Di roof top sebuah gedung.
Arungga terdiam sambil menatap nanar kearah sepasang pria dan wanita yang sedang bercumbu mesra di hadapannya.
Pria itu adalah Haikal, sahabat yang dianggap saudara oleh Arungga. Sedangkan sang wanita adalah Tantri, wanita yang dicintai Arungga yang kini berstatus sebagai tunangan alias calon istrinya.
Di belakang Arungga tampak seorang wanita yang baru saja tiba dan sedang sibuk mengatur nafasnya yang tersengal-sengal akibat mengejar Arungga melalui tangga darurat tadi. Wanita itu Zahira, teman Tantri yang mencintai Arungga diam-diam.
" Tung...," ucapan Zahira terhenti saat ia menyaksikan apa yang dilakukan Tantri dan Haikal di depan sana.
Di saat bersamaan, Arungga nampak menyilangkan jari telunjuk di depan bibirnya agar Zahira tak melanjutkan ucapannya.
Zahira pun mengangguk mengiyakan permintaan Arungga. Ia menatap pria yang telah lama menghias hatinya itu dengan tatapan iba. Bagaimana tidak. Zahira tahu jika Arungga sangat mencintai Tantri. Zahira juga tahu jika Arungga sangat menyayangi Haikal. Zahira bisa merasakan hancurnya perasaan Arungga saat melihat dua orang yang ia sayangi itu kini tengah melakukan sesuatu yang melukai harga dirinya.
Setelah lama menyaksikan Haikal dan Tantri bercumbu, Arungga pun bersuara untuk menyadarkan keduanya jika ada orang lain di sana selain mereka. Apalagi saat itu pakaian dan rambut keduanya sudah nampak berantakan.
" Ehm, sampe kapan Kalian akan terus melu*at seperti itu...?!" tanya Arungga lantang hingga mengejutkan Haikal dan Tantri.
" Ar... Arungga...!" kata Haikal dan Tantri bersamaan lalu sama-sama saling menjauh.
" Sejak kapan Lo berdiri di sana Ar...?" tanya Haikal sambil mengusap bibirnya.
" Apa itu penting...?" tanya Arungga.
" Jelas penting dong !. Gue ga mau Lo salah paham aja, karena apa yang Lo liat tadi ga seperti apa yang ada di pikiran Lo...," sahut Haikal cepat.
" Masa sih. Tapi Gue yakin mata Gue ga mungkin berbohong Kal...," kata Arungga dingin sambil mengamati Haikal dan Tantri bergantian.
" Mmm..., Sa... Sayang. Yang Haikal bilang bener. Tadi... itu... mmm... Aku sama Haikal...," kata Tantri gugup.
" Sejak kapan...?" potong Arungga cepat.
" Apanya...?" tanya Tantri tak mengerti.
" Sejak kapan Kalian mengkhianati Aku...?" tanya Arungga dengan suara bergetar.
Haikal dan Tantri saling menatap sejenak kemudian menggeleng. Haikal pun melangkah mendekati Arungga sambil mengatakan kalimat panjang untuk membela diri.
" Ini salah paham Ar. Gue sama Tantri ga ada hubungan apa-apa. Gue lagi berusaha menghibur Tantri aja kok. Dia sedih dan menangis karena abis Lo marahin tadi. Terus saat Gue lagi bujuk dia, eh ada debu yang masuk ke matanya. Makanya Gue mencoba meniup matanya aja supaya butiran debunya keluar...," kata Haikal dengan tenang.
" Oh, menghibur ya...," kata Arungga sambil tersenyum penuh makna.
" Iya. Lagian Lo juga terlalu keras sama Tantri Ar. Masa Lo marahin dia di depan karyawan kaya gitu sih. Ya, walau pun Tantri salah, tapi setidaknya bisa ditegur baik-baik. Bagaimana pun Tantri ini calon Istri Lo. Bisa kan Lo sedikit menghargai dia...," kata Haikal hingga membuat Arungga mendengus kesal.
" Menghibur dengan mencium bibir dan memeluk rasanya kok ga wajar ya Kal. Apalagi Kalian melakukannya dalam waktu yang relatif lama lho tadi. Kalo dibilang khilaf, rasanya mustahil karena Kalian berdua keliatan sangat menikmati adegan tadi...," kata Arungga hingga membuat Haikal dan Tantri salah tingkah.
Zahira yang juga menjadi saksi adegan tak wajar antara calon istri Arungga dengan sahabatnya itu pun tampak mengangguk mengiyakan ucapan Arungga.
" Dan masalah teguran tadi. Gue di sini Manager Keuangan yang bertanggung jawab atas keluar masuknya uang perusahaan. Selagi jam kerja, Tantri adalah staf Gue sekaligus bawahan Gue. Jadi saat Gue menegurnya, itu sebuah kewajaran. Gue juga ga mungkin memarahi Tantri andai dia melakukan tugasnya dengan baik. Sekarang kasih tau Gue gimana cara menegur karyawan yang terang-terangan menggunakan uang perusahaan untuk kepentingan pribadi. Apa pun alasannya, tetap aja itu namanya korupsi alias mencuri...!" kata Arungga gusar.
" Tapi Lo kan bisa omongin di ruang tertutup Ar...!" kata Haikal.
" Untuk apa ?. Menyembunyikan kesalahannya dari orang lain dan memakluminya karena dia calon Istri Gue ?. Justru itu Gue lakukan supaya semua orang sadar dan ga menyalah gunakan jabatan untuk kepentingan pribadi. Jangan pernah berpikir kalo status sebagai tunangan Gue membuat Tantri bisa seenaknya bertindak di luar batas. Yang salah tetap harus menerima konsekuensinya. Dan Tantri harus bertanggung karena udah berani menggelapkan uang perusahaan...!" sahut Arungga kesal.
Tantri nampak gemetar ketakutan sambil menatap Haikal seolah meminta bantuan. Haikal pun mengangguk lalu menatap Arungga lekat dan mengatakan kalimat yang mengejutkan Arungga.
" Asal Lo tau Ar. Kepentingan pribadi yang Lo maksud itu juga melibatkan nama Lo dalam tiap proses pencairannya...," kata Haikal sambil tersenyum sinis.
" Apa maksud Lo...?" tanya Arungga tak mengerti.
" Coba jelasin sama dia Tan...," pinta Haikal tanpa menoleh kearah Tantri.
Tantri pun mengangguk lalu mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalam tasnya. Setelahnya ia menarik tangan Arungga lalu meletakkan kertas itu di atas telapak tangan Arungga.
Arungga nampak terkejut saat melihat tanda tangannya di atas kertas itu. Padahal Arungga ingat jika ia tak pernah menandatangani kuitansi pengeluaran dengan jumlah besar seperti yang tertera di atas kertas. Arungga menganga melihat jumlah fantastis untuk sewa gedung, pelunasan catering dan gaun pengantin.
" Apa-apaan ini...?" tanya Arungga bingung.
" Kok bingung sih ?. Itu kan bukti kemana aja uang itu mengalir. Aku emang pake uang perusahaan untuk membiayai pernikahan Kita. Untuk bayar gedung, catering juga gaun pengantin...," kata Tantri sambil menundukkan kepala.
" Apa...?!. Terus uang yang Aku kasih ke Kamu itu buat apa...?!" tanya Arungga lantang.
" Uang yang Kamu kasih itu ga cukup Arungga !. Aku mau pesta pernikahan yang mewah bukan sederhana seperti yang Kamu mau. Kamu kan Manager Keuangan, masa bikin pesta pernikahan mewah aja ga bisa. Aku malu Arungga...!" sahut Tantri tak kalah lantang.
Jawaban Tantri membuat Arungga menggelengkan kepala.
" Kita pernah bahas ini dan Kamu setuju waktu itu. Kita sepakat mengadakan resepsi sederhana karena akan membeli rumah mewah impianmu. Laipula uang yang Aku kasih ke Kamu itu jumlahnya lebih dari cukup untuk membayar ini semua Tantri. Seingatku, jumlah uang yang Kamu gelapkan lebih banyak dari biaya yang dibutuhkan untuk sekedar menggelar pesta mewah. Sekarang jujur sama Aku, untuk apa uang sebanyak itu...?!" desak Arungga.
" Itu...," Tantri pun menggantung ucapannya lalu melirik kearah Haikal.
Nampaknya Tantri tak punya keberanian untuk mengungkapkan kebenaran.
" Haahhh..., sudah lah Tantri. Biar Aku jelaskan semuanya. Rasanya sudah waktunya Arungga tau apa yang terjadi...," sela Haikal.
Tantri pun mengangguk lalu menjauh dari Arungga. Di tempatnya berdiri, Zahira nampak mengepalkan tangannya untuk menetralisir amarahnya. Rupanya Zahira bisa menebak apa yang akan diucapkan oleh Haikal. Di saat yang sama Arungga justru terlihat lebih siap.
" Jadi dugaan Gue benar...?" tanya Arungga.
" Iya...," sahut Haikal sambil melangkah perlahan mendekati Arungga.
" Kenapa Kal ?. Kenapa harus Tantri ?. Lo tau kan gimana berartinya dia buat Gue...," tanya Arungga.
" Karena Gue ingin Ar...," sahut Haikal cepat sambil tersenyum penuh makna.
" Ingin apa...?" tanya Arungga tak mengerti.
" Ingin menjatuhkan Lo...!" sahut Haikal sambil memeluk Arungga lalu membenamkan belati tepat di punggungnya.
Arungga yang tak menduga akan mendapat serangan pun nampak terkejut. Sedangkan Tantri dan Zahira hanya bisa menjerit tertahan.
Seolah baru menyadari ada jeritan lain selain Tantri, Haikal pun menoleh. Ia menatap Zahira dengan tatapan marah. Selanjutnya Haikal mendorong tubuh Arungga hingga terhempas ke lantai lalu mengejar Zahira.
\=\=\=\=\=
Zahira yang masih terpaku menatap Arungga yang terluka itu nampak terkejut melihat Haikal berbalik dan mengejarnya. Zahira pun membalikkan tubuhnya dan bersiap lari, namun sayang ia terlambat.
Belati di tangan Haikal juga berhasil mengoyak punggung Zahira. Bahkan setelah Zahira terjatuh, Haikal masih membenamkan belati itu ke punggungnya hingga tembus ke dada.
Jeritan Tantri pun menggema saat melihat kebrutalan Haikal. Pria itu menghentikan aksinya lalu menoleh kearah Tantri.
" Berhenti menjerit Tantri...!" kata Haikal lantang.
" Ke... kenapa Kamu mem... bunuh mereka Haikal...?" tanya Tantri ketakutan.
" Apa masih perlu alasan lagi Tantri ?. Aku melakukan ini untuk melindungimu...!" kata Haikal lantang.
" Tapi Kamu ga perlu membunuh mereka Haikal...," sahut Tantri mulai menangis.
Melihat Tantri menangis membuat Haikal panik. Dengan cepat ia menarik tubuh Zahira lalu meletakkannya di lantai dekat dengan Arungga yang sedang sekarat. Lalu ia menarik tangan Tantri dan mengajaknya pergi meninggalkan Arungga.
Arungga menatap langit mendung di atas sana dengan nafas yang terputus-putus. Sedangkan di sampingnya Zahira nampak tertelungkup sambil merintih. Darah nampak menggenangi tubuh keduanya.
" Maaf telah membuatmu terluka Za... hira...," kata Arungga lirih.
Mendengar namanya disebut oleh pria yang ia cintai membuat Zahira tersenyum. Perlahan ia mengangkat kepalanya lalu menoleh kearah Arungga.
" Ini bukan salah Bapak...," sahut Zahira.
" Andai Kamu ga mengikuti Saya tadi, pasti saat ini Kamu masih bisa berdiri tegak dan tertawa...," kata Arungga sambil meringis.
" Saya cuma khawatir Bapak ga siap melihat apa yang mereka lakukan. Saya...," ucapan Zahira terputus. Ia memejamkan mata karena rasa sakit yang amat sangat. Bahkan Zahira merasa seluruh persendian tubuhnya lumpuh.
" Jadi Kamu tau kalo selama ini mereka mengkhianati Saya...," kata Arungga.
Zahira mengangguk tanpa suara.
" Dan Kamu berkali-kali mencoba memberi tau tapi Saya ga peduli. Saya malah menuduh Kamu ingin menghancurkan Tantri. Maafkan Saya Zahira...," kata Arungga dengan nada menyesal.
Tak ada suara. Zahira yang terpejam itu bahkan tampak tak bergerak. Dengan tangan gemetar Arungga menyentuh Zahira. Saat tangannya bisa menyentuh wajah Zahira, Arungga terkejut karena mengetahui Zahira telah tewas.
Beberapa saat Arungga termangu sambil menatap jasad Zahira. Gadis yang merupakan salah satu stafnya itu tewas hanya karena ingin melindungi hatinya.
" Kamu orang baik Zahira. Seharusnya Kamu mendapatkan yang terbaik dan bukan mati di sini bersamaku. Andai waktu bisa diulang, Aku pasti akan menyelamatkanmu Zahira ..., " batin Arungga.
Saat itu Arungga sadar jika mautnya hampir tiba karena seluruh tubuhnya terasa membeku. Hanya nafas yang tersisa di tenggorokan yang membuat Arungga tetap hidup. Arungga teringat semua orang yang menyayanginya. Orangtua, adik dan teman-temannya. Saat teringat sang Mama Arungga hanya bisa menangis. Ia sangat khawatir sang Mama terluka setelah kepergiannya nanti.
Dan saat petir menggelegar menyambar tubuhnya, Arungga pun tewas.
\=\=\=\=\=
Arungga tersentak saat mendengar suara gaduh di luar kamar. Ia menggeliat lalu menatap jam di dinding kamar. Saat itu jam menunjukkan pukul sebelas siang.
" Baru jam sebelas udah berisik banget di luar. Siapa sih yang bangunin orang lagi tidur...," gerutu Arungga sambil menutupi kepalanya dengan bantal.
Saat itu lah Arungga tersentak lalu membuka matanya. Ia pun melempar bantal yang menutupi kepalanya lalu bangkit dari tidurnya. Arungga pun mengedarkan pandangannya ke segala penjuru dan terkejut saat menyadari dirinya ada di kamar. Lebih terkejut lagi saat pintu kamar digedor dari luar dan suara sang Mama memanggil namanya.
" Arungga bangun !. Kebiasaan deh kalo libur selalu bangun siang. Waktu libur bukan untuk tidur. Kerjain sesuatu dong biar liburnya bermanfaat...!" kata sang Mama lantang.
" Libur, bukannya Aku udah mati ya...?" gumam Arungga tak percaya lalu menatap kalender di meja.
Arungga pun terkejut saat melihat tahun di kalender meja itu. Ternyata ia berada di lima tahun sebelum kematiannya.
" Haahh..., jadi Aku hidup lagi !. Ini..., Aku hidup lagi dan kembali ke masa kuliah...?" kata Arungga sambil mengamati seluruh tubuhnya dengan takjub.
Suara gedoran pintu membuyarkan lamunan Arungga. Ia pun menoleh kearah pintu lalu bergegas turun dari tempat tidur untuk membuka pintu. Ia cukup terganggu dengan suara sang Mama yang kian meninggi. Saat pintu terbuka, Arungga melihat wajah kesal sang Mama.
" Arungga...!" panggil sang Mama lantang.
" Iya Ma...," sahut Arungga sambil menatap sang Mama lekat.
" Ini udah siang, kok tidur aja sih. Pamali tau !. Gara-gara Kamu bangun siang, bisa ambyar rejeki semua orang di rumah ini nanti. Liat tuh, matahari udah tinggi. Papa Kamu aja udah berangkat ke bengkel daritadi, Kamu malah masih molor. Mama sama Adik Kamu udah selesai masak, eh Kamu masih belum bangun juga. Mau Kamu apa sih Ga...?!" kata sang Mama kesal.
Bukannya menjawab pernyataan sang Mama, Arungga justru menghambur memeluk sang Mama dengan erat. Mama Arungga yang bernama Veni itu nampak makin marah.
" Ga usah kaya gini Arungga !. Keluar, susul Papa Kamu ke bengkel. Sekarang...!" kata Veni di telinga Arungga.
Arungga nampak memejamkan mata karena suara sang Mama telah memekakkan telinganya. Di sudut lain tampak Alina tertawa geli melihat aksi Mama dan kakaknya.
Arungga menoleh dan tersenyum melihat Alina yang mengenakan apron sambil memegang sudit pertanda gadis itu tengah memasak. Alina terlihat masih belia, saat itu ia masih duduk di bangku sekolah SMP kelas tiga.
Melihat Arungga yang tersenyum kearahnya membuat Alina bergidik.
" Dih, stress ya Kak. Cengar-cengir kaya orang g*la gitu...," kata Alina sambil mencibir.
Arungga pun tertawa lalu berjalan cepat menghampiri Alina. Mengira sang kakak akan memukulnya, Alina pun lari menghindar.
" Mamaaa...!" panggil Alina sambil mendekati sang Mama.
" Cukup Arungga !. Apalagi sih Kamu. Mama suruh Kamu ke bengkel bukan gangguin Alina...!" kata Veni sambil berkacak pinggang.
" Sebentar aja Ma. Aku kangen sama Adikku yang centil ini...," kata Arungga sambil menarik tangan Alina lalu memeluknya erat.
Sikap Arungga membuat Alina kelabakan. Berkali-kali ia memukuli Arungga sambil menjerit.
" Lepasiiiinn...!" jerit Alina.
" Ga mau...," sahut Arungga.
" Kalo ga mau Aku kasih sambel nih...," ancam Alina sambil memperlihatkan sudit di tangannya yang berlumuran bumbu berwarna merah kecoklatan.
Arungga pun melepaskan pelukannya lalu mengecup kepala Alina dengan cepat. Mendapat perlakuan tak wajar dari Arungga, Alina nampak melotot lalu bersiap memukulnya dengan sudit. Arungga pun melesat cepat ke kamar sambil tertawa.
" Dasar g*la...!" kata Alina kesal.
" Udah Na, lanjutin lagi masaknya. Mama ke mini market dulu sebentar. Awas, jangan gosong ya...," kata Veni sambil melangkah keluar.
" Iya Ma...," sahut Alina cepat.
Di kamarnya Arungga nampak menangis bahagia. Ia tak menyangka jika ia kembali ke kehidupan lima tahun sebelum hari kematiannya.
" Ini kesempatan kedua yang harus Aku manfaatkan sebaik mungkin. Kali ini Aku ga akan membiarkan mereka memanfaatkan Aku dan mengambil keuntungan dariku...," gumam Arungga sambil mengusap matanya yang basah.
Saat itu Arungga sedang bercermin sambil mengamati seluruh tubuhnya. Ia meraba dada dan punggungnya dimana luka yang dibuat Haikal berada.
" Lo harus membayar setiap tetes darah, air mata dan keringat yang telah Gue korbankan dulu Haikal. Harus...!" kata Arungga sambil meninju cermin hingga pecah berhamburan.
Suara pecahan cermin di kamar Arungga mengejutkan Alina. Gadis itu bergegas mengetuk pintu kamar untuk memastikan kondisi sang Kakak.
" Suara apaan tuh Kak...?!" tanya Alina sambil mengetuk pintu.
" Bukan apa-apa Na...!" sahut Arungga.
Tiba-tiba terdengar suara motor memasuki halaman rumah. Alina tersenyum saat melihat Haikal datang berkunjung.
" Ada Kak Haikal tuh di luar...!" kata Alina.
Arungga membuka pintu lalu berbisik sambil menatap tajam kearah Alina.
" Bilang sama dia Kakak ga di rumah. Paham ga Kamu...?!" tanya Arungga dengan mimik wajah serius.
" I... iya Kak...," sahut Alina gugup.
" Bagus. Makasih ya Na...," kata Arungga sambil mengusak rambut Alina dengan cepat lalu kembali menutup pintu kamar.
Alina hanya mengangguk sambil mengerutkan keningnya karena bingung dengan sikap Arungga. Namun suara Haikal yang bertamu menyadarkan Alina. Gadis itu pun bergegas ke ruang tamu untuk menyampaikan pesan Arungga.
\=\=\=\=\=
Usai Alina menyampaikan pesan sang kakak, Haikal nampak mengerutkan keningnya.
" Masa sih Arungga ga di rumah. Tapi Gue udah telepon tadi dan janjian mau ketemuan di sini Lin...," kata Haikal tak percaya.
" Tapi Kakak emang lagi keluar Kak. Baru aja kok...," sahut Alina berusaha meyakinkan.
" Kemana...?" tanya Haikal.
" Katanya sih ke bengkel...," sahut Alina.
" Katanya, itu artinya Arungga bisa pergi kemana aja dong Lin...," kata Haikal gusar.
" Kalo itu Aku ga tau Kak. Kan Aku ga mungkin megangin Kakak dan ngelarang dia pergi ke tempat yang dia mau...," sahut Alina.
" Ck, tumben banget sih Arungga kaya gini. Ya udah, boleh kan Gue tunggu di sini...?" tanya Haikal.
" Silakan. Tapi jangan bete ya. Soalnya Aku ga bisa nemenin Kakak karena lagi disuruh masak sama Mama. Kalo sampe masakan ini gosong, bisa-bisa Aku ga dikasih uang jajan selama seminggu nanti...," kata Alina sambil membuka pintu lebar-lebar.
Ucapan Alina membuat Haikal tertawa. Ia mengangguk lalu duduk di sofa dan membiarkan Alina masuk untuk melanjutkan pekerjaannya.
Tak lama kemudian Veni datang dan tersenyum melihat kehadiran Haikal.
" Selamat siang Tante...," sapa Haikal dengan ramah lalu bergegas mencium punggung tangan Veni.
" Selamat siang Haikal. Udah lama...?" tanya Veni.
" Baru aja Tante. Aku lagi nunggu Arungga, kata Alina dia pergi. Padahal Aku sama Arungga udah janjian dari semalam kalo mau ketemuan lho Tan...," sahut Haikal.
" Oh gitu. Tante emang nyuruh Arungga ke bengkel buat bantuin Om tadi. Abisnya liburan kok tidur aja kerjanya. Kalo Kamu mau, Kamu bisa nyusul Arungga di bengkel...," kata Veni.
" Jadi Arungga beneran ke bengkel ya Tan...?" tanya Haikal.
" Iya, kalo ga ngelantur kemana-mana lho ya...," sahut Veni cepat.
" Kalo gitu Aku susul ke sana aja deh Tan...," kata Haikal.
" Boleh. Hati-hati ya...," kata Veni sambil tersenyum.
" Iya Tan...," sahut Haikal lalu melajukan motornya meninggalkan halaman rumah.
Setelah menutup pintu, Veni pun melangkah ke dapur. Sambil meletakkan barang di dalam lemari, Veni pun menoleh kearah ruang makan. Ia menggeleng melihat Arungga tengah duduk sambil menyantap makanannya dengan lahap.
" Jadi Kamu masih di rumah Ga. Tadi Haikal ke sini nyari Kamu lho. Mama kira Kamu udah ke bengkel, makanya Mama bilang gitu tadi...," kata Veni.
" Hmmm...," sahut Arungga cuek.
" Kalo udah bikin janji sebaiknya ditepati Ga. Kamu tau kan kalo laki-laki itu yang dipegang kata-katanya...," kata Veni mengingatkan.
" Kalo soal itu Mama ga usah khawatir. Aku tetap laki-laki tulen meski pun Aku ga menepati janji sama Haikal. Justru kelelakian Haikal yang harus Mama tanyakan. Sekalian tanyain kenapa dia terus menerus merongrong Aku...," sahut Arungga setelah menyelesaikan makannya.
" Maksud Kamu apa sih Ga...?" tanya Veni tak mengerti.
" Bukan apa-apa Ma...," sahut Arungga sambil mencuci piring bekas makannya tadi di wastafel.
Aksi Arungga mau tak mau membuat Veni dan Alina saling menatap bingung. Karena tak biasanya Arungga mau meletakkan piring bekasnya makan ke dapur apalagi mencucinya.
" Ya udah, sekarang Aku mandi dulu ya Ma. Abis itu Aku ke bengkel bantuin Papa...," kata Arungga sambil melangkah ke kamar.
Veni hanya mengangguk tanpa suara. Dia nampak shock dengan perilaku Arungga yang di luar kebiasaan itu.
" Ma...," panggil Alina sambil menyentuh bahu sang Mama.
" Iya Na, Mama tau apa yang mau Kamu omongin. Mama juga bingung, kenapa Arungga mendadak jadi kalem gitu ya...," kata Veni sambil berbisik.
" Ga usah bisik-bisik Ma. Kakak ga bakal denger, kan udah masuk ke kamar...," kata Alina mengingatkan.
" Kamu nih, Mama lagi serius malah ngajak bercanda. Ya udah, Mama mau ke kamar dulu..., " kata Veni.
" Mau ngapain Ma...?" tanya Alina.
" Tidur...," sahut Veni cepat.
" Ish, Mama nih. Anaknya dilarang tidur, tapi dirinya sendiri malah tidur...," gerutu Alina sambil cemberut.
Veni pura-pura tak mendengar ucapan anak bungsunya itu. Ia menutup pintu kamar dan tetap bertahan di sana hingga sore hari.
\=\=\=\=\=
Haikal nampak mengepalkan tangannya untuk menetralisir amarahnya. Saat itu Haikal ada di depan bengkel Arman, ayah Arungga. Haikal baru saja tahu jika Arungga tak ada di bengkel.
" Tapi kata Tante sama Alina, Arungga pergi ke bengkel Om...," kata Haikal beberapa menit yang lalu.
" Ck, Arungga... Arungga. Pasti Kamu dikerjain sama dia deh Kal. Arungga ga ada di sini. Om aja lagi nunggu dia nih...," sahut Arman sambil menggelengkan kepala.
" Terus dia kemana dong Om...?" tanya Haikal.
" Mana Om tau. Kan Om ada di bengkel daritadi. Coba Kamu telepon dan tanya dimana dia sekarang...," saran Arman.
" Udah Om. Tapi ponselnya ga aktif..., " sahut Haikal gusar.
" Wah, kalo gitu Om nyerah deh. Om juga ga bisa bantu Kal...," kata Arman.
Haikal nampak termenung sesaat. Andai tak mendesak, rasanya ia pun tak mau mencari Arungga. Ia sengaja mendatangi Arungga karena memerlukan bantuan sang sahabat. Saat ini Haikal sedang mengerjakan tugas dari dosen untuk menebus nilai minusnya dan ia mengandalkan Arungga untuk menyelesaikan tugasnya itu.
" Daripada berdiri di sini, lebih baik Kamu tunggu Arungga di dalam Kal...," kata Arman sambil melangkah masuk ke dalam bengkel.
Ucapan Arman membuat Haikal percaya jika Arman tak berbohong. Arungga memang tak berada di sana saat itu.
" Ga usah Om, Aku pulang aja...," kata Haikal.
" Kok pulang...?" tanya Arman.
" Aku mau ngerjain tugas Om. Sengaja ngajakin Arungga ngerjain tugas bareng biar ga bete aja...," sahut Haikal sambil tersenyum.
" Oh gitu. Ya udah, ntar Om kasih tau Arungga kalo dia datang ke sini...," kata Arman.
" Ok Om, makasih. Aku pulang ya Om...," kata Haikal sambil menstarter motornya.
" Iya, hati-hati...!" kata Arman yang diangguki Haikal.
Kemudian Haikal menyusuri jalan raya dengan perasaan kesal. Saat mendengar ponselnya berdering, Haikal pun menepi. Ia tersenyum saat melihat nama Tantri di layar ponselnya.
" Iya Tan, kenapa...?" tanya Haikal dengan ramah.
" Lo dimana Kal ?. Sama Arungga ga sekarang...?" tanya Tantri dari seberang telepon.
" Ck, apaan sih Lo. Jadi Lo nelepon Gue cuma mau nanyain Arungga...?" kata Haikal kesal.
" Iya. Abisnya ponselnya Arungga ga aktif. Gue inget Lo berdua kan CS ya, makanya Gue pikir Lo tau dimana dia...," sahut Tantri santai.
" Sayangnya Gue ga tau dimana Arungga. Ini aja Gue lagi nyariin dia...," kata Haikal.
" Oh gitu...," sahut Tantri dengan nada kecewa.
" Tantri...," panggil Haikal.
" Iya...," sahut Tantri.
" Lo beneran naksir sama Arungga ya...?" tanya Haikal.
" Iya. Kenapa sih nanya kaya gitu...?" tanya Tantri.
" Gapapa. Gue heran aja ngeliat cewek secantik Lo mau ngejar-ngejar Arungga yang cuek itu. Padahal ada cowok baik hati yang sampe sekarang masih setia nungguin Lo...," sahut Haikal mencoba peruntungan.
" Cowok baik hati. Maksud Lo itu Lo kan...?" tanya Tantri.
" Iya. Tuh Lo tau...," sahut Haikal.
" Maaf ya Kal. Gue emang cinta banget sama Arungga. Tapi Gue ga menutup diri dari teman yang ingin mendekat kok...," kata Tantri sambil tersenyum penuh makna.
Ucapan Tantri membuat Haikal tersenyum. Ia merasa jika Tantri memberinya peluang untuk meraih hatinya.
" Jadi kalo sekarang Gue ngajak Lo keluar, Lo ga keberatan dong...," kata Haikal penuh harap.
" Ayo, siapa takut...," sahut Tantri antusias.
" Ok. Kita ketemuan di mall JJ jam satu siang ini ya. Gimana Tan...?" tanya Haikal.
" Ok. Gue siap-siap dulu ya Kal. Bye...," kata Tantri di akhir kalimatnya.
Ucapan Tantri membuat perasaan Haikal membuncah bahagia. Rasa kecewanya akibat gagal menemui Arungga pun sirna entah kemana.
\=\=\=\=\=
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!