"Ada kata-kata terakhir?” tanya suara seseorang.
Kemudian kain hitam yang menutupi mata Antonio di buka, membuat Antonio dapat melihat 4 orang pria berdiri di hadapannya, memandang datar tanpa bicara apa pun.
Mata Antonio melebar, ia sangat terperanjat bukan main karena keempat orang yang berdiri itu, dirinya sangat mengenal mereka.
“Kau?! Kenapa?! Ke—“
Dor! Peluru melesat menembus dada kiri Antonio, menghentikan ucapannya.
Rasa sakit bercampur panas tatkala lelehan timah itu menembus dadanya, bahkan tidak mampu mengalahkan rasa sakit akan kekecewaan telah di hianati oleh orang yang ia kenal dan sangat percayai itu.
Dor! Tembakan kedua melesat menembus tepat di dahi Antonio. Dia pun ambruk ke belakang, jatuh dari atas jurang tinggi.
Sesaat dia melihat 4 orang berdiri di pinggir tebing, melongok ke arahnya dengan senyuman lebar merekah di wajah mereka, sebelum akhirnya pandangan Antonio menjadi gelap.
...**********...
Antonio membuka mata, melihat sekitarnya gelap, hanya cahaya putih samar yang terpancar dari arah bawah.
Saat Antonio akan bangun, tubuhnya tidak bisa di gerakan. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, mendapati kedua tangan, tubuh hingga kakinya terikat oleh rantai yang menyatu dengan dasar tempat yang di genangi air itu.
“Khehehehe,” terdengar suara kekehan wanita.
Antonio menoleh ke sumber suara, mendapati seorang wanita dengan pakaian serba merah tengah duduk melihat ke arahnya.
“Hai tampan,” sapa wanita itu.
Wanita itu beranjak dari tempatnya, berjalan kearah Antonio. Pakaian yang dikenakan mirip dengan baju khas kaum Tionghoa ketika merayakan hari raya Imlek, akan tetapi yang di pakai oleh wanita itu begitu terbuka di bagian dada hingga menampakkan sebagian apa yang seharusnya tetap di dalam.
Tidak hanya itu, pakaian terusan merah itu juga terbelah di bagian bawah hingga mencapai pinggang, membuat paha putih nan mulus itu terlihat dengan jelas.
“Dia siapa?” pikir Antonio.
Wanita itu merangkak diatas tubuh Antonio seperti salamander.
Kini Antonio dapat melihat dengan jelas wajah wanita yang berada di atasnya tersebut, meski pencahayaan tidak begitu terang.
Rambutnya berwarna hitam panjang, saking panjangnya hingga menjuntai ke dasar tempat yang di genangi air itu. Kulitnya pun putih bersih, hingga sanggup menyamai warna putihnya salju.
Wajah mungil serta hidung kecil yang mancung, bibir merah bervolume, dan iris mata yang berwarna merah itu menatap manja pada Antonio.
Antonio sendiri tidak mengerti, apa yang sudah terjadi, siapa wanita itu, dan dimana dia sekarang.
Wanita itu kemudian memegang wajah tampan Antonio, lalu mendekatkan bibir seksinya ke telinga kiri, berbisik, “Apa kau ingin balas dendam? Aku bisa mengabulkannya,”
“Kau siapa?” tanya Antonio.
Wanita itu menarik wajahnya menjauhi wajah Antonio, menghadap keatas, tertawa cekikikan seperti orang gila, membuat Antonio semakin bingung.
Beberapa detik kemudian, wanita itu kembali menunduk, tersenyum menggoda pada Antonio, “Aku Bell, Iblis aliran waktu,”
“Tempat ini adalah dimensi milikku, kau sudah mati. Kau ingat? 2 tembakan yang kau terima sebelum jatuh ke jurang laut?” lanjut wanita itu yang ternyata seorang Iblis bernama Bell.
Mendengar kata 2 tembakan, membuat Antonio mengingat kembali saat dia di tembak dan terjatuh dari atas jurang.
“Aku mati? Hidupku hanya berakhir seperti ini?” tanya Antonio dalam hati. Ia tersenyum kecut.
“Bagiamana? Kau ingin belas dendam?” tanya Bell mengulang pertanyaan sebelumnya.
“Apa imbalan yang kau inginkan? Iblis tidak mungkin memberi tawaran tanpa imbalan,” jawab Antonio.
Bell terkekeh, “Kau pintar juga rupanya, imbalannya mudah saja, yaitu jiwamu akan menjadi milikku,”
Jari lentik Bell yang berkuku panjang berwarna merah itu meraba pelan dada kiri Antonio, kemudian ia mendekatkan wajahnya ke depan wajah Antonio sembari berbisik, “Selamanya.”
Meski penampilan, sikap, nada serta cara bicara Bell sudah sangat menggoda iman pria, namun Antonio sama sekali tidak tergoda. Di matanya Bell tidak jauh berbeda dengan para wanita penghibur di rumah bordil yang sering dia sambangi semasa hidup.
“Aku mau, terserah kau.” jawab cepat Antonio menatap tajam ke arah Bell, tergambar dengan jelas amarah dan dendam di matanya.
Mengetahui jika mangsanya memakan umpan, Bell tertawa cekikikan dengan keras hingga menggema di tempat itu, kemudian berseru, “Aku suka manusia sepertimu!”
Dia memegang wajah tampan Antonio, kedua mata merahnya menatapnya lekat, “Kontrak sudah dibuat, kau tidak bisa membatalkannya Antonio Fernandez.”
Sebelum kemudian mencium bibir Antonio sembari tangan kanannya menutup kedua mata Antonio.
...**********...
“Wah selamat Pak, putra Anda laki-laki!" seru seorang dokter perempuan.
Dengan memakai masker dengan pakaian hijau mengangkat seorang bayi laki-laki yang matanya masih tertutup, memperlihatkannya ke hadapan sang ayah.
Wim yang merupakan ayah dari bayi yang baru lahir itu menyambut dengan raut wajah sangat bahagia karena akhirnya putra yang ia nantikan kelahirannya telah lahir.
Namun ketika melihat putranya yang hanya diam dengan mata tertutup menjadi bingung, karena setahu dirinya, bayi akan menangis sesaat setelah lahir.
“Dia tidak menangis?” tanya Wim.
“Tidak perlu khawatir, sebagian kecil bayi memang tidak menangis ketika lahir,” jawab dokter itu.
Kemudian dokter itu membawa sang bayi untuk di mandikan.
Sementara Wim menghampiri istrinya-Jane, mengucapkan banyak terima kasih karena sudah mengandung hingga berjuang melahirkan, serta memberinya seorang putra.
“Terima kasih Jane, kau sudah berjuang melahirkan pewaris tunggal Xendra Grup.” ujar Wim mengecup kening istrinya.
Jane hanya tersenyum, dia kelelahan berjuang selama 12 jam lamanya untuk melahirkan putranya itu.
...**********...
[Kediaman utama keluarga Hermensmith]
Antonio membuka mata, melihat tempat yang sebelumnya remang dan gelap kini berubah menjadi terang benderang. Langit-langit yang di hiasi ornament mewah dan mahal.
Sesat kemudian seorang pria datang menghampiri Antonio yang tidak lain adalah Wim. Dia melihat Antonio, kemudian tersenyum. Antonio sendiri merasa aneh, karena seorang pria asing tersenyum padanya, selain itu pria itu nampak sangat besar.
“Kenapa dia besar sekali?!” ujar Antonio dalam hati.
Antonio ingin bicara, akan tetapi dia baru menyadari bahwa ia sama sekali tidak bisa bicara.
“Ahmm Emm,” hanya itu yang keluar dari mulut Antonio.
“Tu-tunggu aku tidak bisa bicara!” ujar Antonio dalam hati terkejut.
Antonio berusaha bergerak, tapi juga tidak bisa, tubuhnya terasa sangat lemah. Bukannya bergerak tubuhnya malah menangis dengan sendirinya.
"Oek!"
“Cup, cup Vincent lapar?” tanya Wim menepuk-nepuk badan Antonio, lalu menggendongnya.
Dia membawa Antonio ke sebuah ranjang besar nan mewah di samping wanita cantik berambut panjang hitam yang tidak lain adalah Jane.
“Wah, melihat Mamanya Vincent langsung diam,” ujar Wim sembari meletakkan Antonio ke samping Jane.
“Iya dong, Vincent 'kan anak Mama.” ujar Jane tersenyum menatap Antonio.
“Dia juga anakku Jane,” sahut Wim dengan nada bicara tidak terima jika putranya hanya diakui sebagai putra istrinya saja. Padahal mereka melakukannya berdua.
Mendengar itu, Jane hanya terkekeh kecil kemudian mengelus lembut pipi putranya yang masih berusia 1 minggu itu.
“Iya Wim, Vincent Hermentsmith, anak kau dan aku. Aduh lucunya anak ini.”
Nama Hermentsmith sangat familier di telinga Antonio. Rupanya dirinya terlahir di keluarga Hermentsmith, keluarga konglomerat pemilik perusahaan besar—Xendra Grup.
“Jadi ini tawaran Bell? Baiklah, aku akan menghancurkan para b*jing*n itu karena telah menghianatiku!” ujar Antonio dalam hati, dia tersenyum.
Melihat putranya tersenyum, Jane bahagia bukan main, karena itu pertama kalinya dia melihat putranya tersenyum.
“Lihat Wim dia tersenyum!” seru Jane.
Kedua orang tua baru itu menikmati waktu dengan putra mereka yang tidak lain adalah Antonio.
Sementara Bell, dia mengawasi Antonio dari tempatnya. Senyuman licik tersungging di bibir seksinya, kemudian bermonolog, "Pertunjukan apa yang akan kau mainkan, Antonio?”
...**********...
[Di dalam ruang rapat gedung utama Lippo Grup]
"Apa yang mengganggu pikiran Anda? Hingga termenung sendirian disini Pak?”
Seorang ajudan bertanya pada majikannya yang terus berdiri di depan kaca, memandang keluar dari dinding ruang rapat yang sepenuhnya terbuat dari kaca itu.
Ajudan itu kembali bertanya, "Apakah Anda masih memikirkan dia?”
Majikannya tidak memberi jawaban apapun, ia hanya membisu.
“Dia sud—”
“Aku tau, aku sendiri yang menembaknya dan melihatnya jatuh,” ujar majikan dari ajudan itu memotong ucapan ajudannya.
“Lantas apa yang mengganggu pikiran Anda?”
“Sudah 5 tahun berlalu sejak hari itu, tapi aku tak merasa tenang sedikitpun,” ujar sang majikan menjelaskan hal yang selama ini mengganjal di pikirannya.
“Apa maksud anda Pak Fey? Apakah Anda merasa bersalah?” tanya ajudan pada majikannya yang ternyata bernama Fey tersebut.
Fey melirik ke samping kiri, arah ajudannya yang bernama Kim tersebut, "Tidak, dia memang harus mati. Tapi Kim, aku merasa dia tidak pernah mati.”
Kim pun meyakinkan Fey bahwa dia yang dimaksud oleh Fey sudah mati, 5 tahun yang lalu.
“Tidak Pak Fey, Antonio sudah jelas mati.”
Antonio tumbuh di keluarga Hermentsmith, dan dikenal akan kepintaran serta cara bicara yang tidak seperti anak seusianya.
Di usia 5 tahun contohnya, dirinya sudah bisa mengalahkan kakeknya yang bernama Abraham dalam permainan catur.
Dan sekarang, dimana besok usianya genap 8 tahun, Vincent meminta Wim untuk belajar menembak dengan dalih sebagai kado ulang tahun. Hal sebenarnya dibalik itu adalah, untuk melemaskan tangan serta mengasah kembali kemampuannya.
“Papa, aku ingin kado ulang tahun saat ulang tahunku besok,” ujar Vincent menghampiri Wim di meja kerjanya.
“Wah sudah meminta kado sekarang? Vincent ingin kado apa?” tanya Wim menutup berkas yang tengah ia baca.
“Aku ingin belajar menembak.” jawab Vincent.
Wim menggendong putranya itu ke atas pangkuannya, “Bukankah Vincent sudah belajar menembak dari pistol yang Papa belikan?”
“Pistol yang kau belikan itu mainan! Aku minta yang asli!" ujar Vincent dalam hati kesal.
Vincent hanya diam, menghembuskan nafas kasar.
Meski terlahir kembali di tubuh baru, Antonio masih membawa sikapnya pada dirinya yang sekarang. Dimana ia akan diam dan menghembuskan nafas dengan kasar ketika merasa kesal.
Menyadari jika putranya merajuk, Wim mencoba menawarkan hadiah lain berupa permainan baru, gadget baru atau berlibur ke Swiss untuk bermain sky, mengingat putranya itu sangat menyukai olahraga sky.
“Tidak mau, aku hanya ingin belajar menembak!” ujar Vincent menolak semua tawaran Wim dan tetap pada pendiriannya.
“Sialan, aneh sekali aku memanggilnya Papa!” ujar Vincent dalam hati.
Antonio tidak terbiasa memanggil orang tua dengan sebutan itu. Dia besar di panti asuhan dan panggilan yang sering dia ucapkan di panti adalah Suster, panggilan untuk para pengurus panti.
Kemudian saat di adopsi oleh seseorang ketika usianya hampir menginjak dewasa yakni 15 tahun, Antonio memanggil orang yang mengadopsinya itu dengan sebutan Tuan dan Nyonya.
“Ingin belajar menembak? Itu masih terlalu kecil,” ujar Wim dalam hati, melihat putranya tidak mau hadiah lain selain belajar menembak.
“Papa percayalah padaku! Aku bisa melakukannya dengan baik! Aku cepat dalam belajar!” ujar Vincent mencoba meyakinkan Wim bahwa dia mampu untuk mengikuti pelajaran menembak dengan baik.
Di tengah Wim menimbang keinginan putranya, Jane datang membawa kopi dan kue kering ke dalam ruangan kerjanya.
“Anak Mama sedang apa? Duduk di pangkuan Papa begitu?” tanya Jane meletakan kopi dan tatakan berisi kue kering diatas meja Wim.
Bukannya menjawab pertanyaan Jane, Vincent malah salah fokus pada kue kering yang di bawa oleh ibunya.
"Mama jangan memberi Papa makanan seperti kue kering itu.” sahut Vincent menunjuk kue kering yang tersaji di atas tatakan.
“Lho memangnya kenapa?” tanya Jane bingung kenapa putranya melarang dirinya memberi Wim kue kering.
“Yah.. itu tidak baik untuk Papa saat tua nanti,” jawab Vincent.
Jane dan Wim terkekeh kecil mendengarnya, seorang anak yang sebentar lagi genap berumur 8 tahun berbicara soal hari tua.
Jane mengelus-elus kepala Vincent, "Putraku memang pintar."
“Papa, bagaimana? Boleh ya?” Vincent menanyakan keputusan Wim.
“Lho, ada apa Wim? Apa kau melarang sesuatu padanya?" tanya Jane reflek ketika mendengar pertanyaan Vincent .
Wim menghela nafas sesaat, menyiapkan diri. Karena dia tahu, Jane akan selalu mendukung keinginan Vincent.
Meski begitu, Vincent yang sejatinya dulunya adalah Antonio yang sama sekali tidak mempunyai sifat manja.
“Vincent ingin kado ulang tahun belajar menembak,” jawab Wim.
“Oh?! Bagus dong! Vincent selama ini hanya belajar menembak dari pistol mainan yang kau belikan, jadi kenapa kau melarangnya?” respon Jane sesuai dugaan Wim.
“Mama benar, belajar itu harus dimulai sedini mungkin, agar saat dewasa mempunyai banyak keahlian!” timpal Vincent.
“Kata-katanya seperti orang dewasa saja," ujar Wim mendengar ucapan putranya itu.
2 lawan 1, Wim pun kalah jika melawan dua orang yang sangat di sayanginya itu.
“Baiklah, besok kita akan ke tempat paman Justine.” Wim mengabulkan keinginan putranya.
“Akhirnya! Aku bisa melemaskan kembali tanganku!” ujar Vincent dalam hati senang bukan main.
Kemudian pagi harinya, Wim membawa Vincent ke tempat Justine untuk belajar menembak secara privat.
Justine adalah teman sekaligus orang kepercayaan Wim dan keluarga Hermentsmith, sekaligus ketua tim Bruth. Tim yang melakukan pekerjaan kotor Xendra berkedok Creative Crew.
Mereka tidak pernah gagal dalam menuntaskan buruannya. Hanya ada satu buruan tim Bruth yang sedikit meleset pada masa lalu, yaitu membunuh Antonio, sang anjing Lippo Grup yang merupakan salah satu saingan bisnis Xendra.
Mobil Toyota Alpard hitam yang dikendarai oleh supir kepercayaan keluarga Hermentsmith itu pun memasuki kawasan perbukitan dimana hutan Klausal berada. Kemudian berhenti di depan gerbang tinggi.
“Pak Setyo, kembalilah ke kediaman utama. Datanglah kembali 4 jam dari sekarang.” titah Wim pada supirnya ketika turun.
“Baik Tuan.” sahut Pak Setyo, kemudian ia memutar mobil, lalu melaju pergi meninggalkan Wim dan Vincent.
“Si*l*n, sedikit sekali waktuku.” ujar Vincent dalam hati, mendengar perkataan Wim yang secara tidak langsung hanya memberi waktu 4 jam padanya.
Wim menggandeng Vincent berjalan mendekati gerbang. Di area itu terdapat selain ada gerbang tinggi menjulang, juga ada banyak CCTV, baik yang terlihat ataupun tersembunyi.
Di tempat itu pula terdapat mesin penembak otomatis yang letaknya tersembunyi di antara pepohonan. Dimana mesin itu akan menembak otomatis target, jika mendeteksi chip yang masuk ke area itu bukanlah chip yang terdaftar.
Xendra Grup memiliki biotekhnologi mutakhir bernama Biox. Itu merupakan teknologi pemindaian tubuh oleh mesin berbentuk seperti scan barcode yang berbentuk raksasa.
Setelah di pindai, data pemindaiam itu kemudian di transmisikan dalam bentuk chip bernomor seri. Setiap individu mempunyai nomor seri yang berbeda.
Chip yang sudah terdaftar itu lalu di kirimkan datanya ke server yang berada di luar hutan Klausal, kemudian seseorang yang mengawasi server dapat melihat data itu.
Selain di kirimkan ke server, data itu juga otomatis di kirimkan ke mata mesin penembak otomatis.
Mata mesin penembak otomatis itu berupa 2 buah drone sebesar rentangan tangan orang dewasa, terbang diatas hutan selama 24 jam. Kedua drone itu bergantian turun ke bawah setiap 12 jam untuk mengisi bahan bakar selama 5 menit.
[Kembali lagi pada Vincent]
“Meski tidak ada penjaga disini, dengan adanya peringatan bahaya di dasar bukit, CCTV serta mesin penembak otomatis tersembunyi, menjadikan tempat ini benar-benar tempat kerahasiaan Xendra.” ujar Vincent dalam hati melirik Wim
Derk! Gerbang terbuka. Wim menggandeng Vincent untuk masuk. Sesaat setelah masuk, mereka berdua masuk, gerbang otomatis itu kembali menutup.
Mereka berjalan lumayan jauh ke dalam, hingga menemui bangunan putih. Di bagian samping bangunan itu terdapat tempat latihan menembak model outdoor, dengan 5 bundaran target penembakan.
Seorang berambut pirang yang kelihatan baru selesai latihan menembak menoleh ke arah Vincent dan Wim.
“Wim? Ada apa kemari?” tanyanya melepas kacamata dan penutup telinga.
Melihat pria itu, Vincent merasa bernostalgia. Dia adalah Justine Plaregue, ketua tim Bruth yang memimpin tim pada saat usianya baru genap 20 tahun.
Orang yang mampu hampir memojokkan Antonio saat dia bertugas untuk menyingkirkan penganggu Lippo.
“Kita bertemu lagi, Justine.” sapa Vincent dalam hati.
"Justine, ajari Vincent menembak," ujar Wim langsung mengatakan tujuannya datang tanpa berbasa-basi.
Justine tertegun untuk sesaat, “Kau bercanda?”
“Tentu saja tidak, aku serius.”
“Tidak Wim,” Justine menolak perintah Wim.
“Kenapa?”
“Lebih tepatnya masih belum. Vincent masih berusia 8 tahun. Selain masih terlalu kecil, pendengaran anak usia 8 tahun belum mampu bertahan pada suara keras tembakan meski telah memakai alat pelindung telinga.” ujar Justine menjelaskan alasannya menolak perintah Wim.
“Kebanyakan bacot,” ujar Vincent dalam hati mendengar penolakan Justine.
“Justine, Vincent itu berbeda! Aku yakin dia akan baik-baik saja, dan dia pasti bisa mengikuti arahanmu dengan cepat!” ujar Wim mencoba meyakinkan Justine.
“Tidak Wim, mungkin jika Vincent menerima pelajaran menembak saat usianya 15 tahun atau usia masuk SMA, aku akan langsung mengiyakan. Tapi lihatlah dia masih kecil, bahkan tangannya tidak akan mampu menggenggam pistol yang berat!” Justine tetap menolak keras.
“Ha? 15 tahun? Terlalu lama! Aku tidak punya waktu untuk main-main, aku harus balas dendam pada para B*jing*n itu!” ujar Vincent dalam hati.
Vincent melirik ke wadah besi, tempat Justine meletakan pistol.
Saat Justine dan Wim sibuk beradu argument, dia berjalan menghampiri wadah itu, melihat sebuah pistol tergeletak dengan 2 peluru di sampingnya.
“Kenapa hanya ada 2 peluru?” Pikir Vincent memasukan 2 selongsong peluru itu ke dalam pistol.
“Wim, sudah aku bilang dia mas—“
Dor! Suara tembakan keras dan memekikkan telinga menghentikan ucapan Justine, reflek Justine menutup telinganya begitu juga dengan Wim.
Mereka berdua bersamaan menoleh ke arah sumber suara tembakan, mendapati suara itu berasal dari pistol yang di genggam oleh Vincent. Kepulan asap masih keluar dari ujung pistol yang di arahkannya pada target tembakan.
Ketika dua orang dewasa menutup telinganya, Vincent bersikap biasa saja. Telinganya tidak terasa sakit sama sekali, mungkin Bell ikut menyertakan segala sesuatu dari kehidupan Vincent sebelumnya.
Justine melirik ke bekas tembakan Vincent, pelurunya mengenai bundaran terget tembakan bagian tengah, meski tidak tepat di tengah-tengahnya.
“Sialan, 8 tahun aku tidak melatih tanganku, rasanya sangat kaku.” ujar Vincent dalam hati bersiap menarik kembali pelatuknya.
“Tu-tunggu dulu! Kau bisa men—“ ucapan Justine kembali terhenti tatkala ujung pistol Vincent mengarah padanya.
“B*jing*n itu menodongkan pistol padaku seperti ini, apakah wajahku juga sama seperti mereka?” tanya Vincent dalam hati melihat ekspresi terkejut serta tegang dari Justine dan Wim.
Vincent mengangkat pistolnya, kemudian mengarahkan ujung pistol itu ke arah target tembakan. Jari telunjuknya bersiap menarik pelatuk, kedua matanya melihat fokus, dan Dor! Ia menembakkan peluru terakhirnya.
Peluru itu melesat menembus bagian lingkaran yang lebih dalam dari sebelumnya, tapi masih belum mengenai titik tengah.
Vincent bisa melihat dengan kedua mata terbuka, tidak perlu menutup salah satu matanya untuk melihat fokus target dalam menembak. Itu adalah kemampuan lain yang di bawa dari kehidupan sebelumnya.
“Sialan masih belum,” pikir Vincent melihat bekas tembakan pelurunya yang dia rasa masih meleset.
“Telinganya baik-baik saja? Dia bisa menembak ke arah target dengan stabil? Tubuh kecilnya tidak terpental kebelakang, yang benar saja,” pikir Justine heran sekaligus terkejut, baru pertama kali menyaksikan anak seperti Vincent.
“Sepertinya aku pernah melihat tahnik menembak seperti itu, tapi dimana?” Pikir Justine kembali, tehnik yang dilihatnya terasa tidak asing.
“Wim, istrimu ngidam apa ketika hamil?” bisik Justine melirik Wim disebelahnya.
“Tidak ngidam sama sekali, memangnya kenapa?” bisik Wim balik melirik.
“Lalu bagaimana kau melakukannya?” Justine kembali bertanya.
“Melakukan apa?” Wim tidak mengerti dengan pertanyaan Justine.
“Saat kau meng—“
“Paman, bagaimana? Apa paman tetap tidak mau mengajariku?” tanya Vincent tiba-tiba muncul memotong ucapan Justine.
Justine dan Wim langsung berdiri tegap, menurunkan tangan mereka yang sebelumnya reflek di angkat ke atas ketika Vincent mengarahkan pistol ke arah mereka berdua.
“Tunggu sebentar, kau bisa memasukan peluru ke dalam pistol, mengarahkan, bahkan menarik pelatuk. Kau bisa tahu semua itu darimana?” tanya Justine penasaran.
“Selain banyak bacot, dia juga banyak tanya! Kau itu mau mengajariku atau tidak?! Waktuku tidak banyak, bodoh!" ujar Vincent kesal dalam hati.
“Dari permainan yang dibelikan oleh Papa.” jawab Vincent.
Mendengarnya Justine heran, bagaimana mungkin Vincent hanya belajar dari permainan, karena dilihat dari caranya memegang, mengarahkan bahkan posisi badannya ketika menembak, dia seperti terbiasa menggunakan pistol, atau lebih tepatnya seperti terbiasa menembak.
"Setahuku dia umurnya 8 tahun 'kan? Dan Wim pun tidak pernah memberi pistol asli, justru dia kemari memintaku agar mengajarinya. Tapi bagaimana bisa gerakannya seperti anjing rabies itu," Justine berargumentasi sendiri di dalam pikirannya.
“Bukankah aku sudah mengatakannya tadi? Vincent itu berbeda! Dia jenius!” ujar Wim membanggakan putranya setelah melihat dia dapat menembak dan mengenai target lingkaran dalam sekali coba.
Wim yakin putra semata wayangnya itu mampu menerima pelajaran menembak dengan baik dari Justine.
Disini Vincent melihat ekspresi Justine mengernyitkan kedua alis, menyipitkan mata ketika memandang dirinya. Sangat jelas menggambarkan bahwa ia mencoba keheranan dan seolah mengenali tehnik menembaknya.
“Apakah dia tahu jika aku adalah Antonio? Sepertinya tidak, rahasia ini hanya di ketahui oleh Bell.” ujar Vincent dalam hati menatap Justine.
“Mungkin Wim benar, dia berbeda dari kebanyakan anak lain. Ia punya bakat.” ujar Justine dalam hati, ia tersenyum pada Vincent.
Akhirnya Justine hanya berpikiran bahwa Vincent memiliki bakat dalam menembak. Tidak berpikiran jika anak kecil yang berdiri di depannya itu, dulu membuatnya hampir mati.
Justine kemudian berjongkok di depan Vincent, tidak sengaja memperlihatkan bekas tembakan yang tersembunyi dibalik kerah.
“Ah masih berbekas rupanya,” ujar Vincent dalam hati, melihat bekas luka tembakan di leher Justine.
"Vincent, Kau ingin jadi polisi ya? Makanya belajar menembak?” tanya Justine.
Plak! Wim tiba-tiba memukul pundak Justine.
“Polisi apanya? Tentu saja dia akan mewarisi dan memimpin Xendra!” ujar Wim kesal, menatap tajam pada Justine.
Terlihat Wim tidak suka dengan polisi, entah apa yang terjadi antara dia dan polisi hingga membuatnya tersinggung mendengar candaan Justine tentang Vincent yang akan menjadi polisi.
“Aku hanya bercanda!" sahut Justine.
Kemudian dia berdiri, "Baiklah aku akan mengajari Vincent.”
Mendengarnya Wim pun tersenyum, begitu juga dengan Vincent. Dia berjalan mendekati Justine dan berpura-pura menanyakan tentang bekas luka di leher pemimpin tim Bruth itu.
“Paman Justine, itu apa?” tanya Vincent polos menunjuk leher Justine.
Justine reflek memegang leher, “Ah ini bukan apa-apa, hanya luka digigit anjing rabies,”
Mendengar jawaban Justine, membuat Vincent kesal. Dirinya di panggil anjing rabies.
“Sialan kau!" ujarnya dalam hati kesal.
Justine kemudian mengajak Vincent menuju meja yang terletak di paling ujung kiri. Sedangkan Wim, ia melipat kedua tangan, memperhatikan dari tempatnya berdiri.
Sesampainya di depan meja paling kiri itu, Justine memakaikan penutup telinga dan kacamata khusus menembak pada Vincent, dimana di bagian mata kiri dari kacamata itu dapat ditutup. Setelahnya dia memberi tahu serta memperaktikkan tehnik menembaknya.
“Caranya sedikit berbeda dari caraku.” ujar Vincent dalam hati memperhatikan Justine.
“Kau paham?” tanya Justine.
“Iya,”
"Nah sekarang giliranmu." ujar Justine memberikan pistol yang di pegangnya pada Vincent.
Putra tunggal keluarga Hermentsmith itu pun segera mempraktikkan apa yang baru saja Justine contohkan.
Melihat Vincent dapat langsung memahami apa yang di contohkan olehnya dalam sekali pencontohan saja, membuat Justine lumayan kagum.
“Kau cepat tanggap ya Vin, seperti Wim," puji Justine.
“Iyalah Paman, Wim itu ayahku, dan aku anaknya.” sahut Vincent fokus melihat target.
Justine melihat sorot mata Vincent begitu tajam, sangat berbeda dari umumnya anak usia 8 tahun.
“Sorot mata tajam itu, seperti Wim. Apakah dia juga akan sekejam ayahnya?” ujar Justine dalam hati.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!