Eman orang yang sedang dicari oleh keluarga Mbah Abun, Sekarang dia sedang berjalan terlunta-lunta tidak tahu arah tujuan, Sepertinya dia benar-benar mengikuti ibu jari menyusuri langkah yang tampak arti. walaupun sebenarnya Eman memiliki niat untuk pergi ke kampung Ciandam, tapi dia tidak mengetahui jalannya, yang Akhirnya dia pun tersesat bahkan semakin lama semakin menjauh dari kampung Ciandam.
Keadaan waktu itu sudah mau magrib, matahari saja sudah bersembunyi kebalik gunung, suara gerapung terdengar sangat riang di sahuti oleh suara burung-burung yang sedang loncat-loncat di ranting pohon, seperti sedang mencari penginapan. Ilir angin kecil menerpa dedaunan sehingga membuat daun itu terlihat bergoyang.
Eman terus berjalan dengan gontai, perutnya terasa lapar, keringat bercucuran membasahi baju yang terlihat sangat kotor, rambutnya yang gimbal, tidak jauh beda dengan seorang pengemis yang tersesat ke gunung.
"Haduh.....! sangat kejam orang lain, Kenapa mereka sangat tega merebut Neng Ranti dari tanganku, sampai harus berpisah kembali denganku. Kapan aku bisa bertemu kembali dengan Neng Ranti, ada-ada saja! kehidupan ini rasanya sangat kejam, Bagaimana sekarang nasibnya Neng Ranti?" begitulah gumam hati Eman, sambil terus berjalan mengikuti ibu jari kaki.
Akhirnya setelah melewati kebun bambu dan kebun singkong, perjalanan Eman sampai ke satu Bukit. Eman terus berjalan menyusuri Jalan Setapak, yang terlihat sangat rimbun oleh rerumputan hutan.
Setelah lama berjalan dia pun berhenti di dekat pohon jengkol, sedangkan matanya terus memindai ke samping kanan dan kiri, melihat-lihat area sekitar tempat, memperhatikan segala penjuru. mata Eman menangkap satu Saung yang berada di lembah, asap terlihat mengepul dari genteng yang terbuat dari tumpukan daun ilalang, di depan Saung itu ada kolam ikan kecil yang memakai ******, airnya terlihat sangat jernih sekali, sedangkan di area paling bawah ada hantaran sawah yang tidak terlalu banyak, padinya sedang hijau, mengandalkan air yang keluar dari setiap pinggirnya, mungkin itu disebut air sumur.
Waktu itu Eman merasa sangat bahagia, wajahnya terlihat sangat sumringah karena dia sangat bahagia melihat sebuah Saung yang ada asapnya, menandakan bahwa di saung itu ada api.
"Akhirnya aku memiliki tempat untuk beristirahat, tidak akan berbaring di atas rumput, sekarang aku mau menginap di saung itu, siapa tahu saja ada singkong untuk dibakar, agar bisa mengobati perut yang terasa lapar," ujar Eman berbicara dengan dirinya sendiri.
Setelah berhenti beberapa saat, dia pun melanjutkan perjalanan menuju ke Saung Kebun itu, menimbulkan suara kemeresek dan kemerosok, soalnya jalan yang dilalui oleh Eman terlihat sangat rimbun oleh rerumputan ilalang. sesekali Dia terlihat melompat tebing petakan, sesekali dia memegang akar pohon agar tidak terjatuh, hingga Setelah lama berjuang dia pun sampai ke halaman Saung itu.
Eman berhenti tidak melanjutkan langkahnya, karena terdengar dari dalam saung ada orang yang sedang memotong kayu, sehingga membuat Eman merasa ragu-ragu Kalau kenyataannya seperti itu.
"Ah....! ternyata Saung ini ada pemiliknya, Bagaimana kalau sudah begini, Apakah aku harus pulang kembali atau melanjutkan bertamu?" ujar hati Eman sambil menatap ke arah pintu Saung.
Sedang asyik berpikir, dari arah dalam terlihat ada orang yang keluar seorang nenek-nenek yang sudah membungkuk, di tangannya terlihat ada lodong Mungkin dia mau mengambil air ke Talang. namun ketika mata itu menatap ke arah Eman, dia pun terlihat terkejut tidak bisa berbuat apa-apa, namun hanya matanya saja yang menatap lekat ke arah Eman, Tapi itu tidak lama karena dia pun kembali ke dalam Saung.
Setelah nenek-nenek itu masuk, suara orang yang sedang memotong kayu pun terdengar berhenti seketika, mungkin sedang diajak ngobrol oleh si nenek. namun tak lama diantaranya, ada orang yang keluar lagi dari Saung itu, namun sekarang tidak sendirian, orang yang keluar itu sekarang berdua yaitu nenek-nenek dan kakek-kakek, keduanya sudah terlihat membungkuk namun kelihatannya masih sangat segar.
Kakek-kakek itu memakai celana pangsi hitam, badannya tidak ditutupi sehelai benang pun, memamerkan kulit yang berwarna sawo matang yang terlihat sangat jelas. bahkan tulang-tulang yang menonjol menghiasi kulit yang sudah terlihat lembek itu, namun sorot matanya terlihat sangat tajam, menatap ke arah Eman membuat hati pemuda itu terasa berdebar.
"Hai Jalu....! kamu mau ke mana atau pulang dari mana, Kenapa kamu sampai ke tempat ini, Apakah kamu manusia atau siluman, kalau siluman cepat pergi dari tempat ini, kalau setan cepat minggat. tapi kalau manusia, Ayo masuk ke dalam!" ujar kakek-kakek itu tanpa melepaskan tatapan.
Di tangan kanan kakek-kakek itu terlihat ada golok, di samping kirinya ada si Nini yang sedang berdiri sambil memegang lengan si aki.
Mendapat pertanyaan seperti itu, membuat hati Eman terasa plong, karena orang yang memiliki Saung, Nini dan Aki kebun yang sudah bisa dipastikan, pasti keduanya tinggal di tempat itu, karena saungnya terlihat sangat rapi seperti sengaja diurus, agar mereka betah tinggal berlama-lama di saung itu.
Dengan segera Eman pun berjalan mendekat ke arah Si Aki dan si Nini dengan membungkuk hormat, tidak berani kurang ajar. setelah berada di hadapannya Eman pun berbicara dengan nada yang sopan.
"Aki, Nini....! Saya mohon maaf sebelumnya, karena sudah berani datang ke tempat ini tanpa memberi tahu terlebih dahulu, soalnya Saya sedang berkelana, sedang ada di tengah-tengah perjalanan, hingga akhirnya saya kemalaman di tempat ini, kalau aki dan Nini memperbolehkan dan tidak keberatan, Saya ingin menumpang beristirahat di tempat ini."
"Oh kemalaman! ya sudah ayo masuk jalu...!" jawab Si Aki dengan sangat ramah.
Mendapat penyambutan seperti itu, membuat Eman semakin merasa bahagia, dengan segera dia pun menghampiri lalu mengajak kedua orang itu bersalaman, tak lupa Eman mencium punggung tangan Si Aki dan si Nini yang sudah keriput.
Kemudian mereka bertiga pun masuk ke dalam, mata Eman terlihat terbelalak seolah tidak menyangka kalau di dalam Saung itu sangat rapi dan bersih, tidak seperti sedang berada di saung sawah.
Jangkrik jangkrik Terdengar sangat riang, ditimpali dengan suara kodok, ditembak dengan suara katak, belalang hijau Terdengar sangat riuh menghiasi keadaan malam waktu itu.
Sementara waktu, Eman masih tetap berdiri sambil memindai area dalam Saung, matanya melirik ke arah pelupuh yang terlihat sangat mengkilap, menandakan bahwa pelupuh itu sangat sering diduduki, sudah lama ditinggali. kemudian mata itu melirik ke arah tungku terlihat ada kastrol yang tergantung, biasa digunakan untuk ngeliwet. mata itu melirik ke arah pojok, terlihat ada lodong yang tersandar mungkin biasa digunakan untuk mengambil air. sedangkan di area atas terlihat pakaian yang sudah butut yang menggantung, ditambah sarung butut. selain dari itu, ada juga perabotan seperti cangkul linggis Parang Arit dan lain-lainnya.
"Silakan duduk Ujang, di situ tuh!" ujar si Nini sambil menunjuk ke arah pelupuh.
Eman yang terlihat terkejut, namun dengan segera dia pun duduk meski masih ragu-ragu, matanya terus larak lirik.
"Sana Nini Kalau mau ngambil air, Nanti keburu gelap!" Seru si Aki sambil menyelipkan golok ke dinding Saung, terus menggulingkan kayu yang tadi dia potong, mungkin kayu itu mau dibuat Lesung. Setelah itu si aki pun duduk di samping eman, sedangkan si Nini keluar dari Saung untuk mengambil air.
"Sebentar, sebelum kita mengobrol, Aki ingin tahu nama Ujang?"
"Nama saya Eman, Aki."
"Pulang dari mana atau mau pergi ke mana, dan dari mana asal, Di mana tempat tinggal?"
"Saya tidak memiliki Kampung aki. soalnya saya sudah lama berjauhan dengan bapak, karena saya bertemu dengan kesusahan."
"Tujuannya mau kemana?" tanya si aki sambil mengerutkan dahi yang sudah keriput.
"Tujuannya saya mau ke kampung Ciandam, tapi sangat banyak cobaannya, bahkan sampai-sampai saya kehilangan nyawa, Mau dilempar pakai pisau belati."
"Astaghfirullahaladzim, sama siapa itu Ujang?"
"Kurang tahu aki, karena saya tidak kenal, namun yang sudah jelas dia kejam."
"Duh kasihan kamu Ujang, jalu! Bagaimana, Bagaimana ini sebenarnya? Coba tolong ceritakan sama aki! agar aki mengerti dan siapa tahu saja aki bisa menolong."
Tanpa berpikir panjang, Eman pun bercerita tentang apa yang menimpa dirinya, diceritakan dengan sejujur-jujurnya tanpa ada yang ditutupi tanpa ada yang disembunyikan, semuanya dirinci secara terperinci, di Jelaskan sama aki kebon membuat aki-aki itu terlihat manggut-manggut, seperti sangat tertarik dengan cerita yang dibawakan oleh Eman, cerita yang menurutnya sangat aneh dan langka.
Ketika waktu itu, si Nini pun sudah masuk kembali ke dalam Saung, kemudian dia menyimpan lodong yang sudah diisi oleh air. Lalu dia pun mengambil Damar untuk dinyalakan hingga akhirnya tempat itu menjadi terang, meski tidak benderang.
"Oh iya, kalau Ujang suka salat?" tanya aki kebon seperti teringat sesuatu.
"Suka aki, tapi jarang, hehehe." jawab Eman dengan ragu-ragu, karena dia merasa kalau salatnya tidak setiap waktu, dia salat ketika lagi ingat saja atau lagi mau. apalagi beberapa hari terakhir dia tidak pernah melakukan kewajibannya sama sekali karena keadaannya yang seperti itu.
"Hahaha, bagus, bagus.....! Ujang sangat jujur. Nah, sekarang Ujang harus memulai kembali, Lihat air mengalir begitu deras, sana mandi sampai bersih, untuk baju ganti, Ujang bisa memakai kampret aki, karena aki juga punya dua, namun pasti agak kebesaran, karena ketika Aki pakai juga longgar. Selain itu sarungnya juga aki punya, walaupun sudah butut. Sana buruan mandi, biarkan ngobrol nanti kita lanjutkan kembali."
"Baik aki.....!" jawab Eman tidak membantah, dengan tergesa-gesa dia pun keluar dari Saung, langsung menuju ke ******. tanpa ragu-ragu dia pun membuka seluruh pakaiannya lalu mandi membersihkan tubuh, bahkan terlihat digosok-gosok, wajahnya diluluri menggunakan daun jambu batu, yang kebetulan ada di pinggir kolam. badannya digosok menggunakan batu, bahkan kepalanya pun di keramas, kebetulan di tempat itu ada air Abu gosok, mungkin bekas si Nini berkeramas.
Setelah selesai mandi, Eman tidak berani memakai bajunya kembali, baju itu dia rendam di ******, mungkin agar kotorannya terangkat. dia hanya menggunakan kolor, kemudian dia pun masuk kembali ke dalam Saung.
"Hahaha, dingin ya Ujang?"
"Iya lumayan aki, tapi seger. soalnya sudah lama tidak mandi, hehehe." jawab Eman yang masih terlihat malu-malu.
"Syukur kalau begitu, nih sekarang Ujang pakai sarung aki, sekalian sama kampretnya, namun tidak usah ingin memakai kopiah, soalnya aki tidak punya."
"Terima kasih banyak aki, ini juga sudah cukup!" jawab Eman, kemudian tanpa ragu-ragu dia pun mulai memakai pakaian yang diberikan oleh Si Aki kebun.
Sedangkan orang yang memberikan pakaian, dia pun pergi ke air untuk mengambil air wudhu, sedangkan Eman dia melaksanakan salat magrib, di ampari oleh sebilah tikar yang sudah rawing.
Selesai salat, dia pun membaca wirid yang dulu pernah diajarkan oleh pak ustad, ketika dia tinggal di rumahnya. Eman terlihat sangat khusu, khayalnya kembali terbang mengingat ke ibu dan bapaknya, kemudian dia pun mengingat kembali sama pak ustad yang pernah mengajarinya, tentang ilmu agama Islam.
Tak terasa air mata pun keluar membasahi pipi, karena dia merasa tidak bertanggung jawab, merasa tidak pernah giat merasa sering meninggalkan salat.
Keadaan malam semakin lama semakin gelap, karena waktu siang sudah diselimuti oleh waktu malam, matahari sudah terlelap di dalam tempat persembunyiannya, sayap-sayap malam sudah terbuka menutupi seluruh jagat raya. langit mendung tidak terlihat satu bintang pun, malam itu terasa gelap gulita, apalagi berada di pinggir hutan yang berada di tebing bukit.
Anjing tanah dan jangkrik semakin lama semakin terdengar sangat riuh, suara kodok terdengar dari arah sawah, belalang hijau tidak berhenti bernyanyi, saling sahut menyahuti dengan suara burung hantu yang terdengar dari pohon cermai. sesekali terdengar suara anjing hutan yang menggonggong, menambah suasana mencekam di tempat Eman tinggal.
Sedangkan si Nini terlihat sibuk membolak-balik peda bakar di Bara Api, wanginya tercium sangat wangi menggugah selera orang yang sedang lapar, Bara Api terlihat sangat merah di atasnya ada kastrol, yang menggantung yang isinya adalah liwet.
Sedangkan aki kebun dan Eman duduk di atas pelupuh, mereka saling duduk berhadapan tanpa berbicara sedikitpun, seperti orang yang sedang kehabisan pembicaraan, namun lama-kelamaan Si Aki pun kalah hingga akhirnya dia pun berbicara.
"Ujang!" Panggil aki kebon memecah heningnya suasana.
"Iya, saya aki!" jawab Eman sambil manggut.
"Kayaknya sekarang kita sudah santai, sekarang Aki ingin tahu cerita kamu dengan lengkap, walaupun tadi sudah Diceritakan bahwa kamu sedang mencari gadis yang bernama Neng Ranti, yang berwujud babi ngepet. Coba tolong ceritakan dengan jelas dan bagaimana tujuan Ujang sekarang."
"Begini Aki, saya tetap Kukuh ingin bertemu dengan Neng Ranti, serta Saya memiliki cita-cita ingin menolong dirinya. kasihan dia aki, masa iya ada orang yang berwujud babi. nah dari dasar itu, Malam ini saya akan beristirahat di rumah aki, besok pagi-pagi saya mohon pamit untuk melanjutkan perjalanan ke kampung ciandam, mencari kembali Neng Ranti, begitu aki!" jawab Eman tanpa ada yang ditutup-tutupi.
"Oh begitu, ya sudah syukur kalau begitu, silakan kalau begitu juga, karena memang sudah menjadi tujuan Ujang. tapi kalau Ujang mau percaya sama aki, Ujang Jangan berangkat besok pagi, soalnya itu sangat berbahaya, banyak Pati yang akan mengancam keselamatan Ujang. kalau bisa Ujang tinggal dulu sebentar di sini, jangan dulu pergi ke mana-mana, karena ke kampung Ciandam sudah dekat, Ujang tinggal berjalan ke sebelah utara, nanti akan sampai ke kampung yang Ujang tuju. paling hanya terhalang oleh satu bukit," ujar kaki kebun sambil menunjuk ke arah utara.
"Baik kalau begitu, saya akan mengikuti perintah aki. namun saya harus bagaimana aki?" jawab Eman yang dipenuhi dengan kebahagiaan, karena dia merasa memiliki pengganti orang tua yang jauh di sana.
"Kamu harus belajar kembali, ilmu Ujang harus persegi, kamu harus mengisi tubuh untuk menjaga diri, soalnya dari pengalaman yang sudah terlewat, sama ujang sudah terasa bahwa hidup itu selalu banyak cobaan dan ujian," aki Kebon menjawab pertanyaan Eman.
"Bener banget Itu Aki, saya merasakannya."
"Jadi, kita itu tidak boleh menggunakan satu jalan, hidup kita tidak boleh kosong melompong, kita harus memiliki andalan walaupun sedikit."
"Terima kasih, terima kasih banyak aki! tapi bagaimana caranya?" Tanya Eman yang susah paham cepat lupa.
"Ujang harus punya pilihan, tidak boleh menerima semua yang akan terjadi, jangan sampai ada peribahasa bagaimana nanti saja, tapi Hidup itu harus nanti bagaimana. coba Aki mau bertanya Ujang, sekarang sedang mencari apa, Sampai tersesat masuk ke dalam hutan, apa Ujang memiliki tujuan atau tidak?"
"Nggak tahu aki, pemikiran saya tidak bisa digunakan. Saya bingung apa sebenarnya Tujuan hidup saya, karena yang sedang saya kejar hanya satu. Sebelum meninggal Saya ingin membalas kebaikan Neng Ranti, yang sudah mengangkat nyawa Saya. hanya itu tujuan hidup saya aki."
"Bagus Segitu juga, namun itu tidak lengkap Ujang. Tolong dengarkan hidup manusia itu tidak boleh tidak memiliki keinginan, hidup itu harus memiliki tujuan. yang tentu tujuan yang jelas, sebab hidup itu bukan hanya sekedar makan dan berpakaian, atau mewujudkan keinginan."
"Tapi Aki?"
"Tapi, harus ada yang menjadi patokan agar kehidupan yang sedang kita jalani membuahkan hasil."
"Kenapa aki berbicara seperti itu?"
"Kenapa sebabnya aki berbicara seperti itu?" ulang aki kebun sambil menatap lekat ke arah Eman.
"Iya benar aki?"
"Begini Ujang, hidup di alam dunia kalau diibaratkan seperti sedang bercocok tanam, nanti suatu saat kita akan memanennya, memetik hasil pekerjaan Selama kita hidup di dunia. karena ada peribahasa menanam cabe tidak akan menjadi timun. artinya menanam kebaikan tidak akan berbuah kejelekan dan sebaliknya."
"Benar aki!" ujar Eman sambil manggut manggut.
"Selain dari itu, yang dibilang hidup baik itu harus menurut siapa dan baik seperti apa, yang akan membuahkan hasil?"
"Kurang tahu aki?"
"Nah kalau Ujang ingin tahu masalah itu, Ujang harus mengetahui tujuh mutiara kehidupan, yang sudah sering diajarkan oleh orang-orang yang sangat mengerti, orang-orang yang memiliki ilmu tinggi."
"Haduh, apa yang tujuh Itu Aki. soalnya Saya mengakui Saya adalah orang yang bodoh, bahkan dari kebodohan saya sampai harus mengalami kehidupan seperti sekarang."
"Ujang....! yang tujuh itu yang pertama keyakinan hidup."
"Keyakinan hidup.....?" ulang Eman yang baru pertama kali mendengar.
"Iya benar, keyakinan hidup, yang keduanya tujuan hidup, yang ketiga pedoman hidup, yang keempat tugas hidup, yang kelima Teman Hidup, yang keenam amal sholeh selama hidup, yang ketujuh kepribadian hidup. Nah kalau sudah mengerti tujuh mutiara kehidupan, Insya Allah hidup kita akan terang benderang, tidak akan ada kegelapan yang menghampiri, dan ini akan sangat berguna dan sangat bermanfaat bagi kehidupan kita."
"Oh begitu, tadi aki menanyakan saya tentang tujuan hidup saya, sedangkan saya tidak mengerti apa sebenarnya Tujuan hidup, kira-kira saya harus bagaimana, Terus apa tujuan hidup itu?"
"Tujuan hidup itu hanya satu, yaitu selamat di dunia dan selamat di akhirat."
"Oh begitu, kalau begitu saya juga ingin aki?"
"Benar hidup itu harus memiliki keinginan, namun itu tidak akan mudah, harus ada usaha untuk mewujudkannya, harus ada bekal untuk mengejarnya, karena kebahagiaan itu tidak akan datang dengan sendiri, harus diusahakan?"
"Bagaimana caranya aki?"
"Iya apa?"
"Bagaimana caranya?"
"Ada dua jalan yang harus dipilih oleh Ujang, yang pertama ilmu, yang kedua harta."
"Kenapa harus memilih antara ilmu dan harta?" tanya Eman yang semakin penasaran.
"Soalnya tujuan hidup akan bisa tercapai, kalau kita memiliki ilmu dan?"
"Dan harta Aki."
Lanjut Eman namun, setelah itu dia tidak berbicara lagi dia hanya menggeleng-gelengkan kepala, karena dia sadar diri tidak bisa berpikir, otaknya sangat kental tidak mampu memikirkan hal seperti itu. sedangkan aki kebun hanya mengulum senyum, kemudian dia pun berbicara kembali.
"Begini Ujang, harta dan ilmu kedua-duanya sangat penting, sangat berguna sangat dibutuhkan dalam kehidupan. namun harus seimbang, tidak boleh berat sebelah, tapi kalau harus memilih dari kedua benda itu. yang harus kita pilih adalah ilmu, soalnya buat orang yang memiliki ilmu yang tinggi akan sangat mudah untuk mencari harta, sedangkan orang yang memiliki harta belum tentu bisa mencari ilmu."
"Sebentar, sebentar dulu aki. saya mau bertanya?" ujar Eman sambil menatap ke arah si aki.
"Silahkan! Kalau mau bertanya, mau bertanya tentang apa?"
"Apa bedanya ilmu dengan harta?"
"Sangat banyak, Coba kita akan rinci satu persatu."
"Baik Bagaimana aki?"
"Begini Ujang, diantaranya. ilmu tidak berat ketika dibawa, berbeda dengan harta yang sangat berat ketika dibawa, bahkan sangat menyusahkan. ilmu kalau dikasih ke orang lain akan semakin bertambah banyak, sedangkan harta akan berkurang. ilmu suka menjaga sama pemiliknya, sedangkan harta harus dijaga oleh pemiliknya. ilmu tidak akan bisa dicuri atau di maling, tapi harta kadang suka ada yang mencuri. ilmu itu menerangi pemiliknya sedangkan harta menggelapi pemiliknya. ilmu bisa memperbanyak saudara, sedangkan harta memperbanyak musuh. ilmu mau tinggal di siapapun, tidak pandang bulu, sedangkan harta sangat pemilih, harta hanya Mau tinggal di orang-orang kaya. nah begitulah perbedaannya Ujang, coba Ujang pikirkan sekarang Ujang Mau milih yang mana?"
"Kalau begitu, saya akan memilih ilmu aki!" jawab Eman tanpa ragu-ragu.
"Syukur kalau begitu, ternyata sekarang Ujang sudah bisa memilih. kalau Ujang memilih ilmu itu sangat baik, soalnya ilmu akan membawa manfaat buat diri Ujang sendiri. sedangkan harta akan membawa kecelakaan terhadap diri kita, terutama kalau kita tidak ingat sama gusti Allah yang memberikan harta itu. Nah dari dasar itu Ujang, kalau Ujang ada niat untuk menolong Neng Ranti, Awas jangan memilih harta, Pilih Saja ilmu yang akan menerangi hati dan jiwa Ujang. Awas kalau nanti dikasih hadiah berupa harta benda, jangan sampai mau menerima. karena benda seperti itu akan terkena oleh kerusakan, akan terkena oleh habis. apalagi kalau tidak bisa membawanya, akan membebani terhadap diri Ujang. nah hanya itu amanat dari aki!" ujar aki kebun dengan sangat tegas memberikan peringatan sama Eman.
"Baik aki, semua nasehat aki akan saya jadikan pedoman. namun bagaimana kalau saya mau memilih ilmu, Apakah Neng Ranti akan memberikannya aki?" jawab Eman diakhiri dengan pertanyaan.
"Mungkin saja!"
"Mungkin Aki!" ulang Eman.
"Iya mungkin, tidak mustahil Neng Ranti akan memberikan ilmu kepada Ujang, dengan cara bagaimana saja, yang terpenting Ujang bisa mempunyai ilmu yang bermanfaat."
"Aki?"
"Kenapa Ujang?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!