..."Panggil aku Daddy, Gadis Manis." - Abercio Sanchez...
"Dia akan menjadi ayah sambung kalian."
Lucy mengatakan hal tersebut sambil memaksakan senyumnya di depan Ciara dan Darren.
Di sebuah restoran mewah yang bernuansa romantis tersebut, Lucy memperkenalkan sosok pria yang akan menjadi suaminya kelak.
"Mom! This is crazy!" seru Darren tak setuju.
Anak laki-laki Lucy yang berusia dua puluh dua tahun itu menepuk meja sembari berdiri dari duduknya. Tanpa sadar, Darren menggigit bibir bawahnya menahan amarah.
"Aku malu punya ayah yang usianya jauh lebih muda dari Mommy!" sambung Darren sambil mengepalkan kedua tangannya di atas meja.
"Darren, tenanglah. Semua orang melihat kita," Lucy menatap sekeliling. Ia merasa malu saat seluruh mata tamu tersebut tertuju pada meja yang sedang mereka tempati. "Malu diliatin orang, Dar."
"Ck! Aku pikir Mommy udah nggak punya malu, makanya nikah sama pria ini," tunjuk Darren ke arah pria yang sedang duduk di samping Lucy.
Meskipun keadaan sedang tak baik-baik saja, pria yang sedang duduk di samping Lucy itu ... tak terusik sedikitpun. Dengan tenang, ia memotong daging steak yang ada di piringnya sembari menyeringai tipis.
Darren melihat seringai tipis yang pria itu munculkan di wajahnya. Hal tersebut membuat emosi Darren semakin membuncah. “Bajingan!”
"Darren!" Lucy mempelototi anak laki-lakinya sambil kedua tangannya mencengkeram dengan kuat garpu dan pisau yang ada di tangannya.
"Haaa ... sejak kapan Mommy berani meninggikan suara kepadaku? Semua ini karena dia!" Darren kembali menunjuk calon ayah sambungnya itu dengan tatapan yang bengis dan benci.
Tak lama kemudian ....
Byurr!!!
"Dasar pria sialan!" umpat Darren sambil menyiramkan air putih yang ada di gelasnya ke wajah pria itu. “Aku tak tau apa niatmu, tapi aku tau kau bukan orang yang baik!”
Setelah meluapkan amarahnya, Darren bergegas meninggalkan meja makan tersebut. Lalu ia keluar dari restoran mewah itu tanpa sepatah katapun.
"M-maaf," ucap Lucy terbata-bata sambil mengambil tisu dan mengelap air yang membasahi wajah serta sebagian tubuh Abercio.
Abercio hanya menghela nafas pelan. Ia memberikan isyarat tangan kepada Lucy untuk berhenti menyentuhnya. "Aku bisa membersihkan diriku sendiri."
"Kejarlah dia. Anak seusia itu memang sedang labil," ucap Abercio sambil mengeringkan wajahnya yang basah menggunakan tisu yang baru saja ia ambil dari atas meja.
"Terima kasih. Sa-saya titip Ciara, ya?" tutur Lucy sambil bangkit dari duduknya. Kemudian ia meraih tas selempang berwarna salem yang ia bawa tadi. Lalu ia bergegas menuju keluar restoran mengejar Darren tanpa berkata sepatah katapun ke Ciara.
Ciara. Gadis cantik yang saat itu berusia delapan belas tahun ... entah kenapa ia masih terlihat tenang setelah kerusuhan yang baru saja terjadi.
"Ciara ..." gumam Abercio pelan untuk mengulang nama gadis manis yang ada di depannya. Ia mencoba mengingat nama gadis yang sempat disebut oleh Lucy tadi sambil melonggarkan dasinya. Matanya menatap ke arah tangan Ciara yang sedari tadi sibuk memotong steak tanpa terusik.
"Iya, Om?" sahut Ciara. Pikirnya, saat itu Abercio sedang memanggilnya. Ciara mengangkat wajahnya menatap Abercio dengan wajah yang ... biasa-biasa saja. Seolah-olah tak ada hal buruk yang terjadi di depannya.
"Ck! Ekspresi apa itu?" pikir Abercio dalam hati. Ia menghela nafasnya sambil memijat pelipisnya yang tak sakit.
"Kenapa diam saja? Nggak memberontak seperti kakakmu tadi?" tanya Abercio penasaran. Mata elang berwarna hazel milik Abercio tertuju ke arah Ciara.
Ciara tak peduli. Ia kembali fokus memotong steak yang ada di depannya. Wajahnya yang sempat terangkat, kini kembali tertunduk menatap daging steak yang sedang ia potong.
"Oh ... jadi, kamu juga nggak suka sa-"
"Ciara cuma mau Mommy bahagia," potong Ciara polos.
Abercio mendadak terkejut mendengarkan ucapan Ciara. Wajahnya yang sempat menegang sesaat karena terkejut, berangsur tenang dan mendadak iba melihat gadis polos di depan matanya saat ini.
"Bahagia?! Ck! Dasar gadis polos! Mommy-mu itu menikahiku karena terpaksa!" rutuk Abercio di dalam hati.
"Jadi ... kamu setuju jika aku menjadi ayah sambungmu?" tanya Abercio memastikan. Ia menatap gadis itu dengan lekat sambil menunggu jawaban apa lagi yang akan keluar dari mulut gadis itu.
"Ya. Kalau itu udah keputusan Mommy, Ciara bakalan setuju," jawab Ciara sambil menyuapi daging steak tadi ke mulutnya.
"Haaaa ..." lagi-lagi Abercio menghela nafasnya.
Bagaimana bisa gadis itu menerima kehadiran orang baru untuk menggantikan posisi penting di keluarganya sendiri? Bahkan, dulu saat ayahnya memutuskan untuk menikahi wanita lain menggantikan ibunya, sikap Abercio benar-benar mirip seperti yang dilakukan oleh Darren tadi.
"Ya. Seharusnya respon normal memang seperti itu," ucap Abercio pelan saat memikirkan tindakan Darren tadi.
"Jadi ... Ciara udah jadi anak yang baik 'kan, Om? Ngijinin Mommy nikah lagi? Biar Mommy bisa bahagia? Biar Ciara nggak dibuli-"
Ciara langsung mengigit bibir bawah dan atasnya ke dalam. Ia tersentak sendiri dengan tingkah dan ucapan yang baru saja ia lontarkan tadi. Bagaimana bisa ia begitu santai menyampaikan semua yang ada dipikirannya sejak tadi?!
"Aduhhh, Ciara kok kayak gini, sih," umpat Ciara kesal dalam hati sambil wajahnya tertunduk.
Di saat yang sama, saat mendengarkan apa yang dikatakan oleh Ciara barusan, seketika hati Abercio mendadak hangat dan iba.
"Dibuli, ya? Memangnya, zaman sekarang masih ada penindasan seperti itu? Tapi ... kenapa dia dibuli?" pikir Abercio dalam hati.
"Om, jangan bilang Mommy ya," Ciara menangkupkan kedua tangannya ke dada sambil memelas ke arah Abercio. Kelopak matanya mengibas-ngibas dengan sangat menggemaskan, meskipun sedang memelas.
Abercio mengangguk pelan mengiyakan permintaan gadis kecil yang ada di depannya. Yah ... meskipun ia tak berniat mengatakan hal tersebut kepada Lucy. Toh, ia juga tak tertarik dengan urusan orang lain.
"Tapi ada satu syarat," ucap Abercio sambil melipat kedua tangannya ke atas meja. Lalu tubuhnya menempel ke sisi meja seperti sedang ingin mendekat ke arah Ciara. Hanya saja, meja menjadi penghalang.
Ciara menatap Abercio dengan kedua matanya yang bersinar namun terlihat takut dan khawatir. Semua perasaan bercampur aduk saat ia menunggu syarat yang akan diberikan oleh calon ayah sambungnya itu.
"Panggil aku Daddy, Gadis Manis," ucap Abercio pelan sambil menyeringai. Ada niat buruk yang sedang ia rencanakan di balik wajah tampannya yang dingin itu.
...❣️❣️❣️...
...BERSAMBUNG......
...❣️❣️❣️❣️❣️...
..."Terus, Mommy nyuruh Ciara tidur sama Om Cio malam ini?" - Ciara A. Garnacho...
"Daddy?" Ciara menatap ke arah Abercio. Bulu matanya yang lentik memberikan pesona tersendiri di wajahnya yang mungil tersebut.
"Tapi ... Om 'kan belum nikah sama Mommy?" sambungnya kebingungan.
Abercio terkekeh pelan melihat tingkah menggemaskan gadis kecil yang ada di depannya. Gadis itu benar, sekarang dia belum menikah dengan Mommy-nya itu. Tapi, jika ia meminta Lucy mengurus surat nikah pada esok hari, tentu saja Lucy tak bisa menolak. Toh, pernikahan ini hanya sebatas mengambil keuntungan.
"Besok. Besok Om nikah sama Mommy kamu," jawab Abercio penuh keyakinan.
"Secepat itu?!" tanya Ciara sambil membelalakkan matanya. "Yang aku tau, nikah itu ribet. Ngurus segala sesuatu yang berurusan dengan pernikahan itu melelahkan."
"Hahaha," Abercio terkekeh mendengarkan tutur kata Ciara. "Tak ada yang sulit jika Abercio Sanchez menginginkan sesuatu. Yah, kalau aku bilang A, ya harus A."
"Bahkan untuk memiliki tubuhmu malam ini pun sangatlah mudah untukku. Tapi ... tenanglah. Aku tak akan tergesa-gesa," batin Abercio dengan tatapan yang lapar kepada Ciara.
"Nama Om bagus," celetuk Ciara sambil tersenyum bahagia. "Ciara nggak sabar ngasih tau temen-temen kalau Ciara bakalan punya seorang ayah yang bernama Abercio Sa- ... Sa- ...."
"Sanchez, Sayang," kata Abercio sambil meneguk minuman di gelasnya.
"Nah iya, hehehe," kekeh Ciara pelan. Senyum simpul tak kunjung hilang dari wajah yang cerah itu. Ia sedang membayangkan akan ada sebuah titik terang pada hidupnya. Sosok ayah yang selama ini ia dambakan, akan terwujudkan dalam hitungan detik.
Cukup lama mereka terdiam menikmati makanan. Lucy tak kunjung kembali saat mengejar Darren anak pertamanya.
"Om ... baju Om basah. Om pulang dulu nggak apa-apa kok," ucap Ciara memecah keheningan. "Ciara udah biasa sendiri nungguin Mommy."
"It's okay. Basahnya cuma dikit. Ntar juga kering sendiri," ucap Abercio santai.
Ciara hanya mengangguk pelan dan tak lagi berbicara.
"Kamu nggak masalah ... punya ayah yang muda seperti ku?" tanya Abercio menyelidiki. Kini ia penasaran, kata-kata apalagi yang akan gadis kecil itu berikan padanya.
"Emangnya, umur Om Cio berapa?" tanya Ciara sambil meletakkan pisau dan garpunya menyilang di atas piring. Lalu, matanya menatap lekat ke arah Abercio.
"Om ... Cio?" Abercio mengerutkan keningnya dengan kepala yang sedikit miring.
"Iya. Om Cio. Bagus, 'kan?" tanya Ciara yang mulai santai berbicara dengan pria yang sebentar lagi akan ia panggil Daddy.
Abercio tertawa pelan sambil memegang dahinya. Lalu ia merapikan jasnya dan bersandar ke kursi.
"Om Cio, ya? Haaa ... panggilan yang unik. Belum pernah ada yang memanggilku seperti itu sebelumnya," gumam Abercio sambil tersenyum sendiri.
"Aku penasaran ... bagaimana suara desa.han gadis ini saat memanggil namaku dengan wajahnya yang menggemaskan itu," pikir Abercio yang kini sedang menyeringai buas.
"Nanti, kalo Om udah nikah sama Mommy, Ciara bakalan panggil Daddy Cio," tutur Ciara lembut.
Deg!
Seketika jantung Abercio berdetak dengan kencang. Apa-apa'an gadis ini?! Hanya karena sebuah panggilan saja ia sukses membuat pria dingin seperti Abercio meleleh. Daddy Cio? Entah kenapa terdengar bagus.
"Oh iya, Om belum jawab pertanyaan Ciara," kata Ciara membuyarkan keterpesonaan Abercio padanya. "Umur Om berapa? Kalau Ciara delapan belas tahun."
"Om tiga puluh tahun, Sayang," jawab Abercio sambil menyilangkan tangannya ke dada. Ia menantikan mimik wajah terkejut gadis itu. Pasalnya, usia dia dan Mommy gadis itu terpaut sebelas tahun.
"Oh... tiga puluh tahun," sahut Ciara santai. "Nggak masalah sih. Soalnya Mommy pernah bilang kalo umur Mommy dan Daddy Ciara tuh jaraknya tiga belas tahun."
"Bedanya, Daddy Ciara tiga belas tahun lebih tua dari Mommy." Sambungnya sambil tersenyum pepsodent.
Abercio langsung menutup wajahnya menggunakan satu tangan. Ekspresi terkejut yang ia harapkan dari gadis itu tak ada. Malah, gadis itu biasa-biasa saja dan me-normalkan hal aneh tersebut.
Drrttt... Drrttt...
Ponsel Abercio bergetar. Tertera nama Lucy di layar ponselnya. Ia pun langsung mengangkat panggilan tersebut dengan mimik wajah yang datar.
"Ya, halo?"
^^^"Pak, saya minta maaf. Sekali ini saja, apa saya bisa titipin Ciara ke Pak Abercio? Soalnya saya masih ngejar Darren sampe sekarang."^^^
"Rumahmu bagaimana?" tanya Abercio. Ia tak yakin gadis kecil itu akan selamat jika hanya ia dan Ciara berduaan saja di bawah atap yang sama.
Meskipun Ciara akan menjadi anak tirinya kelak, Abercio tak dapat menutup mata akan paras cantik yang dimiliki oleh gadis yang sedang beranjak dewasa itu. Mata bulat seperti boneka dengan bibir mungil namun sedikit tebal itu benar-benar menggemaskan. Apalagi, tingkah manja dan polos gadis itu membuat Abercio tak dapat menahan naluri lelakinya yang sudah beberapa minggu ini tak tersalurkan karena ia sibuk.
^^^"Kunci rumah ada sama saya, Pak."^^^
^^^"Maaf, kali i-"^^^
"Ya sudah. Mulai besok, anakmu juga anakku." Potong Abercio mengalah.
"Urus saja urusanmu dulu. Besok aku akan memerintahkan orang untuk mengurus surat nikah kita."
^^^"Makasih ya, Pak. Saya nggak nyangka ini akan dipercepat. Kalau bukan karena Pak Abercio pasti-"^^^
"Sudahlah. Apa ada hal lain?" potong Abercio dingin.
^^^"Tidak, Pak."^^^
Sesaat kemudian, panggilan mereka pun terputus.
"Mommy kenapa, Om?" tanya Ciara yang tahu bahwa sesaat tadi Lucy yang menelefon Abercio.
"Mommy-mu masih ngejar Darren dan kunci rumah dia bawa," jawab Abercio sambil meneguk air putih di mejanya.
"Terus, Mommy nyuruh Ciara tidur sama Om Cio malam ini?" tanya Ciara polos dengan mata yang datar menatap Abercio.
"Uhuk! Uhuk!" Abercio langsung tersedak saat gadis kecil di depannya bertanya dengan begitu polos. Sebenarnya tak ada yang salah, tapi ... kata-kata yang diucapkan gadis itu terlalu ambigu.
"Ciara, kalau ada yang denger kamu ngomong kayak tadi, ntar Om disangka mau tidurin kamu, tau nggak?!" sontak Abercio berkata dengan suara yang pelan namun nada yang penuh penekanan.
Mata yang melotot dan membulat ke arah Ciara serta suara yang pelan namun terdengar menohok tersebut, spontan membuat bahu Ciara beringsut dengan wajah yang perlahan tertunduk layu.
"Maaf, Om Cio. Jangan marahin Ciara," ucap gadis itu dengan suara yang serak dan sedikit ketakutan. Sepertinya ada sedikit trauma mendalam pada gadis kecil ini.
"Haaa ..." Abercio menghela nafasnya. Kemudian ia bangkit dari duduk dan membetulkan jasnya.
"Sudahlah," ucap Abercio sambil berjalan mendekat ke arah Ciara. "Ayo kita pulang."
Ciara hanya mengangguk pelan. Lalu ia berjalan mengikuti Abercio dengan wajah yang tertunduk.
Buk!
Ciara menabrak punggung kekar milik Abercio. "M-maaf, Om."
"Masuklah ke mobil," tutur Abercio saat pintu sedan Merci hitam telah di buka oleh seorang pria yang juga mengenakan jas dengan rapi.
"Dia Axel. Sekretaris pribadiku," jelas Abercio yang mengerti dengan tatapan penasaran Ciara ke arah Axel, pria tampan yang saat itu masih berusia dua puluh tujuh tahun.
...❣️❣️❣️...
"Om ... Ciara tidur di mana?" tanya Ciara saat ia melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah mewah nan megah milik Abercio.
"Hmm," Abercio memegang dagunya sambil berfikir.
Meskipun rumah mewah itu memiliki dua lantai dan luas, tetap saja hanya satu kamar yang terpakai karena tak pernah ada yang datang dan bertamu ke sana.
"Tidur di kamar ku saja," tutur Abercio sambil jalan menuju ke arah tangga. "Aku akan tidur di sofa ruang tamu."
"Soalnya, kamar lain belum di rapiin. Nggak ada kasur sama alat-alat yang lain juga untuk di tempati." Sambungnya datar.
"Om ... Ciara takut," rengek Ciara sambil menatap sekelilingnya. Suasana mencekam dan dingin menyelimuti rumah itu. Padahal, lampu sudah di hidupkan. Mungkin karena waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
"Emang, biasanya kamu tidur sama Mommy?" tanya Abercio sambil mengerutkan dahinya.
Ciara mengangguk pelan dengan bibir yang cemberut ke bawah. "Rumah Ciara 'kan cuma kontrakan dua petak. Jadi, kita bertiga tidur bareng semua."
"Terus ... aku harus tidur di sampingmu?" tanya Abercio menatap heran ke arah gadis kecil itu.
"Gimana kalau Om Cio tidur di kasur, terus Ciara tidur di lantai? Yang penting satu kamar," ucap Ciara tanpa berfikir sebelum berkata.
"Ah! Sial! Gadis ini benar-benar menguji kesabaranku! Mana bisa ku tahan juniorku yang sejak tadi sudah menggila karena wajahnya yang menggemaskan itu!" gumam Abercio dalam hati. Lagi-lagi ia memijat pelipisnya yang tak sakit akibat ulah polos Ciara.
...❣️❣️❣️❣️❣️...
..."Daddy ... jangan pukul Mommy. Daddy boleh pukul Ciara aja kayak yang biasa Daddy lakuin ke Ciara." – Ciara A. Garnacho...
"Kamu tidur pakai itu?" tanya Abercio dengan mata yang melirik ke arah Ciara.
Abercio memperhatikan dress berwarna maroon yang gadis itu kenakan untuk makan malam tadi. Ia baru sadar bahwa dress itu terlihat sedikit lusuh. Mungkin karena gadis itu cantik, jadi sorot matanya terfokus pada wajah anak tirinya itu.
"Kan Ciara nggak bawa baju," jawab gadis itu dengan bibir yang melengkung ke bawah.
"Kamu cari aja di sana," Abercio menunjukkan sebuah ruangan yang berada di samping kamar mandi. “Di dalam ruangan itu ada banyak baju. Kamu boleh pilih yang kamu suka.”
"Ciara boleh pake baju, Om?" tanya Ciara sambil melihat ke arah yang ditunjukkan oleh Abercio.
"Aku sih maunya kamu nggak pakai baju," celetuk Abercio pelan namun tak terdengar oleh Ciara.
"Apa, Om?" Ciara menajamkan pendengarannya.
"Iya. Pakai aja. Tapi ukurannya besar semua, pasti kedodoran sih," jawab Abercio mengalihkan pembicaraan sambil berjalan masuk ke kamar mandi. "Ntar kamu langsung tidur. Aku mau mandi."
Sesaat setelah Abercio masuk ke kamar mandi, Ciara langsung berjingkrak-jingkrak kesenangan menikmati pemandangan rumah mewan tersebut. Ia menginjakkan kakinya ke atas karpet bulu yang ada di kamar Abercio.
"Lembuuuttt," gumam Ciara senang, "kayak lagi nginjak awan."
Puas menginjakkan kakinya ke atas karpet lembut tersebut, Ciara beranjak ke depan meja rias yang mewah berwarna hitam tersebut. Impian setiap gadis untuk memiliki tempat berhias khusus. Selama ini, ia hanya bisa berhias di depan kaca kecil yang tergantung di dinding.
"Mommy beruntung dapetin Daddy Cio yang kaya," gumam Ciara sambil menyentuh meja rias tersebut. "Tapi … kok bisa ya Mommy ketemu sama Daddy Cio?"
Saat Ciara sedang senang seperti itu, matanya tertuju pada sebuah kamera cctv yang ada di sudut atas kamar. Kemudian ia menyeringai tipis.
Ciara menggelengkan kepalanya sambil menepuk-nepuk kedua pipinya. "Ugh ... nggak usah ikut campur urusan orang dewasa! Kalo mau tau langsung tanya Mommy aja!"
Ciara pun melangkahkan kakinya menuju ruang ganti yang ditunjuk oleh Abercio tadi.
"Ruang ganti Om Cio seperti apa y-" belum sempat Ciara melanjutkan ucapannya, ia langsung terbelalak dan terperangah melihat indah dan besarnya ruang ganti milik pria itu.
"Wahhh ... pakaiannya banyak bangetttt!"
Ciara berlari girang masuk ke dalam ruangan tersebut sambil memperhatikan seisi ruangan tersebut dengan girang. Lalu, ia menyentuh satu persatu pakaian Abercio yang tergantung di setiap penjuru ruangan tersebut.
"Ihhh, kemeja putihnya bagus!"
Ciara mengambil sebuah kemeja putih milik Abercio. Lalu ia memeluk kemeja tersebut merasakan lembut dan wanginya aroma kemeja tersebut.
"Beda sama kemeja putih Ciara. Punya Ciara kemejanya lusuh dan wanginya cuma wangi deterjen."
Tak membutuhkan waktu yang lama, gadis itu pun mengenakan kemeja putih milik Abercio. Benar saja, baju tersebut kebesaran untuk ukuran tubuh Ciara. Tangannya tak terlihat karena ditelan lengan panjang yang menjuntai. Sedangkan panjang baju tersebut tepat di atas lutut Ciara.
"Nggak usah pake celana kalo kayak gini, hahahaha," Ciara tertawa sendiri melihat pantulan dirinya mengenakan kemeja over size di kaca besar yang ada di dalam ruang tersebut. Rambut coklatnya yang tergerai itu bergoyang-goyang akibat dirinya yang tak bisa diam.
Ceklek!
Tiba-tiba saja lampu mati. Ruangan tersebut mendadak gelap gulita. Ciara yang saat itu sedang berada di ruang ganti besar sendirian, ia mendadak terjatuh dan terduduk di atas lantai.
"M-Mom-Mommy ...." panggil Ciara dengan suara yang berat. Ia mencoba merangkak ke arah pintu keluar ruang ganti dengan susah payah. Sekujur tubuhnya bergetar dengan hebat dan wajahnya mendadak pucat pasi.
"Hikss ... hikss ... Mommy, Ciara takut."
Blaarrr!!!
Di saat yang sama, tiba-tiba saja hujan turun dengan deras dan bunyi guruh mendadak menggelegar di ruangan tersebut. Suara kilat yang berdentuman tersebut sama persis dengan sebuah suara yang paling ditakutkan oleh Ciara.
Ciara duduk meringkuk sambil memeluk lututnya dengan sangat erat. Sekujur tubuhnya mendadak keringat dingin. Ada ingatan lama yang sempat terlupakan olehnya mendadak hadir akibat kegelapan dan suara petir yang menakutkan tersebut.
"Daddy ...” Ciara mencoba menatap ke kiri ke kanan di ruang yang gelap gulita itu seolah-olah ia sedang mencari sesuatu, “jangan pukul Mommy. Daddy boleh pukul Ciara aja kayak yang biasa Daddy lakuin ke Ciara."
Tak lama kemudian, Ciara langsung meraba-raba tubuhnya. Tiba-tiba saja ia merasa ada sebuah sensasi perih yang menyakiti kulitnya. Rasa perih karena sebuah luka yang sebenarnya sudah lama sembuh. Tapi baginya, luka tersebut masih terasa begitu menyiksa di punggungnya.
"S-sakit ... hikss… hikss... Tubuh Ciara sakit Daddy," isaknya pilu sambil menahan sakit.
Ceklek!
Lampu kembali hidup. Namun, Ciara masih meringkuk di lantai seperti tubuh yang tak bernyawa. Wajahnya begitu menyedihkan dan sorot mata yang kosong membuatnya terlihat tak berdaya.
"Ciara!!!"
Tiba-tiba saja sosok Abercio muncul di depan pintu ruang ganti. Pria bertubuh tinggi dan kekar itu hanya mengenakan handuk sebatas pinggang. Badannya masih basah setelah mandi dan belum dikeringkan dengan sempurna.
Melihat Ciara yang terduduk di lantai dalam keadaan menyedihkan, Abercio langsung berlutut ke lantai tepat di depan Ciara.
“Sakittt,” ringis Ciara. Ia terlihat sedang memeluk tubuhnya sembari kedua tangannya berusaha menggapai punggung.
“Apa yang sakit, Ciara?” tanya Abercio tanpa berani menyentuh gadis itu.
“Punggung … punggung Ciara luka Om Cio,” isak Ciara sambil meringis kesakitan. “Ada banyak darah di punggung Ciara.”
Abercio terbelalak kaget mendengarkan ucapan Ciara. Tanpa berfikir panjang, ia langsung memegang kedua bahu gadis itu dan menarik gadis itu ke pelukannya untuk mencoba melihat ke arah punggung yang Ciara maksud.
“Nggak ada luka, Cia-“
"D-darah!" Ciara langsung mendorong tubuh Abercio saat ia merasakan kedua telapak tangannya basah karena terkena air yang menetes dari tubuh Abercio yang masih basah.
"Darah!!! Ini darah!!!" Ciara langsung berteriak histeris. Ia melihat ke arah kedua telapak tangannya. “Ini darah Mommy, Om Cio! Tolong selamatin, Mommy!”
"Ciara! Sadar! Ini air, bukan darah!" seru Abercio. Ia memegang kedua tangan Ciara untuk meyakinkan gadis itu bahwa itu adalah air, bukan darah.
"Ini darah Mommy, Om Cio! Aku harus telefon ambulance!" seru Ciara sambil berusaha melepaskan kedua tangannya dari tangan Abercio.
Dengan sigap, Abercio menarik Ciara ke pelukannya. Ia memeluk tubuh gadis itu dengan sangat erat. "Itu bukan darah, Sayang. Itu air!"
"Mommy nggak boleh mati, hikss... hiks... Daddy jahat. Kenapa Daddy pukul Mommy dan Ciara? Hikss... hikss..." ucap Ciara tak berdaya saat tubuhnya dipeluk dengan erat oleh Abercio.
"Apa yang telah kamu lalui sampai-sampai seperti ini, Ciara?" gumam Abercio dalam hati.
"Ciara takut, Om. Hiks... hikss..." isak Ciara sambil membenamkan wajahnya ke dada bidang Abercio.
"It's okay. It's okay. Kamu nggak usah takut. Ada Om Cio di sini," bujuk Abercio menenangkan Ciara. Ia membelai lembut rambut gadis itu. Lalu tangannya juga mengusap pelan punggung Ciara.
"Jangan pegang punggung Ciara, Om... punggung Ciara luka. Ada banyak darah di punggung Ciara. Hikss... hiksss..."
"Nggak ada darah, Sayang," ucap Abercio meyakinkan Ciara.
Namun, tak lama setelah Abercio mengatakan pada Ciara bahwa punggung gadis itu tak ada darah, tiba-tiba saja tubuh gadis itu menjadi tak bertenaga. Pandangannya hitam dan kepalanya mulai berat. Lalu, ia pingsan dipelukan Abercio.
"Ciaraaa!!!" seru Abercio sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ciara yang pingsan. "Heiii!!!"
Tanpa berlama-lama, Abercio langsung menggendong tubuh Ciara ke atas ranjang. Lalu, ia segera menelefon dokter untuk datang ke sana.
...❣❣❣...
"Katanya, punggung dia luka dan ada banyak darah. Tapi, pas aku lihat, nggak ada darah sama sekali. Apalagi dia memakai kemeja putih," jelas Abercio pada Revan, sahabatnya.
Revan terdiam sambil berpangku tangan. Ia menatap Ciara yang sedang terbaring di atas ranjang.
"Boleh buka bajunya?" tanya Revan tiba-tiba dengan sorot mata yang tak lepas dari tubuh Ciara.
"Heyyy!!!" Abercio langsung menarik kerah Revan dengan kedua mata yang membulat sempurna karena amarah.
"Slow, Bro," Revan menggerakkan kedua tangannya ke arah Abercio karena terkejut akan tindakan refleks sahabatnya itu.
"Kalo nggak, kamu aja pastiin, ada sesuatu yang aneh nggak di punggung gadis ini? Karena, jawabannya ada di sana," imbuhnya.
Abercio langsung melepaskan cengkeraman tangannya dari kerah Revan. "Tunggu di luar kamar sampai aku memanggilmu kembali masuk."
Setelah Revan keluar, Abercio langsung duduk di sisi ranjang, tepatnya di sebelah Ciara. Satu persatu kancing kemeja ia lepaskan.
"Ciara, aku ... aku nggak bermaksud apa-apa." Ucap Abercio merasa bersalah. Awalnya ia ingin menikmati tubuh gadis itu. Tapi, karena peristiwa yang tak ia ketahui ini membuat ia mengurungkan niat untuk berbuat jahat pada gadis kecil itu.
Setelah semua kancing terlepas, Abercio memiringkan tubuh Ciara. Lalu, ia menyibak kemeja putih yang menutupi tubuh gadis itu.
"What the fakkk!!!!"
Abercio terbelalak kaget. Matanya sempurna membulat dengan mulut yang sedikit terbuka. Tanpa terasa, mata Abercio mulai memanas dan berkaca-kaca.
"Hal berat apa yang telah kamu lalui, Ciara?"
...❣️❣️❣️...
...BERSAMBUNG......
...❣️❣️❣️❣️❣️...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!