NovelToon NovelToon

Bukan Citra Rashmi

BCR #1.SEREN TAUN

From Author 😘

...

Pembaca (13+) harap bijak dalam menanggapi semua yang tertuang di dalam cerita, tidak bisa menjamin kocak ataupun ngakak karena tidak sedang melawak, tapi jikalau menemukan kata atau kalimat absurd, sutttt!🤫 Keep untuk dirimu sendiri, biar itu jadi rahasia kita. Tidak mengaitkan peristiwa di dalam karya dengan kenyataan ya gengs, no---BIG NO. CERITA INI HANYA FIKTIF BELAKA. Hanya imajinasi penulisnya saja, jika menemukan nama, gelar, latar, tempat, itu semua hanya sebuah kebetulan untuk menghidupkan cerita ini saja. Bijak dalam berkomentar😉 jarimu mencerminkan pribadimu sayang.

Welcome di ceritaku berikutnya, eksperimen genre dan gaya baru😚 mungkin banyak juga karya dengan genre yang sama, perjodohan, cinta terganjal status sosial dan kasta disini tapi semoga suka dengan versinya aku ya bestie❤❤ catatan sedikit nih, mungkin karya ini lebih condong ke romanticnya ketimbang comedynya, mungkin...😜😜

...☆☆☆☆☆☆☆...

...Blurb...

...Sebuah novel yang mengisahkan tentang cinta terganjal batu sandungan sebuah pemahaman aris_tok_rat tanah Priyangan di tengah jaman yang sudah modern. Mengedepankan warisan dan aturan-aturan para pendahulu (leluhur)....

...Yang namanya menjalin hubungan itu harus, silih asah--silih asih--silih asuh, maksudnya saling membimbing, saling mengasihi, saling mengayomi. Namun tentu saja bibit, bebet, bobotnya harus jelas, sejelas Raden Mas Agah Kusumadinata....

...Tapi aku bukan Dyah Pitaloka Citra Rashmi........

...****************...

...《▪》Kadeudeuh, kanyaah nyalingkup na jero dada ngarah jadi ajian rasa, Rashmi Sundari---pangancikan asih....

~Alvaro Karunasankara Ganendra~

"Néng, *enggal*!"

Kain kebat coklat melilit rapi nan kencang di sepanjang perut sampai mata kaki. Begitupun dada yang terasa sesak karena di bungkus stagen lalu dilapisi lagi baju kebaya ala ***menak***. Rashmi Sundari--gadis ini selalu harus tersiksa begini setiap akan diadakan upacara adat Sunda, ia bukan tidak biasa. Justru karena terbiasa begini ia hanya bisa menunduk lesu, seolah hari ini raganya hanya milik keluarga dan tanah Priangan.

Sesosok gadis dengan aura menak keluar dari dalam kamarnya dengan tanpa alas kaki. Kaki-kaki putih indahnya menjejak lantai kayu parkit. Mungkin bagi gadis biasa ia akan limbung, kehabisan nafas, pusing lalu semaput tinggal di kubur deh! tapi tidak dengan Rashmi, ini adalah kehidupannya---kehidupan terkekang dalam sangkar emasnya, dengan pemahaman leluhur yang masih dipegang teguh sang keluarga, meski jaman sudah serba modern.

"Den rara Asmi, ***selopna*** *bade dicandak sakantenan*?"

(selopna **mau dibawa sekalian**?)

"Iya, *punten* ya ambu!" balas Rashmi melirik setiap penampilannya, "hape Rashmi mana?" gumamnya bermonolog seraya mencari-cari di sekitarnya, tak mungkin ia kantongi karena jelas kebat yang ia pakai tak memiliki kantong saku.

"Ambu!" teriaknya meminta asisten lain.

"Iya den rara,"

"*Punten* ambilin hape Rashmi di kamar, di meja rias!" pintanya, *pangais bungsu*, alias dua terbawah dari 4 bersaudara ini terbiasa hidup sebagai putri di rumahnya dengan asisten rumah tangga yang selalu membantu kegiatan sehari-harinya.

"Téh Asmi, tolong kepangin rambut Sasi!" gadis smp itu menyerahkan ikat rambut dan sisir ke arah kakaknya.

"Kenapa ngga minta amih? Atau ambu Endah?" meskipun mengomel ia mengambil itu dari tangan adiknya, "sini duduk *atuh*! Ada kutunya engga?" Adiknya itu langsung menoleh dengan tatapan horor-horor melongo kaya sinchan lagi bayangin neneknya pahlawan bertopeng telan jang, "masa menak ada kutu nya? Malu-maluin!"

"Idih! Ini kutunya *nonggéngan* ih!" ia malah menjitak kepala adiknya usil membuat gadis itu mengadu menjerit, "Amihhhh! Teh Asmi-nya,"

"Huuu ngadu!"

"Cepu," bisiknya lembut namun bernada cibiran.

Kepangan cantik sudah selesai mengikat seluruh rambut panjang R. Rr. Arum Sasmita, atau biasa dipanggil Sasi.

Rumah satu lantai namun luasnya mirip lapangan sepak bola, bergaya Jubleg nangkub terdiri dari 10 kamar tidur, ruang tamu, ruang tengah, pawon luas, halaman dan pendopo tempat biasa tamu istimewa dijamu, juga mushola. Nuansa sunda banget terasa begitu kental dengan aksen coklat dan ornamen bilik, dengan ciri khas atap rumah bertingkat. Rumah ini mengandung filosofi sebagai simbol kepribadian masyarakat sunda yang sopan, ramah dan bersahaja. Melambangkan tanah yang subur, indah dan makmur.

Siapapun yang datang, bawaannya pingin gelar kasur terus rebahan, apalagi ada kolam ikan gurame dan mujair di buruan (halaman) belakang dan kolam berbentuk persegi panjang menyerupai saluran irigasi di bagian samping rumah, menambah asri rumah ini, dimana besaran ikan cukup untuk makan seharian.

Seorang pria berkharisma dan istrinya keluar dari kamar utama, "a Bajra sama a Candra mau berangkat dari sini atau gimana kang?" tanya Raden Nganten Sekar taji, ibunya.

"Mereka berangkat dari rumahnya sendiri sama istri dan anak," jawab suaminya.

Mobil hitam membawa serta keempat anggota keluarga R. Amar Kertawidjaja menuju salah satu desa tanah kelahiran dimana hari ini akan dilaksanakan upacara adat Seren taun.

Rashmi meloloskan nafas demi membuang rasa lelahnya, terkadang ia ingin seperti teman-temannya, beraktivitas bebas tanpa aturan yang membelenggu. Ia mengedarkan pandangannya ke luar jendela, menyenderkan kepala di sandaran mobil tak peduli dengan cepolan rambutnya yang mungkin saja akan rusak saat sampai disana.

Jalan mulai tersendat, mengingat ini acara tahunan yang biasa dilaksanakan oleh orang sekampung belum lagi orang dari luar kampung yang tertarik dalam euforia adat, dimana jaman sekarang tradisi begini sudah mulai hilang dari kebiasaan. Jalan yang belum begitu rapi masih menampakkan suasana kampung yang sarat akan keramahan dan kesejukan.

"Va, dari sini aja apa gimana? Sekalian hunting foto bagus?" tanya Filman teman satu prodi.

Ia menyesap sebatang rokok dan mengepulkan asapnya di depan wajah, sudah hampir 4 hari mereka berada di kampung ini menginap di salah satu rumah warga demi meliput acara tahunan adat budaya tanah Priyangan yang sudah hampir punah, "boleh. Gue mau cari kang Hendi buat ambil name tag dulu, biar lancar liput acara hari ini!" jawab si pemuda semester 5 di salah satu universitas di Bandung. Acara hari ini semata-mata ia lakukan untuk tugas kuliahnya.

Alvaro Karunasankara Ganendra, pemuda berambut gondrong namun ia ikat satu dengan karet gelang terkesan semrawut cool, dengan kemeja flanel dan celana jeans sobek ini berjalan diantara jalanan desa diantara kesibukan warganya bersiap untuk menggelar acara sebentar lagi.

Sebuah mobil melintas melewatinya, tatapan salah satu penumpang di bangku belakang dan dirinya bertemu singkat. Tak ada rasa apapun, tak ada *vibes* atau *chemistry* apapun. Tak ada yang namanya cinta pada pandangan pertama disini--mereka hanya sepasang orang asing yang tak sengaja bertemu pandangan.

"Asmi, tutup atuh neng kacanya angin!" pinta amih.

"*Muhun* amih," kaca jendela mobil perlahan tertutup.

Alvaro hanya menggidikan alisnya tak peduli, sepanjang jalan mencari kang Hendi tak jarang ia memotret para warga dimana mereka sibuk membawa padi-padi yang sudah diikat, nantinya ikatan padi itu akan ditata di atas kayu tanggungan, dan diarak dari rumah *kuwu* menuju *leuit* *indung*. Begitu pula para ibu yang membawa gendongan berisi makanan dan kudapan khas negri parahiyangan.

.

.

.

.

Note : dalam karya ini akan banyak sekali catatan kaki ya guys 😉

\*Énggal \= cepet

\*Ménak \= ningrat, bangsawan

\* Punten \= permisi, bisa juga bermakna maaf.

\*Nonggengan \= man\_tatin, (memperlihatkan pan tat)

\*Sérén taun \= tradisi adat tanah priyangan, berupa penyerahan hasil bumi berupa padi yang dihasilkan dalam kurun setaun untuk disimpan ke dalam lumbung.

\* Kuwu \= kepala desa.

\* Leuit indung \= lumbung induk.

\* Muhun \= iya.

\* jubleg nangkub \= lesung telungkup.

\*R.Rr. \= Raden Rara.

\* Pangais bungsu \= anak kedua dari terakhir. Pangais itu alat menggendong, bungsu itu anak bungsu. Pangais bungsu biasanya identik dengan anak yang paling dekat dan seringkali mengurusi si bungsu.

...《▪》bermakna ~\> Rasa sayang memeluk menyeruak di dalam dada sebagai ajian rasa dan mantra cinta, Rashmi Sundari---tempat bersemayamnya kasih sayang....

🍂 Dyah Pitaloka Citra Rashmi adalah anak dari raja kerajaan parahiyangan/sunda yang dipersunting oleh Hayam Wuruk.

Catatan penting! Sajak *rajah* terkadang tak bisa di jabarkan satu persatu kata karena satu kata bisa beragam makna tergantung bagaimana kalimat.

.

.

.

.

BCR # 2. BAGAI BURUNG DALAM SANGKAR

...BAGAI BURUNG DALAM SANGKAR......

...RASHMI SUNDARI...

...🍂🍂🍂🍂🍂🍂...

Kaki-kaki jenjang nan putih itu tak pernah terekspos sempurna layaknya model majalah dewasa, tertutup bak berlian di dasar laut, tetap bersinar meski di kedalaman.

Disinilah tempat ia berada sekarang, di bawah payung langit yang sama dengan semua orang namun beda saung. Ia menyatu dengan para menak lain dan para orangtua yang di tua-kan, juga aparatur sipil negara dengan jabatan tinggi di kampung.

Gadis ini memandang penuh tatapan getir, karena jujur saja ia tak nyaman dengan takdir yang digariskan, sesak... Hatinya menthesah.

Hanya seulas senyuman tipis, tipis sekali layaknya kulit ari manusia.

"Néng, disapa atuh den Agah!" senggol amih pelan nan lembut, namun membuat Rashmi tersentak dan tersadar dari fokusnya memperhatikan para pemuda desa di ujung mata yang tengah mengobrol bebas nan merdeka bersama para jurnalis, dan mahasiswa.

Senyuman amih sekarang adalah sebuah perintah mutlak untuknya. Pemuda dengan pakaian tak kalah terbungkus rapi batik mega mendung dan celana bahan itu menghampiri bersama rombongan keluarganya. Dia cukup tampan, penuh pesona seorang pangeran, namun....

"Sampurasun," sapanya.

Sasi terkikik lucu, "cieee!" cubitnya di lengan sang kaka, jelas saja gadis itu memelotot.

"Rampés," cicit Rashmi, pelan namun pasti Agah mulai memangkas jarak keduanya. Seperti biasa gadis ini mengkerut layaknya putri malu yang terinjak, ia memainkan jemari tangan seolah tangannya itu terlalu kotor dan harus dibersihkan.

"Asmi apa kabar?" sapanya basa-basi, bolehkah ia tak menjawab saja.

"Alhamdulillah, baik den," angguknya singkat,-what the hell! Kenapa ia begitu sesak berada di sini-. Sama-sama bergelar raden namun berbeda kelas, jika Rashmi adalah menak turunan campuran murni serta Sikep dan Sentana lain halnya dengan Agah, ia adalah turunan murni ningrat bangsawan yang saat ini ayahnya pun menjabat sebagai bupati.

"Cantik," satu kata itu tak lantas membuat Rashmi merona, justru satu kata itu bermakna---- jika aku akan menargetkanmu. Semakin sesak saja dada Rashmi, apakah oksigen mulai meninggalkannya?

"Hatur nuhun raden," angguknya sopan dengan senyuman tipis nan lungguh. Dilihatnya di sudut lain diantara keramaian tempat yang sudah bernuansa ornamen gabah serta hasil bumi, para orangtua tengah mengobrol santai. Ia sudah tak bisa lagi kabur hari ini, 2 hari sebelumnya ia bisa beralasan memiliki kepentingan kampus, tapi hari ini---adalah acara puncak dan terakhir dari keseluruhan rangkaian acara Seren Taun.

"Permisi aden, Rashmi mau ke toilet sebentar!" ijinnya bersamaan dengan Agah yang menelan kembali ucapannya bulat-bulat.

"Oh, perlu saya antar?" gadis itu menggeleng, rupanya gerak-gerik Asmi di perhatikan sang ibu.

"Ambu tolong temani Asmi," pintanya pada salah satu warga yang ada disana bernada tegas memerintah meski intonasinya lemah lembut, entah itu panitia pelaksana atau memang Raden Nganten Sekar Taji selalu memakai kuasanya pada orang lain siapapun itu tanpa terkecuali.

"Muhun, raden.." perempuan itu segera berjalan mengambil langkah besar demi menyusul Asmi.

"Raden Rara! Punten---saur raden-----" ia nyengir lebar, belum menyelesaikan ucapannya, Asmi sudah menembak.

"Amih Sekar Taji?!" nafasnya terlihat berat nan kesal, seperti memikul beban sebesar-besar batu kali diatas pundak.

"Muhun den," terlihat jelas ia menunduk pertanda tak enak hati, tebakan Rashmi tak salah.

Ia tersenyum miris, "bu---kalo cuma sama saya saja, ngga usah pake aden-aden segala---panggil saja Rashmi. Ngga usah pake embel-embel raden rara. Ini udah jaman modern, udah ngga jamannya lagi manggil pake raden rara, Asmi sering diketawain temen kampus!"

"Lagian saya cuma mau ke toilet ambu," lanjut Rashmi seolah mengeluhkan jika ia jengah dengan sikap sang ibu, meskipun secara tak sadar.

"Mangga atuh, saya antar raden--eh néng Rashmi," ia benar-benar serba salah.

"Mangga ambu," jawabnya berjalan dengan langkah terbatas namun cepat. Di tengah keramaian acara ia berjalan mengekori seorang ambu.

Alvaro sedang berkumpul bersama para pemuda desa, mahasiswa dan jurnalis lain sambil menyulut rokok sembari tertawa ditemani segelas kopi instan dalam gelas cup air mineral, demi menantikan acara dimulai.

"Suthh!" senggol Filman pada Alvaro, memantik rasa penasaran untuk menoleh, tapi belum ia menyadari maksud temannya itu, Alvaro memang telah menoleh pada gadis menak yang melintas di depannya.

"Punten akang, tétéh----" sapanya membungkuk sopan.

"Anjimmm, cantik pisan! Ck--ck!" lirih Filman.

"Sut!" tegur kang Hendi dan Vera.

"Tau ngga dia teh menak, jangan sembarangan!" ujar Vera.

"Pantes, auranya beda ngga kaya lo, awur-awuran!" tawa Filman.

"Si alan!" desis Vera, Alvaro menggeleng tersenyum dengan kelakar temannya itu, tapi kemudian mata kelam Alva kembali melihat dimana punggung Rashmi semakin mengecil karena menjauh. Seperti memiliki tarikan daya tersendiri.

Dentuman suara mik yang sedang di cek sound menjadi pertanda jika acara akan segera dimulai.

"Guys, kayanya udah mau mulai!" Vera menarik handy cam dari dalam tasnya. Begitupun kang Hendi anak pak Kuwu yang beranjak merapikan pakaian pangsi bernuansa hitam-hitam lengkap dengan *bengker mastaka*,

"Sok atuh diliput, cari aja posisi yang enak, saya tinggal dulu ya!" ujarnya setengah berlari. Alva dan Filman mematikan rokok lalu bersiap meliput dengan kamera masing-masing.

Pemuda datar itu melesak diantara keramaian acara, berjubel bersama warga lain tanpa batasan.

Sosok para menak kini berdiri rapi dekat dengan Kuwu dan para tetua desa, diantara ratusan pasang mata, mata indah itu mengerjap berbeda seolah menyiratkan ketidaknyamanan. Senyumnya manis tapi hambar, tanpa disadari satu jepretan kamera ia ambil.

Sesekali Agah mencuri pandang pada Rashmi, bak gayung bersambut sang ibu Raden Ayu Kutamaya berbisik, "nanti sepulang dari sini kita silaturahmi dulu ke rumah Raden Amar Kertawidjaja."

Senyum itu tercetak begitu jelas mendengar angin segar yang dibawa sang ibu, seolah mengerti dengan dag dig dug derr hatinya sekarang, bahwa ia jatuh cinta pada anak gadis keluarga Kertawidjaja itu, *Mama---you are the best*!

Ditatapnya gadis yang sudah menarik perhatiannya sejak pertama bertemu di acara pagelaran kesenian di Pendopo kantor bupati kabupaten Bandung 3 tahun silam, saat keluarga Kertawidjaja ikut hadir membawa serta gadis mereka yang masih duduk di bangku SMA itu.

Hingar bingar bernuansa adat priyangan diiringi musik dayak Krimun, tarinding, suling rando, tarawalet, dan suling kumbang dari su ku Baduy acara *ngadongdang par*é dimulai.

"Gilakkk, keren jaman gini masih ada kesenian begini!" decak kagum Veranita dengan tetap mengarahkan handycam-nya ke arah iring-iringan hasil bumi yang diarak menuju leuit indung, setelah sebelumnya para tetua kampung dan pak Kuwu melafalkan do'a pada Allah subhanahuwata'alla.

"Téh Nawang," salimnya pada kakak iparnya yang seorang dokter itu.

"Aduh! Tétéh sama aa telat ya?" wanita berjilbab warna gold ini nyengir kuda berdiri di belakang Rashmi, bersama sang suami dan anak lelaki mereka yang baru saja berusia 5 tahun.

"Dikit téh!" jawab Rashmi.

"Heem, si aa baru pulang ngajar atuh néng, ngga ada dosen pengganti jadinya ngga bisa ijin, mana anak-anaknya lagi pada riweuh ngurusin nilai!"

"Oh, ngga apa-apa atuh téh, da menurut Asmi mah acara ini ngga lebih penting!" ia memutar bola matanya.

Ibu satu anak ini mengusap kedua pundak lesu adik iparnya yang terbilang bersifat manja, keras kepala, egois, dan tak menyukai semua yang berbau pemahaman keluarganya sendiri, "jangan gitu atuh néng, ini teh budaya daerah yang hampir punah, harus dilestarikan sama kaum milenial kaya kamu. Jangan sampai tergerus sama budaya barat. Masa budaya ibu jadi tamu di rumah sendiri, hayoo?!" coleknya pada mahasiswi sastra dan budaya ini.

Puk! Sebuah tangan mendarat kasar di pundak Rashmi dan Nawang.

"Astagfirullah!" keduanya dikejutkan oleh suara perempuan lain yang menyusul, dialah Katresna, kakak ipar Rashmi yang kedua, "hay sist!" ia tergelak.

"Ini lagi 2in telat!" ujar Nawang.

"Iya, kang Candra mandinya lama! Mana lewat ke Pasteur teh meni macet ih!" jawabnya membenarkan posisi bros di dada, tampak berkilau meski bukan berlian 10 karat.

"Néng, mana Kelana?" amih yang melihat kedua menantunya datang bersama kedua putranya menghampiri.

"Amih," keduanya salim takzim.

"Kelana sama aa-- mih," jawab Nawang menunjuk suaminya Bajra tengah menggenggam tangan mungil putranya seraya bergabung dengan apih.

"Andhara mana, néng?" tanya amih lagi.

"Tuh! Sama bibinya," tunjuk Katresna pada Sasi yang menggandeng bocah perempuan 3,5 tahun dengan kebaya pinknya, sesekali keduanya tergelak hanyut dalam musik karinding.

Pandangan amih tertumbuk pada anak gadis pangais bungsu, sejak tadi wajahnya masam nan kecut kaya buah ciremai, "néng Asmi sakit?"

Rashmi menggeleng, bukankah harusnya amih tau jika Rashmi tak terlalu menyukai keadaan ini, oh ayolah! Keadaan dimana seolah-olah mereka kaum terpandang dan harus di hormati sebegitunya, berjajar di depan seperti pajangan lalu berjalan dengan dipayungi janur kuning melengkung layaknya manten kawinan sambil bawa-bawa perabot pusaka leluhur.

"Néng, amih mau ngomong sebentar!" matanya kini menajam, tentu saja maksud amih bicara itu bukan hanya 2 pasang mata saja, karena buktinya kini amih melanjutkan penghakimannya terhadap Rashmi di depan kedua kakak iparnya tanpa ampun.

"Lain kali yang sopan kalo lagi ngobrol sama Raden Mas Agah, nanti siang keluarga Raden Mas Harya Enjan Kusumadinata mau silaturahmi ke rumah. Kamu harus jaga sikap!" Rashmi tau setiap kata yang diucapkan disertai tatapan tegas mata sang ibu adalah perintah tak tertulis.

"Muhun amih," jawabnya setelah menelan saliva yang kosong di kerongkongan. Sepeninggal Sekar Taji, apakah ia bisa mengeluh pada bulan dan bintang? Atau mungkin kembali ia menelan dan membawanya ke dasar hati paling dalam? Saat kembali tata krama dan manut harus ia junjung tinggi.

"Sabar néng, tétéh tau amih cuma mau yang terbaik." Usap kedua kakak iparnya, berharap usapan itu dapat memberikan rasa tabah dan sabar.

"Emang kamu tadi ngapain gitu?" tanya Katresna.

"Asmi pamit ke toilet pas dia mau ngomong. Da males atuh teh, tema obrolannya paling ngga jauh-jauh dari mata kuliah, semua gelimang kemewahan sama.... cantik!"

Bwahahahaha!

Katresna langsung membekap mulut nyablaknya, takut jika amih kembali dan ia pun akan menerima kuliah 5 SKS sekali pertemuan.

.

.

.

.

Note :

*Saung \= gubuk

*Sampurasun (maaf, permisi)>

*Hatur nuhun\= terimakasih

*Ngadongdang\= memikul

*pare \= padi

*Riweuh\= sibuk.

*Bengker mastaka\= ikat kepala

* Da \=be like soalnya.

* Sikep, Sentana \= kerabat priyai, tuan tanah.

BCR # 3. KEJAWEN

KEJAWEN \=> KEPERCAYAAN

🍂🍂🍂🍂🍂

Bukan hanya satu pikulan saja namun ada sepuluh dongdang sebagai bentuk simbolis yang diarak menuju lumbung yang letaknya di dekat alun-alun kampung, para ibu dan bapak membawa serta tampah berisi kue, dan pikulan juga gunungan hasil tanaman palawija, melewati pematang sawah yang sedikit besar. Tak jauh dari itu sebuah aliran sungai yang arusnya tak terlalu deras ikut melukiskan keindahan suasana kampung.

Cuaca panas berbanding terbalik dengan suasana hatinya, "sini saya bantu!" Rashmi dan kedua kakak iparnya seketika diam dari candaan yang dilemparkan teh Katresna saat seseorang menawarkan bantuan berjalan di pematang sawah.

"Emhhh--" kemudian Rashmi melirik kedua kakak iparnya lantas beralih pada Agah.

"Sok atuh den, dibantu aja!" tiba-tiba suara bass itu menyentak.

"Aa ih, kaget aku!" Tresna memukul suaminya, dialah Candra kakak kedua Rashmi.

"Neng, Dhara cranky---lagi sama amih tapi ngadat wae, sama aku ngga mau dia, pengen èn''en kayanya!" ucap Candra mengajak dan membantu istrinya.

"Botol susu di tasnya, aa!" balas Tresna.

"Ya sok sini kamunya, aa ngga tau!"

Melihat teh Nawang ikut mengangguk membuat Rashmi mau tak mau menerima uluran tangan Agah.

"Sebentar aden, ini kayanya kaki Rashmi sakit---" pintanya.

Agah tanpa aba-aba menunduk, "eh! Aden jangan atuh!" Rashmi terkejut, pasalnya kedudukannya lebih tinggi dibanding Rashmi, bisa-bisa ia dipancung amih dan apih sudah berani-berani membuat keturunan ningrat murni tunduk di kakinya.

"Ngga apa-apa, sini saya liat! Maaf, lepas dulu ya selopnya!" ia membuka sendal dari kaki putih Rashmi, meski dengan rasa tak enak dan takut Rashmi menurut. Bukan teriknya matahari yang membuat gadis ini meringis tapi rasa segan.

"Ini kaki kamu lecet, kayanya selopnya kekecilan. Pake aja sepatu saya gimana?" tawarnya jelas Rashmi menggeleng dengan cepat, "jangan aden! Ngga usah, biar Asmi nyeker sebelah aja! Kaya ambu yang lain!"

"Raden, Raden Rara?" sapa kang Hendi berjalan bersama Filman dan Alva, seketika tatapan mereka bertemu.

"Ada masalah den?"

"Ini kang--"

"Eh, ngga apa-apa kang. Kaki Asmi cuma lecet sedikit. Ngga apa-apa biar Asmi nyeker sebelah aja," ucap Rashmi.

"Pake sendal akang mau ngga den Rara?" kang Hendi menawarkan.

Rashmi menggeleng, "hatur nuhun kang, tapi nanti kasian kang Hendi jadi nyeker, kan mau ada angklung buncis nanti, masa artis nyeker!" Rashmi tertawa tergelak, namun ia langsung mengatupkan bibirnya.

"Punteun---maaf, sorry everybody ketawanya gede teuing!" imbuhnya melirik Agah membuat kang Hendi tertawa.

"Ah den Rara mah bisa aja,"

"Eh, iya kan! Kang Hendi hebat bisa bawa angklung sama calung sampe Belanda! Kapan-kapan mau dateng ke Angklung Udjo ah! Siapa tau dikasih angklung selusin buat ngamen!"

"Ha-ha-ha! Masa atuh den Rara ngamen?! Aya-aya wae!"

"Ngamennya di jalanan Paris kang,"

Sadar akan tatapan kedua pemuda lainnya pada Rashmi, Agah segera menyudahi reunian mereka bersama kang Hendi.

"Neng Asmi, hayuk atuh! Udah ditungguin sama amih apih, sama pak Kuwu juga!"

"Neng Asmi! Cepet atuh! !" teriak kakak pertamanya Bajra bernada mendesak.

"Iya A!" Berkali-kali ia menoleh ke arah belakang ke arah Alva, kang Hendi dan Filman, meski langkahnya digusur Agah.

"Siapa namanya kang?" tanya Filman.

"Raden Rara?" tanya Hendi memastikan jika pemuda ini bertanya nama Rashmi, Filman mengangguk, ketiganya kembali berjalan mengikuti rombongan yang mengular.

"Rashmi Sundari Kertawidjaja,"

"Meni cantik, secantik orangnya! Iya nggak Va? Si Alva aja nggak ngedip-ngedip, kesirep bro?" Filman terkekeh, menemukan tatapan Alvaro yang begitu lekat pada Rashmi.

"Ngga mungkin enggak ya Va? Tuh! Cucu dari cucu dari cucu dari cucu dari cucunya raja aja kesirep sama den Rara!" tawa kang Hendi.

"Aya sabaraha hiji eta kang cucuna?! Meni jauh kitu!" tawa Alvaro.

(Ada berapa biji cucunya itu kang, jauh amat!)

"Euhhhh itung heula ges sabaraha abad nya kerajaan babad Sumedang teh?!" tawanya yang juga pusing menghitung.

(hitung dulu, udah berapa abad kerajaan babad sumedang teh?)

Acara dilanjutkan dengan memasukkan pare bapak, ikatan pare yang sudah ditutupi kain hitam ke dalam leuit indung yang ditutupi kain putih, lumbung utama paling besar diantara leuit-leuit leutik (lumbung-lumbung kecil), untuk dijadikan benih atau bibit di masa tanam selanjutnya.

"Asmi mana?!" tanya apih, menyadari jika anak gadisnya tak ada.

"Sama Raden Agah," jawab Bajra.

"Tuh anaknya!"

"Agah, enggal A! Udah dipanggil sama pak Kuwu sareng abah!" pinta ibunya Raden Ayu Kutamaya pada Agah, "Neng Asmi, saya duluan!"

Satu persatu keluarga ningrat murni dan menak sikep, sentana setengah duduk di dekat pendopo alun-alun melewati tradisi mencipratkan air dari wadah yang berisi air suci dari sumber air yang dikeramatkan.

"Neng Asmi sama neng Sasi belakangan."

Rashmi berjalan setengah bersimpuh mengular di belakang a Bajra dan a Candra juga para istri.

Splash---splashhhh!

Cipratan butiran air membasahi kepalanya di depan semua warga. Abah dan pak Kuwu komat-kamit melafalkan do'a demi keberkahan setiap orangnya.

Sisanya air suci dicipratkan pula pada semua yang hadir oleh para tetua termasuk para jurnalis dan mahasiswa.

"Semoga aja berkah, taun ini rejeki gue lancar! Dapet IPK tinggi, jodoh cantik!" ujar Filman.

"Cih, do'a nya ngelunjak! Kata penghuni langit bilang gini, solat aja bolong-bolong kepingin do'a diijabah. Punya orang dalem lo?" sengak Vera.

Alvaro tertawa, tak ada do'a khusus karena baginya ini hanyalah ritual dan adat saja tanpa ada kepercayaan tertentu.

"Do'a lo apaan Va? Pasti minta biar tante Ganis luluh dan ijinin kalo lo nonton konser death metal, biar ngga usah nyuri-nyuri lewat jalur belakang?!" tawa Filman.

"Musrik!" sarkas Alvaro.

"Gue ngga minta apa-apa, bokap nyokap udah paling the best!" lanjutnya berlalu untuk menangkap setiap gambar moment indah di acara ini, sesuai tujuannya datang kesini.

Dan inilah yang paling ditunggu-tunggu bagi semua yang datang, berebut gunungan sayuran, padi dan tampah kue. Lautan manusia berjubel saling berebut makanan yang ada di gunungan dan tampah, mereka percaya hal itu mengandung keberkahan hidup.

Sementara para menak duduk di atas tak jarang juga mereka ikut andil memberikan saweran lain dan sumbangan kerbau yang akan disembelih. Dan tahun ini keluarga Agah memberikan 2 ekor kerbau serta uang untuk pagelaran kesenian, sementara keluarga Rashmi sebagai donatur keperluan lain.

"Neng Asmi mau ikut nyawer ngga?" tanya teh Nawang, tapi Asmi malah menggeleng malas.

"Teh, nanti tolong bilangin amih, apih sama aa kalo Asmi ke belakang dulu. Kalo ada apa-apa telfon aja, hape Asmi nyala kok!" ia pamit menghilang dari kemeriahan acara.

"Oh, o..ke!" jawab Nawang, ia hanya tersenyum sudah tak aneh Rashmi akan bersikap begitu, meski tak yakin jika gadis itu tengah baik-baik saja, semoga adik iparnya itu tak sampai bunuh diri.

"Gue neduh dulu lah, panas!" dirasa sudah cukup, ia pamit mencari tempat teduh untuk sekedar menyalakan rokok, sebenarnya ia tak terlalu suka dengan keramaian.

Alvaro berjalan seraya menyulut sebatang rokok, matanya mengedar mencari tempat yang menurutnya nyaman untuk menyendiri.

"Aaaaaaa!"

Terdengar jeritan dan isakan tangis seorang perempuan yang sayup-sayup mampir di telinganya, cukup keras meski itu terdistrack oleh suara kesenian dari tempat acara.

Langkah Alvaro terhenti saat menemukan seseorang tengah menjerit dan meluapkan kekesalannya, bahkan gadis itu sudah mengacak-acak cepolan sanggulnya dan melepas sepasang selop.

"Kapan amih sama apih ngerti!!!!"

"Asmi tuh terkekang!!!!" dadanya naik turun di balik kebaya, ia lantas terduduk di tanah berumput, tak peduli pakaian dan sinjang kebatnya kotor.

"Aaaaa! Keseellll! Pengen kabur ajaaaaa! Semuanya ngeselin!!! Rashmi benci--Rashmi benciiii!" ia menendang-nendang udara bahkan selopnya sendiri ia tendang jauh, ia juga merabut rumput secara asal dan memb4 bii buta.

Alvaro tersenyum miring, bukannya menyapa atau bertanya pemuda ini malah duduk dan menjadikan Rashmi tontonan seru.

"Cewek kurang waras," gumamnya.

Mencium aroma asap rokok, Asmi mengedarkan netra ke sekeliling, ia sedikit terkejut jika ternyata ia sedang tak sendiri, apakah tindakan memalukannya dilihat orang? Kalau iya, aduhhh! Mampossss!

Matanya memicing melihat Alva, kedua pasang mata mereka bertemu, Rashmi mulai merapikan baju dan rambutnya, ia berdehem kencang. Harga diri yang sudah tinggal sebesar biji semangka ia tutupi dengan sifat angkuhnya.

"Ekhem, hey kamu!" panggilnya pada Alva, pemuda itu menatap Rashmi datar bak ubin surau.

"Kamu tadi liat aku?" gelagatnya yang sombong hanya dibalas gidikkan bahu oleh Alva.

"Eh kalo ditanya teh jawab atuh, punya mulut engga?!" pemuda itu berdiri lalu berjalan mendekat membuat Rashmi terkejut karena posturnya yang sedikit lebih tinggi, terlihat jelas jika gadis ini tersentak kaget, ada rasa takut yang tersirat juga malu, dapat Alvaro lihat itu di wajah cantik namun angkuh Rashmi.

Alvaro tertawa miring, "kamu ngga bisa liat ini raden rara?" tanya Alvaro menunjukkan bibirnya dengan mengepulkan asap rokok di depan Rashmi, membuat udara seketika berasap putih. Wajah datar nan dingin Alvaro bahkan sedikit samar.

"Atau perlu di tes, biar percaya ini mulut?!" seringainya. Rashmi menelan salivanya susah.

.

.

.

.

Note :

*Dongdang\= pikulan

*Ngadat wae\= nangis/ngamuk terus

*teuing \= banget.

* sareng \= barengan, bersama.

*nyeker \= telan jank kaki.

*Sinjang\=Kain.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!