Inara menyeret langkahnya menuju ballroom, tempat dimana acara pernikahan sang Suami akan berlangsung. Sebenarnya, Inara tidak harus menghadiri acara tersebut. Hanya saja, ibu mertuanya memaksa hadir, sebagai sebuah bukti jika Inara benar-benar rela untuk dimadu.
"Kamu harus datang. Jangan sampai orang-orang mengira jika kamu tidak dengan sukarela membagi Arjuna. Padahal, kamu saja yang tak kunjung hamil hingga pernikahan kedua Arjuna harus digelar," ucap Mama Azni, sang ibu mertua.
Ya. Pernikahan Inara sudah berjalan hampir lima tahun. Tetapi, Inara tak kunjung diberi momongan oleh Yang Maha Kuasa. Menurut syariat, memang tidak ada larangan karena sang Suami ingin memiliki keturunan.
Walau sesak sekaligus kecewa karena harus berbagi suami, Nara mencoba menguatkan hati. Seperti janji suaminya tempo hari, anak yang akan lahir dari istri kedua, akan menjadi anak Nara juga. Namun, untuk membayangkannya saja Nara tidak sanggup.
Tidak ingin terlihat menyedihkan di tengah keramaian, Nara duduk di antara tamu undangan yang ingin menyaksikan pernikahan itu berlangsung.
Banyak tatapan mata iba tertuju kepadanya. Mungkin, mereka sudah mengetahui jika Nara merupakan istri pertama dari seorang Arjuna Bagaswara.
Gamis panjang yang Nara gunakan seakan sudah tak mampu meningkatkan kepercayaan diri Nara. Padahal, gamis itu didesain dengan sangat indah walau Nara memilih warna hitam sebagai dasarnya.
Ya. Ini adalah hari berkabung itu hidup Nara.
"Saya terima nikah dan kawinnya Ranadya binti Bapak Beni Anggara, dengan maskawin yang tersebut, tunai!"
"Para saksi sah?"
"SAH!"
Saat itu juga Inara kembali menitikkan air mata. Apalagi ketika melihat suaminya tengah mencium kening Nadya, sang Istri kedua. Bagai ada ribuan belati yang menghunus jantung Nara.
Dunia Nara seakan berhenti berputar. Nyawanya seperti ditarik paksa untuk menerima kenyataan pahit di depan sana. Namun, ketika tatapnya bertemu dengan mata sang Suami, Nara memaksakan bibirnya untuk tersenyum.
"Selamat," gumam Nara dengan menguatkan hatinya sekeras baja. Arjuna yang berada beberapa meter darinya, balas tersenyum iba. Nara tidak suka ditatap seperti itu seakan dia adalah seorang wanita yang payah.
Tak tahan lagi, Nara memilih bangkit lalu berniat pergi dari sana. Dia ingin mengasingkan diri terlebih dahulu sebelum hari esok tiba.
Waktu bergulir, Nara masih bertahan dalam kamarnya dengan mata yang tak berhenti mengeluarkan cairan bening. Merasa lelah duduk di sisi ranjang, Nara memilih menuju balkon kamar. Siapa tahu, angin malam bisa membuat perasaan Nara menjadi lebih baik lagi.
Namun, belum sempat kakinya melangkah, ponsel yang tergeletak di atas ranjang berdering panjang. Ketika mengetahui siapa sang Penelepon, Nara memilih untuk mengubah setelan menjadi senyap. Dia tidak ingin berbicara dengan suaminya itu.
"Aku bahkan ragu jika cintamu tidak akan berubah seperti yang kamu katakan padaku, Mas. Nadya begitu cantik dan lebih muda dariku. Wajar jika kamu langsung mau ketika Mama menjodohkan kamu," gumam Nara tersenyum getir.
Nara masih ingat ketika ibu mertuanya memaksa Arjuna untuk menikah lagi. Mereka menginginkan calon penerus usaha besarnya karena selain Arjuna anak laki-laki satu-satunya, Arjuna juga pewaris tunggal dari usaha Bagaswara Group.
"Sampai kapan kamu mau menunggu Nara hamil? Ini sudah lima tahun lihat, Jun. Bagaimana jika Nara ini mandul? Siapa yang akan meneruskan bisnis Papa kamu," ucap Bu Azni ketika semua sedang berkumpul untuk sarapan.
Nara hanya sanggup menunduk. Dia tidak memiliki alasan untuk menolak saran ibu mertuanya. Namun, Nara yakin jika Arjuna bisa menolak karena cinta kepadanya.
"Bagaimana lagi, Ma? Arjuna tidak masalah jika Nara tidak memiliki anak," jawab Arjuna yang membuat perasaan Nara menjadi lebih baik.
"Pokoknya, Mama tidak mau tahu. Kamu harus menikah lagi agar memiliki keturunan. Dari dulu Mama sudah sabar karena pernikahan kalian belum lima tahun. Sekarang terbukti, pernikahan kalian sudah lima tahun dan tak kunjung memiliki anak. Jadi, menurut agama bukankah sah saja jika mau poligami?" ucap Bu Azni dengan santainya, seakan lupa jika Nara masih berada di sana.
"Mama jangan seperti itu. Kasihan Mbak Nara, Ma," sahut suara yang tidak lain adalah milik adik ipar Nara, yaitu Beta. Ada tawa mengejek yang Nara tangkap dari pembelaan tersebut.
"Mama tidak peduli. Lebih baik Mama bicara di depan Nara langsung daripada di belakang. Mama harap, kamu tidak menolak lagi. Kali ini, calon yang Mama pilih sangat berbeda dari calon yang dulu-dulu. Mama yakin, kamu pasti suka," ucap beliau lagi yang membuat tenggorokan Nara bagai tercekat. Makanan di hadapannya tak lagi menarik minatnya.
Suaminya itu menoleh pada Nara sebentar. "Baik, Ma. Aku setuju untuk menikah lagi. Namun, aku juga memiliki syarat," jawab Arjuna dingin.
Nara yang mendengar pernyataan Arjuna sampai terperangah tidak percaya. Tidak ada angin tidak ada hujan, suaminya itu memutuskan sepihak. Rasa kecewa seakan menghantam perasaan Nara saat ini.
Bu Azni tersenyum simpul. "Apa syaratnya? Mama pasti akan setuju."
"Aku harap, setelah aku mau menikah lagi, pembahasan soal anak tidak lagi terdengar. Aku tidak mau Nara selalu menjadi bahan olok-olokkan kalian. Aku harap, kalian bisa lebih menghargai Nara karena dia adalah istriku," putus Arjuna yang segera mendapat anggukan dari Bu Azni.
"Baik. Itu tidak akan sulit."
"Siapa bilang kita mengolok-olok? Kita hanya berbicara tentang kenyataan, Jun," sahut Antika, kakak dari Arjuna. Raut wajahnya sudah tampak bengis setelah mendengar penuturan sang Adik.
"Jangan pikir aku tidak tahu ya, Kak. Aku tahu semuanya," kesal Arjuna berniat ingin membela Nara.
"Ternyata selain benalu, Nara juga tukang ngadu!" pekik Antika ikut kesal.
"Cukup! Coba pikir siapa yang menjadi benalu sebenarnya!" Arjuna tak kalah memekik. Amarahnya sudah berada di ubun-ubun.
Nara yang namanya banyak disebut, hanya terdiam dengan isi kepalanya sendiri. Suaminya akan menikah lagi? Lalu, dimana janji setia yang pernah Arjuna katakan dulu? Ternyata, janji-kanji itu hanya palsu.
"Tolong kamu jangan salah paham dulu. Aku melakukan ini agar ibu dan saudaraku tak lagi menghinamu. Ini demi kamu," bujuk Arjuna yang sayangnya tidak mampu menenangkan gemuruh di hati Nara.
Entah sudah berapa lama Nara bertahan duduk di balkon hingga suara ketukan pintu di depan berhasil menyadarkan lamunannya. Nara menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Dia keluar dan memilih untuk membuka pintu lebih dulu.
Ceklek.
Ketika pintu terbuka, Nara bisa melihat wajah Arjuna yang tampak kelelahan. "Nara. Kenapa tidak menjawab telepon dariku?" cecarnya yang hanya Nara balas dengan senyuman.
"Nara tolong! Jangan tersenyum seperti itu. Jangan membuatku semakin merasa tertekan. Ini demi cinta kita," pinta Arjuna sambil mengusap wajahnya kasar.
Nara lagi-lagi tersenyum. "Demi kita? Kamu yakin? Bukan demi baktimu pada Mama?" tanyanya menohok.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...selamat datang di novel baruku......
...semoga suka ya... ...
...Mampir juga kesini yuk👇...
"Nara ...." Arjuna menggeram kesal setelah mendapat pertanyaan dari sang Istri.
Nara hanya tersenyum getir lalu melenggang meninggalkan Arjuna yang masih bertahan di ambang pintu. Dia memilih untuk mencuci muka lebih dulu. Setelah urusan di kamar mandi selesai, Nara keluar dan mengira jika suaminya sudah pergi.
Namun kenyataannya, Arjuna justru tengah duduk di sisi ranjang dengan kondisi pintu yang sudah tertutup rapat. Nara menghela napas kasar. "Tidak seharusnya kamu berada di sini, Mas. Malam ini adalah malam yang indah untukmu. Kembalilah ke hotel," pinta Nara lembut. Dia berjalan menuju lemari untuk mengambil pakaian tidurnya.
Saat akan berbalik, tiba-tiba ada yang memeluk Nara dari belakang. Ketika menoleh, Nara bisa melihat wajah suaminya berada dalam jarak yang sangat dekat. "Aku ingin tidur denganmu saja. Boleh kan?" tanya Arjuna merengek.
Nara tertawa. Seakan ucapan Arjuna barusan sangatlah lucu. "Mana bisa, Mas. Kamu itu pengantin baru. Gauli lah kedua istrimu dengan adil. Ini sudah malam. Nadya pasti khawatir dan mencari kamu," jawab Nara sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan sang Suami, dan itu berhasil.
"Apa kamu tidak lagi mencariku?" tanya Arjuna yang membuat langkah Nara terhenti, lalu terpaku.
'Aku selalu mencarimu, Mas. Tetapi, untuk hari-hari berikutnya aku tidak bisa berharap banyak jika kamu akan datang,' gumam Nara dalam hati.
"Mas! Jangan begitu dong. Kamu harus adil sesuai syariat. Satu minggu ini kamu harus bersama Nadya." Nara mencoba bersikap tenang ketika mengucapkannya. Walau yang sebenarnya, jantung Nara bagai diremas-remas oleh tangan yang tak kasat mata. Sakit. Sesak. Seperti ada batu besar yang mengganjal.
"Tapi aku ingin bersama kamu, Sayang," kekeh Arjuna yang memaksa Nara kembali berbalik.
"Iya, tetapi satu minggu lagi," jawab Nara dengan tersenyum manis.
Helaan napas kasar pun terdengar dari bibir Arjuna. "Nara? Maafkan Mas yang mungkin sudah melukai perasaan kamu. Mas tidak memiliki pilihan lain, dan apa yang dikatakan Mama ada benarnya. Bagaswara Group harus memiliki penerus. Mas mohon, jangan ada yang berubah di antara kita. Karena rasa yang Mas miliki, selalu hanya untukmu," ucap Arjuna terdengar tulus.
Seandainya kalimat panjang itu terucap sebelum suaminya menikah lagi, mungkin pipi Nara akan bersemu. Namun, keadaan telah berubah. Mampukah Nara mempertahankan rumah tangga yang ada selir di dalamnya?
"Iya, Mas. Aku akan berusaha. Sekarang, Mas pergilah. Kasihan Nadya," pinta Nara lagi berusaha mengulas senyum agar Arjuna tidak berat hati.
Arjuna mendekat dan menatap wajah Nara lekat. "Kenapa Mas seperti melihat luka di mata kamu? Apakah kamu baik-baik saja?" tanyanya yang membuat mata Nara berkaca-kaca. Bohong jika Nara merasa baik-baik saja setelah apa yang menimpa dirinya.
"Aku akan baik-baik saja, Mas. Mungkin, aku hanya belum terbiasa," jawab Nara berusaha bersikap se netral mungkin.
"Baiklah. Malam ini, Mas ingin meminta izin kamu untuk menggauli Nadya. Mas tidak punya pilihan lain karena dia sudah resmi menjadi istri Mas. Jika Mas mengabaikan kamu, Mas akan dzolim. Tetapi, bila Mas mengabaikan Nadya, Mas juga akan dzolim. Tolong, bimbing Mas agar menjadi imam yang adil," ucap Arjuna seraya terisak dan menekan kedua sudut matanya dengan jari.
Nara tersentuh dengan sikap sang Suami. Arjuna nya masih sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah walau status Nara sudah menjadi istri tua.
"Iya. Kamu boleh pergi. Jangan menangis karena hari ini merupakan hari bahagiamu, Mas," jawab Nara tersenyum dengan tatapan mata teduh.
Hal itulah yang membuat Arjuna mampu jatuh cinta berkali-kali pada sosok Nara. Istrinya itu begitu penyabar dan menyejukkan. "Terima kasih, Sayang. Maafkan Mas. Mungkin, secara fisik, Mas sudah terbagi. Namun sepotong daging di dalam tubuh Mas, hanya milik kamu seorang."
...----------------...
Arjuna kembali ke hotel dengan perasaan yang lebih lega. Nara telah mengizinkan dirinya untuk menyentuh Nadya. Namun, bukan berarti Arjuna senang. Dia hanya menjalankan kewajiban sebagai seorang suami kepada istri.
Memang. Hal tersebut terdengar kejam. Namun, rasa cintanya seakan sudah habis hanya untuk Nara. Selebihnya, Arjuna hanya menjalani hidup yang tengah Tuhan suguhkan untuknya.
Ketika membuka pintu kamar, Arjuna langsung disambut oleh Nadya yang ternyata susah berganti pakaian. Arjuna menatap dari kaki hingga kepala Nadya. Jiwa laki-lakinya seperti tertantang. Namun, ketika melihat wajah teduh dan menyejukkan Nara, rasa itu lenyap seketika.
"Assalam'alaikum," sapa Arjuna lalu menutup pintu hotel pelan.
"Waalaikumsalam, Mas," jawab Nadya lalu menyalami tangan Arjuna untuk dikecup punggung tangannya.
"Bagaimana, Mas? Apakah Mbak Nara mengizinkan?" cecar Nadya langsung pada intinya. Arjuna memang berpamitan ketika akan menemui Nara. Bagaimanapun, dia tidak bisa meninggalkan istri yang baru beberapa jam halal untuknya.
Arjuna mengangguk. "Sudah aku katakan jika Nara adalah perempuan luar biasa. Dia cantik dari segala sisi. Jadi aku mohon, jangan pernah membencinya. Jadilah sahabatnya dan jangan memusuhinya," jawabnya yang justru mengeluarkan sebuah nasehat.
Nadya mengangguk dengan sebuah senyuman. "Iya, Mas. Aku akan berusaha untuk menjadi adik sekaligus sahabat Mbak Nara."
"Jadi, apakah hari ini kita akan mengarungi malam yang indah?" tanya Nadya dengan penuh binar di matanya.
Arjuna menatap Nadya sebentar, lalu mengangguk mengiyakan. Sepertinya janjinya di awal, prinsipnya harus adil.
Sedangkan di tempat lain, Nara terduduk di lantai kamar yang terasa lebih dingin dari biasanya. Di tangannya, terdapat sebuah figura berisi foto pernikahan Nara dan Arjuna.
"Se-lamat Ma-ma Az-ni. Mama sudah berhasil meng-hancurkan pernikahan ku dengan Mas Arjuna. Ma-ma ber-hasil," gumam Nara sesenggukan bila mengingat bagaimana ibu mertuanya itu secara terang-terangan mengatakan tidak suka kepada Nara.
"Apa yang Ma-ma i-ngin-kan te-lah terwu-jud."
Air mata Nara sudah tak terbendung layaknya air bah yang sudah lama tertampung. Sakit dan sesak seakan sudah tak berbentuk lagi. Di sini, Nara sedang menangis terluka. Di sana, suaminya sedang merajut rasa bersama istri keduanya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...jangan lupa dukungannya ya. ...
...mampir juga ke karya temanku di bawah ini yuk 👇👇...
Malam berganti pagi dengan cepat. Nara sudah bangun sejak tadi pagi. Seluruh badannya terasa remuk karena hampir semalaman tidak tidur. Seharusnya, Nara tidak perlu memikirkan sesuatu yang berada di luar kendalinya.
Seperti membayangkan jika malam tadi suaminya baru saja memadu kekasih dengan istrinya yang lain. Itu justru akan semakin menyakiti perasaan Nara. Namun yang namanya seorang istri, mana mau dimadu dan harus berbagi suami. Nara melakukan semua itu hanya karena terpaksa.
Mungkin, dirinya memang tak bisa menjadi seorang wanita yang sempurna.
Nara menghela napas untuk melonggarkan sesak yang menghimpit dada. Dia memilih keluar dari kamar untuk sarapan. Suasana rumah masih sangat sepi karena ibu mertua dan ipar-iparnya masih berada di hotel.
"Masak apa, Teh?" tanya Nara pada Teh Arum yang kini sedang sibuk mengupas udang.
"Mau masak udang, Non. Ibu minta Teteh untuk masak banyak hari ini," jawab Teh Arum, sang Asisten rumah tangga.
Nara mengangguk paham. Siang nanti suami dan keluarganya akan pulang. Tentu saja bersama Nadya, sang Istri kedua.
"Aku bisa bantu apa, Teh? Daripada nganggur ini," tanya Nara dengan mata yang fokus melihat bagaimana Teh Arum mengupas udang dengan lihai.
Teh Arum meringis. "Tidak usah, Non. Saya bisa sendiri. Kasihan Non Nara kalau kelelahan." Tatap Teh Arum tampak kasihan melihat kondisi Nara yang jauh dari kata baik.
Mendengar hal tersebut, Nara tertawa hambar. "Apa kelihatan sekali, Teh?" tanya Nara terdengar parau.
Teh Arum tersenyum. Tangannya terangkat untuk mengelus bahu Nara. "Saya tidak bisa membantu apa-apa, Non. Tetapi, saya selalu berdoa semoga Non Nara dibesarkan hatinya, dilapangkan dadanya, agar kuat menjalani hidup yang kejam ini," ucap Teh Arum terisak kecil. Matanya sudah mengeluarkan setetes air mata.
Beliau tentu mengetahui semua yang dilalui Nara ketika Arjuna sedang bekerja. Beliau tahu bagaimana sikap Bu Azni, Beta, dan Antika ketika Nara ditinggal ke luar kota.
Nara balas tersenyum. "Terimakasih atas doa baiknya. Aku tidak apa-apa kok, Teh. Mungkin, hanya belum terbiasa," jawab Nara berusaha bersikap tenang. Namun, air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata, tidak bisa membohongi keadaan Nara saat ini.
"Kok aku jadi cengeng gini sih, Teh," ucap Nara tertawa hambar sambil tangannya menyeka air mata yang sudah terlanjur jatuh.
"Tidak apa-apa, Non. Menangis itu baik untuk kesehatan mental, Non." Teh Arum terus mengelus bahu Nara hingga semakin membuat Nara tersedu-sedu. Dia merasa nyaman dan terharu ketika ada orang lain yang peduli dengannya.
"Boleh aku peluk Teteh?" izin Nara pilu. Tentu saja Teh Arum mengangguk cepat. Tanpa menunggu lama, Teh Arum langsung mendekap tubuh Nara.
Nara bisa merasakan punggungnya mendapat elusan naik turun yang pelan. Hal itu semakin membuat Nara tak kuasa menahan air mata. Selama ini, tidak ada bahu tempat Nara bersandar selain suaminya. Dan tidak semua masalah tentang keluarga sang Suami harus diceritakan.
Nara tidak ingin menjadi menantu durhaka terhadap orang tua dengan menceritakan kejelekannya. Tidak juga dengan adik dan kakak suaminya. Apa yang sudah mereka perbuat, hanya bisa Nara pendam sendirian.
"Teteh ... Nara tidak sanggup ...." Nara meracau dalam pelukan Teh Arum.
"Iya. Teteh memahami perasaan Non Nara. Yang kuat, yang sabar ya, Non. Teteh percaya, Tuan Arjuna sangat mencintai Non Nara," ujar Teh Arum menenangkan.
Teh Arum membiarkan Nara menghabiskan air matanya agar perasaan sang Nona bisa lebih lega. Teh Arum seakan ikut merasakan kepedihan yang dialami Nara.
Hingga menit demi menit berlalu. Tangis Nara mulai mereda dan bisa di kendalikan. Nara melepas pelukan dan mengusap wajahnya kasar. "Terimakasih, Teh. Sudah menyediakan bahu untuk Nara," ucap Nara terdengar parau.
Teh Arum tersenyum. "Tidak perlu berterimakasih, Non. Sudah tugas saya untuk menjaga Non Nara ketika Tuan tidak ada. Saya juga sudah menganggap Non seperti anak sendiri," jawab Teh Arum begitu menenangkan.
"Ya sudah. Nara pamit ke kamar dulu ya, Teh. Mau cuci muka." Setelah Teh Arum mengangguk, Nara segera berlalu meninggalkan Teh Arum yang pagi itu pekerjaannya harus tertunda karena dirinya. Namun setelah urusan Nara selesai, dia kembali ke dapur guna membantu Teh Arum.
Dia tidak mau Teh Arum terkena amukan ibu mertuanya karena bekerja tidak tepat waktu. Berada di dekat Teh Arum, membuat Nara teringat pada sosok sang Ibu yang sudah berpulang ke hadapan Tuhan.
Tinggal ayahnya yang masih tersisa sebagai salah satu keluarga Nara. Namun, ayahnya kini berada jauh dari jangkauan. Mengingat hal tersebut, Nara semakin rindu pada sang Ayah.
Tepat pukul sebelas siang, acara masak-masak itu pun selesai. Tentunya Nara ikut membantu Teh Arum sebagai ganti karena sudah menyita waktu beliau.
"Alhamdulillah selesai juga ya, Teh," ucap Nara sambil merenggangkan otot-ototnya.
"Alhamdulillah, Non." Teh Arum pun tersenyum lega.
Dua jam berlalu. Deru mobil di lantai bawah membuat Nara tersadar jika sang Suami sudah pulang. Nara yang masih bertahan di atas sajadah panjangnya, enggan beranjak dan menyambut. Dia masih belum sanggup melihat wajah madunya.
"Aku bisa beralasan sedang sholat. Jadi, aku tidak perlu menyambut mereka," gumam Nara lalu kembali berzikir demi ketenangan batinnya.
Baru beberapa menit berlalu, Nara mendengar salam diikuti suara pintu kamarnya yang terbuka. Tidak ingin langsung menoleh karena sadar siapa pelakunya, Nara memilih menengadahkan telapak tangan untuk berdoa.
Setelah selesai, baru Nara menoleh dan menjawab salam dari sang Suami. "Waalaikumsalam, Mas. Sudah pulang? Maaf tidak menyambut karena sedang sholat," ucap Nara tersenyum manis.
Arjuna hanya mengangguk dengan sorot mata tak lepas menatap Nara. Tatapan yang lekat dan menelisik dalamnya luka yang sedang Nara tanggung.
Helaan napas pelan pun terdengar. Arjuna tentu tahu jika seharian ini Nara pasti menangis. Selain informasi dari Teh Arum, mata sembab sang Istri tidak bisa membohongi.
"Apa Mas melukai perasaan kamu?" tanya Arjuna sambil mendekati Nara. Namun, secepat kilat Nara menghindar. Dia tidak ingin disentuh Arjuna untuk saat ini, mengingat jika semalam suaminya baru berbagi keringat dengan wanita lain.
Nara tersenyum tipis. "Kenapa bertanya seperti itu? Itu tidak penting lagi, Mas," jawab Nara pura-pura sibuk melipat mukenah.
Arjuna kembali mendekat dan kali ini Nara tidak bisa menghindar lagi. Suaminya itu menghimpit Nara pada tembok dengan jarak wajah yang sangat dekat.
"Mas rindu, Ra," lirih Arjuna lalu ingin mencuri kecupan di bibir Nara. Namun, Nara segera melengos dan ciuman suaminya itu mendarat di pipi. Nara tersenyum manis.
"Aku juga, Mas," jawab Nara lalu membingkai wajah Arjuna.
Melihat Arjuna yang lengah, Nara segera melepaskan diri. "Aku harus menyimpan Al Quran terlebih dahulu, Mas."
Hal itu tidak berlangsung lama karena Arjuna kembali mendekat dan memeluknya dari belakang. "Kamu kenapa sih, Mas? Bukannya semalam kamu baru mendapat kesenangan?" tanya Nara kesal tetapi tetap menjaga nada bicaranya agar tetap lembut.
"Nara!" protes Arjuna tidak ingin Nara menyinggung nya.
Nara tertawa. "Kenapa, Mas? Aku berkata benar kan?"
"Nara! Mas terpaksa melakukannya. Tolong, jangan berucap seperti itu lagi," jawab Arjuna lalu menumpukan dagu pada bahu Nara.
Menurut. Nara pasrah dalam pelukan sang Suami Dia pun merindukan pelukan yang hanya baru kemarin dia rasakan. Aneh. Bukannya membenci karena telah di madu, Nara justru semakin cinta pada suaminya itu.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...mampir juga ke sini yuk 👇👇...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!