"Aku bosan denganmu," ucap pria itu dua tahun yang lalu ketika pernikahan Larisa berada di depan mata.
Larisa berdiri terpaku menatap pria tampan berdarah Kaukasia itu duduk menyilangkan kaki. Tersenyum dengan tampang sedikitpun tidak memedulikan bahwa undangan pernikahan mereka telah dicetak dan itu hanya perlu disebarkan minggu depan.
Senyum pria itu benar-benar terlihat menikmati.
Tidak, dia sangat amat menikmati bagaimana dia melemparkan kotoran ke wajah Larisa.
"Larisa, aku menahan diri karena kesopanan dan hubungan baik keluarga kita berdua. Tapi, jujur saja kamu memang sangat membosankan."
Sopan? Kesopanan?
Dia menahan diri demi kesopanan lalu mengatakannya tepat seminggu sebelum undangan pernikahan disebarkan? Dan dia sebut itu sopan?
"Tuan Muda." Larisa mencoba bersikap 'sopan' pula dengan memanggilnya baik-baik. "Candaan apa yang Anda lakukan?"
Pria itu menyeringai seolah-olah Kalista tidak bisa melihat jelas betapa dia sengaja melakukannya. "Candaan? Kamu lebih tahu dari siapa pun aku tidak menyukai candaan."
"Anda—"
"Beritahu aku, Larisa. Apa yang menarik darimu?"
Larisa membeku dengan napas tertahan.
Sekarang? Dia mempertanyakan itu sekarang ketika dia punya waktu sejak mereka kecil, sejak mereka berusia dua belas tahun, dan dia baru mempertanyakan itu sekarang?
Di usia dua belas tahun keluarga mereka memutuskan perjodohan ini, memberi mereka ruang saling menerima sebagai pasangan. Lalu di usia Larisa yang ke dua puluh tiga, pernikahan itu akhirnya akan dilangsungkan dan dia baru bertanya soal 'apa yang menarik' sekarang?!
"Kamu diam, jadi biar aku bantu menjawabnya. Kamu tidak bisa bercanda, kamu juga tidak bisa merayu atau bertingkah lebih imut, tidak juga berusaha menarik perhatianku dan terpenting, hmmmm, kurasa kamu agak terlalu pintar sampai-sampai jadi membosankan."
Kelopak mata Larisa semakin melebar tak percaya.
Ia tahu orang di depannya tidak menyukai orang bodoh, jadi alasan itu benar-benar cuma buatan.
Kenapa? Kenapa dia mendadak melakukan hal konyol ini?
"Kamu mau membuat keluargamu malu?" balas Larisa, tak lagi menggunakan kesopanan. "Semua orang mempersiapkan diri menerima undangan pernikahan kita, lalu kamu mau membatalkan itu? Demetrio Lawrence, kamu mendadak gila?"
Pria tampan itu tertawa seolah-olah dia tidak keberatan disebut gila.
"Yah, entahlah." Tanpa beban sama sekali dia memejamkan mata. "Anggap saja mood-ku menikah hilang, jadi aku ingin membatalkannya."
"Berhenti bercanda!" Larisa berteriak geram. Tangannya mencengkram dress yang ia pakai berharap itu bisa meredam ketegangan, tetapi wajah santai Demetrio benar-benar mengacaukan emosinya.
"Aku tidak bercanda, Larisa."
"Demetrio, aku cuma akan mengatakannya sekali lagi. Berhenti bertindak gila dan—"
"Dan apa?" Pria itu beranjak dari kursi tempatnya duduk baru saja.
Tenang namun penuh keyakinan dia berjalan mendekati Larisa, berdiri di hadapannya dengan wajah arogan itu.
"Dan apa?"
Napas Larisa terasa mencekik akibat tatapan Demetrio. Begitu dia berdiri di hadapan Larisa, kesadaran akhirnya menghantam Larisa.
Orang ini ... sejak awal sudah berencana melakukannya! Sejak mereka bertunangan sebelas tahun yang lalu!
"Aku sudah bilang kamu membosankan." Demetrio mengulurkan tangan ke rambut Larisa. Meraih sejumput rambutnya itu ke bibir, menciumnya dengan senyum yang selalu dipuji sebagai senyum malaikat palsunya.
"Kamu tidak bisa bersikap imut, tidak juga bisa merayu, tidak juga bisa bercanda."
"Aku bosan. Aku bosan sampai-sampai menahan muntah bersamamu. Jadi, bukankah aku harus menjaga diriku sendiri sebelum memikirkan orang lain?"
Kedua mata Larisa memerah oleh amarah. Ia tak sedang bersedih melainkan benci.
Beraninya dia menghina Larisa!
"Aku tahu ini mendadak tapi aku akan mengirim pembatalannya secara sopan ke keluargamu." Demetrio melepaskan rambut Larisa sekaligus berbalik pergi.
"Asistenku akan mengantar kamu kembali, bahkan sampai ke depan kamarmu. Tentu, bersama 'kabar' pembatalannya."
*
Kedua tangan Larisa terkepal kuat sepanjang perjalanan pulang. Demetrio benar-benar sedang ingin mempermalukannya, sampai-sampai dia mengirim orang paling terpercaya di keluarga Lawrence untuk pergi mengantar Larisa pulang.
Untuk menyampaikan secara langsung bahwa sang Tuan Muda kehilangan minat pada pernikahan yang tinggal satu bulan lagi.
Mulut Larisa terkunci. Bukan karena Larisa tak ingin melawan atau merasa terlalu kecewa.
Tapi tidak bisa.
Demetrio memanfaatkan kekuasaannya, bisik Larisa dalam dirinya. Berusaha menahan geram.
Karena keluarga kami berhutang pada keluarganya, dia tidak ragu mempermainkan keluarga kami.
Itu hutang yang besar. Sangat besar. Sebab keluarga Larisa bukan hanya meminjam satu triliun dari keluarga Lawrence, melainkan merekalah alasan kenapa keluarga Larisa bisa memiliki aset kekayaan triliunan.
Mereka yang membantu bisnis keluarga Laura berkembang. Tidak, sebenarnya keluarga Lawrence yang menciptakan keluarga Laura dan membantu mereka kaya lalu melepaskan itu agar menjadi hutang seluruh keturunannya.
Pria tidak waras. Larisa mengutuk Demetrio dalam benaknya. Aku tahu dia sebenarnya gila tapi tidak kusangka akan segila ini.
Padahal keluarganya pun malu jika pernikahan dibatalkan.
Namun sepertinya Demetrio tidak terlalu peduli. Dia lebih peduli bagaimana putus asanya keluarga Larisa kedepan.
*
"Pembatalan, katamu?" Tentu saja, ibu Larisa syok berat mendengar pemberitahuan yang datang bersama anaknya itu. "Candaan apa yang coba kalian buat? Larisa! Berhenti membuat Ibu cemas!"
Larisa mengepal tangannya.
Kekuatan keluarga Lawrence meliputi keluarga ini. Itulah sebabnya Demetrio tertawa menikmati penghinaannya.
"Itu benar, Ibu." Karena dia tahu, Larisa bahkan tidak bisa menangis untuk rasa tercekiknya. "Demetrio membatalkannya."
Plak!
Wajah Larisa berpaling ke arah lain akibat tamparan keras yang akrab itu.
Sesaat setelah itu, bahkan Larisa tidak bisa meringis sakit sebab ia harus segera menatap pamannya, selaku kepala keluarga saat ini.
"Kesalahan apa yang kamu perbuat?" gumam Paman Erwin bersama tatapan dinginnya.
Larisa menggigit lidahnya oleh perasaan lebih murka lagi.
Tidak peduli bahwa Demetrio yang memutuskan seenak hati, Larisa-lah pihak bersalah. Sebab mereka tidak bisa menyalahkan pewaris utama keluarga Lawrence.
"Demetrio ...." Larisa tercekik saat ingin menjawab.
Membuat tamparan kedua kembali mendarat di wajahnya, sebagai isyarat agar bergegas menjawab.
"Tuan Muda Demetrio berkata aku membosankan."
Penghinaan besar yang membuat jiwa Larisa bergejolak itu harus ia telan bulat-bulat. Tidak ada ruang baginya untuk marah.
Tidak bahkan untuk sekadar merasa kesal.
Sebab sebelum ada sesuatu yang bisa ia lakukan, tamparan selanjutnya dan selanjutnya Larisa terima.
Tatapan mata Larisa berkobar ketika bolak-balik wajahnya ditampari oleh sang Paman. Sudah jelas dia marah, sebab pembatalan ini mengisyaratkan renggangnya hubungan keluarga mereka dengan keluarga Lawrence yang merupakan 'tuan' bagi semua orang.
"Tidak berguna." Paman Erwin menggertak giginya marah. "Kamu menghabiskan hidupmu melakukan hal-hal tidak berguna sampai Demetrio bosan. Seharusnya kamu malu."
Kobaran benci di mata Larisa semakin terbakar.
***
Demetrio. Orang itu, karena dia segalanya menjadi sia-sia. Karena dia, Larisa harus menanggung ini semua.
"Kurung dia di kamar hukuman dan jangan beri apa pun." Paman mendorong tubuh Larisa ke arah Ibu. "Keputusan mengenai Larisa tergantung keputusan Demetrio setelah aku pergi membujuknya."
Larisa hanya diam ketika tubuhnya ditarik kasar oleh Ibu menuju kamar.
Tubuhnya didorong memasuki ruang gelap tanpa jendela.
Larisa cuma bisa mendongak menatap mata tajam ibunya yang nampak sangat kesal mengetahui Larisa tidak berguna.
"Kamu diberi waktu sebelas tahun membuat Demetrio mencintai kamu, setidaknya sebagai hewan peliharaan." Ibu menggeram. "Tapi semuanya tidak berguna sama sekali. Semuanya karena kamu tidak berusaha!"
Tatapan Larisa hanya tajam menyaksikan pintu tertutup, mengurungnya dalam kegelapan tanpa cahaya dan pengap.
Aku sudah berusaha sekuat tenaga. Larisa mengepal tangannya kuat-kuat. Pria brengsek itu yang sengaja.
Dia hanya senang melihatku mengalami hal konyol!
"Aku akan membunuhnya." Larisa berguman di antara kegelapan pengap itu sambil terus berusaha bernapas teratur.
Ada sesuatu yang selalu Larisa sembunyikan dari siapa pun sejak ia tahu memilikinya. Ruangan ini, ruang hukuman ini sebenarnya ditujukan untuk menghukum seseorang agar mereka ketakutan akan kegelapan dan merasa trauma, lalu dengan trauma itu mereka akan ditekan agar berhenti melakukan kesalahan fatal.
Tapi, Larisa tidak takut gelao. Ia tidak takut pada kegelapan segelap apa pun kegelapan itu.
Yang menjadi masalah adalah Larisa tidak bisa bernapas di tempat yang panas. Ruang pengap ini membuat Larisa serasa tengah bernapas di atas tungku api.
"Aku akan membunuh Demetrio." Meski begitu Larisa terus menggumamkan kebenciannya. "Aku akan memastikan dia mengalami hal lebih buruk dari hal ini."
Larisa terus menggumamkan amarah dan dendam dalam hatinya ke udara kosong. Sambil terus berusaha bernapas teratur, meskipun seluruh tubuhnya terasa panas dan mulai sakit karena tak nyaman.
Penderitaan itu berlangsung tiga hari. Larisa harus merangkak menuju toilet dalam kamar hukuman itu untuk berulang kali mencuci wajahnya, sekaligus meminum air untuk menutupi dehidrasi.
Setiap rasa sakit dan rasa tercekik di tubuh Larisa memupuk kebenciannya pada Demetrio. Rasanya jika Larisa harus mati agar membunuh Demetrio, maka ia dengan senang hati menjemput kematian itu.
"Nona, Anda boleh keluar."
Setelah tiga hari, pintu ruangan pengap itu akhirnya terbuka. Cahaya bukanlah hal yang membuat Larisa senang melainkan udara.
Bersusah payah dirinya bangkit, tergopoh-gopoh keluar demi menghirup udara seperti orang asma.
Pelayan hanya menatapnya tanpa ekspresi. Mereka sudah terlalu terbiasa mihat hal itu untuk peduli.
Namun Larisa pun tidak meminta siapa pun pduli. Ia juga tak mau peduli.
"Hah." Larisa berpegang pada tembok untuk bisa berdiri. Menoleh pada pelayan yang merupakan pelayan ibunya itu. "Bagaimana keputusan Demetrio?"
"Tuan Muda Demetrio tetap bersikukuh membatalkan pernikahan dan Tuan Besar Erwin mau tidak mau menerimanya."
Hah, sudah Larisa duga. Orang itu sengaja membuat Larisa seperti ini.
"Lalu, Nona." Pelayan itu datang dan menyerahkan sebuah map ke tangan Larisa. "Sebagai hukuman Anda, Tuan Besar Erwin memerintahkan Nona mengurus pekerjaan di luar pulau. Tuan Besar bilang, Nona bisa langsung pergi sekarang juga."
Anjing tidak berguna lebih baik pergi saja, kah?
Larisa menyibak rambut lepeknya akibat keringat dan tertawa keras. Ia tak peduli kalau sekarang juga terlihat sama gilanya.
Tidak masalah. Mau dibuang ke sana atau ke situ, Larisa tidak peduli. Yang ia butuhkan sekarang cuma persiapan menenggelamkan Demetrio.
Jika harus pergi, Larisa tinggal pergi saja.
"Baiklah." Larisa yang pucat karena tak memakan apa pun selama tiga hari, justru berjalan angkuh menuju kamarnya sendiri. "Setidaknya persiapkan tiket pesawat untukku dan koper baju. Sisanya biar kuurus sendiri."
"Baik, Nona."
Tatapan kebencian Larisa tak redup. Matanya dingin bahkan pada udara kosong.
Demetrio. Orang itu tahu Larisa diperlakukan seperti anjing di rumahnya sendiri. Orang itu tahu bahwa pernikahan mereka adalah sebentuk pencapaian besar sekaligus kebebasan kecil Larisa.
Tapi dia membatalkannya karena dia tahu Larisa pasti tersiksa.
"Kamu melupakan sesuatu yang sangat penting, Tuan Muda Sialan." Larisa tersenyum gila menatap pantulan wajahnya di cermin. "Kamu lupa kalau aku sama tidak warasnya denganmu."
Lawrence adalah keluarga terhormat yang membantu keluarga ini? Hah, peduli setan!
"Bukan urusanku lagipula. Akan lebih bagus kamu dan mereka tenggelam bersama."
Akan Larisa tenggelamkan.
Demetrio Lawrence dan keluarga ini bersamanya.
*
Itu adalah kenangan Larisa dua tahun lalu.
Hal yang membuatnya tak bisa berhenti bermimpi buruk sejak dua tahun lalu.
Tapi ....
"Jadi, Henderson, persis sama seperti dua tahun lalu, kamu datang untuk. menyampaikan pesan Tuan Muda Demetrio?"
Asisten Lawrence yang dua tahun lalu datang membawa kabar buruk ke kediaman Larisa kini berdiri di hadapannya dengan kabar baru lainnya.
"Benar, Nona." Pria itu tanpa keraguan sedikitpun menatap Larisa yang tersenyum. "Tuan Muda Demetrio akan menikahi Anda jadi Anda diminta kembali."
Larisa tersenyum lebar. "Beritahu Tuan Muda aku akan terbang malam ini juga."
Sudah waktunya menjadi gila, kah?
*
Orang-orang pasti akan berkata bahwa Larisa adalah perempuan bodoh yang sukarela kembali ke pelukan mantannya meskipun sudah dipermalukan luar biasa.
Larisa masih ingat bagaimana orang-orang menertawakannya, bahkan mereka yang dekat dengan Larisa, karena dicampakkan tanpa alasan oleh Demetrio.
Bahkan setelah pembatalan itu, Larisa mendengar kabar bahwa Demetrio menjalin hubungan cinta dengan seorang artis cantik sekaligus sutradara film.
Hubungan mereka dikabarkan sangat harmonis. Demetrio kerap kali mengumbar kemesraan lewat sosial media dan memberikan jawaban penuh cinta pada wartawan dalam liputan soal hubungan mereka.
Tapi ....
"Aku tahu itu palsu." Larisa tertawa kecil mengingat bagaimana hubungan mereka berakhir beberapa hari lalu. "Dia cuma bosan."
Pada akhirnya, Demetrio memang hanya suka mempermainkan semua orang. Dia suka ketika dia bertindak penuh kendali, menguasai sesuatu yang dia mau, lalu membuangnya ketika dia merasa itu akan lucu.
Demetrio sudah membuang hati nuraninya sejak lama. Larisa bergumam saat ia turun dari mobil tepat di depan pintu kediaman megah Lawrence.
Maka dari itu ini bukan permainan hati. Ini permainan antar orang gila.
Larisa tertawa kecil melangkahkan kakinya kembali ke kediaman itu. Ia sedikitpun tidak marah. Larisa malah senang.
Sekarang entah apa yang Demetrio pikirkan, yang jelas dia telah memberi Larisa kesempatan untuk menghancurkannya.
"Selamat datang, Nona." Seorang pelayan menyambut Larisa begitu pintu raksasa itu terbuka. "Tuan Muda menunggu Nona di taman belakang. Mari saya antarkan."
"Ya." Larisa tersenyum manis. "Ayo pergi."
Mereka berjalan menuju taman belakang di mana Demetrio menunggu. Bahkan dari kejauhan, sudah bisa terlihat sosoknya yang duduk tenang menikmati kedamaian dunianya itu.
Orang yang mempunyai segala yang ingin dipunyai di dunia. Tentu saja dia sangat damai.
"Tuan Muda, Nona Larisa sudah tiba."
Mata Larisa tertuju pada senyum Demetrio yang masih terasa sama bahkan setelah dua tahun.
Wajahnya terlihat lebih tampan dari terakhir kali. Larisa melihat Demetrio mengganti warna rambutnya menjadi grey saat berpacaran dengan artis itu, tapi sekarang rambutnya sudah terlihat hitam lagi.
Anting yang terpasang di telinganya dan bagaimana dia duduk benar-benar memberi kesan bahwa dia Demetrio.
Si angkuh yang tahu dunia menyembahnya.
"Kamu sudah datang. Lebih cepat dari dugaan." Demetrio menarik senyum ceria. "Lama tidak bertemu, Larisa."
Justru sikap tak tahu malu itu membuat Larisa ingin tertawa puas.
Aku mengerti perasaan Demetrio sekarang, ucap Larisa penuh kesadaran dalam dirinya. Perasaan ingin membuat orang berlutut dan tercekik karena diriku, aku mengerti.
Aku mau membuatnya berlutut.
"Lama tidak bertemu, Tuan Muda." Larisa ikut memberi senyum cerah. "Kamu sepertinya jadi semakin tampan. Punya hubungan dengan artis pasti memberi suasana yang menyenangkan."
Larisa yang dulu tidak akan tersenyum pada musuhnya. Larisa yang dulu adalah gadis serius dan membosankan seperti kata Demetrio.
Tapi sekarang berbeda.
Naif sudah bukan diri Larisa lagi.
"Hmmm." Demetrio tersenyum seolah dia sedikit terkejut pada balasan Larisa.
Walau kemudian dia kembali memainkan peran. "Aku juga melihat kamu semakin cantik dan menawan. Senyummu jadi seperti bunga mawar merah muda."
"Benarkah? Aku memakai warna lipstik yang alami agar tidak terlalu mencolok."
"Itu cukup mencolok di bibirmu."
"Terima kasih." Larisa tersenyum manis. "Lalu, kapan pernikahannya berlangsung?"
"Langsung membicarakan itu?"
"Itu hal penting, Tuan Muda."
Demetrio terkekeh. "Benar juga. Kalau begitu, bagaimana menurutmu? Kapan tepatnya pernikahan itu harus berlangsung?"
"Empat hari."
Senyum Demetrio hilang digantikan seraut wajah kaget. "Apa?"
Tapi senyum Larisa masih terulas sempurna. "Ayo lakukan dalam empat hari, di kediaman utama keluargamu."
Untuk pertama kali tatapan Demetrio berubah. Dia nampaknya waspada pada apa yang dipikirkan Larisa, tapi ia cuma tersenyum seperti perempuan bodoh yang tidak bisa hidup jika tidak dinikahi oleh sang Tuan Muda.
"Empat hari, kah? Itu mendadak."
"Kamu tidak senang?"
Demetrio kembali tersenyum. "Tidak. Itu menarik dilakukan. Empat hari akan kusiapkan sesempurna mungkin."
"Kamu sangat murah hari, Tuan Muda." Larisa beranjak. "Kalau begitu aku permisi. Aku harus segera kembali untuk membawa kabar. Bagaimana pernikahan berlangsung, tolong lakukan terserah kamu saja."
Larisa berjalan pergi tanpa sedikitpun menyentuh teh yang diseduhkan untuknya.
*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!