"Siapa kamu?" Tanyaku sedikit meninggi ketika baru pulang dari kota S. Tiba di rumah Emak, yang membuka pintu bukan beliau, melainkan anak remaja. Apa lagi rumah emak berantakan sekali, sepertinya tidak pernah disapu. Pikiranku menjadi tidak tenang bahwa terjadi apa-apa dengan Emak.
Emak orang yang selalu menjaga kebersihan, tidak mungkin jika Emak membiarkan asbak di atas meja sampai penuh dengan puntung rokok, dari luar pun sangat terlihat. Aku menoleh meja di teras tampak berdebu, lantai pun terasa kresil di injak karena aku melepas alas kaki.
"Saya Jesinta, anak pak Agus." Jawab gadis itu. Aku tidak ambil pusing, anak pak Agus berarti anak tiri emak. Wajar jika ia tinggal bersama bapaknya.
"Lalu kemana Mbok Sri?" Tanyaku. Sebelum aku pergi, sengaja mencari ART untuk membantu Emak, tidak mungkin jika beliu masih disini rumah dibiarkan berantakan.
"Oh, Mbok pulang kampung, katanya anaknya sakit." Jawab Jesinta benar atau tidak, entahlah.
"Kamu siapa?" Gadis itu balik bertanya. Kami memang tidak saling mengenal sebab saat Emak dan pak Agus menikah, pak Agus tidak mengundang maupun memperkenalkan anaknya kepada Emak apa lagi aku.
"Aku Gayatri, anak Ningrum, pemilik rumah ini," Jawabku bukan sombong, karena menekan kata, pemilik rumah ini. Namun aku hanya ingin ia tahu bahwa aku pulang ke rumah sendiri, bukan bertamu.
"Lalu kemana Emak?" Tanyaku, seraya masuk ke dalam. Karena gadis itu tidak juga menyuruhku masuk. Padahal aku sudah kangen dengan Emak. Namun begitu masuk, betapa terkejutnya aku, seorang wanita paruh baya keluar dari kamar emak.
Deg
"Kemana Emak?" Aku bertanya untuk yang kedua kali, menoleh gadis yang bernama Jesinta itu. Mengapa kamar emak di tempati wanita lain.
"Emak ikut Ayah yang sedang mengerjakan proyek di luar kota." Jawab gadis itu. Aku percaya saja, karena pak Agus dan emak memang selalu bekerja berdua. Emak bagian memasak sedangkan pak Agus mengawasi tenaga proyek.
"Lalu Anda siapa? Kenapa keluar dari kamar Emak?" Aku masih bertanya wajar saja, tidak mau berpikiran buruk.
"Oh, itu Ibu saya Ratri, karena aku takut sendirian di rumah ini, makanya minta di temani Ibu selama Emak dan Ayah belum kembali. Tetapi karena kamu sudah disini, nanti Ibu aku suruh pulang kok," Jawabnya.
Karena lelah aku tidak menghiraukan wanita paruh baya itu, karena beliau tidak menyapaku. Segera menarik koper menuju kamar yang sudah 6 bulan tidak aku tiduri.
Aku membuka pintu kamar memindai sekeliling, tidak berbeda jauh dengan di bawah tadi. Kamarku acak kadul. Tercium dari aroma parfum seperti parfum yang di pakai Jesinta. Sudah pasti gadis itu tidur di kamarku. Lancang sekali mereka sudah memakai kamarku dan kamar ibu. Mending dirapikan rasanya ingin ngomel.
"Astagfirrullah..." Aku hanya bisa istighfar dari mana aku harus memulai membersihkan rumah ini. Segera aku ke kamar mandi setelah menyalakan lampu. Kamar mandi yang sebelum aku tinggalkan kinclong, kini berlumut jika tidak hati-hati bisa-bisa jatuh terpleset.
Aku kembali ke bawah, tapi tidak menemukan kedua wanita itu, maksud aku ingin mencari sapu. Yang penting aku membersihkan kamar dulu agar bisa merebahkan diri memulihkan tenaga setelah perjalanan.
Aku ingat di belakang rumah dulu biasa Mbok Sri menyimpan sapu. Aku membuka pintu belakang, disisni pun daun-daun kering berserakan entah berapa bulan tidak di sapu. Tampak benda yang ku cari bersandar di tembok rupanya ijuknya tinggal separuh karena rontok.
Lumayan lah, daripada tidak ada, besok baru aku akan membeli sapu, pelan, sabun dan lain sebagainya. Aku kembali ke kamar mulai merapikan kamar, tetapi yang penting menyikat kamar mandi dulu agar tidak licin. Dengan peralatan lidi yang sudah tinggal tunggak lumayan bisa untuk membersihkan lumut.
Terpaksa aku menggunakan sabun mandi cair yang aku ambil dari koper untuk membersihkan lantai dan tembok kamar mandi menggunakan sikat gigi yang sudah tidak terpakai.
Selama tiga puluh menit akhinya kamar mandi lumayan bersih. Aku pindah ke kamar. Di samping ranjang tampak ada dua tumpukan kardus besar-besar, entah apa isinya mungkin barang-barang milik Jesi. Aku tidak menyentuh benda tersebut lanjut tujuan awal membersihkan kamar. Menyapu setelah bersih, membuka lemari pakaian di laci paling bawah biasanya Mbok Sri dulu menyimpan seprai.
Ternyata benar, segera aku ganti seprai, baru lanjut mengepel. Setelah kinclong aku ganti pakaian. Namun bukan ambil dari lemari melainkan, ambil kaos dari koper dan celana pendek.
"Alhamdulilah..." Aku merebahkan tubuhnya di kasur rasanya nyaman sekali. Ah, andai saja ada Emak pasti sudah aku peluk beliu, aku kangen sekali.
Aku tinggal di kota S, mengurus perusahaan milik papa Daniswara, beliau adalah ayah biologis aku. Papa sebenarnya tinggal di Jakarta bersama istri sahnya yang bernama Banuwati.
Singkat cerita Emak Ningrum, korban perkosaaan yang di lakukan papa Daniswara ketika remaja dulu, saat Emak bekerja di rumah beliau sebagai ART. Saat itu papa sedang mabuk. Akhinya Emak mengandung aku. Tetapi aku rasa tidak perlu aku mengingat luka itu.
Ternyata perkosaan itu membuat Emak trauma hingga tidak mau menikah dengan pria manapun. Hingga 8 bulan yang lalu Emak mau dinikahi duda yang bernama Agus.
Sepertinya pria itu baik, makanya aku megijinkan Emak menikah dengan beliu. Selama dua bulan aku tinggal bersama. Saat aku wisuda pun bukan papa Daniswara yang menghadiri undangan, melainkan pak Agus bersama Emak.
Aku senang melihat Emak kembali ceria, makanya aku menerima tawaran papa. Perusahaan papa yang di kota S sudah di serahkan kepadaku.
Selama 3 bulan aku dengan Mak Ningrum selalu komunikasi jarak jauh. Setiap pagi sebelum ke kantor, dan malam ketika pulang kantor aku selalu telepon, mendengar suara nya pun sudah mengobati rasa kangen. Namun tiga bulan terakhir, Emak sulit sekali aku hubungi.
Itulah yang membuat aku tidak tenang, segera ingin ke Jakarta hati aku tergerak ingin bertemu Emak. Toh aku bisa kerja online dari sini. Tetapi ternyata ketika tiba disini, Emak entah kemana.
Nanti aku akan minta nomor handphone pak Agus kepada Jesi, jika memang Emak bersama beliau tentu bisa ngobrol dengan Emak.
Sebaiknya aku tidur sebentar, menjelang dzuhur nanti bangun. Capek juga rasanya, jam 9 pagi aku tiba di bandara Jakarta, perjalanan tidak sampai satu jam sih, dari kota S. Tidak membuang waktu lagi aku segera keluar mencari taksi.
"Taksi" Panggilku sambil melambai. Taksi pun menepi dimana aku menunggu.
"Kemana Neng?" Tanya Supir taksi.
"Perkampungan ××× gang sempit," Jawabku. Tetapi jalanan macet jam 10 baru tiba di gang. Mencari ojek mangkal tidak ada terpaksa aku jalan kaki untuk tiba sampai disini. Toh, sampai di rumah nanti aku akan istirahat. Pikirku, tetapi nyatanya aku justeru beres-beres.
"Allah hu akbar-Allah hu akbar"
Mendengar adzan dzuhur aku segera bangun lumayan tidur 30 menit. Segera aku ambil air wudhu, kemudian membuka lemari hendak mengambil mukena.
Namun, betapa terkejutnya aku, semua pakaian aku tidak ada. Di ganti pakaian orang lain. Siapa lagi jika bukan punya Jesinta. Seketika aku menoleh kardus membuka ikatan rapia. Ternyata kardus itu untuk menyimpan barang-barang aku.
Aku segera ke bawah, akan aku buat perhitungan apa maunya mereka. Dasar benalu!
...BERSAMBUNG....
Dengan rasa kesal aku menuruni tangga, mungkin memang harus diberi pelajaran anak tiri Emak itu.
Tok tok tok.
Beberapa kali mengetuk pintu kamar Emak yang di tempati Ibu nya Jesinta. Namun tidak ada jawaban. Mungkin lebih baik aku shalat dzuhur dulu, agar tenang dan tidak terlalu emosi menghadapi dua wanita asing yang sudah mengacak-acak rumah Emak.
Ini kan rumah Emak peninggalan Kakek Nenek, bukan rumah milik pak Agus. Tetapi mengapa mereka bertingkah seenaknya. Aku juga tidak akan melarang jika pak Agus mengajak Jesinta tinggal di rumah ini, karena memang anak tiri Emak seperti aku dengan pak Agus.
Tetapi bukan berarti mantan istri pak Agus, juga harus tinggal disini. Atau, jangan-jangan mereka masih berhubungan suami istri. Dan pak Agus menipu Emak? Jika keluarga pak Agus berani menyakiti Emak, mereka tidak hanya berhadapan dengan aku, tetapi juga berhadapan dengan Bima suami Gendis. Karena Bima menganggap Emak seperti orang tua sendiri.
Gendis anak papa Daniswara bersama Banuwati saudara satu Ayah lain Ibu dengan aku. Ketika kami bayi menurut cerita di tukar Emak, karena sakit hati lantas Emak balas dendam.
Aku menempati posisi Gendis tinggal bersama papa Daniswara. Selalu dimanjakan dengan kemewahan. Sementara Gendis hidup bersama Emak yang hanya hidup pas-pasan dan kerja keras. Memang itu rencana Emak. Tapi ya sudahlah tidak perlu aku ceritakan semuanya Jika ingat masalalu membuka luka lama menganga kembali.
Tiba di atas aku menghadap kiblat kemudian sholat, hingga rokaat terakhir mengucap salam. Kemudian aku berdoa agar Emak diberikan kesehatan dimanapun beliu berada.
Selesai shalat aku ke garasi, mencari motor hendak mencari peralatan rumah tangga. Motor yang dibelikan Papa Daniswara, karena gang menuju rumah ini tidak masuk mobil. Namun garasi pun ternyata kosong. Apa mungkin jika Emak dengan pak Agus pergi membawa motor.
Aku kembali keluar ke warung kelontong tidak jauh dari rumahku. Karena tidak ada motor jalan kaki pun bisa.
Tiba di warung tampak ramai pembeli. Warung pak Waluyo memang selalu ramai karena warung satu-satunya di gang aku. Di samping itu, warung ini juga lengkap, ingin membeli apapun tersedia. Dulu aku sering melihat setiap ada yang mengantar barang selalu mengangkut dari jalan raya menggunakan dorongan.
"Ratri ya?" Tanya wanita yang sedang hamil tersenyum mendekati aku.
"Ayu" Jawabku senang. Ayu adalah sahabat Gendis ketika Gendis berada di rumah. Ayu dulu selalu main ke rumah bahkan tidak jarang menginap.
"Kapan kamu datang Ratri?"
"Baru tadi pagi Yu. Oh iya, sudah berapa bulan kehamilan kamu?" Tanyaku menatap perut Ayu yang sudah besar.
"Sudah waktu nya Ratri, doakan sehat dan lancar ya." Ujarnya.
"Aamiin..." Jawabku sambil meraup wajahku dengan telapak tangan.
Kami ngobrol panjang lebar, saling tanya kabar hingga akhirnya Ayu menanyakan kabar Emak.
"Emak katanya sudah tiga bulan ikut Pak Agus keluar kota Yu," Jawabku.
"Oh, pantas... kalau aku lewat selalu sepi, terus sampahnya di latar tidak pernah di sapu," Jawab Ayu.
Ayu pun pulang setelah mendapatkan yang ia cari. Sementara aku membeli peralatan rumah termasuk sapu, berbagai pembersih, pewangi, dan lain sebagainya. Tidak lupa juga aku membeli mie instan dengan telur. Untuk makan siang lebih baik memasak itu saja daripada keluar. Sebab hari ini waktunya akan aku gunakan untuk bersih-bersih.
Setelah di hitung semua belanjaan, aku membayarnya lalu kembali pulang.
"Gayatri... kapan kamu sampai?" Tanya bu Hendro posisi rumahnya tepat di sebelah Emak, tetapi rumah kami ada pembatas pagar.
"Tadi pagi Bu," Aku berhenti kemudian salim tangan beliau.
"Emak kamu sudah tahu kalau kamu pulang?" Tanya Bu Hendro.
"Belum Bu, Emak tidak bisa saya hubungi. Apa Ibu tahu kemana perginya Emak?" Tanyaku menyelidik, barang kali bu Hendro tahu.
"Aku tidak tahu Ratri, tapi pernah mendengar cerita anaknya Pak Agus, Emak kamu ikut Ayahnya." Jawab bu Hendro sama seperti yang di ceritakan Jesinta kepadaku.
"Baik Bu, kalau bagitu saya permiasi." Aku mengangkat belanjaan dua kantong, sapu, pelan, dan ember lumayan berat juga.
"Tunggu Ratri." Cegah bu Hendro ketika aku ingin melangkah.
"Ratri... Jesinta kemarin pernah bilang, ketika saya tanya kenapa tidak penah menyapu. Dia menjawab jika rumah kamu ada hantunya."
"Hantu?" Tanyaku. Memotong.
"Iya, kata Jesi, kalau malam sering di takuti. Siuuuttt.... siuuuttt... angin kencang mampu membuka jendela kamu yang sudah di kunci, daun-daun pada rontok. Jadi kami para tetangga takut datang ke rumah kamu Ratri." Tutur bu Hendro panjang lebar.
Aku tidak memotong penuturan bu Hendro, tetapi dalam hati tertawa. Setelah pindah dari kediaman Papa Daniswara, aku sudah hampir 3 tahun tinggal sama Emak di rumah itu. Tetapi tidak pernah ada hantu. Aku jadi berprasangka hantunya yang tak lain Jesinta dan Ibu nya.
"Sebaiknya kamu hati-hati Ratri," Pesan bu Hendro, tergambar jelas ketakutan di wajah beliau.
"Baik Bu, terimakasih informasinya, permisi." Jawabku pura-pura percaya. Akan aku ikuti permainan Jesinta dan Ibu nya. Bu Hendro boleh mereka bodohi tentu tidak untuk aku.
Tiba di rumah masih seperti semula sepi. Aku letakkan belanjaan di dapur. Di dapur pun berantakan, wastavel berkerak sampai hitam aku hanya berdecak kesal.
Tok tok tok.
Aku kembali mengetuk pintu kamar Emak, masih sama seperti tadi, tidak ada jawaban. Kemana dua orang itu jangan-jangan di cekit hantu seperti yang Jesinta ceritakan kepada tetangga.
Aku kembali ke depan mengunci pintu. Tidak ada jalan lain untuk menghilangkan penasaran selain membuka pintu kamar Emak. Agar jika wanita paruh baya tadi datang tidak memergoki aku.
Masa bodoh aku di katakan lancang membuka kamar orang. Toh, mereka sudah mulai menabuh genderang perang, aku akan ladeni.
Ceklak.
Aku memindai sekeliling kamar. Astagfirrullah... berantakan, lebih parah dari kamar aku. Aku menarik napas panjang seraya berjalan menuju lemari. Aku buka lemari milik Emak, kemudian meneliti pakaian yang tersusun di rak lemari jelas bukan baju Mak.
Sudah aku duga isinya pasti baju milik wanita paruh baya tadi. Lalu mereka simpan dimana pakaian Emak. "Kamar Mbok Sri" Aku berbicara sendiri, segera berjalan menuju kamar paling kecil.
Aku buka lemari kecil, tersimpan baju Emak, aku menangis sambil mencium daster Emak, yang biasa beliu pakai sehari-hari. Saking seringnya di pakai hingga tipis.
Aku menoleh tempat tidur kecil, rupanya Emak tidur di tempat sempit ini entah sejak kapan. Terbukti bantal dan selimut milik Emak yang biasa beliu pakai di lipat disini. Aku telungkup di bantal sambil terisak ingin mencium keringat Emak. Namun hanya bau debu itu artinya Emak sudah lama tidak tidur disini.
"Hiks hiks hiks. Emaaakkk..." Aku menangis kencang. Ternyata selama ini Emak selalu menderita.
"Brengsek kamu Agus! BRENGSEEEKKK... hu huuu..."
...Bersambung....
Aku harus menyelidiki apa sebenarnya yang menimpa Emak, setelah kepergian aku. Apa salah jika aku berburuk sangka kepada pak Agus, karena terakhir aku tinggalkan, Emak bersamanya.
Aku hapus air mataku, lalu membuka lemari pakaian. Mencari sesuatu yang bisa aku jadikan bukti. Oh iya, aku ingat. Emak gemar sekali menulis, entah berkhayal membuat cerpen kala senggang, atau menulis tentang kisah pribadinya di buku harian.
Sroook...
Aku buka laci kesatu tidak ada, kedua, dan ketiga. Buku selebar telapak tangan tetapi tebal mirip buku saku, aku ambil membuka lembaran pertama.
PoV Ningrum.
Sah, sah, sah.
Aku tidak percaya, setelah usiaku tidak muda lagi mempunyai suami tampan seperti Mas Agus.
"Ningrum." Kata Mas Agus mencium bibirku, kemudian menyelipkan cincin.
Aku tersipu malu kepada pria yang baru sah menjadi suamiku ini. Dan juga malu kepada kerabat dekat yang menjadi saksi pernikahan aku.
Sebenarnya Mas Agus akan mengadakan resepsi. Namun aku menolak, rasanya tidak pantas pernikahan seusiaku dirayakan.
"Terimakasih Mas," Jawabku. Lalu aku sungkem kepadanya.
"Selamat Mak, semoga pernikahan Emak langgeng dan jangan lupa segera beri aku adik." Ujar Ratri Putriku. Aku malu mendengar ucapan putriku. Apa iya? Usiaku yang sudah menginjak 50 tahun bisa mempunyai anak.
"Terimakasih sayang... kamu yang harus segera menikah dan memberi Emak cucu," Jawabku. Setelah Dia mencium pipiku.
"Doakan lulus kuliah dengan nilai bagus Mak, baru nanti aku memikirkan pacar," Tegas Gayatri.
"Pasti dong sayang..." Jawabku. Setelah Ratri bergeser, tergantikan Gendis di ikuti Bima suminya di belakang yang mengucap selamat.
"Selamat Mak, aku senang, setelah sekian lama Emak akhirnya mendapatkan jodoh yang baik seperti Pak Agus," Ucap Gendis, ia menangis memeluku.
"Jangan menangis sayang..." Aku usap bahu Gendis yang menangis di pelukan aku. Walaupun sebenarnya aku juga menangis, ingat perlakuan aku dulu, kepada putri Banuwati yang lemah lembut ini. Namun Gendis tidak pernah membalas perlakuan aku. Hingga anak ini mendapat balasan yang setimpal. Punya orang tua harmonis, mertua yang sayang padanya, terlebih suami seperti Bima yang sayang mencintai dirinya.
"Mak... aku sama Gendis senang, sekarang Mak Ningrum sudah ada yang menemani. Ijinkan saya mengajak Gendis mengurus perusahaan kami yang baru ya, Mak." Kali ini Bima yang bicara setelah Gendis.
"Baiklah Bima, jaga anak Emak." Jawabku pendek. Bima akan mengajak Gendis ke luar negeri. Mengurus perusaahan yang Bima rintis sendiri bukan pemberian orang tuanya.
"Pak Agus, titip Emak. Jaga dengan baik," Pesan Bima kepada Mas Agus.
"Jangan khawatir Bima, semoga kalian sukses," Jawab Mas Agus.
Secara bergantian mereka mengucap salam. Banuwati mama Gendis bersama suami, yakni Daniswara. Seruni dan Ganendra orang tua Bima dan juga kerabat dekat yang lain.
"Ningrum, setelah Ratri Wisuda minggu depan, ijinkan Dia mengurus perusahaanya di kota S" Kata Daniswara.
"Saya bagaimana Ratri saja Tuan, yang penting Ratri senang, saya akan selalu mendukung." Jawabku. Daniswara tampak lega. Pria itu rupanya sudah ingin pensiun. Nyatanya perusahaan yang di Jakarta sudah di serahkan kepada Gendis, kemudian yang di kota S, kepada putriku.
Aku senang semuanya berkumpul di rumahku. Rumah peninggalan kedua orang tuaku di sulap Bima menjadi rumah bagus, berlantai dua walaupun mobil tidak bisa masuk. Orang seusiaku sudah tidak memikirkan itu.
Diantara tamu yang datang tidak ada satupun keluarga suamiku yang hadir. Sebelum kami menikah, Mas Agus pernah cerita jika mempunyai anak perempuan, padahal aku meminta agar Mas Agus mengundangnya kesini. Namun menurut Mas Agus, anaknya tidak mau.
Seperti ada rahasia yang Mas Agus sembunyikan dari aku tentang keluarganya, tetapi hanya Mas Agus yang tahu.
Jika aku menanyakan tentang mantan istri Mas Agus. Mas Agus selalu menjawab. "Jangan bahas wanita itu lagi." Tegasnya. Semenjak itu aku tidak pernah bertanya lagi.
Semua tamu mencicipi hidangan sambil ngobrol panjang lebar hingga sore para tamu membubarkan diri.
Aku segera mandi sore, tubuhku terasa segar dan enteng. Tiba di kamar, Mas Agus yang masih mengenakan blangkon sudah merebahkan tubuhnya di kasur. Aku kaget, sebab baru kali ini Mas Agus masuk ke kamar aku. Namun tampaknya pria itu tidak ada rasa canggung lagi.
"Mas Mandi dulu gih," Perintahku segera aku duduk di depan kaca menyisir rambut.
"Ningrum..." Ujar Mas Agus. Entah kapan bangunya, tiba-tiba ia sudah merangkul aku dari belakang. Jantungku berdetak lebih cepat ketika tangan kekarnya melingkar di perut.
"Mas mandi dulu... bau keringat ih, aku sudah wangi." Kilahku, padahal Mas Agus aromanya wangi. Hanya rasanya aku masih belum siap jika Mas Agus meminta haknya sore ini juga.
Cup!
"Okay... aku mandi." Ujarnya. Setelah mencium kepalaku ia segera membuka blangkon dan lain sebagainya hingga menyisakan kaos dan celana pendek.
Segera aku keluar, lagi-lagi masih malu melihat anggota tubuh suamiku. Mungkin saat ini Mas Agus sedang mandi.
Tiba di luar kamar Mbok Sri dan Gayatri sedang merapikan tikar bekas para tamu.
"Mak, Pak Agus sudah ke kamar?" Tanya Ratri sambil menggulung karpet.
"Sudah, kenapa memang?" Aku balik bertanya.
"Tadi kan Pak Agus menanyakan kamar Emak, terus aku antar kesana.
Pantas, Mas Agus sudah tahu kamarku, ternyata bertanya kepada Ratri.
Malam harinya kami sudah berada di kamar berdua. Mas Agus segera meminta haknya, dan tidak hanya sekali melakukan. Malam itu sampai tiga kali.
Hari demi hari rumah tanggaku bersama Mas Agus adem ayem. Kami saling rukun hingga pernikahan aku berjalan dua bulan putriku berangkat ke kota S.
Namun, akhir-akhir ini. Mas Agus sering mendapat tawaran pekerjaan keluar kota. Padahal baru di rumah sehari, Mas Agus besok sudah akan berangkat lagi. Aku merasa sepi, karena ditinggal hingga berhari-hari.
"Mas... besok aku ikut keluar kota ya, aku sepi Mas, di rumah sendiri. Ratri kan sudah nggak ada," Kataku. Hingga beberapa menit Mas Agus tidak menyahut.
"Jika aku ikut, aku juga bisa ikut bekerja kan Mas, dapat duit." Pintaku.
"Kalau alasan kamu ikut ingin mendapat duit, memanag uang yang aku kasih tidak cukup?" Tanya Mas Agus serius.
"Cek! Bukan begitu Mas, kok malah baper sih..." Aku sedikit kesal.
"Boleh saja, kalau kamu tidak capek, bagus juga ide kamu. Kita jadi selalu bersama." Jawab Mas Agus.
"Benar Mas," Aku tersenyum senang lalu memeluknya.
Seperti biasa malam ini, Mas Agus menghabiskan malam bersamaku. Wajar seminggu tidak bertemu. Keesokan harinya, aku ikut Mas agus keluar kota.
Semenjak saat itu, kemanapun Mas Agus kerja aku selalu diajak. Walaupùn kadang tidur dimana saja, tetapi aku senang.
Aku juga mendapat uang dari hasil keringatku. Walaupun tiap bulan Ratri selalu mengirim uang ke rekening aku. Tetapi biar saja uang itu aku gunakan jika aku sudah tidak mampu bekerja.
Aku senang, Ratri dan Gendis selalu telepon aku, kami selalu komunikasi via telepon.
Hingga suatu ketika, Mas Agus mendapat tawaran pekerjaan di Jakarta. Mengawasi pembangunan apartemen dalam jangka waktu yang lama. Kami tinggal di rumah aku lagi seperti dulu. Tetapi selama di Jakarta, sikap Mas Agus sedikit berubah banyak diam.
"Mas... kenapa sih, aku perhatikan akhir-akhir Mas Agus sering melamun?" Tanyaku penasaran.
"Rum, besok kita pindah ke rumah aku ya," Ajaknya tiba-tiba.
"Ke rumah Mas, dimana?" Tanyaku. Karena selama menikah sudah hampir 5 bulan, Mas Agus belum pernah bercerita tentang tempat tinggalnya.
"Di jakarta juga kok, tidak jauh,"
"Kenapa harus pindah sih Mas, kalau sama-sama tinggal di Jakarta, apa salahnya tinggal disini." Saranku.
"Cek! Aku ini laki-laki Rum, masa mendompleng terus menerus sama kamu." Wajahnya berubah kesal. Sampai aku takut, padahal selama ini Mas Agus tidak pernah marah.
"Iya, iya... aku mau ikut kemana suami aku pergi." Aku mengalah.
...Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!