Sinar mentari masih malu-malu untuk menunjukan sinarnya, udara dinginpun masih terasa menusuk di kulit, namun seorang wanita muda dengan daster lusuh dan rambut yang hanya dikuncir sederhana sudah sibuk berkutat di dapur. Menyiapkan sarapan untuk suami dan ibu juga mertuanya.
Tepat pukul enam pagi, nasi goreng seafood lengkap dengan telur mata sapi sudah terhidang di meja makan. Arum segera menaiki anak tangga menuju ke kamar untuk membangunkan sang suami.
"Mas, bangun. Sudah jam enam," ucap Lembut wanita itu sembari menggoyangkan pelan bahu sang suami.
Perlahan Arka membuka matanya, lelaki itu melangkah ke kamar mandi tanpa membalas senyuman dari sang suami. Arum tak mengambil hati akan tingkah sang suami yang sudah biasa ia dapatkan selama setahun belakangan ini, wanita itu memilih untuk menyiapkan setelan kantor sang suami dan kembali ke meja makan. Di sana sudah duduk seorang wanita paruh baya yang menatap remeh ke arahnya.
"Selamat pagi, Bu," sapa Arum pada ibu mertuanya.
"Bikinin saya teh, sekalian kopi buat suami kamu," perintah Bu Kanti tanpa membalas sapaan sang menantu.
Arum hanya mengulas senyum kemudian memutar badanya untuk kembali ke dapur. Wanita itu kembali dengan membawa secangkir teh untuk ibu mertua dan secangkir kopi untuk sang suami.
"Silahkan, Bu. Ini tehnya," ucap Arum sembari meletakan secangkir teh di atas meja.
Bu Kanti tak menjawab, wanita paruh baya itu hanya melirik sekilas kemudian menyesap tehnya. Beberapa menit kemudian Arka turun dengan pakaian yang sudah rapi dan langsung menghenyak di salah satu kursi. Dengan sigap, Arum mengambilkan makanan untuk sang suami baru kemudian mengambil makanan untuk dirinya sendiri. Tak ada suara selain piring yang beradu dengan sendok dan garpu.
"Arum," panggil Arka setelah menghabiskan sarapanya.
"Iya, Mas?" jawab Arum dengan lembut
"Kamu bisa nggak sih, sekali aja rapiin penampilan kamu. Bosan aku tiap hari lihat wajah kusam, daster lusuh dan sekarang tambah lagi itu rol rambut ngapain masih kamu pakai ke mana-mana?"
Mata Arum membola mendengar ocehan sang suami, sedari tadi pagi wanita itu tak menyadari jika dirinya belum melepas rol rambut yang bertengger di kepalanya sejak semalam. Perlahan wanita itu meraba puncak kepalanya sendiri dan mengambil rol rambut yang sudah berhasil membuat kesal sang suami.
"I- ini tadi aku lupa copot karena aku bangun kesiangan dan buru-buru mau masak buat sarapan, Mas," ujar Arum membela dirinya.
"Halah, alasan aja kamu. Mana tiap malem bau balsem, tiap pagi bau bawang ditambah penampilan acak-acakan begini. Malas aku lihatnya, nanti malam aku pulang telat. Aku mau nongkrong sama teman-temanku biar nggak suntuk lihat wajahmu terus," omel Arka yang langsung berlalu meninggalkan meja makan tanpa pamit pada dirinya, beberapa menit kemudian terdengar suara mobil Arka yang menjauh.
"Makanya jadi perempuan itu harus bisa ngerawat diri donk, masa belum punya anak aja penampilan udah kayak gini. Gimana nanti kalau udah punya anak, bisa makin jelek kaya genderuwo kamu." Kini giliran Bu Kanti yang mengeluarkan kata-kata pedasnya untuk Arum.
Wanita muda itu tak membalas, Arum memilih untuk membereskan piring-piring kotor bekas sarapan mereka tadi karena enggan untuk berdebat dengan ibu mertuanya. Bagi Arum cemoohan dari suami dan mertuanya sudah menjadi makanan sehari-hari semenjak dirinya berhenti bekerja.
"Aruuummm!" Baru saja Arum selesai mencuci piring, sudah terdengar suara teriakan Bu Kanti dari dalam kamarnya.
Wanita muda itu berlari tergopoh menuju kamar ibu mertuanya.
"Iya, Bu. Ada apa?" tanya Arum setelah tiba di depan pintu kamar Bu Kanti.
Wanita paruh baya itu menghampiri sang menantu dengan membawa beberapa baju yang nampaknya masih baru, wajah Arum berbinar karena mengira baju-baju itu akan diberikan Bu Kanti untuk dirinya agar bisa tampil lebih menarik di depan sang suami.
"Nih, nanti kamu cuci. Jangan pakai mesin cuci karena itu masih baru dan harganya mahal. Awas kalau sampai rusak," perintah Bu Kanti sembari melemparkan baju-baju mahalnya ke wajah Arum.
Arum hanya mengangguk dan memutar badan hendak mencuci baju ibu mertuanya.
"Arum, Tunggu!" Suara menggelegar Bu Kanti kembali membuat Arum menoleh.
"Nanti jam tiga sore ada arisan sosialita di rumah ini. Kamu belanja ke pasar dan masak yang enak. Satu lagi, jangan sampai nanti kamu malu-maluin saya di depan teman-teman saya dengan penampilan kamu yang kayak gembel begini!" Lagi-lagi ucapan Bu Kanti membuat hati Arum terasa nyeri, wanita muda itu mengangguk dan segera berlalu dari hadapan ibu mertuanya.
Dengan langkah gontai Arum menuju ke ruang laundry dan mencuci baju-baju itu dengan tangan. Setelah selesai dengan urusan baju-baju mahal itu, Arum bergegas pergi ke pasar dengan menaiki sepeda motor matic.
"Gimana mau keliatan cantik dan terawat, wong kerjaanya aja tiap hari kayak babu. Duit belanja aja seringnya habis buat masak-masak di acara arisan ibu mertua. Kalau mau aku cantik ya harusnya dimodalin, bukan malah ngomel melulu tiap hari," monolog Arum sembari melajukan sepeda motornya.
Wanita itu membeli beberapa bahan makanan untuk membuat cemilan sebagai suguhan arisan ibu mertuanya. Arum memilih untuk membuat risol mayo dan brownies kukus hari ini. Badanya yang lelah membuatnya ingin buru-buru pulang setelah selesai belanja.
Saat tiba di rumah nampak pintu yang telah terkunci, beruntung wanita itu membawa kunci cadangan di dalam saku dasternya.
"Pasti lagi shopping nih ibu, tapi syukur deh. Jadi nggak perlu ribet bikinin makan siang, mending aku buat mi instan aja terus makan," oceh Arum sembari menyimpan barang-barang belanjaanya.
Arum memasak sebungkus mi instan dengan dua butir telur sebagai menu makan siangnya kemudian beristirahat sejenak dan membuat cemilan pesanan ibu mertuanya.
Tepat pukul setengah tiga sore Arum telah selesai menata cemilan yang dibuatnya di meja makan. Wanita itu memutuskan untuk segera mandi dan mengganti daster lusuhnya sebelum Bu Kanti pulang bersama rombongan sosialitanya.
Ting tong, Arum menghembuskan napas kasar mendengar bunyi bel pintu yang sudah pasti dipencet oleh ibu mertuanya. Dengan buru-buru Arum berlari untuk membukakan pintu. Dan benar saja Bu Kanti tengah menatap tajam kepada dirinya. Sedangkan emak-emak sosialita yang berdiri di belakang sang mertua tengah menelisik penampilan Arum dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Dari mana aja kamu, bukain pintu aja lama bener," ketus Bu Kanti tanpa peduli sedang ada banyak orang yang melihat.
Arum menarik napasnya panjang dan menghembuskanya secara perlahan, berusaha untuk menetralkan emosinya agar tak meledak.
"Maaf, Bu. Arum baru saja selesai bikin cemilan untuk acara arisan ibu dan tadi Arum mau mandi," balas Arum dengan selembut mungkin meski hatinya terasa sakit.
"Ya sudah sana mandi." Arum mengangguk dan segera menuju ke kamar untuk membersihkan diri.
"Ya ampun, Jeng. Itu menantumu penampilanya kok kayak pembantu gitu sih, mana bau banget lagi." Arum tak lagi memperdulikan cemoohan yang terdengar di telinganya.
Wanita itu memilih masuk ke kamar mandi dan menangis tanpa suara di sana untuk meluapkan kesedihanya. Lima belas menit kemudian Arum keluar dari kamar mandi dan hendak berganti pakaian.
"Aruuummm!"
Arum panik mendengar suara teriakan Bu Kanti yang menggelegar di seluruh penjuru rumah itu hingga tak sempat lagi memilih baju mana yang akan ia kenakan. Wanita itu turun menghampiri ibu mertuanya dengan mengenakan daster bolong pada bagian ketiak serta rambut yang masih acak-acakan. Dengan berlari tergopoh wanita itu menuju ke ruang tamu di mana sedang diadakan arisan ibu-ibu sosialita.
Mata Arum membulat kala melihat seorang wanita cantik seumuran dirinya tengah duduk dan mengobrol bersama sang mertua. Dia adalah Aline, sahabat sekaligus seorang manager caffe tempat Arum bekerja dulu. Sejenak Arum mematung, wanita muda itu merasa insecure kala melihat penampilanya yang berbanding terbalik dengan sang sahabat.
"Aline, kok kamu ada di sini?" Basa-basi Arum menyalami sahabatnya.
"Ibu yang undang Aline untuk ikut arisan di sini, sekarang kamu bawa minuman sama makanan yang kamu buat tadi ke sini," perintah Bu Kanti pada menantunya.
Arum hanya bisa mengangguk dan melaksanakan perintah dari ibu mertuanya. Wanita itu juga tak menyangka jika sang sahabat begitu dekat dengan ibu mertuanya.
"Ini, silahkan dicicipi semuanya," ucap Arum ramah sembari meletakan hidangan itu ke atas meja kemudian hendak berbalik ke dapur.
"Arum." Panggilan dari Aline membuat wanita muda itu menoleh.
"Kamu mandi dong, terus kita ngobrol sama-sama di sini," pinta Aline dengan diiringi sebuah senyuman.
"Aku udah mandi kok, Al. Baru aja selesai terus ibu manggil," jawab Arum dengan jujur.
Bu Kanti mengernyit, memindai penampilan sang menantu yang tengah berdiri di hadapanya dengan tatapan tajam. Di wajahnya tergambar jelas rona kemarahan kala menatap sosok Arum.
"Udah mandi kok penampilanya masih begitu, mana daster bolong di mana-mana," celetuk salah seorang teman Bu Kanti.
"Maaf, Bu. Saya buru-buru turun karena mendengar suara panggilan dari Ibu, jadi asal ambil baju saja" balas Arum mengatakan yang sebenarnya.
"Alasan aja kamu ini, emang dasar nggak bisa jaga penampilan. Tahu gini mending dulu Arka nikah sama Aline aja. Cantik, sukses, bisa cari duit sendiri lagi," maki Bu Kanti yang terang-terangan membandingkan Arum dan sahabatnya.
Wajah Aline berubah menjadi gugup setelah mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Bu Kanti. Sedangkan Arum tengah mati-matian menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya agar tak sampai menetes dan membuatnya terlihat lemah.
Aline beranjak dari kursinya dan mendekati sang sahabat.
"Maaf ya Arum, pertanyaanku malah bikin kamu dimarahi sama Tante seperti ini," ucap Aline dengan wajah bersalah.
"Sudah tidak apa-apa Al, kamu lanjutkan saja arisanya. Aku mau ke atas dulu, selain itu aku juga harus masak untuk makan malam nanti," balas Arum berusaha menyunggingkan senyum.
Wanita itu buru-buru menaiki anak tangga untuk menuju ke kamarnya. Setibanya di kamar, Arum menumpahkan air matanya sembari meringkuk di atas ranjang. Ranjang yang kini terasa dingin dan hampa karena sang suami sudah tak pernah menyentuhnya meskipun sebagai seorang istri dan wanita normal, Arum merindukan sentuhan kasih sayang dari sang suami.
Bukan keinginanya untuk berpenampilan seperti ini, namun apa daya. Uang belanja yang diberikan oleh Arka hanya cukup untuk membeli kebutuhan dapur selama sebulan. Jangankan membeli skin care seperti wanita lain, untuk sekedar membeli daster seharga lima puluh ribu saja Arum harus berpikir berulang kali. Pekerjaan Arka memang seorang manager dengan gaji besar, namun uang itu lebih banyak diberikan untuk sang ibu dan meskipun Arum tahu semua pin m-banking dan ATM Arka. Tak pernah sekalipun Arum memakai uang sang suami tanpa izin.
Sudah cukup lama Arum menangis, menumpahkan segala kesedihan yang ditahanya selama ini untuk mengurangi rasa sesak yang menghimpit di dadanya. Kini matanya tertuju pada jam dinding yang sudah menunjukan pukul lima sore, pertanda ia harus segera masak untuk makan malam. Suara Bu Kanti dan teman-temanya pun sudah tak lagi terdengar di telinga Arum.
Wanita itu segera membasuh mukanya lalu keluar dari kamar, dan benar saja. Kondisi rumah sudah sepi. Hanya menyisakan piring dan gelas kotor bekas acara arisan. Arum menghembuskan napasnya kasar kemudian segera membereskan rumah itu dan membersihkan piring-piring yang kotor. Barulah melakukan tujuan utamanya untuk memasak makan malam.
"Arum, masak apa kamu?" tanya Bu Kanti yang tiba-tiba muncul di belakang sang menantu.
"Eh Ibu, ini Arum mau masak soto aja, Bu. Masih ada telur asin juga, Mas Arka malam ini juga makan di luar," jelas Arum yang selalu tersenyum di depan ibu mertuanya.
"Ya udah buruan, Ibu sudah lapar," ucap Bu Kanti kemudian berjalan ke arah ruang keluarga, wanita paruh baya itu memilih menonton drama ikan terbang sembari menunggu sang menantu selesai memasak.
Setengah jam kemudian bau harum masakan menguar di indera penciuman Bu Kanti, masakan Arum telah siap di meja makan. Wanita itu menuju ke ruang keluarga untuk mengajak mertuanya makan malam bersama.
"Bu, makanan udah siap. Ibu mau makan sekarang atau nanti?"
Ekor mata bu Kanti melirik ke arah sang menantu.
"Ya sekarang lah, perut saya sudah keroncongan nungguin kamu masak."
Wanita paruh baya itu beranjak dari duduknya dan mengambil makanan untuk dirinya sendiri. Seperti biasa, keduanya makan tanpa ada suara selain sendok garpu yang beradu dengan piring. Usai makan Bu Kanti kembali menonton drama ikan terbang kesukaanya sedangkan Arum memilih membereskan kembali meja makan. Sayup-sayup terdengar suara mobil Arka yang memasuki pekarangan rumah.
"Aruuummm!"
Benar saja, beberapa menit kemudian suara Arka menggelegar memanggil nama sang istri. Dengan tergopoh Arum menghampiri sang suami yang sudah duduk di samping Bu Kanti.
"Mas Arka, kok sudah pulang? Katanya mau nongkrong dulu sama teman-teman kamu? Lapar nggak? Aku siapin makanan buat kamu ya." Arum menyambut kedatangan sang suami dengan antusias.
"Nggak usah basa-basi, kamu kenapa sih selalu bikin malu aku sama ibu. Udah tahu ibu mau arisan sama teman-temanya di sini, ngapain kamu masih pakai daster jebolmu itu, hah?" maki Arka tanpa menanggapi sambutan istrinya.
"Mas, tapi tadi itu ...."
"Stop, aku nggak mau dengar pembelaan dari kamu. Lain kali aku nggak mau kejadian ini terulang lagi. Aku ini seorang manager, tapi penampilanmu seperti gembel. Mau ditaruh di mana mukaku ini?"
"Iya Mas, maaf," hanya kalimat itu yang terucap dari bibir Arum.
"Sudahlah, percuma kamu minta maaf. Aku mau istirahat, muak aku sama kamu. Nyenangin suami aja nggak bisa, bisanya cuma bikin malu!"
Arka meninggalkan sang istri begitu saja setelah memakinya. Arum hanya bisa mengelus dadanya sendiri, berusaha memaklumi tingkah sang suami. Wanita itu perlahan menaiki anak tangga hendak menyusul sang suami menuju ke kamar.
Nampak Arka tengah duduk di atas ranjang sembari memainkan gawainya. Terlintas di pikiran Arum untuk membahagiakan sang suami. Wanita itu mengambil sebuah lingerie berwarna merah maroon dalam lemarinya dan masuk ke kamar mandi tanpa disadari oleh sang suami.
Dengan malu-malu Arum keluar dari kamar mandi, Arka masih tetap fokus pada layar gawainya hingga tak menyadari perubahan penampilan sang istri.
"Mas," panggil Arum dengan suara manja. Hingga membuat sang suami menoleh ke arahnya.
Kepala Arka mendongak mendengar namanya dipanggil oleh sang istri dengan nada yang begitu lembut nan manja, dengan malas lelaki itu menoleh ke arah Arum yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi dengan menggunakan lingerie warna merah maroon kesukaannya. Dahi lelaki itu mengernyit dengan sebelah alis terangkat kala melihat penampilan sang istri. Sebelah sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman mencemooh.
"Kamu ngapain pakai baju begitu, nggak nafsu aku lihatnya. Kalau kamu dandan cantik dan kulit kamu glowing sih pantes pakai baju begitu, ini wajah kusam aja pakai begituan. Percuma," ucap Arka yang kembali fokus pada gawai di tanganya.
Lagi-lagi Arum harus menelan pil pahit akibat ucapan pedas dari bibir sang suami, wanita itu langsung memutar badanya masuk ke kamar mandi dan mengganti lingerie itu dengan baju daster lusuhnya. Dengan wajah murung, Arum menghenyak di sisi ranjang. Memperhatikan sang suami yang tengah tersenyum hanya karena menatap layar benda pipih yang masih setia berada dalam genggamanya.
"Kamu lagi chatingan sama siapa sih, Mas?" tanya Arum penasaran.
Arka langsung menyembunyikan gawainya di bawah bantal setelah mendengar pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh sang istri. Lelaki itu bergegas menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
"Ya sama orang kantor lah, sama siapa lagi," ketus Arka menanggapi pertanyaan sang istri.
"Kok sampai senyum-senyum begitu, Mas?" Arum tentu saja tak mudah mempercayai jawaban klose yang diberikan oleh suaminya.
Lelaki itu bangkit dari posisinya dan menatap Arum dengan wajah kesal.
"Memangnya kamu pikir aku lagi chattingan sama siapa, hah? Kamu mau nuduh aku macam-macam?"
"Bu- bukan begitu, Mas. Aku percaya kok sama kamu."
Pada akhirnya Arum yang memilih kembali mengalah untuk menghindari percekcokan di antara mereka. Arka yang sudah merasa posisinya aman kembali merebahkan tubuh dan segera memejamkan matanya.
Arum hanya bisa mendesah kesal melihat tingkah sang suami yang selalu tak mau mengalah. Wanita itu ikut merebahkan diri. Pandangan matanya menerawang ke langit-langit kamar. Entah sampai kapan ia akan bertahan menjalani kehidupan seperti ini. Memikirkan hal itu membuat kepalanya terasa berdenyut hingga memilih untuk memejamkan mata.
Hari telah larut saat Arum merasakan haus yang mengusik lelap tidurnya. Wanita itu membuka mata, hendak mengambil minum untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Namun Arum terkejut karena sisi ranjang di sampingnya telah kosong.
"Ke mana Mas Arka, apa jangan-jangan lagi di toilet ya?" monolog Arum pada dirinya sendiri.
Kepala wanita itu menoleh ke arah pintu kamar mandi yang tak tertutup, pertanda tak ada sang suami di sana.
Sejenak Arum termenung lalu memutuskan untuk ke dapur tanpa memakai alas kaki sehingga langkahnya tak menimbulkan suara. Satu-persatu Arum mulai menuruni anak tangga hingga sayup-sayup terdengar suara sang suami yang tengah berbicara dengan seseorang di telepon.
"Iya sayang, besok siang kita ketemu ya makan siang bareng." Suara Arka yang tengah berbicara di telepon membuat hati Arum tercubit, namun wanita itu memilih untuk meredam emosinya.
Perlahan, Arum mendekat ke arah Arka yang masih sibuk berbicara mesra dengan seseorang di ujung telepon.
"Mas Arka." Panggilan lembut itu membuat Arka buru-buru mematikan sambungan teleponya dan menoleh ke arah sumber suara.
"A- Arum, sejak kapan kamu di situ?" tanya Arka gugup karena takut jika sang istri mendengar obrolanya tadi.
Arum menatap sang suami tanpa berkedip, wanita itu mendekat kemudian menyunggingkan senyum tipis.
"Barusan kok, Mas. Mau ambil minum aku, kamu lagi teleponan sama siapa tadi?" Arum pura-pura tak mengetahui pembicaraan sang suami.
"Oh, emb itu rekan bisnis. Besok aku ada metting penting, katanya kamu mau ambil minum," bohong Arka menutupi kebelangan tingkahnya.
"Rekan bisnis kok manggilnya sayang," batin Arum dalam hatinya.
"Iya ini aku mau ambil minum, kamu nggak mau tidur lagi?"
"Ini aku juga mau tidur kok." Arka segera beranjak, menaiki anak tangga menuju ke kamarnya.
Sementara Arum memilih mengambil segelas air putih dan menenggaknya hingga tandas. Wanita itu menggenggam gelasnya dengan erat.
"Rupanya kamu mulai bermain api, Mas Arka. Kita lihat, seperti apa wanita selingkuhanmu itu," gumam Arum kemudian meletakan gelasnya.
Wanita itu memutuskan untuk kembali ke kamar dan melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu. Namun hanya mata Arum yang terpejam, pikiranya terus berkelana memikirkan apa yang sudah dilakukan Arka di belakangnya. Mingkinkah sang suami tega menduakan cintanya hanya karena penampilan yang selalu dibilang lusuh dan membosankan.
Hingga adzan shubuh berkumandang Arum masih belum juga terlelap. Wanita itu memutuskan untuk melaksanakan kewajiban dua rokaatnya lalu memasak sarapan. Arum memilih untuk membuat kwetiau goreng sebagai menu pagi ini.
Seperti biasa, sang mertua bangun setelah sarapan terhidang di meja makan. Sedangkan Arka harus dibangunkan terlebih dahulu oleh sang istri. Usai sarapan Arka langsung pergi ke kantor sedangkan Bu Kanti masih duduk di meja makan menikmati secangkir teh buatan Arum.
"Arum!" panggil Bu Kanti pada sang menantu yang tengah mencuci piring bekas makan mereka.
"Iya, Bu. Ada apa?" tanya Arum setelah tiba di hadapan mertuanya.
"Kamu itu nggak bosan apa di rumah terus setiap hari?"
"Ya bosan, Bu. Tapi gimana lagi, mau keluar jalan-jalan juga nggak bisa karena mobil Arum sekarang dipakai sama Ibu. Kalau naik motor kan panas, Bu," keluh Arum sekaligus menyindir mertuanya secara halus.
Wanita paruh baya itu mendelik kala mendengar ucapan menantunya.
"Enak aja, kamu nyindir saya? Lagian keluar kan nggak harus jauh, ngobrol sama tetangga kan juga bisa daripada angkrem di rumah terus."
"Nggak lah, Bu. Nanti yang ada malah diajak ghibahin tetangga yang lain kan nggak enak. Apalagi kalau sampai Arum diajak ghibahin Ibu, kan nggak lucu ghibahin mertua sendiri."
Bu Kanti kian geram mendengar kata-kata yang diucapkan oleh sang menantu.
"Hah, percuma ngomong sama kamu. Bikin kesel aja bisanya, mending saya jalan sama teman saya."
Wanita paruh baya itu kembali masuk ke dalam kamarnya dan kembali dengan menenteng tas berlogo huruf "H" yang entah kualitas kw super berapa. Tak berselang lama terdengar deru suara mesin mobil yang menjauh menandakan Bu Kanti telah meninggalkan rumah itu.
Arum menghela napasnya dalam dan menghembuskanya perlahan. Wanita itu menuju ke ruang laundry untuk menyetrika pakaian yang sudah menumpuk. Namun, pikiran Arum tak bisa berkonsentrasi. Wanita itu masih penasaran, siapa yang ditelepon oleh Arka semalam hingga memutuskan untuk mematikan setrikanya dan kembali ke kamar untuk menelepon seseorang.
Jemari Arum dengan lincah menari di atas layar mencari kontak Johan, sahabat sekaligus pemilik caffe tempat dirinya dan Aline bekerja dulu. Perlu menunggu beberapa kali deringan sampai pemilik kontak itu mengangkat teleponya.
"Hallo, Arum apa kabar kamu? Lama banget nggak ada kabar, udah lupa apa gimana nih sama aku?" cecar Johan di seberang telepon.
"Baik Jo, aku kan sekarang sibuk jadi ibu rumah tangga."
"Ada apa ini, tumben kamu telepon. Lagi butuh bantuan apa?" tembak Johan yang sudah sangat hapal dengan sifat Arum.
"Hehe, tau aja kamu, Jo. Tapi kayaknya nggak enak deh kalau ngobrol di telepon, bisa ketemu aja nggak besok siang?"
"Boleh, tapi jangan di caffe aku ya, kita ketemu di caffe Bucin yang dekat rumah kamu itu aja ya."
"Oke, besok jam sebelas siang ya. Bye."
"Bye Arum." panggilan pun diakhiri, Arum sebenarnya sudah tak sabar menunggu sampai hari esok tiba.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!