hanya membuat Lili membatin, kau juga sering memanggilku Lili hehe.
Dilihatnya Elena tengah merogoh tas yang berisi plastik besar di dalamnya.
"Ini.." gumam manager Lili tidak menduga.
"Yap, ini mainan edisi baru! Aku bawa tas besar ini hanya untuk memberikan hadiah meskipun tidak sempat kubungkus dengan kertas kado hehe. Ucapkan salamku pada Liam ya kak." Elena tersenyum bahagia, ia selalu merasa senang telah memberikan sesuatu kepada anak managernya.
"Terimakasih banyak-♡! Yaampun aku ingin membeli ini tetapi selalu kehabisan. Suatu saat aku akan membalasnya. Kau bahkan membelikan banyak mainan tetapi kali ini aku benar-benar ingin membeli ini untuk putraku."
Manager Lili tampak senang, ia memeluknya erat seakan-akan menjaganya.
"(Cocomelon~!) Tidak usah dipikirkan, oh aku akan pulang kak. Temanku menelpon, dahh~"
"Iyaa, hati-hati oke."
Elena meninggalkan kantor menuju halte bus, ia menolak panggilan yang tertera di headphonenya berulangkali. Itu adalah nomor yang selalu membuatnya terjerat kedalam masalah. Sekilas huruf-huruf itu terangkai kata 'Polisi gang I' pertanda adiknya telah membuat onar di suatu tempat, barulah ia mengangkat setelah beberapa telepon.
"Cih. Hallo?"
"Hallo, Elena ini aku."
"Alex? Kenapa kau menghubungiku berulang kali?"
"Adikmu terlibat tawuran di gang I di dekat sekolahnya, aku sudah mengurusnya. Sepertinya dia sudah pulang tiga jam yang lalu, aku hanya memberitahumu agar mengobati luka adikmu dan memberi nasihat."
"Aku tahu, terimakasih Alex. Aku akan mentraktirmu kapan-kapan."
"Baiklah, aku menghargainya."
Telepon diakhiri dari kedua belah pihak.
"Cih, hari ini banyak masalah." Ucap Elena menghela nafas panjang yang panjang.
Di depan rumah ia dengan berat hati memegang gagang pintu, rasanya seperti tidak ada kedamaian untuknya hari ini. Hati terdalamnya merasakan firasat aneh.
"Aku pulang." Elena menyambut rumah dengan lesu, segera setelah melepas sepatu ia menuju kamarnya berniat melepas lelah tuk hari ini.
Sekilas ia melihat adik laki-lakinya tengah duduk di sofa ruang tamu. Seketika hati Elena retak memandang adiknya yang tengah asik bersama seorang wanita muda tanpa perasaan bersalah sedikitpun.
(Bhuk!)
Elena langsung meninju pipi kanan adiknya hingga membekas, Elena sedikit menitikkan air mata.
"Sial!" Teriak sang adik bangkit menampar kakaknya.
Elena memandang sinis adiknya, amarah mulai menyulut hatinya.
"Lu adik gua brengsek!" Ucap Elena tersenyum dengan suaranya yang serak, ia menangis.
"Hah, apa maksudnya itu?" Balas dingin adiknya.
"Gua biayain lu, bayarin sekolah, makan, tagihan kedokteran, tagihan kepolisian, ganti rugi. Rela ga makan, ga beli makeup, ga beli baju, ga jalan-jalan cuman buat ginian?" Ungkap lemas Elena mulai menangis deras.
"Lah kalo ga ikhlas bilang lah."
Elena dengan cepat memegang pundak adiknya.
"Lu yakin hidup enak kalo gua ga ikhlas? Lu yakin bisa sekolah kalo gua ga ikhlas? Lu yakin?!"
"Lu pikir gua mau sekolah?" Balas sang adik tanpa peduli perasaan Elena.
Tertera beribu kekecewaan dan pikiran yang berkecamuk di wajah Elena.
"Baik. Saya Elena Letopia pergi meninggalkan Erand Letopia. Silahkan ambil segalanya yang ada di sini dan hiduplah, aku akan pergi. Ada uang simpanan dibawah meja, hiduplah dengan baik adikku. Umurmu hampir genap 20 tahun jadi kamu bisa tanpaku kan?" Ungkap Elena dengan berat hati meninggalkan adiknya, dan terakhir kali ia mengelus lembut kepala adiknya.
"Doakan aku cepat mati." Kata-kata terakhir sebelum Elena pergi meninggalkan rumah.
...__________...
Langit mulai menggelap setelah aku keluar dari rumah, tetapi hujan belum turun pertanda masih aman untuk berjalan kaki. Aku masih menangis tersedu-sedu berharap ini hanya mimpi, karena aku merasa selama ini selalu mengorbankan segalanya untuk adikku satu-satunya. Aku benar-benar tidak makan dalam beberapa waktu yang lalu sampai harus dirawat di rumah karena biaya rumah sakit sangat mahal.
Aku tidak berharap hubunganku dengan adikku akan semakin keruh karena adikku dan aku yang berasal dari ibu yang berbeda. Aku tulus merawatnya tetapi untuk kali ini aku merasa kurang beruntung, sengaja kuberikan segalanya untuk adikku lagipula dia sudah berumur 19 tahun.
"Hiduplah dengan baik hiks! Tanpaku mungkin kau akan sadar hiks."
Batinku terus mencurahkan rasa sakit, sedangkan mataku terus mengeluarkan air mata.
Ditengah perjalanan aku merasa perutku mual dan jantungku berdetak kencang. Tiba-tiba ada dua motor berhenti di depanku, mereka terdiri dari enam orang. Mengetahui tangan mereka yang memegang senjata, akupun perlahan mundur.
"K-kalian mau apa?" Tanyaku pada mereka yang mulai mendekat.
"Kau kakaknya Erand kan, yang seorang penulis tajir itu? Ganti rugi woy temanku masuk rumah sakit gara-gara adikmu."
Salah satunya sudah berhasil memegang tanganku, saat aku menepis tangannya kekuatanku tidak setara dengan kekuatan enam anak laki-laki.
"Lepaskan aku, T-tolong!" Teriakku berusaha melepaskan diri.
"Hahahaha, ini tempat yang hampir tidak pernah dilewati oleh kendaraan. Bodohnya seorang wanita kemari, lagi sakit cinta?"
Kurasakan tangannya mulai lengah, ia memang membungkam mulutku tetapi menggunakan tangan bersih kurasa bukan ide bagus. Dengan cepat aku menggigit kulit itu kencang hingga mengeluarkan darah.
"Arghhh!"
(Bhuk!)
Aku merasa sakit tetapi sedikit mati rasa pada bagian belakang kepalaku. Rasanya aku tidak kuat menopang tubuhku dan akhirnya tersungkur di atas tanah.
"Sial! Kau membunuhnya!"
"Tidak apa-apa, kita sembunyikan saja!"
"Gila! Kenapa dengan martil sih!"
"Aku lupa!"
Anak-anak sialan ini! Membuatku marah saja! Tetapi sudahlah, toh aku memang ingin cepat mati.
Bersambung...
^^^・ω・☞ "Please Like and Coment🌟"^^^
^^^-Thx^^^
..."Aku tidak akan membiarkan diriku menyesal. Setidaknya biarkan aku menulis sejarah jika aku pernah berjuang untuk bertahan atas dasar keinginanku."@dokterhoki_...
Enam tahun telah berlalu semenjak Enna bertemu dengan anak laki-laki bernama Alan. Sebenarnya nama mereka berdua bertentangan dengan nama aslinya, nama asli Enna adalah Nikle Amanda anak bungsu keluarga Nikle.
Nikle Amanda adalah anak cantik yang ceria, ia cukup baik dalam hal mencari teman. Ia hidup dengan baik dan selalu dipenuhi oleh kasih sayang dari kakak juga ayahnya. Ibu Nikle sudah lama meninggal setelah kecelakaan lalu lintas 2 Maret di Busan, saat itu ayah dan ibunya tengah berencana untuk merayakan hari ulang tahun ketiganya di Busan. Disaat mereka berniat menjemput Amanda (Enna) di rumah, tiba-tiba mobil dengan pengendara yang mabuk menghantam mobil mereka.
'Setidaknya aku harus mengubah beberapa skenario yang terjadi, karena sebelumnya Enna menjadi anak yang pendiam tetapi wajahnya cantik. Lagipula kalau sudah cantik tapi diam itu bukan aku banget.' batin Enna sedikit memanyunkan bibirnya.
"Lagi memikirkan apa?" Tanya Liam, kakak Amanda memerhatikan adiknya.
"Lagi memikirkan masa depan." Gumam Amanda terbawa suasana.
"Hm.. tenang saja karena masa depanmu akan selalu cerah. Aku akan memberikan apapun untuk adik perempuanku satu-satunya." Liam serius dengan tatapan yang tajam, Amanda mengerti jika kakaknya khawatir. Dia tersenyum manis, itu membuat Liam terasa lemah.
"Iya kak, omong-omong kata ayah minggu besok aku mulai sekolah nyata. Karena udah gak home schooling lagi hatiku jadi berdebar."
Liam meraih cangkir teh di depannya lalu meminumnya dengan santai.
"Jika itu yang membuatmu merasa terbebani, kau boleh bilang padaku. Aku yang akan urus agar kau sekolah di rumah lagi." Tegas Liam pada adiknya.
"Gak! Aku mau sekolah kok hehe.. kakak tenang saja, meskipun aku selama ini sekolah di rumah tapi aku ini pintar bersosialisasi loh. Kakak ingat pesta yang diadakan perusahaan UNA waktu itu? Kan aku langsung mempunyai banyak teman karena aku imut hehe." Ungkap Amanda yang dibalas senyuman lembut dari Liam.
Liam menepuk rambut adiknya tulus, ia selalu merasa gemas dengan adiknya. Entah mengapa dirinya selalu bersyukur, karena pada saat melihat adik perempuannya ia merasa seakan-akan tengah melihat ibunya. Sifat ibunya yang ceria membuatnya menjadi lebih baik, dulu ia pikir adiknya akan mengikuti ayahnya yang pendiam tetapi di umur tujuh tahun ia mulai terlihat lebih ceria. Itu perubahan drastis setelah adiknya jatuh sakit.
"Kau adik kakak satu-satunya jadi bicaralah jika ada masalah di sekitarmu oke?"
Liam tampak khawatir, itu semua tertulis jelas di wajahnya. Amanda merasakannya, ia tahu persis bagaimana rasanya mengkhawatirkan orang yang dicintainya. Meskipun berbeda pendapat, itu semua dipilih setelah dipikir berulang kali demi kebaikan.
"Tenang saja kak, aku juga anak yang kuat. Oh kak! Aku mau minta sesuatu." Ucapan Amanda disambut dengan rasa penasaran kakaknya.
Amanda jarang meminta sesuatu padanya, bahkan hampir tidak pernah. Ia merasa selalu dirinya yang menawarkan sesuatu pada adiknya, meskipun ia bahagia adiknya selalu memujinya dengan sebutan kakak yang peka. "Iya boleh, apa keinginanmu?"
"Aku mau identitasku sebagai keluarga Nikle disembunyikan. Aku yakin itu bukanlah hal yang mudah, tetapi aku ingin mencari teman yang tulus padaku kak. Bolehkah aku meminta tolong padamu kali ini?"
Liam tidak mengerti jika adiknya begitu serius memikirkan pertemanan, ia selama ini selalu merasa adiknya ini polos dan mudah dibodohi tapi ternyata ia memiliki pikiran yang bercabang. Ia tidak menyangka adiknya akan menyembunyikan identitasnya padahal sebagian besar remaja ingin dirinya menjadi terkenal.
"Itu akan sulit, tetapi akan aku usahakan. Tapi jika ada sesuatu terjadi padamu, aku akan bertindak sebagai seorang kakak yang berasal dari keluarga Nikle." Tegas Liam yang tidak dibantah oleh Amanda, bagaimanapun Liam memiliki aura pelindung yang kuat.
"Baiklah kak, lakukan apapun tapi jika aku memikirkan sesuatu kakak juga harus mendengarkanku." Pinta Amanda dibalas anggukan kecil dari Liam.
"Aku akan selalu menghargai keputusan adikku. Tapi hari ini ayo makan siang bersama di cafe seberang kantor." Ajak Liam bersemangat. Amanda hanya tertawa mendengar permintaan kakaknya.
"Tapi kak, waktu makan siang hampir habis. Lagipula kakak sudah menghabiskan bekal yang kubawa ini." Balas Amanda, Liam menatap memelas tetapi amanda kuat pada pendiriannya.
"Bagaimana kalau kita main di taman? Aku akan bilang pada sekertaris Ian untuk mengosongkan jadwalku hari ini."
Amanda tertawa terbahak-bahak mendengar permintaan kakaknya yang ingin terus melekat dengannya, padahal atmosfer sebelumnya sangat berat tetapi kali ini semuannya mengalir keluar. Amanda berjalan menuju kakaknya yang hanya berjarak beberapa langkah, lalu dipegangnya pundak sang kakak.
"Kak, pulanglah cepat hari ini. Aku akan memasak makanan untukmu, kalau kakak mengosongkan jadwal nanti kasihan sekertaris Ian. Hari ini Amanda dengar kalau ada meeting penting, bekerjalah yang baik kak. Besok aku sudah mulai sekolah hehe. Dahh~"
Amanda menepuk kepala kakaknya lembut, ia percaya jika ketulusannya dapat menjadi energi yang besar. Lalu ia pun meninggalkan kakaknya diakhiri dengan lambaian tangan diimbuhi ucapan selamat siang.
(Brak!)
Liam menundukkan kepalanya kebawah, ia memandang lurus ke arah lantai. Matanya membelalak lebar dengan pipi bersemu merah, tangan kanannya menutup mulutnya yang tersenyum.
'Imutnya..' batinnya hampir meletus karena tindakan sang adik.
"(Tok tok tok) Permisi, saya Ian Joo izin memasuki ruangan." Ucap sekertaris Ian menunggu petunjuk di balik pintu ruangan Liam.
"Masuk." Balas Liam setelah beberapa menit.
Saat Ian memasuki ruangan Liam, tatapan tajam Liam menerpa layaknya badai.
"Pak Anda kenapa melihat saya dengan tatapan mengerikan seperti itu?" Ian kebingungan dengan ekspresi mengerikan itu.
"Aku marah padamu." Ungkap jujur Liam membuat Ian meneguk ludah, ia merasa buruk hari ini.
"A-apa yang membuat anda marah pada saya pak?" Ian memberanikan diri meskipun ia merasa tidak membuat kesalahan.
"Bagaimana bisa kau membuat adik perempuanku memerhatikanmu? Katanya dia kasihan padamu jika aku memintamu untuk mengosongkan jadwal." Liam menopang dagunya kesal.
'Terimakasih nona Nikle! Saya bersyukur siksaan saya berkurang! Tuhan terimakasih!" Batin Ian bersyukur.
"Saya kurang tau pak, tapi saya tidak melakukan apapun." Balas Ian dengan helaan nafas lega.
"Aku tau itu, padahal aku melakukan segalanya untuk adikku tetapi kau yang tidak melakukan apapun dikasihani? Ini tidak adil." Gumam Liam yang terdengar jelas di telinga Ian.
'Dasar, aku melakukan semuannya juga huh.' Batin Ian sebal.
"Pak, kita harus bersiap untuk meeting. Anda mempunyai waktu sekitar sepuluh menit untuk bersiap." Ucap Ian serius.
"Baiklah, aku ingin menyampaikan sesuatu padamu. Besok siapkan penjaga untuk Amanda, aku tidak ingin terjadi sesuatu padanya saat dia mulai bersekolah nanti."
"Tapi ayah anda sudah memberikan penjaga profesional yang akan mengawal nona hingga ke kelas." Balas Ian sembari memeriksa beberapa file.
"Bilang pada ayah jangan berikan penjaga yang terlihat mencolok, kita perlu penjaga yang tersembunyi untuknya. Jika ayah bertanya hal lain, bilang padanya jika aku yang memintanya." Jelas Liam, ia bangkit dari duduknya lalu memakai jas yang tergeletak di atas sofa.
"Baiklah saya mengerti, sekarang mari kita selesaikan meeting hari ini." Ucap Ian mengakhiri percakapan.
Liam tampak serius dalam hal yang menyangkut pautkan kehidupan adiknya, sampai-sampai seluruh karyawan berfikir jika kekasih Amanda nanti pasti akan kesulitan.
Bersambung...
^^^・ω・☞ "Please Like and Coment🌟"^^^
^^^-Thx^^^
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!