Cinta pertama memang tak pernah bisa dilupakan begitu saja meskipun hubungan itu sudah lama berakhir. Novel ini menceritakan tentang kisah cinta manis sepasang muda mudi yang duduk di bangku sekolah menengah atas.
Cerita berawal ketika jam pelajaran pertama baru akan dimulai. Bu guru masuk diiringi seorang anak laki-laki berparas menawan. Remaja tampan itu bernama Sekhal Aryaguna. Tak butuh waktu lama, kehadiran Sekhal dengan fisik mencolok membuat banyak remaja putri tertarik. Mereka pun berusaha melakukan sesuatu yang dapat menarik perhatian sang pujaan hati. Namun sayangnya dari begitu banyak gadis yang ingin menjadi pacarnya, Sekhal tidak pernah menanggapi mereka serius. Bukan karena tidak menyukai wanita, hanya saja sejak pertama memasuki sekolah baru, hatinya sudah tertambat pada seorang gadis yang tidak sengaja menabraknya di gerbang sekolah. Gadis itu bernama Maya Juliana.
Waktu berlalu, Maya akhirnya menerima cinta Sekhal. Kisah mereka pun berjalan mulus. Sampai suatu ketika hubungan itu harus berakhir karena campur tangan pihak ketiga. Cinta yang sedang berputik itu pun kandas setelah Maya dan Sekhal sama-sama menyudahi pendidikan mereka.
Maya melakukan sesuatu yang membuat Sekhal marah besar. Sekhal akhirnya pergi jauh meninggalkan Maya juga cintanya dan tidak pernah kembali lagi. Tapi takdir tidak pernah salah sasaran. Kedua insan itu kembali dipertemukan di sebuah perusahaan di ibukota.
Rasa sakit hati Sekhal membuatnya melakukan berbagai cara agar Maya menyerah dan menjauh dari hidupnya namun kegigihan sang gadis justru membuat Sekhal semakin jatuh hati pada cinta pertamanya itu. Cinta yang tidak pernah mati itu mekar kembali menyatukan hati yang sempat terbelah.
Mampukah cinta pertama yang sudah tertanam kokoh benar-benar menyatukan keduanya? Atau harus kembali berpisah karena sebuah perbedaan yang tidak bisa dihilangkan?
"Tu...tunggu berhenti" jerit Maya sambil melambaikan tangannya tinggi.
Bus berwarna merah dengan garis biru itu terus melaju pelan tak mendengar jeritan penumpang yang berusaha mencegah lajunya. Tak lama bus itu berhenti tepat di depan penumpang yang sedang menunggu. Maya yang sedang terburu-buru segera berlari kencang sebelum bus tadi melaju lagi. Kali ini Maya sedikit beruntung. Usahanya tidak sia-sia. Ia pun langsung masuk ke dalam bus dan duduk di kursi paling belakang. Satu lagi keberuntungannya hari ini, ia mendapatkan tempat duduk di spot favoritnya. Maya bersandar di badan bus seraya mengatur nafasnya yang masih tersengal.
"Hah...capek banget" keluhnya sembari melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiri.
Setelah merasa nafasnya sudah stabil, Maya kemudian mengecek lagi berkas lamaran kerjanya, barangkali ada yang ketinggalan.
"Surat lamaran kerja ada, CV ada, fotocopy ktp, skck, sama sertifikat, semua lengkap" ucapnya mengabsen satu-satu berkas putih sebelum dimasukkan lagi ke dalam amplop coklat. "Semoga saja kali ini aku diterima kerja" sambungnya menyemangati diri sendiri.
"Kalau aku gak diterima kerja lagi, kayaknya aku harus balik kampung deh. Mau makan apa aku disini kalau masih jadi pengangguran gini?" cemasnya dalam hati.
Sekitar setengah jam perjalanan, bus yang Maya tumpangi berhenti tidak jauh dari halte. Gadis berumur 24 tahun itu mengikuti langkah kaki kecilnya sambil menenteng amplop coklat. Tidak butuh waktu lama, ia telah sampai di sebuah perusahaan yang akan menginterviewnya hari ini. Dengan segenap harapan, Maya menyematkan doa sebelum menginjakkan kaki di bangunan tinggi itu.
"Oke, semangat Maya. Jangan terlalu gugup dan jawab dengan jujur semua pertanyaan yang mereka ajukan. Semangat Maya. Kamu pasti bisa" gumamnya berapi-api sambil mengankat kedua lengan agar persendiannya tidak terlalu kaku.
Sebelum benar-benar memasuki gedung, tak lupa Maya merapikan dahulu kemeja dan rok selutut yang ia kenakan. Bukankah penampilan hal yang pertama dinilai oleh orang. Jadi tentu saja harus rapi agar mendapatkan kesan pertama yang baik, pikirnya.
"Permisi mbak, saya Maya. Kemarin saya ditelpon disuruh datang kesini untuk interview" tuturnya tersenyum ramah.
"Mari ikut saya" balas wanita dengan clip nama Riani yang menempel di baju kemejanya bagian dada kiri itu.
Dengan patuh Maya mengekori wanita itu hingga berhenti di sebuah ruangan yang kalau dilihat dari luar ukurannya paling besar dibandingkan beberapa ruangan yang ia lewati tadi.
"Tunggu disini sebentar" suruh Riani seraya masuk ke dalam ruangan. Sementara itu, Maya menunggu di luar.
Krekkk
"Silakan" titah Riani menyuruh Maya masuk.
Maya menarik nafas panjang lalu membuangnya perlahan. Ia semakin gugup dan deg degan. Padahal ini bukan yang pertama baginya. Entah sudah berapa kali ia melakukan interview namun selang beberapa hari tidak ada kelanjutannya lagi alias interviewnya gagal. Kali ini, Maya sangat berharap dirinya berhasil dan diterima bekerja.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk" seru suara dari dalam.
Maya membuka pintu dengan sangat hati-hati. Jika kupingnya tidak salah dengar maka yang akan menginterviewnya seorang pria.
"Permisi pak, saya Maya"
Deg!
Pria berbadan atletis dan tinggi itu seketika membeku saat mendengar nama yang tidak asing di telinganya. Bibirnya menjadi keluh, matanya berkedip cepat. Nama itu, sudah lama sekali ia tidak mendengarnya namun anehnya, nama itu pula yang paling ia ingat. Perlahan sang pria berbalik. Matanya menatap nanar gadis di hadapannya.
Tak jauh berbeda dengan pria di depannya, Maya juga teramat terkejut melihat sosok yang akan menginterviewnya hari ini.
"Sekhal" ucap Maya dalam hati.
"Silakan duduk" perintah Sekhal sembari duduk di kursi empuknya. "Kamu bawah berkas lamaran?" lanjutnya bertanya.
"Bawah pak" jawab Maya terbata-bata. Tangan sedikit gemetar saat menyerahkan amplop coklat berisi berkas lamaran kerjanya.
Mata Sekhal seksama menelisik lembar demi lembar yang baru saja ia keluarkan dari amplop coklat. Pria berpenampilan rapi dengan setelan jas itu tampak biasa saja seakan tidak terkejut sama sekali. Wajahnya yang tampan terlihat tenang namun dingin. Sedangkan Maya berusaha keras mengendalikan gejolak dihatinya. Anehnya meskipun ngeri tapi matanya tak lepas memandang sosok pria yang sangat membekas di hatinya itu.
"Apa alasan kamu ingin bekerja di sini?"
Pertanyaan Sekhal yang tiba-tiba membuat Maya terperanjak. Ia pun buru-buru membenarkan posisi duduknya berhadapan dengan pria yang mungkin akan menjadi atasannya nanti.
"Maaf pak, tadi pak Sekhal tanya apa ya?" tanya Maya tersenyum memaksa.
"Dia masih ingat namaku" lirih Sekhal membatin.
"Apa alasan kamu ingin bekerja di sini?" ucap Sekhal mengulang pertanyaannya.
Maya terdiam sesaat sambil mengulum bibirnya.
"Agar saya punya penghasilan pak. Saya butuh uang untuk memenuhi kehidupan sehari-hari saya" jawab Maya apa adanya.
"Semua orang butuh uang. Orang gila pun butuh uang. Yang saya tanyakan, apa alasan kamu ingin bekerja di sini?" timpal Sekhal tegas.
Maya tercekat. Ia memutar bola matanya. Otaknya berpikir keras coba memahami maksud pertanyaan Sekhal yang sesungguhnya.
"Apa jawabanku salah? Sebenarnya apa maksud pertanyaannya? Apa itu pertanyaan jebakan?" batin Maya tidak mengerti.
Menit berlalu, Maya belum juga bisa memberikan jawaban yang memuaskan untuk Sekhal. Dan sampai sekarang, pertanyaan untuknya belum berganti, masih pertanyaan yang tadi.
"Sebenarnya maksud pertanyaan pak Sekhal itu apa ya? Saya sudah menjawab sesuai yang ada dalam pikiran saya. Tapi kenapa pak Sekhal terus mengulangi pertanyaan yang sama?" tanya Maya beruntun akhirnya.
"Di sini hanya saya yang berhak bertanya. Kamu gagal. Silakan keluar" usir Sekhal tanpa welas kasih.
Sekhal berdiri dari duduknya dan melangkah ke arah lemari arsip yang tertata rapi tidak jauh dari meja kerjanya. Sementara itu, Maya masih tertegun di posisinya. Ia tidak bisa menerima dirinya gagal interview hanya dengan satu pertanyaan saja.
"Maaf pak Sekhal. Tapi saya rasa ini tidak adil. Setidaknya beri saya kesempatan untuk menjawab pertanyaan yang lain. Atau pak Sekhal bisa mengetes kemampuan saya dalam mengoperasi sistem. Saya orangnya cepat beradaftasi pak. Saya yakin perusahaan ini tidak akan menyesal menerima saya" tutur Maya menggebu dan penuh harapan.
Sekhal tersenyum sinis sambil mengembalikan arsip yang sempat dibacanya ke tempat semula. Ia melangkah perlahan ke arah Maya. Badannya yang memiliki tinggi 187 cm sedikit membungkuk mensejajarkan wajahnya dengan gadis yang sedang meminta kasihan darinya.
"Kesempatan itu hanya pantas untuk orang yang memiliki hati. Saya kenal siapa anda dan anda bukanlah orang yang berhak mendapatkan kesempatan" kata Sekhal dengan sorot mata tajam.
Maya menyoroti raut penuh kemarahan pria di hadapannya. Tak lama ia tersenyum miris dengan wajah sedikit ditekuk. Bibirnya sedikit bergetar seperti kehabisan kata. Moment perpisahan yang tidak baik antara dirinya dan Sekhal kembali terbayang di kepalanya.
"Aku sudah melupakan semuanya. Sudah tujuh tahun berlalu. Apa kamu masih mengingatnya? Apa kamu selalu menolak pelamar yang kamu kenal sifatnya tanpa melihat kemampuannya? Bukankah ini namanya tidak profesional?" cerca Maya dengan harapan Sekhal dapat merubah keputusannya.
Sekhal tak bergeming. Kepalan tangannya semakin kuat mencengkeram gagang kursi yang Maya duduki. Pancaran matanya semakin membara seperti kobaran api yang siap melahap apa saja.
"Baiklah, jika itu keputusan final pak Sekhal, saya akan pergi. Terima kasih untuk waktunya" Maya ingin berdiri namun Sekhal tak jua pergi dari hadapan sang gadis bertubuh ramping itu.
"Tolong pak Sekhal minggir? Saya mau pergi" pintanya berusaha tetap sopan.
Sekhal tak mengindahkan permintaan Maya. Bukannya bergeser, ia justru mendekatkan wajahnya dengan gadis yang sedang diselimuti rasa kemarahan itu. Sontak Maya menarik wajahnya lalu menunduk gelisah.
"Apa yang mau pak Sekhal lakukan?" tanya Maya gugup, tidak berani menegakkan kepala.
"Kamu akan melakukan apa saja agar di terima bekerja disini, hmm?"
Sekhal dan Maya saling memandang beberapa saat. Dua insan itu membisu dan merasakan hembusan nafas sosok di hadapannya. Beberapa kali Maya susah payah menelan salivanya. Sekat yang setipis papan triplek membuatnya dapat melihat dengan sangat jelas kulit wajah Sekhal. Hidung sang pria yang terlalu mancung sedikit lagi menyentuh hidungnya. Pertemuan pertama setelah tujuh tahun berlalu ini terlalu intim bagi Maya. Kenangan indah saat bersama pun kembali terungkap memenuhi sanubarinya. Semua yang telah dilalui masih tersimpan rapat dalam ingatannya. Kata-katanya tadi tentu saja bohong. Ia tidak pernah melupakan sedikitpun setiap moment yang telah terjadi antara dirinya dengan sang mantan.
"Maksud pak Sekhal? Memangnya saya harus melakukan apa agar diterima bekerja?" tanya Maya gugup setengah mati.
"Layani saya" balas Sekhal singkat.
Pranggg
Refleks Maya berdiri dan tangannya tidak sengaja menyenggol gelas berisi kopi yang terletak di ujung meja kerja Sekhal.
"Oh maaf pak, saya tidak sengaja" sesal Maya panik.
Saking paniknya, Maya tidak menyadari jika kepala kakinya terkena pecahan gelas. Gadis yang memiliki senyuman manis itu mendadak seperti orang linglung. Gesture tubuhnya terlihat sangat tidak nyaman. Buku-buku tangannya mengepal erat dan garis wajahnya menjadi tegang.
"Apa maksud Sekhal berbicara begitu? Dia memintaku melayaninya. Apa dia sedang meminta tubuhku?" racaunya dalam hati.
Sekhal tidak dapat menahan senyum menawannya saat melihat pergerakan-pergerakan aneh dari gadis di depannya. Ia tahu apa yang saat ini sedang Maya pikirkan tentangnya.
"Posisi yang kamu lamar sudah terisi orang lain. Kamu kurang cepat. Karena itu saya menawar kamu pekerjaan lain. Layani saya 24 jam, sebagai asisten pribadi saya" jelas Sekhal tenang sembari melipat tangannya di dada.
"Ohh itu maksudnya" batin Maya lega sambil mengelus dada.
"Hmm...asisten pribadi itu pekerjaannya gimana ?" tanyanya hati-hati.
Sontak sepasang netra dengan bulatan coklat kekuningan itu mendelik. Sekhal sebenarnya malas bicara panjang lebar. "Mengurus semua keperluan saya dari bangun tidur sampai saya tidur lagi. Jika kamu setuju, kita bisa langsung bicara tentang gaji" katanya lebih rinci.
Maya diam sejenak sembari memikirkan untung dan resiko dari pekerjaan yang ditawarkan padanya. Baginya bekerja di waktu normal saja sudah cukup melelahkan apalagi 24 jam penuh. Bisa habis tubuh kecilnya karena kelelahan. Memang saat ini ia membutuhkan uang tapi tidak harus menyiksa diri juga. Apalagi bos nya ini mantan pacarnya. Tentunya akan banyak kesulitan yang akan ia hadapi nanti. Sekhal tidak akan membiarkannya bekerja dengan senang hati.
"Sekhal, aku tahu kamu masih sangat marah padaku atau mungkin benci. Bahkan mungkin kamu juga dendam padaku. Tapi kenapa kamu menawarkan pekerjaan ini? Apa kamu sedang menyusun rencana untuk menyiksaku?" batin Maya curiga.
"Berapa lama lagi waktu yang kamu butuhkan?" tanya Sekhal membuyarkan lamunan gadis yang sedang bimbang itu.
Maya membuang nafas berat sebelum mengambil keputusan. Mata indahnya memandang intens pria berotot di seberangnya. Ia berusaha membaca ekspresi pria datar itu. Namun tidak menemukan jawaban yang dapat memuaskan rasa penasarannya.
"Saya berterima kasih atas kemurahan hati pak Sekhal. Tapi maaf, saya tidak bisa menerima pekerjaan ini. Sekali lagi terima kasih pak. Saya permisi" pamit Maya sedikit menunduk.
"Jika kamu mau, saya akan membayar kamu tiga kali lipat dari gaji karyawan biasa" seru Sekhal tampak sangat antusias.
Besarnya gaji yang Sekhal tawarkan membuat Maya terpengaruh. Ia pun mulai menghitung dalam hati kisaran gaji yang akan diterimanya setiap akhir bulan.
"Jika gaji karyawan biasa sekitar tiga juta lebih, berarti gaji aku sebulan bisa sepuluh juta. What? Gede banget. Tapi setara sih dengan waktu kerja aku nanti. Tapi resikonya, aku gak punya waktu istirahat" batin Maya masih ragu-ragu.
Desakan kebutuhan hidup dan gaji besar yang Sekhal tawarkan membuat Maya tak berkutik. Ia pun menerima pekerjaan itu. "Baiklah pak, saya terima pekerjaan itu" ucapnya setuju.
"Ternyata dia tidak berubah" batin Sekhal tersenyum sinis.
Sekhal kembali bekerja seperti biasa. Sedangkan Maya nampak kikuk sambil memainkan tali tas warna hitamnya. Bola matanya berulang kali berpindah dari Sekhal lalu ke kursi sofa di samping kanannya. Ia bingung apa yang harus dilakukan sebagai asisten pribadi. Sekhal juga belum menyuruhnya apa-apa. Ia pun tidak punya ruangan ataupun kursi khusus yang bisa di duduki. Dirinya tidak berani lancang duduk di sofa yang ada di ruangan yang sedang ia pijaki saat ini, takut si boss dingin marah.
"Kalau saya tidak memerintahkan apa-apa, kamu bisa ambil inisiatif sendiri. Bersihin pecahan gelas tadi contohnya" terang Sekhal memberi arahan.
"Hah...jadi pekerjaan pertama aku ngepel lantai? Untuk apa aku belajar biar pintar kalau pas kerja masih ngepel lantai juga" gerutu Maya mengeluh dalam hati.
Gadis yang sedang kesal itu masuk kembali setelah mengambil sapu dan alat pel di pantry.
"Permisi pak, saya bersihin ini dulu"
"Pelan-pelan. Saya tidak suka berisik" sambar Sekhal ketus tanpa melihat lawan bicaranya.
Selesai mengumpulkan pecahan gelas, Maya langsung mengepel lantai hingga bersih. Tidak lama karena memang lantai yang terkena kopi tidak lebar. Setelahnya, Maya kembali bingung karena kembali menganggur. Merasa kakinya pegal, Maya pun duduk di sofa meskipun Sekhal belum memberinya aba-aba untuk duduk di atas benda empuk itu. Sekhal yang sedang sangat serius bekerja membuatnya tidak berani meminta izin.
"Kamu pergi saja ke rumah saya. Bersihin rumah saya. Dan ingat jangan memindahkan benda apapun. Setelah beres, kamu masak. Saya mau makan malam di rumah. Alamatnya akan saya kirim" ujar Sekhal memberi arahan apa yang harus Maya lakukan di rumahnya nanti.
Tak ada kekuatan bagi gadis berparas cantik itu untuk melawan. Suka tidak suka, ia harus melakukan semua pekerjaan rumah yang Sekhal perintahkan. Jiwanya sedikit memberontak karena pekerjaannya saat ini tidak sesuai dengan keahlian akademik yang telah ia pelajari selama bertahun-tahun namun apa daya, ia tetap harus menjalani ini semua demi mendapatkan uang untuk membayar kontrakan dan mengirim uang untuk ibunya di kampung.
Dan yang sedikit melegakan perasaanya, kini ia dapat melihat Sekhal setiap hari bahkan seharian penuh. Walaupun kini sang pria tidak selembut dulu tapi bisa melihat seseorang yang selama ini ia rindukan, sudah cukup baginya.
...***...
Maya merasa kelelahan setelah bekerja keras membersihkan rumah mewah yang berukuran cukup besar itu. Ia pun melucuti kemeja biru dongkernya karena merasa gerah. Volume AC ditingkatkan agar dinginnya lebih berasa. Tak terasa, sapuan angin yang berasal dari pendingin ruangan membuat Maya ketiduran di atas sofa yang sebelumnya sudah ia pukul-pukul pakai sapu. Tubuh bagian atasnya yang hanya mengenakan pakaian dalam membuatnya sedikit mengigil dalam tidur pulasnya. Tidur Maya yang terlalu lelap membuatnya tidak sadar jika sejak beberapa saat yang lalu sang pemilik rumah sudah pulang.
Sekhal berdiri tepat di depan sofa yang Maya tempati. Matanya tak berpaling memandang tubuh aduhai sang gadis yang tampak sangat menggiurkan.
Tak lama dari itu, Mata Maya mengerjap malas. Ia merasa angin semakin kencang menerpa kulitnya. Netranya terbuka perlahan dan berusaha mengenali sosok pria di sampingnya.
"Sekhal" ucapnya parau.
Sekhal tersenyum nakal seakan ingin melucuti Maya. "Sepertinya kamu sangat nyaman tidur di sini. Akan lebih nyaman lagi jika kamu tidur di ranjangku"
Maya terlonjak. Matanya terbuka lebar. Ia pun segera duduk kemudian meraih kemeja yang tergeletak di atas meja kaca. "Maksud kamu apa?" tanyanya gemetar sembari berpindah ke ujung sofa.
Sekhal menyeringai semakin lebar. Tangan kekarnya kemudian menarik paksa kaki Maya hingga tubuh sang gadis merapat padanya. "Jika kamu mau tidur denganku, aku akan membayar kamu lima kali lipat"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!