Suatu siang yang cerah. Di sebuah gedung pribadi milik seorang pemuda bernama Hiro, suasana tampak tenang. Hiro adalah sosok pekerja keras, baik hati, dan punya kecintaan besar terhadap seni. Berkat kerja kerasnya menjual karya-karya lukisan dan patung, ia berhasil membeli gedung itu sendiri dan bahkan mempekerjakan beberapa orang yang membantunya mengurus galeri.
Saat itu, Hiro duduk termenung di ruang kerjanya yang luas, penuh dengan lukisan setengah jadi, kaleng cat yang berserakan, dan aroma cat minyak yang khas. Dari balik kaca jendela besar, ia bisa melihat langit biru tanpa awan, seolah memberi ruang bagi pikirannya untuk terbang.
"Kalau seni ini memang sebagus yang mereka bilang… kenapa tidak mengembangkannya lebih jauh?" gumam Hiro dalam hati, matanya menerawang.
Tiba-tiba, terdengar ketukan cepat di pintu.
"Tok tok tok."
"Ya? Silakan masuk," ucap Hiro, suaranya agak malas.
Seorang gadis cantik, salah satu anak buahnya, masuk dengan wajah ceria. Nafasnya masih sedikit terengah karena tergesa.
"Ketua! Ada anggota pemerintah yang tertarik melihat karya seni kita! Kalau mereka suka, kita bisa dapat uang 50 juta rupiah!" katanya dengan penuh antusias.
Hiro terkejut, matanya membesar, kemudian senyumnya perlahan muncul. "Benarkah? Bagus sekali! Ayo kita siapkan semuanya. Kita harus buat mereka terpesona!"
Gadis itu mengangguk dan segera keluar lagi. Hiro bangkit dari duduknya, mengusap tangan yang masih bernoda cat, lalu berjalan ke aula pameran. Semua orang mulai bersiap: mengatur lampu, membersihkan lantai, dan memoles karya agar tampak lebih memikat.
Dua jam berlalu. Dari jendela atas, Hiro melihat mobil limosin hitam panjang memasuki halaman. Karpet merah sudah digelar, menyambut kedatangan pejabat pemerintah beserta rombongan yang berpakaian rapi.
Namun di sisi lain, pemandangan kontras tampak di sudut halaman: seorang anak pemulung kecil sedang memunguti sampah, kotoran menempel di bajunya yang lusuh. Anak pejabat yang turun dari mobil justru membuang bungkus cokelat sembarangan, tanpa rasa bersalah.
"Kalau mereka tak mau membantu… setidaknya pedulilah sedikit…" gumam Hiro, napasnya berat.
Pejabat itu dan rombongannya kemudian berkeliling melihat karya seni. Mereka tampak terkesima, berbisik kagum satu sama lain. Namun Hiro hanya memandangi mereka tanpa ekspresi, dadanya terasa sesak.
Akhirnya, pejabat itu membuka suara, "Kami akan membeli semua karya seni ini. Kami bayar 50 juta rupiah."
Ruangan hening. Semua anak buah Hiro tampak senang, sebagian bahkan menahan teriakan bahagia. Namun Hiro menunduk, menatap lantai sejenak, lalu mendongak lagi.
Seorang bodyguard yang berdiri di sampingnya berkata, "Hei, Nak. Kamu nggak senang dapat uang sebesar ini?"
Hiro menatap tajam. "Simpan uang kalian. Lebih baik gunakan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan, bukan untuk pamer."
Suasana mendadak canggung. Hiro pun berjalan pergi meninggalkan aula, melangkah ke taman belakang. Ia duduk di bangku kayu, memandangi langit yang perlahan berubah menjadi jingga senja.
"Apa keadilan itu benar-benar ada?" bisiknya lirih.
Tiba-tiba, seorang pria tak dikenal mendekat. Tubuhnya tinggi, rambut acak-acakan, sebatang rokok menyala di jarinya.
"Hei, apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya santai.
"Eh? Siapa kau?" Hiro terkejut.
Pria itu tersenyum samar. "Namaku Zen. Awalnya aku datang untuk menyerang pejabat itu. Tapi setelah melihatmu… kurasa kau punya rasa keadilan juga."
"Menyerang pemerintah? Kau gila!?" Hiro membulatkan mata.
"Aku serius. Mereka hanya memperkaya diri sendiri. Kenapa tak kita lawan?"
"Kita… cuma berdua," Hiro mengeluh.
"Siapa bilang? Kita bisa cari teman lain. Bagaimana?"
Hiro terdiam, lalu tersenyum tipis. "Ide gila… tapi aku suka. Baiklah, aku setuju!"
"Bagus! Semoga kita bisa terus bersama sampai akhir."
"Pastinya!" jawab Hiro mantap.
Inilah awal petualangan Hiro dan Zen melawan ketidakadilan. Akankah mereka menang… atau justru tumbang?
-bersambung
Matahari tengah hari menyorot tajam dari langit, membuat atap gedung milik Hiro terasa panas. Hiro dan Zen berdiri di sana, memikirkan rencana gila mereka: melakukan kudeta terhadap pemerintah. Tapi satu masalah besar ada di depan mata—mereka cuma berdua.
"Menurutmu, apakah kita bisa dapat anggota dalam waktu dekat?" tanya Hiro, matanya menerawang.
"Aku nggak tahu pasti," jawab Zen sambil menghela napas. "Tapi kalau kita punya ratusan anggota, kita bisa nyerbu kapan saja."
Mereka terdiam. Namun tiba-tiba, terdengar suara tawa pelan dari arah pintu.
"Khufufu... Nampaknya kalian butuh persiapan matang untuk membentuk organisasi ya... Aku punya ide bagus..." ucap seseorang misterius sambil bersender santai.
"Lah, lu siapa bejir?" Zen memelototi orang itu, bingung.
Hiro memicingkan mata, lalu mendadak sadar. "Eh, bukannya lu Aartox? Anak seni di kelasku yang nggak pernah bisa gambar realistis, terus cuma ngabisin kuas buat gambar anime?"
"A-aaa... Kesampingkan itu!" sahut Aartox cepat, wajahnya sedikit memerah. "Namaku memang Aartox! Dan benar, aku anggota seni Hiro... Tapi bagiku, seni itu membosankan! Lebih seru gambar anime!"
Zen mengerling ke arah Hiro. "Bro, lu nemu orang beginian di mana?"
"Mana gue tau," Hiro mengangkat bahu.
"Ehhh… jadi apa maumu?" tanya Hiro.
"Aku mau gabung sama kalian! Aku juga suka petualangan!" jawab Aartox penuh semangat.
Hiro menghela napas, mencoba menasehati. "Dengar, bro… Ini bukan main-main. Yang kita lakuin ini bisa bahaya."
"Aku nggak peduli! Aku tetep mau!" Aartox bersikeras, ekspresinya seperti anak kecil merengek.
Zen mendesah, lalu menepuk bahunya sendiri. "Ngotot banget nih anak… Mau nggak mau gue harus ngeluarin jurus nih…"
"Wih ngajak gelud? Gas!" tantang Aartox, matanya berbinar.
Mereka berdua langsung ambil ancang-ancang. Zen maju duluan, tapi dengan satu gerakan cepat, Aartox menangkap tangan Zen dan membantingnya ke lantai. Zen mengerang pelan, terkejut.
"Dia bisa judo?" Hiro melongo.
Aartox lalu menatap Hiro, seolah berkata “Sekarang giliranmu!”
Saat Aartox maju menyerang, Hiro menggeser kakinya, menjegal Aartox hingga terjatuh, lalu cepat mengunci tangan Aartox.
“Aaaa sakit! Ampun!” jerit Aartox.
Hiro melepas kunciannya, membantu Aartox berdiri. Zen juga bangkit, masih kesal.
"Lu lumayan juga ternyata," Hiro terkekeh.
"Tapi bukan berarti gue kalah! Gue cuma… melamun tadi," sanggah Zen, pura-pura keren.
"Jadi gimana? Boleh ikut kan!?" desak Aartox.
Hiro dan Zen saling pandang sebentar, lalu mengangguk. "Selamat datang, Aartox," ucap Hiro.
Aartox langsung bersorak girang, sampai loncat-loncat. "Haha! Terus… apa nama organisasi kita?"
Pertanyaan itu membuat Hiro dan Zen terdiam. Mereka sama sekali belum kepikiran nama.
"Oy, yang bener aja?" Aartox melotot.
"Y-yah… Mungkin nggak terlalu penting—"
"Mata lu! Nama itu penting! Tanpa nama, gimana kita mau terkenal!?" omel Aartox.
"Yaudah yaudah… kita pikirin…" Hiro menyerah.
Mereka berdebat selama hampir sejam. Setiap nama absurd dari Aartox ditolak mentah-mentah.
"Mana bisa ‘Sepiteng Rangga’ jadi nama organisasi!?" seru Zen.
Akhirnya Hiro bersuara, "Gimana kalau ‘Freedom Sekai’? Artinya Dunia Kebebasan. Kebebasan untuk semua orang."
Zen dan Aartox saling pandang, lalu mengangguk. "Bagus juga! Setuju!"
"Mulai hari ini, Freedom Sekai berdiri!" Hiro mengangkat tangan.
Setelah nama ditentukan, Aartox mengingatkan idenya.
"Ngomong-ngomong, kenapa nggak ajak anggota klub senimu, Hiro? Banyak cowok kan?"
"Woy, itu 35% cowok, 65% cewek! Kurang banyak cowok yang minat seni… Dan gaya mereka culun semua…" Hiro geleng-geleng.
"Inilah kamu! Don’t book a judge by cover is!" semangat Aartox.
"Don’t judge a book by its cover, blok," koreksi Zen.
"Ah, itu lah pokoknya! Kadang kita harus ngorbanin sesuatu demi mimpi!" ucap Aartox.
Hiro terdiam lama, memikirkan resiko: kehilangan anggota cewek, kehilangan citra klub seni.
Akhirnya ia menarik napas panjang. "Baiklah… Kita rekrut anggota klub seni."
Zen langsung menepuk pundaknya sambil bercanda, "Hiro… Tuhan Yesus pasti bangga padamu… hiks."
"Aku Islam, woy," Hiro mendelik.
Dan begitu keputusan dibuat, Hiro berdiri di depan anggota klub seninya, mengumumkan perubahan besar. Para anggota cewek kecewa, menangis, bahkan asisten Hiro yang paling setia pun pergi dengan isak tangis.
Sisa anggota cowok dikumpulkan. Awalnya mereka menolak ide gila itu. Tapi Aartox, dengan dramatis dan air mata yang hampir jatuh, berhasil menggugah hati mereka.
"Woy, abis kerasukan apa lu tadi!?" tanya Zen, tak percaya.
"Sebenarnya... Gue itu Ayanokoji..." bisik Aartox ke Zen.
Zen menggeleng, terkekeh.
"Mulai sekarang… perjuangan kita benar-benar dimulai!" Hiro mengepalkan tangan.
– bersambung
Beberapa Bulan sudah berlalu, kini organisasi kecil milik Hiro sudah menjadi besar perlahan lahan. Dengan disertai Hiro sebagai ketua, Zen sebagai wakil ketua, dan Aartox sebagai wakil ketua, mereka mencari anggota untuk direkrut dan hasil nya banyak yang minat.
Mereka memiliki 98 anggota yang hebat, bahkan ada beberapa preman yang ikut masuk ke dalam sana karena kalah gelud melawan Hiro dan kawan kawan nya. Hiro ga pernah menyadari hal ini, namun dia ternyata bisa berkelahi. Hiro bisa menumbangkan beberapa orang sendirian, yang membuat dia berfikir kalau dia lebih cocok daftar MMA Aja kali ya.
Selang beberapa hari kemudian, terjadi konflik antara Hiro dengan Aartox. Masalah nya tidak terlalu jelas, namun Aartox mengancam kepada Hiro untuk keluar dari organisasi mereka.
"Apa maksud mu Aartox? Kau yang bilang sendiri kalau kau tak akan keluar apapun alasannya kan?" Ucap Hiro.
"Sudahlah, Hiro. Aku sudah muak dengan semua yang udah kamu lakuin! Kamu masa bagi bagi sembako ke rumah orang orang!? Kita kan organisasi yang harusnya full gelud!" Jawab Aartox.
"Lu gila apa gimana sih??! Tujuan gw kan untuk menormalkan kesejahteraan negara ini, bukan memperburuk nya dengan gelud terus terusan. Selain itu, ingatlah kalau di atas langit masih ada langit!" ujar Hiro.
"Halah banyak nyocot lo! Mulai detik ini juga, aku akan keluar dari organisasi kamu! Aku udah ga mau merasa dikekang! Silahkan atur anggota kalian berdua" ucap Aartox.
Aartox pun keluar ruangan Hiro dan membanting pintu nya dengan keras. Hiro dan Zen yang ada di sana pun langsung pusing dengan tingkah Aartox yang terlalu ke anak anakan.
"Bagaimana menurut mu, Zen?" tanya Hiro.
"Lu serius nanya gw?" jawab nya.
"Arghhh! Ini semakin sulit...." ucap Hiro.
Hiro pun terdiam dan bersandar di kursinya sembari berfikir dan menatap langit langit....
"Kita ga punya banyak waktu dan pilihan. Ayo kita ramaikan orang orang kita berdua. Sialan lah sama Aartox" ucap Hiro.
"Ohhh, baiklah! Kalau begitu, aku ada rencana" ujar Zen.
Hiro dan Zen mencetak banyak poster dan menyebarkan nya ke seluruh kota, berharap ada yang bergabung dengan organisasi mereka. Namun hasil itu Tidak terlalu memuaskan. Mereka hanya dapat 34 anggota yang tertarik ikut, dan itu pun para petarung jalanan dan gembel jalanan.
"Huhhh... Mau gimana pun, mereka tetap manusia. Baiklah, kalian harus siap kapanpun ya" ucap Hiro.
Waktu pun berganti esok hari, tepat nya di siang hari. Hiro mulai merekrut anggotanya dengan penampilan yang nampaknya sedikit berpotensi. Saat Hiro mengecek anggota nya, Hiro kaget ada wanita yang masuk ke organisasi nya juga.
"Ehh.... yang bener aja??" ucap Hiro seakan tak percaya
"Ada apa? Jadi kau ketua nya ya?" ucap wanita itu.
Hiro melihat wanita itu sambil menilai nya, ia memiliki tubuh yang ramping dan otot yang lumayan berisi.
"Kamu bisa bertarung?" tanya Hiro.
"Tentu, aku menggunakan taekwondo dengan sabuk hitam" jawab wanita itu.
Mendengar itu, Hiro seolah makin dibuat kagum, karena ada wanita kuat juga yang masuk ke organisasi Hiro. Namun, entah apa yang merasuki nya, dia tiba tiba pengen ngetes wanita tersebut.
Ia langsung mencoba memukul nya. Hiro berdiri dan sontak ingin memukul wanita tersebut. Namun, wanita itu berhasil menangkis serangan Hiro. Wanita itu ingin memukul Hiro kembali, Hiro berhasil menghindar serta Ingin melontarkan tinju nya ke perut orang itu.
Serangan tersebut hampir kena telak, namun tak disangka wanita itu menggunakan dengkul nya menendang kepala Hiro, Hiro kaget kecepatannya dapat di tandingi dengan wanita itu.
"Aduhhh.... mau mukul ngotak dulu dongg, sakit tau!" ucap Hiro sambil kesakitan
"Kamu duluan tiba tiba nyerang" jawab wanita itu.
"Y-Yaudah lah... Aku niat nya ngetes kamu doang... Selamat kamu diterima di sini." Ucap Hiro
"Oh ya, nama mu siapa?" tanya Hiro
"Aku Silvi. Aku wanita terkuat di perguruan taekwondo ku. Aku sangat suka Bertarung, namun tak tahu harus dimana aku mendapatkannya. Kemudian aku menemukan organisasi ini, jadi senang bertemu dengan mu, ketua"
"(Eh buset, Psikopat banget ni cewek)" fikir Hiro.
"O-oke... Kalau begitu semoga beruntung..." ucap Hiro.
Hiro semakin optimis untuk kemenangan, karena dia sudah berhasil mendapatkan lumayan banyak anggota, dan beberapa orang yang kuat. Hiro ga takut dengan apapun yang dihadapi nya, selama sesuatu itu masih memiliki wujud.
-bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!