"Ini di mana, ya?" Apple membatin sambil menapaki jalan yang entah kemana akan berujung. Tidak ada jalan beraspal atau bebatuan. Seluruh jalan itu ditutupi oleh daun-daun maple yang berguguran hingga menutupi permukaan jalan yang dilaluinya. Deretan pohon maple di kanan kirinya membentuk sebuah jalan bak karpet merah yang dilalui artis-artis ternama Hollywood.
Meski takut, gadis itu tetap melangkah karena didera penasaran. Hampir setengah jalan yang dia lalui, terlihat cahaya di ujung jalan. Cahaya itu semakin terlihat saat dia berjalan semakin dekat. Apple terkesima saat melihat bangunan rumah yang megah. "OMG, kok bisa ya! Ada rumah mewah di tengah hutan maple?" ucapnya kagum. Kedua netra gadis itu hampir keluar dari rongganya melihat kemegahan yang disuguhkan oleh si empunya rumah.
Rasa penasaran alias kepo semakin menjadi-jadi kala melihat pintu kayu yang terbuka setengah hingga menampakkan kemeriahan bagian dalam rumah. Meski sedikit, cukup menambah bumbu penasaran hingga menggebu. Apple mempercepat langkahnya, khawatir ketinggalan kemeriahan itu. Jemarinya yang jenjang dan putih memegang kenop pintu. Dia tidak serta-merta menghambur masuk ke dalam rumah.
Tersirat gundah dan takut. Tubuh gadis itu sedikit bergetar. Detak jantungnya menggema bagaikan gendang yang ditabuh berulang kali dengan semangat. Dia sendiri bisa mendengarkan suara detak jantungnya yang berirama. Apple mengeratkan pegangan pada kenop pintu. Tubuhnya bergerak maju seirama dengan langkah kakinya. Kini, tubuh gadis itu telah tersembunyi sempurna di balik pintu.
Apple menempelkan daun telinganya ke badan pintu. Dia ingin mendengar sesuatu dari dalam rumah sebelum dia menghambur masuk ke dalam. Meski dia terkenal ceroboh tapi untuk hal seperti ini tidak akan membuat dia melakukan hal yang bodoh. Cukup lama Apple menempelkan telinganya di badan pintu. Namun, tak ada sesuatu yang dapat dia dengar.
Gadis cantik itu perlahan menjauhkan daun telinganya dari pintu kayu. Tidak ada suara dari dalam rumah menandakan bahwa tidak ada orang di dalam rumah. Artinya, dia aman untuk memasuki rumah megah itu. Senyum jahil terukir di sudut bibir gadis cantik itu. Apple menstabilkan tubuhnya agar tidak goyah. Gadis itu cukup tahu diri akan kekurangannya tentang keseimbangan tubuh.
Dia mengatur napas untuk menenangkan diri. Degup jantungnya sudah tidak berdendang seperti tadi. Cukup terkendali. Setelah mantap dengan dirinya sendiri, Apple langsung melangkahkan kakinya tanpa ragu.
"Apa yang sedang kau lakukan, nona?" suara khas seorang pria berhasil membuat tubuh Apple limbung. Gadis itu tidak pernah berteriak ketika terkejut. Melainkan, tubuhnya yang langsung merespon.
"Mampus!" seru Apple bersamaan tubuhnya yang limbung ke belakang. Dia memejamkan mata sambil bersiap jatuh ke bawah. Setidaknya dengan memejamkan mata dapat menahan rasa sakit saat bokongnya menghantam sesuatu yang keras. Sayangnya, pendaratan yang dimaksud oleh Apple tak kunjung datang. Justru gadis cantik itu merasa ada sepasang tangan yang kokoh di belakang punggungnya.
Apple perlahan membuka mata. Ketakutan akan jatuh tadi, hilang seketika saat melihat wajah tampan yang sangat dikenalnya. "OMG! Sebastian," Apple membatin. Jerit kebahagiaan membahana di relung hatinya. Bagaimana tidak? Pria tertampan di kampusnya sedang memeluk tubuhnya. Senyum malu-malu tercetak jelas di wajah Apple. Degup jantungnya kembali berdendang. Namun, kali ini dendangnya sangat merdu sesuai dengan irama hati yang menghangat.
"Nona!" ucap Sebastian.
Senyum di wajah Apple menghilang berganti bingung. Mendengar suara Sebastian membuat Apple tersadar dari lamunannya. "Hah! Gue ngga salah denger nih! Atau jangan-jangan telinga gue yang bermasalah?" Apple bermonolog dalam hati sambil mengejap.
Pria tampan itu tersenyum sambil mendekatkan wajahnya pada Apple. Masalah pendengaran tadi dia abaikan. Mungkin saja dia salah dengar karena terpesona oleh ketampanan Sebastian. Apalagi saat ini wajah pria itu semakin mendekat padanya hingga membuatnya terpana.
Apple bersiap menerima kejutan dari Sebastian. Seperti cerita di novel-novel online yang sudah pernah dibacanya. Saat seorang pria mendekatkan wajahnya, artinya dia akan memberikan sebuah ciu man. Spontan saja, gadis itu menutup matanya sambil tersenyum penuh kemenangan. Akhirnya, pria idola di kampusnya itu memilih dirinya.
"Nona!" teriak Sebastian tepat di telinga kanan Apple.
Sontak saja teriakan itu membuat Apple terkejut bersamaan dengan bunyi benturan antara bokong dengan lantai marmer.
"Aduh!" Apple meringis sambil mengusap bokong sebelah kanan karena bagian itu yang mendarat lebih dulu di lantai. Kedua mata gadis cantik itu langsung membulat saat melihat keadaannya saat ini.
Apple memandang ke sekeliling. Nuansa dan suasana ruangan ini sangat tidak asing baginya. Berikutnya, tatapan Apple terhenti pada seorang wanita paruh baya yang berdiri tidak jauh darinya. Wanita itu terkekeh melihat melihat keadaan Apple saat ini.
"ih, ternyata mimpi!" rengek Apple sambil bangkit dari lantai.
"Lagian si non, udah bibi bangunin dari tadi, ngga bangun-bangun," ucap Bi Mirna sambil terkekeh.
Apple mencebik pada bi Mirna. Gadis cantik itu kesal atas kelakuan bi Mirna yang membuat mimpi indahnya berlalu tanpa kesan. Pantas saja suara Sebastian seperti suara bi Mirna. Ternyata memang bi Mirna. Apple mendaratkan bokongnya di atas tempat tidur dan memeluk bantal.
Sebelah tangannya yang bebas menepuk bantal yang tak berpenghuni agar lebih empuk saat kepalanya mendarat di sana. Dirasa sudah cukup, gadis cantik itu perlahan menjatuhkan tubuhnya ke samping.
Bi Mirna spontan meraih tangan nona mudanya agar tidak melanjutkan kegiatannya. "Eits, non!" teriak bi Mirna sambil menarik tangan kiri Apple. "Ngga ada tiduran lagi! Ayo, bangun non!" bi Mirna berusaha menahan bobot Apple dengan kedua tangannya.
"Ih, bibi! Aku masih ngantuk," rengek Apple.
"Ini sudah jam delapan, non. Tuan muda sudah menunggu nona dari tadi untuk sarapan," oceh bi Mirna.
Tuan muda. Dua kata itu perlahan masuk ke dalam kepalanya yang mungil. Cukup lama Apple baru menyadari makna dari kata 'tuan muda'.
"OMG! Gue lupa!" Sebelah tangannya yang bebas menepuk kening.
"Lupa apa non?" goda bi Mirna.
"Lupa kalau aku sudah punya suami," ucap Apple dengan suara sedih dan tidak bersemangat.
Kali ini bi Mirna tertawa lebih keras mendengar ucapan tak berdaya dari nona mudanya.
"Tertawa, bi?" Apple menatap bi Mirna sambil menahan kesal.
Bukannya berhenti, bi Mirna justru semakin terbahak-bahak.
"Seneng ya, bi! Bahagia?" timpal Apple dengan ketus.
Bi Mirna tidak memperdulikan kekesalan nona mudanya. Tugas utamanya membangunkan sang nona besar sudah terlaksana, tinggal membawanya turun ke bawah untuk sarapan. "Bahagia dong," balas bi Mirna sambil menyunggingkan senyum. "Udah non, buruan siap-siap!"
Kalimat bi Mirna kembali menghentak kepalanya. Apple meraih bantal dan membenamkan wajahnya di sana. Dia berteriak kesal mengingat dunianya sudah terbalik saat ini.
...----------------...
*Bersambung.
Note : OMG (Oh My God/ Ya Tuhan*)
"Ah, sayang! Akhirnya kau muncul," Margaret bangkit dari kursi makan menyambut kehadiran Apple yang terlambat untuk sarapan.
Beruntung Apple memiliki ibu mertua yang sangat baik, super pengertian, dan menyayanginya. Tentu saja, bibi Margaret sudah berteman baik dengan mendiang maminya dari sebelum roh Apple ditiupkan dalam rahim maminya. Lagipula, pernikahan ini juga berlangsung atas andil bibi Margaret dan maminya. Dua orang yang mempunyai andil yang sangat besar dalam perubahan hidup Apple.
"Selamat pagi bibi," ucap Apple sambil membalas pelukan Margaret.
"Eh! Jangan bibi. Sekarang kamu harus mengganti panggilan itu!" ucap Margaret tidak terima sambil mengurai pelukannya.
"Hah!"
"Kok, manggilnya jadi 'hah'?" ketus Margaret.
"Eh!"
"Hmm, sekarang jadi 'eh'," kesal Margaret sambil melipat tangan.
Apple menggaruk kepala bagian belakang yang tidak gatal. Gadis itu bingung sendiri. Dia takut bersuara karena akan disalahartikan oleh ibu mertuanya lagi. Alhasil, mengalihkan kebingungannya dengan menggaruk kepala yang tidak gatal.
Senyum simpul menahan tawa terukir di sudut bibir John. Pria tampan yang tak lain adalah suami dari Apple, anak dari bibi Margaret. Sebuah status baru selain gelar sarjananya. Bahkan gelar pendidikannya kalah telak dengan status barunya sebagai suami. Tentu saja, berita pernikahan mereka telah mengguncang seisi kota. Banyak wanita yang menyatakan bahwa mereka telah patah hati dan beberapa di antara mereka juga tidak segan-segan membuat ultimatum untuk merebut kembali John dari istrinya.
Ya, semua wanita di kota sangat mengaguminya kecuali seorang wanita yang berstatus sebagai istrinya.
"Mom, aku bisa terlambat ke kantor," ucap John dengan suara baritonnya yang khas.
"Ish, kau itu! Sudahlah! Nanti saja kita memikirkan panggilannya," ketus Margaret sambil menarik lengan Apple untuk duduk bersebelahan dengannya. Margaret cukup tahu diri tentang keadaan pernikahan putranya dan Apple. Tentu saja sangat sulit bagi mereka untuk menerima kenyataan. Apalagi menikah dadakan. Namun, Margaret percaya bahwa suatu hari nanti malaikat cinta pasti akan menembakkan panah asmaranya tepat sasaran di hati mereka.
Setelah dua wanita itu duduk, John tak ingin membuang waktu. Pria itu memberi kode pada pelayan untuk mengisi piring sarapannya. Ini adalah hari kelima, wanita yang duduk di sebelah ibunya menjadi istrinya. Di hari kelima ini juga, dia telah membuat John kesal setengah mati. Sarapan selalu telat satu jam hanya untuk menunggu wanita itu bangun.
"Heh! Aku rasa sebutan gadis kecil lebih cocok untuk dirinya," John membatin dalam hati. Pria itu tersenyum tipis dan menghabiskan makanannya dalam waktu kurang dari lima menit.
"Mom, aku sudah selesai. Aku akan ke perusahaan," ucap John sambil meletakkan serbet di atas meja makan. Tadinya dia ingin bangkit dari kursi tapi jawaban sang ibu dengan melotot membuat John mengerutkan alis.
Margaret kesal melihat tingkah putranya yang setiap pagi hanya berpamitan dengannya saja. Sudah hari kelima status putranya itu sudah tidak melajang tapi masih saja harus di beri kode untuk berpamitan pada Apple. Margaret menatap tajam pada putra dinginnya itu. Matanya hampir perih karena melotot dan memberi kode pada John untuk berpamitan juga pada Apple.
John menghela napas pelan. Dia harus menyudahi drama pagi ini. Jika tidak, gosip yang beredar di perusahaan akan semakin menjadi-jadi.
"Apple!" panggil John pelan.
Apple sedang asyik mengoles roti tawar dengan selai stroberi kesukaannya. Alih-alih menjawab panggilan John, mendengar pun tidak.
John memberi kode pada sang ibu melalui tatapan dan mata yang artinya 'lihatlah menantumu, mom! Dia tidak peduli sama sekali.'
Margaret membalas John dengan tatapan yang dua kali lebih tajam yang artinya 'Kau itu kan suami. Coba sekali lagi! Lihat dia! Dia sedang mengolesi roti tawar dengan anggun.'
John menatap ibunya dengan tidak percaya. Bisa-bisanya gerak lambat seperti itu diartikan sebagai sesuatu yang anggun.
Margaret membalas dengan menatap tajam pada John. Kesabarannya nyaris hilang melihat tingkah putranya itu yang kurang peka dan lelet. Andai saja saat ini suaminya berada di sini. Dia pasti mencurahkan kekesalannya pada suami tercinta dan berujung tidak baik untuk John. Sayangnya, Josh harus tetap berada di Itali untuk urusan bisnis sekaligus menemani putri mereka satu-satunya di sana.
John memberi kode ok dengan tangannya. Melihat tanda itu, Margaret tersenyum. Wanita paruh baya itu kembali menyantap sarapan yang hampir dingin. Margaret menyukai sesuatu yang berkuah dan hangat untuk sarapan pagi. Tentu saja, jus buah menjadi sarapan pertama yang masuk ke dalam lambungnya. Wanita paruh baya itu menyendok sup jagung dengan anggun. Dia selalu menikmati setiap makanan yang akan masuk ke dalam mulut dan mendarat cantik ke lambung.
"Apple!" panggil John lembut. Pria itu menghela saat wanita berstatus sebagai istrinya tidak menanggapinya lagi. "Sabar!" ucap John untuk dirinya sendiri dalam hati. Sebelum dia tertangkap basah oleh sang mommy, John memutuskan untuk memanggil Apple kembali.
"Apple!" John menaikkan suaranya setengah oktaf sehingga membuat pelayan yang berdiri di dekat meja makan merinding ngeri saat mendengar suara sangar tuan muda mereka.
Anehnya, hal itu tidak berlaku untuk Margaret dan Apple. Dua wanita berbeda usia itu tengah sibuk dengan makanan mereka. Jika saja roti tawar bisa dilukis, mungkin saja Apple sedang melukis sesuatu di sana dengan selai stroberi.
John mengulang panggilannya hingga kelima kalinya. Pria itu tidak bisa tahan lagi dengan kelakuan Apple. Entah telinganya bermasalah atau dia memang sengaja mencari masalah dengannya.
"APPLE!" teriak John sambil menggebrak meja makan.
Para pelayan langsung menunduk. Mereka tidak berani menatap para majikan. Roti tawar Apple mendarat di atas taplak meja putih dengan posisi selai stroberi berada di bawah. Lain halnya dengan Margaret. Dia langsung tersedak saat menyeruput kuah sup jagung. Seorang pelayan yang berdiri tidak jauh darinya langsung memberi pertolongan pertama pada nyonya besar.
John telah berhasil mendapat perhatian dari wanita berstatus istrinya. Pria itu menghela napas lega karena dapar mengakhiri drama queen di ruang makan. John mengaitkan kancing jas abu-abunya. Dia menarik napas perlahan untuk menstabilkan nada suaranya lagi.
"Aku pergi ke kantor sekarang," ucap John dengan senyum dibuat-buat.
Apple masih terkejut dengan teriakan John. Dia hanya bisa mengangguk sebagai jawaban iya. Pria pembuat kaget itu langsung mengambil langkah seribu meninggalkan ruang makan sebelum ibunya kembali normal. Dia tidak ingin mendengar ocehan dan berdebat dengan sang ibu karena Apple.
Keadaan Margaret sudah normal. Wanita itu sudah bisa mengatur napas dengan baik. Dia juga merasa memiliki cukup kekuatan untuk mengomeli putranya. "Kau itu!" ucap Margaret sambil menatap ke seberang meja makan. "Eh, kemana dia?" tanya Margaret bingung pada pelayan. Si empunya kursi telah menghilang entah kapan.
"Tuan muda baru saja meninggalkan ruang makan, nyonya," ucap salah seorang maid.
"Ish! Cepat sekali dia melarikan diri," kesal Margaret. Pandangannya kini beralih pada Apple yang masih terlihat shock.
"Hei, menantu!" seru Margaret sambil mengipas tangannya di depan wajah Apple. "Apa kau baik-baik saja?" tanya Margaret khawatir.
Apple segera tersadar saat ibu mertuanya mengipas tangannya. "Eh, iya bi," ucap Apple malu-malu. "Dasar perjaka tua! Mau bikin aku mati mudanya!" rutuk Apple dalam hati. Kemudian pandangannya beralih pada roti tawar yang dari tadi dia olesi selai stroberi dengan telaten. "Oh, rotiku!" Apple mengambil rotinya perlahan.
"Ah, kasihan sekali!" seru Margaret yang juga ikut mengasihani roti tawar Apple yang terjatuh di atas meja makan. Beberapa pelayan yang tadinya menunduk saat John membentak Apple, seketika mengangkat kepala mereka saat mendengar percakapan aneh antara nyonya besar dan nona mudanya. Dua orang di antara mereka geleng-geleng kepala dan sisanya menepuk kening mereka sendiri. Sungguh pasangan mertua-menantu yang cocok.
Bersambung
Jalanan ibu kota hari ini tampak lengang. Untung saja masih ada hal baik pagi ini. Jika tidak, sudah dipastikan Vito akan menjadi tempat pelampiasan sang tuan muda. Tugasnya sebagai seorang kaki tangan sang bos muda tidak hanya masalah pekerjaan. Akan tetapi, menjadi tempat pelampiasan emosi bos muda itu. "Selamat! Selamat!" seru Vito dalam hati. Sedetik setelah Vito mengucap syukur akan disambut dengan pagi yang cerah, langsung sirna. Si bos muda mengumpat keras setelah kendaraan roda empat itu keluar dari gerbang mansion.
Jika saja saat ini dia berada di dalam cerita komik, pasti akan ada awan mendung di dalam mobil. Khusus untuknya, awan mendung plis petir dan hujan deras. Pandangan Botol lurus ke depan. Teriakan tuannya berhasil membuat pria yang mirip salah seorang pembalap moto GP itu tidak berani bergerak.
"Argh!" teriak John setelah puas mengeluarkan umpatannya pada udara.
Tak ingin berada di tempat yang sama dengan bos mudanya, Vito menambah kecepatan kendaraan roda empatnya. Maksud hati agar segera tiba di perusahaan. Namun, si empunya mobil mengetahui kecepatan yang ditambah oleh Vito.
"Mengapa kau menambah kecepatan?" tanya John sambil menatap lekat Vito dari kursi penumpang.
"Mampus!" teriak Vito dalam hati. "Ini manusia atau bukan? Kenapa si bos tahu aku menambah kecepatan," Vito bermonolog dalam hati.
"K E N A P A?" tanya John dengan menekan setiap huruf.
Alih-alih menjawab pertanyaan si bos muda, Vito justru merasa sulit bernapas. Kerah kemeja yang dikenakan terasa mencekik lehernya dengan ketat.
John mencondongkan tubuhnya ke depan. Dia seperti macam yang siap menerkam mangsa. Beruntung getaran ponsel Vito berbunyi. Dengan secepat kilat dia menjawab panggilan itu melalui airpod.
"Ya, Suzie," jawab Vito. Dia mendengarkan dengan seksama setiap kata yang diucapkan oleh sekretaris bos muda. Senyum lega terpancar di wajah pria tinggi itu.
"Kami akan segera tiba di perusahaan lima menit lagi," ucap Vito sambil memutuskan sambungan telpon.
"Maaf tuan, saya harus menambah kecepatan karena kita ada meeting hari ini dengan beberapa klien," ucap Vito dengan tenang.
"Kenapa kau tidak bilang dari tadi?" John masih menatap Vito.
Meski di tatap dari belakang, tetap saja aura kengerian itu terasa. "Tadi tuan sedang mengeluarkan emosi. Jadi, saya tidak berani untuk mengganggu," jawab Vito tenang.
John menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Dia melipat kaki dan mengeluarkan ponsel. Gaya yang sangat khas seorang CEO. "Tambah lagi kecepatannya! Aku tidak ingin terlambat dan mendengar ocehan pegawai," perintah John setelah melihat jadwal di ponselnya.
"Baik tuan," jawab Vito sambil mengangguk sedikit. "Selamat! Selamat!" seru Vito dalam hati. Kali ini dia bisa lolos karena bantuan dari Suzie tanpa sengaja. "Aku akan mentraktir wanita itu nanti siang," janji Vito dalam hati.
Vito menambah kecepatan kendaraan roda empat dan berhasil tiba di perusahaan tidak kurang dari lima menit. Pria tinggi itu bergegas membukakan pintu penumpang untuk tuannya. John keluar dari mobil dengan gayanya yang khas. Mimik pria itu spontan berubah setelah keluar dari mobil. Maklum saja, dia adalah seorang CEO. Sudah tentu harus memberi contoh yang baik untuk bawahannya.
"Akhirnya, beb..." belum sempat Vito menyelesaikan kalimatnya, John berbalik dan meminta asistennya untuk mengikutinya ke ruang rapat. Meski enggan, Vito mau tidak mau menjawab tuannya itu dengan sikap tegap. "Baik tuan," ucap Vito sambil membungkukkan tubuhnya sedikit.
Senyum licik terukir di sudut bibir tuan mudanya itu. Vito tahu bahwa sang majikan akan membuatnya repot kali ini.
John berjalan tegap diikuti oleh Vito. Dua pria tampan itu memasuki pintu utama perusahaan bak model pria. Meski seluruh karyawan wanita telah patah hati akibat dari pernikahan CEO tampan mereka, setidaknya mereka masih bisa menikmati ketampanan sang CEO dan asistennya.
"Ya ampun, sayang banget ya! Masih muda udah nikah muda," bisik salah seorang pegawai wanita.
John dapat melihat dari sudut matanya, ketiga gadis itu sedang sibuk menggosip. Siapa lagi jika bukan dia.
"Hush! Jangan berisik! Nanti kedengaran sama ibu kepala karyawan, bisa habis nyawa pekerjaan lu," salah satu dari mereka mengingatkan.
"Caela, namanya juga penggemar. Masih wajar kali kagum-kagum cantik," ucap karyawan wanita yang tidak terima dinasehati.
Senyum licik kembali terukir di sudut bibir John. Entah sudah berapa banyak senyum licik yang terukir di wajah pria itu. John dengan sengaja memiringkan tubuhnya ke arah mereka dan tersenyum. Kemudian, mempercepat langkahnya menuju lift khusus CEO dan staf.
"Oh! Oh! Oh Tuhan!" teriak wanita tadi yang mendapat senyum tiba-tiba dari John. "Bantu gue! Bantu gue!" ucap wanita itu sambil mengipas wajah dengan kedua tangannya.
"Ya ampun, Alin! Elu minta bantuan gue. Gimana dengan gue!" ketus rekan kerjanya yang ternyata juga kebagian senyum John.
"Hei! Hei! Kerja! Kerja! Atau kalian mau saya tendang keluar!" Bentak Bu Rosi selaku kepala karyawan sambil menepuk keras tangannya tepat di belakang mereka.
"Ih, si ibu! Ngga bisa lihat orang senang," ujar Alin.
"Emang iya. Masalah buat lo?" balas Rosi tak mau kalah.
"Idih, biasa aja kali Bu!" timpal bunga selaku rekan kerja Alin yang dari tadi tidak banyak bicara. "Hmmm, Bunga tahu!" seru Bunga.
"Tau apa?" sergah Rosi.
"Bunga tahu kalo masa mudanya ibu udah expired," ucap Bunga sambil terkekeh dan diikuti oleh kedua rekan kerjanya.
"KALIAN!" teriak Rosi. "Saya hukum menggantikan tugas seluruh cleaning service hari ini!" tegas Rosi.
"Eh, eh, jangan dong Bu! Mira kan ngga ikut-ikutan mereka," tuntut Mira tak terima.
"Tidak ada pengecualian!" tegas Rosi sambil berlenggang meninggalkan mereka.
"Yah, apes deh!" seru mereka bertiga.
John dan Vito sudah berdiri di depan pintu lift. Mereka menunggu lift bergerak turun dan membawa mereka ke ruangan khusus. Sambil menunggu, mereka dapat mendengar perseteruan antara tiga karyawati versus kepala karyawan. John terlihat menahan tawa. Beda halnya dengan Vito yang tertawa tanpa suara sambil memegangi perutnya.
"Lucu, ya?" tanya John setelah berhasil menenangkan diri.
Vito mengatur napas dan mengelap cairan bening di sudut matanya karena tertawa. "Tuan, tuan!" seru Vito setelah berhasil menguasai diri.
"Apa salahku? Aku hanya tersenyum. Bukannya seorang atasan harus bersikap ramah pada karyawan," ucap John santai sambil melipat tangan.
Belum sempat Vito menjawab, pintu lift terbuka. Kedua pria tampan itu memasuki lemari besi menuju ruang khusus.
"Anda memang tidak salah. Tapi senyuman anda yang bermasalah," jawab Vito.
"Hanya senyuman saja," balas John malas.
"Haish! Tuan, tuan. Anda selalu mengatai nyonya besar telat berpikir dan selalu tidak menyambung saat diajak berbicara. Nyatanya, anda sendiri juga sama," Vito membatin. Mana berani dia mengutarakan kalimatnya. Bisa-bisa bonus tahunannya dipotong atau paling parah tidak mendapat apa pun.
"Sesama manusia itu harus saling berbagi. Jadi aku tidak ingin pusing sendiri karena drama Korea mom dan Apple pagi ini. Aku dengan ringan hati membagi pusingku dengan mereka."
"Hah!" Ucapan John berhasil membuat Vito melongo tak percaya. Bagaimana bisa pusing di bagi-bagi? Jika yang dimaksud tuannya adalah ketiga karyawan itu mendapat ocehan dan hukuman dari kepala karyawan, sudah pasti salah besar. Itu namanya tidak mau menderita sendiri.
"Kau kenapa?" tanya John sambil melirik Vito.
"Tidak ada apa-apa, tuan," jawab Vito. Jawaban Vito bersamaan dengan terbukanya pintu lift. Pria itu langsung memberi jalan untuk tuannya dan diikuti olehnya dari belakang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!