NovelToon NovelToon

Super Chef System

Bad Day

Suara petir menyambar begitu kerasnya memekakkan telinga. Hujan turun dengan deras mengaburkan pandangan mata siapa pun yang nekat berjalan menerobos hujan. Elisa melangkahkan kaki dengan cepat menapaki tangga, ditangannya ada sekotak kue, makanan cepat saji dan beberapa kaleng minuman ringan yang tak ketinggalan ikut memenuhi tas plastik dari salah satu gerai ternama.

Elisa berdendang ceria membayangkan kejutan untuk kekasihnya Vino. Hari ini tepat dua tahun mereka berpacaran. Elisa tak pernah melewatkan perayaan hari jadi mereka seperti halnya hari ini, meski hujan petir melanda kota ia tetap berangkat menuju kontrakan Vino.

Seperti biasa, Elisa membuka pintu dengan kunci cadangan yang memang diberikan Vino untuknya. Tapi hatinya mendadak gelisah tak karuan saat melihat sepatu wanita tergeletak tercecer mulai dari pintu masuk diikuti dengan pakaian wanita dan lelaki. Jantungnya berdegup kencang, sayup-sayup terdengar era-ngan dan jeritan nakal seorang wanita.

Elisa terkesiap, matanya menatap adegan tak pantas yang terlihat jelas di depan matanya. Vino dan Dina, dua orang yang sangat dikenalnya tengah berbagi nikmat bersama. Elisa menutup mulutnya yang nyaris berteriak, mereka tak menyadari perbuatan tak pantas itu disaksikan Elisa.

"Vino!" suaranya tertahan dan tercekat.

Pintu kamar yang sengaja dibiarkan terbuka memperlihatkan jelas keduanya sangat menikmati kegiatan itu hingga akhirnya Vino mendengar bunyi keras benda jatuh dan menyadari kehadiran Elisa.

"Elisa!"

Dina yang sedang mereguk nikmat diatas tubuh Vino pun terkejut, ketika ia turun dan menyambar selimut. Sementara Vino segera mengenakan boxernya dan menghentikan Elisa yang hendak pergi.

"Lisa, aku bisa jelasin semuanya!" suara Vino terdengar gugup dan setengah memaksa, tangannya mencengkram kuat tangan Elisa.

"Jelasin? Jelasin kalau kamu menikmatinya sama Dina?!" Elisa berteriak sambil menunjuk sahabat nya yang berdiri menunduk malu berbalut selimut.

"Ini salah paham Lisa, aku … aku bisa jelasin! Kami nggak sengaja Lis!"

Elisa menatap tak percaya pada lelaki yang juga bekerja sebagai staff accounting di perusahaan ayahnya itu.

"Salah paham? Gila kamu! Nggak waras kalian berdua! Jelas-jelas aku melihat kalian sangat menikmati tadi!"

"Dengerin dulu apa kata ku Lisa, please!" Vino tetap bertahan dengan argumennya.

"Salah paham? Atau salah paha? Kita selesai, silahkan lanjutkan kegiatan kalian sampai puas!"

Elisa mendorong kuat tubuh Vino dan membebaskan tangannya dari cengkraman tangan Vino. Ia tak ingin lagi berlama lama disana, Elisa tak peduli meski hujan masih cukup deras. Ia berlari dengan derai air mata, sakit hati dikhianati kekasihnya tepat di hari perayaan kedua hubungan mereka.

'Aku membencimu Vin, aku benci padamu!'

Elisa terus berlari dan berlari hingga akhirnya ia lelah dan membiarkan dirinya duduk bersimpuh bermandikan hujan. Ia menangis dan menjerit tak peduli apa pun.

"Kak, ayo kita pulang!" 

Suara berat dan sedikit serak menyapa telinga Elisa ditengah ribuan titik air yang menghujam tubuhnya. Elisa menoleh ke arah suara, Nico sang adik tersenyum padanya.

"Tenanglah, ada aku disini!" 

Nico berjongkok, mengusap lembut punggung Elisa sementara tangan kanannya memegang payung.

"Nico _," sahut Elisa lemah, kepalanya berdenyut kencang, pandangannya kabur, dan akhirnya Elisa pun pingsan.

"Aku akan melindungi mu kak, aku janji!"

Nico mengangkat tubuh lemas sang kakak, membiarkan hujan membasahi keduanya. 

***

Elisa tersadar keesokan harinya, Nico tidur di sofa panjang tak jauh dari ranjang. Tubuh Elisa demam dan kepalanya masih terasa berat.

"Nic,"

Nico tak merespon, ia baru saja tertidur menjelang pagi setelah mengurus semua keperluan Elisa. 

"Nico!" sekali lagi Elisa mencoba memanggil adik lelakinya itu.

Nico membuka matanya dengan malas, "Hhm, sudah bangun kak?"

Nico berjalan mendekati ranjang, memeriksa Elisa yang terlihat pucat. "Kakak demam? Istirahat aja dulu, biar semua Nico yang handle."

Elisa masih terdiam, bayangan pengkhianatan Vino kembali terbayang. Matanya memanas dan ia kembali menangis. Nico yang tak tega melihat sang kakak langsung memeluknya.

"Ssst, udah kak buat apa nangisin lelaki brengsek itu. Kata-kata ku benar kan? Vino cuma mau manfaatin kakak aja. Dia mau sama kakak karena kakak ada duit, ada kedudukan."

"Aku nggak nyangka aja dia tega setelah semua yang aku lakukan dan korbankan demi dia! Dina … gila, dia tega Nic!"

"Ya, aku tahu kak. Kebusukan mereka itu sudah tercium sejak lama sama aku. Tapi aku cuma bisa menunggu sampai kakak tau sendiri. Hak kakak untuk memilih mana yang terbaik, dan aku paham itu."

Nico mengusap lengan Elisa, memberinya kekuatan. "Kakak tenang aja, semua udah aku urus. Dina sama Vino udah dipecat, pak Marvin hari ini bakal urus semuanya."

"Terserah kamu Nic, kakak capek. Kakak mau istirahat dulu."

Nico mencium puncak kepala kakaknya, ia menarik selimut sampai ke dada menyelimuti Elisa yang kembali menggigil.

"Istirahat kak, nggak usah mikir macem-macem. Hari ini nggak usah kerja biar Nico yang urus semua. Mama Papa juga baru mau terbang ke Jakarta."

"Thanks Nic, you are the best!"

Tak lama kemudian Elisa menutup mata dan terlelap tidur. Nico keluar kamar, menghembus nafas panjang. Sejujurnya ada hal lain yang ingin dibahas dengan Elisa kakaknya tapi melihat kondisi Elisa jelas hal itu tak mungkin Nico lakukan.

Ponselnya berbunyi, satu panggilan dari nomor yang tidak dikenal. 

"Ya, siapa ini?"

Nico tak bersuara sesaat, sebelum akhirnya. "Tidak, kamu dapat dari mana berita ini?!"

Lelaki berusia 25 tahun itu menarik rambutnya frustasi sebelum menyandarkan punggungnya ke kursi. Ponselnya masih melekat di telinga mendengarkan seseorang yang masih berbicara dengannya, ia memandang ke arah pintu kamar Elisa.

"Baiklah, aku akan datang."

Nico mematikan ponsel, mengirim pesan pada seseorang sebelum akhirnya menarik nafas dalam-dalam. 

"Maafkan aku kak, aku harus pergi mengurus kekacauan ini. Jaga dirimu baik-baik, aku menyayangimu!"

Bangkit dari Kematian

Elisa terbangun karena dering telponnya terus menerus berbunyi dan mengganggu tidurnya. Ia meraih ponsel tanpa melihat layar.

"Ya," jawabnya malas dengan mata tertutup.

Seseorang di seberang sana memberinya berita yang sangat mengejutkan, kecelakaan mobil yang ditumpangi kedua orang tuanya terjadi dini hari tadi. Keduanya tewas setelah mobil mereka masuk jurang.

"Nggak, nggak mungkin! Ini berita darimana?"

Seseorang menjawab dan memastikan kebenarannya, ia juga mengirimkan berita yang diturunkan salah satu portal berita online dunia maya.

Elisa membacanya dengan tangan gemetar, ia pun histeris seketika. Elisa terpukul dengan kematian kedua orangtuanya yang sangat mengejutkan. Bersamaan dengan itu sang sekertaris Luna datang. Luna yang sedianya hendak mengabarkan berita itu datang tepat waktu hingga menjadi sandaran untuk Elisa saat Nico tak ada disampingnya.

Elisa kalut, Elisa shock berat, Elisa yang malang.

Hari itu mendung menghiasi langit seolah memahami kesedihan Elisa. Jenazah kedua orang tuanya disemayamkan di rumah duka, Elisa tak henti menangisi kepergian mendadak kedua orang tuanya. Didampingi Luna, Elisa menerima ucapan belasungkawa dari para relasi dan kerabat. Tapi ada hal lain yang mengusik dirinya, Nico.

"Lun, dimana Nico? Dia nggak bisa aku hubungi, ponselnya mati. Masa iya dia nggak tau mama papa meninggal?"

"Mas Erwin sudah berusaha menghubungi dari kemarin dan … kami belum berhasil." Luna menjawab gamang, sejujurnya ia juga memiliki firasat buruk tentang Nico.

"Kemana dia Lun? Aku jadi khawatir sesuatu juga terjadi sama Nico." 

Luna sedikit ragu untuk mengatakannya tapi akhirnya ia memutuskan untuk memberitahukan pada Elisa.

"Bisa kita bicara di dalam, ada sesuatu yang harus aku sampaikan?"

Elisa menatap Luna dengan curiga, tapi ia enggan mengatakannya di depan para pelayat. Setelah meminta bantuan dari General manager untuk menggantikan posisinya menerima pelayat, Elisa pergi ke ruang kerja sang Ayah.

"Ada apa sebenarnya Lun, apa sesuatu terjadi sama Nico?"

Luna tak menjawab, ia mengambil tas kerjanya dan menyerahkan satu berkas laporan pada Elisa.

"Kami mendapatkan laporan kalau ada proses balik nama perusahaan secara sepihak oleh …,"

"Om Alex!" tebak Elisa sambil membaca lembaran berkas ditangannya.

Ditangan Elisa laporan keuangan perusahaan dan juga laporan hasil rapat umum pemegang saham jelas-jelas mencantumkan nama Alex Nataprawira sebagai pemilik baru. Elisa terbelalak saat melihat tanggal pengesahan yang tertera di RUPS tertanggal sehari sebelum berita kematian kedua orang tuanya.

"Lun, ini … mustahil! Aku aja nggak diundang ke rapat ini?! Gimana bisa mereka dapat tanda tangan aku disini!"

"Itu yang membuatku khawatir Lis, jelas orang di sekitar kita yang bermain disini. Mungkin menyisipkan lembar kosong pas kamu tanda tangan or something." 

Luna terlihat cukup khawatir, ini menyangkut pekerjaannya juga. Kredibilitasnya sebagai orang kepercayaan Elisa dipertaruhkan. Elisa adalah teman sekaligus penolong nya saat ia dan keluarga mendapatkan kesulitan. Itu sebabnya Luna mencurahkan segala kemampuannya untuk membantu Elisa termasuk di saat seperti ini.

"Aku nggak tahu harus gimana lagi! Dimana Nico, kenapa justru menghilang disaat seperti ini!"

"Ehm, Nico sebenarnya menitipkan pesan ini ke kamu." 

Luna menyerahkan selembar kertas pada Elisa, dengan cepat Elisa menyambar dan membacanya. Matanya terbelalak saat menangkap kalimat, 'Lari dan pergilah menjauh secepatnya!'

Nico juga mengatakan bahwa telah terjadi sesuatu yang berkaitan dengan pemindahan hak waris. Nico berpamitan pada Elisa dan berharap bisa kembali bertemu dengannya segera. Tapi intuisi Elisa mengatakan Nico tidak baik-baik saja, kalimat terakhirnya jelas memberinya peringatan untuk segera menyelamatkan diri jika Nico tak kunjung datang.

Ia menatap Luna dengan ekspresi rumit, tubuhnya gemetar hebat. "A-apa yang terjadi sebenarnya Lun?"

"Entahlah, bersabarlah kami sedang menyelidikinya. Tenang kan dirimu, sekarang kamu harus mengantarkan jenazah kedua orang tua kamu ke pemakaman."

"Mbak, jenazah akan segera diberangkatkan sebaiknya mbak ke depan." Pria muda bernama Banyu mengingatkan Elisa, dialah General Manager yang dipercaya Elisa. Orang kedua setelah Luna.

Elisa menuruti perintah Luna dan Banyu, ia pun segera mengikuti prosesi pemakaman. Hujan gerimis mengiringi proses pemakaman. Elisa terduduk di tepi gundukan tanah basah kedua makam orang tuanya. Tatapannya kosong menatap dua buah nisan kayu. 

Luna dan Banyu masih setia menemani. Elisa masih ingin berlama-lama disana sambil membacakan doa sebagai hadiah terindah yang bisa diberikan untuk mereka. Sedianya kepulangan mereka ke Indonesia adalah untuk merayakan anniversary pernikahan emas, sekaligus melepas rindu setelah tiga bulan berada di luar negeri. Tapi maut terlalu cepat menjemput.

Elisa ingin sekali memutar kembali waktu, kembali disaat canda tawa riang masih memenuhi ruang hatinya. Kembali di saat dia masih memiliki kebersamaan dan kebahagiaan bersama kedua orang tuanya.

Namun, waktu tidak pernah berjalan mundur!

"Mbak ini sudah sore mau sampai kapan disini? Kita pulang ya sekarang?" Banyu mengingatkan Elisa yang enggan mengubah posisinya.

"Kalian pergilah dulu, aku menyusul." sahut Elisa tanpa menatap keduanya.

Banyu dan Luna saling menatap, "Tapi Lis, ini sudah sore sebentar lagi magrib apa kamu mau tidur disini?" Luna kembali mengingatkan.

"Pergi kataku!" Elisa menghardik, ia sedang tidak ingin dibantah.

"Baiklah, kalau itu maumu. Kabari kami secepatnya kalo kamu sudah dirumah oke?" Linda dan Banyu mengalah.

"Oke," sahutnya lirih.

Dengan berat hati Luna dan Banyu meninggalkan Elisa. Sesekali Luna menoleh ke arah Elisa yang masih duduk termangu.

"Apa dia akan baik-baik saja B?" Luna bertanya dengan keraguan.

"Aku harap juga begitu, semoga dia kuat."

"Gimana Nico, kamu sudah bisa hubungin dia?"

Banyu menggeleng, "Kita kehilangan jejak."

"Astaga, kenapa jadi serumit ini!"

DOOR!!

Terdengar dua kali bunyi letusan seperti tembakan di udara. Luna dan Banyu saling menatap.

"B, apa aku nggak salah dengar?" 

"Elisa!" keduanya sontak berteriak bersamaan.

Benar saja, tubuh Elisa tersungkur di atas makan sang ayah. Luna dan Banyu berlari menghampiri Elisa.

"Elisa, bangun! Ya Tuhan, B cepat telepon ambulance!" Luna meraih tubuh Elisa yang bersimbah darah.

Elisa tak juga membuka matanya meskipun Luna berusaha menyadarkannya. Banyu bergerak cepat dengan menggendong tubuh Elisa ke dalam mobil, mengabaikan permintaan Luna. Elisa tak bisa menunggu, ia kritis. Disela nafas terakhirnya Elisa sempat membuka mata sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir.

"Mati, kau! Habis sudah pewaris Wisnu Nataprawira, sekarang semua ini milikku!" 

[Preparing to install the system on,]

[3 …,]

[2 …,]

[1 …,]

[Preparing to synchronize the system,]

[Loading 10%]

[....50%]

[....100%]

[Complete system]

[Please select a language to activate the system]

[Indonesian]

DIING!!

Bersamaan dengan bunyi yang cukup keras berdentang di kepalanya, Elisa membuka mata tiba-tiba. Matanya terbelalak dan nafasnya terasa berat. Ia meraup udara sebanyak banyaknya seolah kehabisan oksigen.

"Dimana, dimana aku!"

[Selamat datang kembali Elisa, anda terpilih sebagai tuan rumah Super Chef System periode sekarang dan Aku adalah pemandumu Amy.]

Mata Elisa mengedar mencari siapa yang berbicara padanya. "Siapa yang berbicara padaku?!"

[Anda tidak dapat melihatku nona, tapi aku bisa melihatmu.]

Elisa turun dari tempat tidurnya yang sedingin es, ia terkejut mendapati dirinya tak mengenakan satu helai pakaian, bahkan tertidur diatas meja besi.

"Dimana aku, ini dingin sekali seperti …,"

[Kamar mayat, anda berada disini selama hampir tiga puluh enam jam. Anda telah dinyatakan meninggal karena peluru yang bersarang tepat di jantung dan paru-paru. Dua tembakan fatal yang seketika membunuh anda.]

"Oh ya aku ingat sekarang, suara tembakan! Apa aku sedang bermimpi?"

[Tidak nona, anda telah terpilih untuk dihidupkan kembali dengan sistem. Aku akan memandumu menjalankan misi berhadiah hingga berhasil mendapatkan sejumlah uang.]  

Alisa mengernyit heran, ia mencari sumber suara. "Misi berhadiah? Haruskah aku percaya ini Amy? Jangan bercanda karena ini sangat tidak lucu! Aku merasa seperti bermain dalam film."

[Amy tidak pernah bercanda nona. Sistem selalu berkata jujur.]

Elisa melilitkan kain tipis berwarna putih tubuh polosnya, kepalanya sedikit nyeri tapi ia mencoba bertahan. Ia mengendap endap keluar dari ruang jenazah.

"Baiklah Amy, lupakan dulu tentang misi. Jika kau memang sistem yang menyelamatkan dan menyatu dalam tubuhku, bantu aku dulu untuk keluar dari sini!"

[Tentu nona!]

Super Chef System

Elisa berhasil keluar dari kamar mayat dibantu Amy, meski sedikit kesulitan menemukan pakaian untuk menutupi tubuhnya.

[Apa anda tidak nyaman nona?]

"Menurutmu Amy? Hanya memakai kain tipis dan ditutup jaket yang sedikit … bau, tanpa mengenakan pakaian dalam? Itu sangat, sangat menjengkelkan!"

 Elisa kembali mengendus aroma dari jaket yang ia temukan di ruang jaga perawat, apa boleh buat Elisa terpaksa mengenakannya jika tak ingin terlihat aneh.

"Baiklah Amy, apa ada ide untuk pulang ke rumah?" Elisa celingukan mengawasi situasi.

Elisa berpikir cepat jika seseorang menginginkan kematiannya dan Nico maka tidak menutup kemungkinan ada orang yang akan mengawasi untuk memastikan kematiannya.

Tidak, Elisa tak ingin mati untuk kedua kalinya!

"Rasanya seperti dalam film action menyelinap dan bersembunyi. Apa yang harus aku lakukan tanpa pakaian, uang dan damn! Alas kaki! Amy, aku terlihat seperti gembel terlantar!"

[Tidak nona, anda masih terlihat cantik dan mempesona.]

"Thanks, mungkin itu yang dinamakan pesona setelah kematian?" sahut Elisa mengamati situasi, matanya tertuju pada topi yang tergeletak begitu saja di pos satpam.

Ia mengendap endap dan meraih topi itu, memakainya untuk menutupi wajah. 

"Ojek online! Yup, aku pulang pake itu …," Elisa tiba-tiba teringat sesuatu, "Aaarghh sial! Ponsel pun tak ada, aku lupa orang mati mana mungkin bawa ponsel, bodoh!"

Elisa mengumpat dirinya sendiri, ia memindai sekitar. Seorang pemuda sedang berhenti dan memeriksa ponselnya, tanpa berpikir panjang Elisa duduk di jok belakang.

"Mas tolong antarkan aku pulang, aku bayar dirumah, cepet!"

Pemuda itu terkejut dan hendak menoleh saat tangan Elisa menahannya. "Nggak usah liat ke belakang, please cepat antarkan saya pulang!"

"Eh, mbak maaf tapi saya ini bukan …,"

"Cepat jalan sekarang, saya bayar dobel!"

"Mbak masalahnya saya sedang nungguin orang dan dia …," 

"Satu juta! Antar saya pulang dan saya bayar kamu satu juta!" Elisa memberikan penawaran yang mengejutkan.

"Apa, sejuta?" lelaki itu hendak menoleh lagi tapi Elisa menahan kepalanya.

"Iya, pake bonus asal kamu bisa bawa motor ini cepat!"

Lelaki itu berpikir sejenak lalu, "Nih, pake helm mbak! Pegangan yang kenceng, takut jatuh! Pegangan ke saya juga boleh, tenang saya nggak bakal aneh-aneh kok." ujarnya cengengesan.

Elisa memakai helmnya, untuk sesaat ia sedikit ragu tapi akhirnya ia melingkarkan tangan ke pinggang lelaki penolongnya itu.

"Kita kemana?"

"Perumahan Pon …,"

[Negatif, sistem melarang anda untuk kembali ke rumah nona! Rumah dan beberapa aset keluarga anda sudah berpindah tangan terlalu berbahaya jika anda kembali ke rumah.]

"Apa, what the hell! Terus saya pulang kemana?"

"Laah, mana saya tahu mbak! Situ yang punya rumah kok nanya sama saya!" lelaki itu menggerutu sambil menjalankan motornya, Elisa berdecak kesal.

'Lalu kemana aku pulang, Amy?'

[Apartemen anda nona, itu tempat paling aman. Satu-satunya aset yang tidak terjamah oleh musuh anda.]

Elisa teringat apartemen miliknya di salah satu kawasan elit kota Jakarta, ia memberikan alamat pada lelaki muda yang tak mau membuang waktu itu. Lelaki itu memacu motornya membelah kemacetan ibu kota dengan cepat hingga mereka tiba di tempat.

"Ikut aku naik!" Elisa tanpa ragu menarik tangan lelaki yang baru saja memarkirkan motor.

"Eeh, kemana mbak! Disini aja saya nggak bisa lama!"

"Ikut, atau kamu nggak aku bayar!" ancam Elisa yang membuat lelaki itu tak berkutik.

"Wah lah ini bahaya kalo gini. Iya deh saya naik!"

Lelaki itu melepas helm dan juga menurunkan penutup wajahnya, Elisa terperanjat. Lelaki itu sangat manis, membuat hatinya berdesir aneh ditambah lagi saat lelaki itu melepaskan helm yang dikenakannya. Keduanya bertatapan sejenak, sebelum Elisa memutus pandangan mereka.

Elisa naik ke apartemen nya setelah meminta kartu cadangan, untungnya pegawai dan keamanan apartemen telah mengenalnya baik. Di dalam lift suasana canggung terjadi. Elisa yang tak nyaman dengan pakaian yang menutupi tubuhnya berkali kali merapatkan jaket agar tak memperlihatkan jelas bagian pribadinya.

Lelaki muda itu sendiri berusaha mengontrol dirinya, Elisa terlihat sangat cantik meski tanpa polesan make up. Jakunnya naik turun melihat kaki mulus dan bagian dada yang tertutup meski lumayan rendah. Ia bisa membayangkan bentuk yang ada dibalik kain tipis itu.

[Tingkat hormon feromon anda naik nona, apa anda sedikit …,]

'Stop! Itu sangat tidak sopan Amy!'

[Sistem mendeteksi semua perubahan dalam tubuh anda, mulai dari tekanan darah, detak jantung, termasuk perubahan hormon. Aku harus memastikan kondisi tuan rumah Super Chef System baik.]

'Terserah apa katamu Amy dan berhenti memindai tubuhku!'

TIING!

Pintu lift akhirnya terbuka, membebaskan Elisa dari udara sesak dalam ruangan sempit bersama lelaki asing. 

"Silakan masuk dan tunggu sebentar, bayaran kamu, aku ambil dulu."

Lelaki muda yang belum mengenalkan namanya itu pun menurut dan ia duduk di sofa sambil memperhatikan seluruh ruangan.

"Membiarkan orang asing masuk ke dalam apartemennya dengan pakaian seperti itu. Gadis yang cukup menarik." ujar lelaki itu dengan sinis.

"Tapi lumayan juga cuma nganterin doang dapat sejuta, mimpi apa aku semalam!" lanjutnya terkekeh geli.

Elisa masuk ke kamarnya melepas selimut tipis yang menempel di tubuhnya dan bergantian pakaian. Ia berdiri di cermin sejenak menatap luka dari dua tembakan itu. Rasanya masih nyeri, begitu juga dengan hatinya.

Elisa menarik nafas panjang, "Amy perkenalkan dirimu!"

[Baik nona, aku adalah Amy, sistem pemandumu. Nona terpilih sebagai tuan rumah dari Super Chef System periode ini. Anda telah dihidupkan kembali oleh sistem dan mendapatkan kesempatan menjalankan misi berhadiah.]

"Super Chef System? Tunggu maksudmu aku harus pintar memasak? Oh tidak ini pasti lelucon! Memasak mie instan saja aku nggak bisa, Amy!"

Elisa merasa frustasi dan bingung. Bagaimana mungkin ia menjadi chef hanya dalam hitungan jam saja. Itu mustahil, tapi sayangnya tidak ada yang mustahil bagi sistem.

[Tentu anda bisa melakukannya nona, aku yang akan memandu dan membuatmu menjadi Super Chef. Hadiah berupa uang dan sejumlah hadiah kejutan akan anda dapatkan setelah misi mulai berjalan.]

"Tunggu biar aku perjelas ini. Aku dihidupkan dengan sistem super chef-mu kemudian aku harus menjadi chef untuk mendapatkan hadiah. Kau, Amy sistem yang menyatu padaku dan kau juga yang akan jadi pemandu sistem. Sampai disini apakah aku betul?"

[Ya, nona!]

"Lalu bagaimana jika aku menolak atau gagal dalam misi?"

[Jika kau menolak tentu saja nona akan kembali mati dan jika misi gagal aku akan mencari tuan rumah yang baru tapi anda tetap hidup.]

"Lalu aku hidup seperti biasa lagi, penuh dengan ketidakberuntungan."

[Nona akan kehilangan kesempatan mendapatkan sejumlah hadiah. Bukankah nona sekarang pengangguran? Perusahaan anda sudah diambil alih begitu juga dengan beberapa aset.]

"Cck, sial! Aku lupa bagian itu! Aku harus mencari tahu apa yang terjadi diluar sana setelah kematianku."

[Anda bisa menggunakan pria muda itu nona. Dia bisa menjadi mata dan telinga anda.]

"Kau benar, Amy! Ide bagus!"

[Meminta izin untuk menampilkan status nona.]

"Status? Aku masih lajang kalau itu maksudmu." sahut Elisa getir.

>Super Chef System<

[Nama : Elisa Nataprawira]

[Umur  : 26 tahun]

[Pesona : 50]

[Kecantikan : 60]

[Soft skill chef : 3]

[Hard skill chef : 1]

[Kemampuan recreated : 0]

[Kemampuan pastry and bakery: 0]

[Kemampuan memasak : 0]

[Hadiah utama : -]

[Hadiah tambahan : -]

[Hadiah kejutan : -]

[Misi 1 : belum tersedia]

[Sistem pemandu : Amy]

Elisa terperanjat saat tampilan biru transparan hadir di depannya. "Oh my Goodness, apa aku sedang bermimpi? Ini benar-benar mustahil!"

"Amy apa kau yakin aku bisa melakukannya?"

[Tentu nona anda bisa melakukannya dan aku akan memastikan hal itu terjadi.]

Elisa ragu dengan hal itu, ia tak bisa memasak apalagi membuat kue dan sejenisnya, bagaimana bisa ia menjadi super Chef. Pikirannya rumit tapi the show must go on.

"Baiklah, tapi sebelumnya ada yang harus aku lakukan terlebih dahulu."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!