Siang yang cukup terik di Kota Milan. Kota mode dengan segala hiruk-pikuk aktivitas warganya, yang seakan tak pernah tertidur. Di sebuah kedai kopi, tampak seorang pria tengah duduk sendiri. Menikmati secangkir espresso hangat ditemani kudapan ringan sebagai pengganjal perut.
Arcelio Lazzaro. Pria berusia tiga puluh tahun. Dia merupakan pelukis profesional, yang memiliki galeri seni pribadi di pusat Kota Milan. Arcelio, si tampan bermata abu-abu yang selalu terlihat nyaman dengan gaya rambut man bun. T-Shirt round neck dan celana jeans pun kerap menemani kesehariannya.
Seperti biasa. Setiap jam makan siang telah tiba, Arcelio selalu menghabiskan waktunya dengan duduk menikmati secangkir espresso. Namun, pada hari itu ada sesuatu yang berbeda, ketika dirinya mendapat kiriman sebuah foto melalui aplikasi pesan.
Arcelio mengernyitkan kening, melihat nomor tak dikenal yang mengirimkan pesan padanya. Namun, yang lebih membuat pria itu heran adalah isi dari pesan tersebut. Adalah foto kekasihnya, yang tengah beradegan vulgar dengan seorang pria.
"Apa-apaan ini?" gumam pria berambut gondrong tersebut, seraya menggeleng tak percaya. Bersamaan dengan itu, ada panggilan masuk dari nomor sang kekasih. Arcelio segera menenangkan diri. Bersikap wajar, seakan tak ada apapun sebelumnya.
“Pronto, sayangku,” sapa Arcelio sambil memasang earphone, ketika menerima panggilan dari sang kekasih.
“Hai, tampan. Kau sedang di mana?” balas wanita di seberang sana.
Samantha Bellucci. Seorang aktris kenamaan Italia. Wajah cantiknya selalu menghiasi pemberitaan di layar kaca, media cetak, juga online. Saat ini, Samantha sedang melakukan tour keliling Italia, untuk melakukan promo film terbarunya.
“Seperti biasa. Aku tidak pernah sesibuk dirimu, sayang,” sahut Arcelio seraya meneguk espresso, lalu mengisap rokoknya yang tinggal sedikit.
Samantha tertawa renyah. Dia mengalihkan panggilan biasa menjadi video call, sehingga tampaklah paras cantiknya di layar ponsel Arcelio. Pria itu tersenyum kalem. “Oh, astaga. Aku sangat merindukanmu,” ucap Samantha.
Wanita berusia dua puluh lima tahun tersebut, menyelipkan rambut pirangnya ke belakang telinga. “Aku ingin segera pulang ke Milan dan mempersiapkan rencana pernikahan kita.” Samantha memperlihatkan cincin pertunangan yang melingkar di jari manisnya dengan bangga.
“Kau sangat menyukainya,” ujar Arcelio menanggapi dengan tenang. Sekali lagi, dia tersenyum kalem seraya melakukan hal sama. Memperlihatkan cincin pengikat antara dirinya dengan Samantha. “Aku juga selalu memakainya. Ini cincin yang bagus,” ucap pria itu kemudian.
Samantha tersenyum manis. Tatapan penuh cinta dia layangkan kepada sang kekasih, yang berada jauh dari jangkauannya. Dia sangat mengagumi sosok Arcelio. Selain berparas rupawan, pria itu juga selalu bersikap tenang dan dewasa dalam mengambil keputusan.
Arcelio, adalah pria yang sangat pengertian dengan segala kesibukan yang dijalani Samantha di dunia keartisannya.
“Jangan lupa. Besok kau harus menemui wedding planner, untuk membahas rancangan konsep pesta pernikahan kita". Samantha mengingatkan sang tunangan, setelah beberapa saat terdiam.
“Kau sudah mengatakan itu sebanyak sepuluh kali dalam dua hari terakhir,” ujar Arcelio seraya kembali meneguk sisa espressonya.
“Iya kah? Astaga, tidak ingat. Terlalu banyak hal yang berseliweran dalam kepalaku. Kau pelupa, tampan. Karena itu, aku harus selalu mengingatkanmu. Selalu mengingatkanmu.” Samantha kembali tertawa renyah. Tawa yang sangat diatur, agar dirinya tak terlihat aneh dan berlebihan di hadapan Arcelio. Ya, itulah Samantha. Segala hal dalam hidupnya, sudah tertata dan terjadwal dengan baik.
“Tenang saja. Daya ingatku masih kuat. Kau tidak perlu khawatir,” balas Arcelio seraya mengusap-usap dagunya yang dihiasi janggut tipis. Dia melihat jam tangan yang sudah menunjukkan pukul dua siang. “Bukankah kau ada acara pukul tiga sore ini?” tanya Arcelio.
“Ya. Aku akan bersiap-siap sebentar lagi. Penata riasku sedang ada urusan sebentar, tapi ….” Samantha melihat ke pintu, di mana muncul tiga orang yang segera berbicara padanya. Mereka mengatakan agar Samantha segera bersiap-siap. “Sayang, kuhubungi lagi nanti. Aku mencintamu.” Seusai berkata demikian, Samantha mengakhiri panggilan teleponnya.
Sementara, Arcelio juga sudah menghabiskan espresso dalam cangkir porselen putih di hadapannya. Pria itu memasukkan earphone ke saku jaket kulit, yang dia tenteng di tangan kanan.
Arcelio bangkit dari tempat duduknya, lalu berjalan menuju toilet. Dia melangkah gagah sambil membetulkan gelang paracord yang melingkar di pergelangan kiri, berhimpitan dengan jam tangan casual berwarna hitam.
Beberapa langkah di hadapan Arcelio, tampak seorang wanita berambut gelap. Diikat sederhana dan tidak terlalu rapi, karena beberapa helai anak rambutnya terjatuh begitu saja. Wanita itu berjalan dengan tertatih. Sesekali, dia meringis kecil. Tampak pula celana jeans yang wanita itu kenakan basah di bagian tertentu.
Arcelio menoleh pada si wanita yang juga tengah menatap ke arahnya. “Hati-hati,” ucap wanita itu tiba-tiba. Membuat pria dengan gaya rambut man bun tadi mengernyitkan kening karena tak mengerti. “Hati-hati. Lantai menuju toilet sangat licin. Aku juga terpeleset barusan,” terangnya.
“Toilet wanita?” Arcelio menautkan alis.
Si wanita berambut gelap tertegun. Tampaknya, dia sedang memikirkan tanggapan Arcelio. “Oh, astaga!” keluhnya dengan bola mata yang bergerak tak beraturan. Dia berjalan mendekat ke hadapan Arcelio yang berdiri gagah, sambil memasukkan tangan kanan ke saku celana jeans. “Jangan katakan pada siapa pun, bahwa tadi aku buang air kecil di toilet pria,” bisik si wanita berambut gelap.
Arcelio mengernyitkan kening, kemudian mengulum senyuman. Entah mimpi apa semalam, sehingga hari ini dia bertemu dengan wanita aneh seperti di hadapannya.
“Ah, kita tidak saling mengenal,” ucap wanita itu kemudian seraya kembali mundur. “Aku tak perlu takut kau akan membocorkan hal ini pada siapa pun.” Si wanita tertawa renyah. Dia menghadap ke depan, bermaksud untuk melanjutkan langkah.
“Apakah lantainya benar-benar licin?” tanya Arcelio. Pertanyaannya telah berhasil menghentikan langkah tertatih si wanita berambut gelap tadi.
Wanita itu menoleh. “Ya. Sepertinya, mereka baru membersihkan lantai toilet dan memakai cairan pencuci terlalu banyak. Hal yang lebih parah adalah, mereka tak memasang tanda peringatan. Padahal itu sangat berbahaya. Seharusnya, pengelola tempat ini menerapkan SOP yang jelas. Dengan begitu, para karyawan tidak akan berbuat ceroboh seperti tadi. Ah, entah sudah berapa kali kesalahan seperti ini terjadi,” ujar si wanita kembali menghadapkan tubuh kepada Arcelio seraya berdecak pelan.
Arcelio manggut-manggut. “Jika kau berniat untuk melakukan protes atau meminta ganti rugi pada pengelola tempat ini, aku bersedia menemanimu. Kebetulan aku mengenal baik orangnya, karena dia adalah sepupuku.” Arcelio tersenyum kalem.
Lain halnya dengan si wanita yang seketika memasang wajah serius. Wanita itu tampak hendak mengucapkan sesuatu, tapi segera dia urungkan. Seulas senyuman muncul di parasnya yang manis. “Sepertinya, aku akan melupakan saja kejadian hari ini. Anggap kita tidak pernah bertemu dan aku tak pernah mengatakan apapun padamu.” tutup si pemilik rambut gelap itu seraya membalikkan badan. Dia berlalu begitu saja, dengan langkah yang sedikit dipaksakan.
“Apa kau yakin, Nona?” tanya Arcelio memastikan.
Wanita dengan celana jeans yang basah di bagian belakang hingga ke betis tadi, kembali menoleh. Dia memicingkan matanya. “Jangan memaksaku untuk melakukan sesuatu yang kuinginkan, Tuan,” ucapnya.
Arcelio hanya tersenyum simpul. Dia melanjutkan langkah menuju toilet. Waktunya terbuang percuma, dengan menanggapi wanita asing tadi. Namun, entah mengapa Arcelio merasa terhibur, dengan wanita berkarakter tak acuh seperti itu.
Seperti yang sudah direncanakan dari kemarin, hari ini Arcelio akan menemui wedding planner yang telah direkomendasikan oleh Samantha. Dengan mengendarai motor sport hitamnya, pria tampan berpostur 187 cm tersebut melajukan kendaraan roda dua tadi dalam kecepatan sedang. Kebetulan, jarak antara apartemen ke kantor yang dituju tidak terlalu jauh.
Sekitar setengah jam perjalanan, Arcelio telah tiba di alamat yang dimaksud. Dia memarkirkan motor sport kesayangannya. Arcelio melepas helm tanpa turun dari kendaraan. Dia bahkan sempat merapikan rambut, sebelum berjalan masuk ke bangunan dua lantai tersebut. Di dalam sana, Arcelio langsung disambut oleh seorang wanita berwajah ramah. Wanita dengan rentang usia sekitar tiga puluh lima sampai empat puluh tahun.
“Selamat siang. Aku ingin menemui Nona ….” Arcelio mengingat-ingat sejenak, nama yang telah direkomendasikan oleh Samantha. Pria tampan bermata abu-abu itu meminta waktu sebentar, untuk mengambil catatan kecil dari saku jaket kulitnya. “Ah! Nona Delanna Verratti,” ucap Arcelio menyebutkan nama yang dimaksud.
“Oh, Delanna. Apa Anda sudah membuat janji sebelumnya?” tanya wanita berkacamata dengan tubuh agak gemuk itu.
“Tidak. Belum. Ah, maksudku … tunanganku sudah membuat janji dengannya. Namun, karena dia berhalangan hadir maka ….” Arcelio tersenyum kalem. Dia merasa tak nyaman, karena wanita berkacamata tadi memperhatikannya dengan tatapan yang agak aneh. “Bisakah aku menemuinya sekarang?” tanya Arcelio setelah beberapa saat terdiam.
“Oh, tentu. Mari kuantar ke ruangannya.” Wanita bertubuh agak gemuk itu berjalan mendahului.
Arcelio mengikutinya. Mereka menaiki undakan anak tangga menuju lantai dua. Sambil melangkah gagah, pria tampan dengan sneakers abu-abu tersebut mengedarkan pandangan, pada setiap sudut dan dan segala hal yang ada di lantai dua.
Sesaat kemudian, si wanita berhenti di depan pintu, dengan tulisan 'Delanna' yang terbuat dari kayu. Wanita tadi mengetuk perlahan, lalu membukanya. “Hei, Delanna. Ada tamu untukmu." Tanpa menunggu jawaban dari orang di dalam ruangan tadi, wanita berkacamata itu menghadapkan tubuh kepada Arcelio. “Silakan." Si wanita kembali membuka pintu lebar-lebar.
Arcelio mengangguk diiringi senyuman kalem. Dia melangkah masuk. Baru saja tiba di ambang pintu, sebuah sambutan luar biasa langsung diterimanya.
“Hai! Selamat datang Samantha Bellucci!” seru seorang wanita dengan histeris. Namun, senyum lebar yang terkembang dari wajah cantik wanita di balik meja kerja itu langsung memudar, ketika melihat yang datang bukanlah seseorang yang sedang dia tunggu. “Astaga,” desahnya pelan. “Ternyata bukan Samantha Bellucci.”
Arcelio tertegun seraya menatap wanita berambut gelap, yang berdiri beberapa langkah di hadapannya. Dia ingat betul bahwa wanita itu adalah seseorang yang ditemuinya kemarin, dan berbincang tentang masalah lantai toilet. “Nona Verratti?” sapa Arcelio. Suara beratnya menyadarkan wanita bernama Delanna itu.
“Ya. Delanna Verratti, wedding planner dari ….”
“Tunanganku sudah membuat janji untuk pertemuan ini,” sela Arcelio, seraya berjalan mendekat ke kursi di depan meja kerja Delanna.
“Tunangan Anda? Oh, astaga! Ya, Anda tunangan Samantha Bellucci?” Delanna baru menyadari hal itu. “Silakan duduk.” Wanita berambut gelap tadi mengarahkan tangan kanan pada dua buah kursi yang berdampingan depan mejanya. “Bisakah Anda memintakan tanda tangan Samantha untukku? Aku penggemar beratnya.” Delanna meminta dengan penuh harap.
“Hanya tanda tangan?” Arcelio menaikkan sebelah alisnya.
“Tadinya, aku ingin berfoto secara langsung dengan Samantha. Kupikir, dia akan datang kali ini. Aku sudah memakai kemeja terbaik yang hanya kupakai dalam acara-acara tertentu,” celoteh Delanna seraya ikut duduk, saat melihat Arcelio menempati kursinya.
Arcelio tersenyum kalem. Lagi-lagi, dia merasa lucu dengan ucapan wanita itu. Delanna terlihat apa adanya. Dia tak menjaga image atau takut terlihat jelek. “Tunanganku sedang berada di luar kota. Sebagai penggemar berat, kukira Anda tahu bahwa dia sedang melakukan promo film terbarunya,” pikir Arcelio diakhiri embusan napas pelan.
“Oh, ya. Kupikir, Samantha akan datang,” ujar Delanna kecewa.
Arcelio manggut-manggut pelan. “Baiklah. Kalau begitu, aku akan kembali nanti setelah dia pulang dari tournya.” Arcelio bermaksud untuk beranjak dari kursi.
Namun, dengan segera Delanna mencegah. “Tidak! Jangan!” Delanna mengulurkan tangan sebagai isyarat agar Arcelio tetap duduk di tempatnya. “Aku harus tetap bersikap profesional. Baiklah, Tuan ….” Delanna lupa nama pasangan Samantha, yang telah ada dalam catatannya.
Delana membuka kembali buku binder berisi catatan nama kliennya. Sesuatu yang unik, karena dia menyimpan bukan dalam komputer, melainkan ditulis secara manual. “Tuan Lazzaro,” lanjut Delanna seraya menutup buku. Wanita itu kembali mengarahkan perhatian pada Arcelio.
“Arcelio. Panggil saja begitu,” ujar pria tampan dengan gaya rambut man bun tersebut, diiringi senyuman kalem.
“Oh, baiklah. Tuan Arcelio ….”
“Arcelio saja. Aku tidak menyukai sesuatu yang terlalu formal dan kaku,” ralat pria bermata abu-abu itu, seraya kembali menyunggingkan senyuman menawannya.
“Aku juga,” balas Delanna. “Aku juga tidak menyukai sesuatu yang terlalu formal, banyak aturan, dan … penuh aturan. Hal seperti itu sangat membosankan. Terkadang, untuk menguap atau bersin saja harus memakai aturan yang sangat panjang serta mendetail,” celoteh Delanna. Seperti kemarin-kemarin, wanita bermata cokelat madu itu tak dapat mengendalikan kata-katanya. Dia terlihat sangat antusias.
Arcelio tersenyum kalem sambil memperhatikan wanita yang terus berceloteh tak tentu arah. Sepuluh menit telah terbuang hanya untuk berbasa-basi. Tak bisa dibayangkan, seandainya Samantha yang datang ke sana. Tunangan Arcelio tersebut pasti sudah tak tahan untuk segera pulang. Merasa Delanna sudah terlalu banyak bicara, Arcelio akhirnya memberi isyarat dengan cara mendehem pelan.
Wanita berkulit eksotis dengan kemeja yang lengannya dilipat menjadi tiga per empat itu, seketika terdiam. Dia mungkin baru menyadari satu hal, bahwa yang ada di hadapannya adalah klien. Bukanlah teman yang rela mendengarkan pidato panjang lebarnya hingga berjam-jam.
“Maaf, Tuan Lazzaro … ah, Arcelio,” ralat Delanna. Dia menjadi salah tingkah. Delanna membetulkan posisi duduknya. “Baiklah. Mari kita mulai dengan konsep pesta pernikahan yang kau dan Samantha impikan. Coba ceritakan padaku,” pintanya. Delanna berusaha terlihat profesional.
“Baiklah.” Arcelio yang tadinya duduk dengan santai, kali ini mengubah posisi menjadi lebih tegak. Postur tegap pria itu pun terlihat jelas, meski hanya dari bentuk bahu serta pahatan lengannya yang kokoh.
“Jadi, sebenarnya aku dan Samantha memiliki pendapat yang berbeda dalam memilih konsep pesta pernikahan kami. Dia menyukai sesuatu yang mewah, megah, dan tentu saja berkelas. Ada kristal di mana-mana, seperti pesta di dalam gua es yang mengilap,” terang Arcelio. Sementara, Delanna menyimak dengan saksama.
“Sedangkan diriku … aku menyukai sesuatu yang … bukan tentang seberapa megah dan mewah ornamen yang diperlihatkan. Entahlah, aku bingung bagaimana cara menjelaskannya.” Arcelio mengembuskan napas pelan.
“Apakah maksudnya tentang sesuatu yang lebih sederhana dan kalem?” terka Delanna.
“Ya, seperti itu.” Arcelio setuju dengan apa yang Delanna ucapkan. “Ayah dan ibuku, menikah dengan mengusung pesta kebun yang jauh dari kata mewah. Namun, dari foto-foto yang kulihat, dalam pesta itu ada sebuah interaksi yang terasa begitu hangat dan menyatu. Semuanya. Bunga, kursi, seluruh dekorasinya terlihat sempurna.”
Delanna tampak berpikir beberapa saat, sebelum menanggapi ucapan Arcelio. “Aku rasa, apa yang ada dalam bayangan Samantha adalah sesuatu yang wajar. Terlebih, kita semua mengetahui siapa dia. Tak mungkin seorang aktris besar seperti tunanganmu itu menyelenggarakan pesta yang biasa saja. Mengingat, akan ada banyak tamu undangan penting, wartawan, dan ….”
“Akan tetapi aku menikahi Samantha kekasihku. Bukan Samantha sang aktris terkenal yang memiliki nama besar di jagat perfilman Italia,” bantah Arcelio.
Delanna kembali terdiam dan berpikir sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuk pada permukaan bibir. Sepasang mata cokelat madunya bergerak tak beraturan. Tanpa sengaja, ekor mata wanita berambut gelap itu tertuju pada Arcelio yang ternyata tengah memperhatikannya.
Delanna kembali menegakkan tubuh, lalu tersenyum manis. “Itu juga tidak keliru, karena pernikahan seharusnya menjadi sesuatu yang sangat sakral. Ini adalah momen bersejarah sekali dalam seumur hidup.”
Arcelio mengernyitkan keningnya. “Jadi, apakah kau sudah ada gambaran?” tanya pria itu.
“Akan kupikirkan nanti, konsep seperti apa yang cocok untuk pesta pernikahanmu dan Samantha. Dalam urusan seperti ini, ada baiknya jika kita berunding bersama. Dengan begitu, aku bisa mendengarkan opini dari kedua belah pihak. Jadi, kira-kira kapan Samantha akan kembali dari tour promonya?” tanya Delanna. Bahasa tubuh wanita berkulit eksotis itu tiba-tiba terlihat berbeda.
Arcelio menaikkan sebelah alisnya. “Jika tidak ada halangan, dia baru akan kembali sekitar satu minggu lagi,” jawab Arcelio.
“Baiklah. Kalau begitu, kita jadwalkan untuk pertemuan berikutnya hingga Samantha kembali,” putus Delanna.
Arcelio mengembuskan napas panjang. “Baiklah,” ucapnya setuju. “Apa kakimu sudah sembuh?"
Delanna tersenyum kikuk. “Masih agak sakit,” jawabnya ragu. “Kuharap, kau tidak mengatakan apapun tentang semua ucapanku kemarin.” Raut wajah Delanna kembali berubah. Dia terlihat manis dan sangat menggemaskan, saat memasang ekspresi setengah memohon seperti tadi.
Arcelio menggaruk pangkal hidungnya yang mancung. Dia tak segera menanggapi ucapan Delanna. Pria tampan dengan T-Shirt round neck putih itu, seperti ingin sedikit bermain-main dengan si pemilik kulit eksotis di hadapannya. “Jika kau merasa benar, kenapa harus merasa takut?” Arcelio mengernyitkan kening.
Delanna tertawa renyah saat mendengar pertanyaan sederhana Arcelio. “Ini bukan tentang masalah takut atau semacamnya. Aku hanya tak suka mencari masalah. Dengan siapa pun. Tolong digarisbawahi. Aku tak suka mencari masalah dengan siapa pun,” ulang Delana menegaskan.
“Aku juga,” balas Arcelio enteng.
“Kau juga?” Nada bicara Delanna terdengar ragu.
“Ya. Tak ada siapa pun yang ingin terlibat masalah dengan orang lain. Aku seorang seniman. Kau pasti sudah tahu, seniman mencintai keindahan dan suasana tenang," sahut Arcelio. Dia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. “Apa kau memiliki waktu luang di luar pekerjaan?” tanya pria bermata abu-abu itu.
Delana melipat kedua tangannya di atas meja. Tatapan wanita muda berparas manis itu penuh selidik terhadap Arcelio. Sebagai seorang wanita, dia menangkap makna lain dari pertanyaan yang diajukan Arcelio. Delanna harus segera memasang pertahanan diri, meskipun dia mengakui bahwa pria di hadapannya tersebut benar-benar memesona. “Maksudmu?” tanya sang wedding planner hati-hati.
Arcelio menggaruk kening perlahan. Dia tengah merangkai kata-kata, sebelum menyampaikan apa yang ada dalam benaknya kepada Delanna. Meskipun Arcelio tidak terlalu yakin, tapi pria itu tetap memperlihatkan sikap tenang dan penuh wibawa. “Aku ingin menawarimu sesuatu. Barangkali kau tertarik,” ucap pria dengan gaya rambut man bun tersebut.
“Tentang apa?” tanya Delanna. Pikiran wanita muda berusia dua puluh empat tahun tersebut kian tak karuan. Berbagai halusinasi aneh mulai bermunculan, lalu berputar dalam benaknya. Namun, Delanna berusaha untuk tidak terpengaruh. Dia segera menepiskan segala pikiran konyol tersebut.
Akan tetapi, sorot mata Arcelio yang ditujukan padanya terlihat begitu berbeda. Membuat pikiran Delanna kembali tak menentu. “Aku … aku tidak melayani kencan satu malam,” celetuk wanita dengan kemeja longgar tersebut.
Arcelio terperangah mendengar ucapan Delanna. Pria tampan itu mengulum senyumnya. Dia lalu menggeleng pelan. “Kencan satu malam?” ulang Arcelio seraya menautkan alis. Dia tersenyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rapi. Arcelio kembali menggaruk keningnya. “Bagaimana kau bisa berpikir sejauh itu?” Arcelio kembali menggeleng tak mengerti.
Delanna mengeluh pelan saat mendengar jawaban Arcelio. Rasa malu itu tak dapat dia sembunyikan. Delanna menunduk sesaat, lalu kembali mengangkat wajah manisnya. Tatapan mereka berdua kembali beradu. “Lalu, tawaran apa yang kau maksud tadi?” tanyanya ragu.
Arcelio menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Sementara, tatapan pria tampan tersebut masih tertuju kepada Delanna. “Begini, Nona Verratti,” ucap Arcelio mengawali penjelasannya.
“Delanna,” ralat wanita berkulit eksotis itu.
“Ya, Delanna.” Arcelio mengangguk pelan. “Seperti yang kukatakan tadi, aku adalah seorang pelukis. Menurutku kau memiliki kontur wajah yang sangat unik. Jika kau bersedia, aku ingin menawarimu untuk menjadi model lukisanku. Kebetulan, hasil karyaku ini akan diikutsertakan dalam acara pameran untuk pelelangan. Seluruh hasil dari pelelangan itu, akan didonasikan untuk anak-anak penderita kanker,” jelas Arcelio dengan lugas.
Delanna hanya ternganga mendengar penuturan pria berambut gondrong di hadapannya. Dia tak menyangka, akan mendapat penawaran semacam itu. Wanita muda dengan rambut yang digulung asal-asalan tersebut, memandang tak percaya pada Arcelio. “Aku? Menjadi model lukisan? Wow! Itu luar biasa," ujarnya merasa takjub.
“Ya. Jika kau bersedia, kita bisa menyesuaikannya dengan jadwal pekerjaanmu di sini," tawar Arcelio lagi. “Jangan khawatir. Aku akan membayarmu dengan pantas.”
Delanna tak segera memberikan jawaban. Dia tak bisa mengambil keputusan secara mendadak.
Sementara, Arcelio dapat memahami hal itu. Dia merogoh dompet dari saku belakang celana jeansnya. Pria tampan bermata abu-abu tersebut, mengeluarkan selembar kartu nama dari sana.
Arcelio menyodorkan benda tersebut ke hadapan Delanna, yang masih terdiam dan berpikir. “Kuberi waktu hingga besok untuk mengambil keputusan. Ini hanya tawaran. Tak ada paksaan sama sekali,” ujar Arcelio seraya bangkit dari tempat duduknya.
Delanna mengikuti apa yang Arcelio lakukan. Dia berdiri sambil memegangi kartu nama tadi. Seulas senyuman terukir di sudut bibirnya, yang berpoleskan lipstik warna peach. “Akan kuhubungi kau besok,” ucap Delanna yakin.
“Baiklah. Datang saja langsung ke studioku jika kau berminat,” balas Arcelio tersenyum kalem.
“Jangan lupa. Jika Samantha sudah kembali, kita akan mulai berunding lagi,” pesan Delanna.
Arcelio tidak menjawab. Pria itu hanya mengangguk, lalu berpamitan. Dia melangkah gagah menuju pintu diiringi tatapan Delanna, hingga pria berambut gondrong tadi menghilang di balik pintu yang tertutup rapat.
Arcelio berjalan menuruni undakan anak tangga. Saat itu, dia sempat berpapasan dengan beberapa orang di sana. Namun, Arcelio tak menoleh atau menyapa, meskipun orang-orang tadi melihat ke arahnya. Pria itu hanya berpikir bahwa mereka melakukan hal demikian, karena dirinya merupakan tunangan dari seorang aktris besar Italia.
Setelah mengenakan helm full face warna hitam, Arcelio segera melajukan motornya meninggalkan bangunan dua lantai tadi. Tujuannya kali ini adalah studio lukis miliknya. Arcelio biasa menghabiskan waktu di sana.
Namun, sebelum pergi ke tempat tersebut, pria tampan itu menyempatkan diri untuk menikmati secangkir espresso di kedai kopi favoritnya. Dia menghabiskan waktu di sana sekitar satu jam lebih.
Arcelio, sempat mengirimkan pesan kepada Samantha. Namun, sang tunangan tak kunjung membalas. Itu berarti, Samantha sedang sibuk dengan urusannya. Arcelio tak ingin membuat wanita cantik tersebut merasa terganggu. Dia tahu bahwa Samantha akan selalu memprioritaskan dirinya di atas pekerjaan, meskipun perasaan pria itu mulai dilanda kegelisahan besar.
Setelah menghabiskan secangkir espresso ditemani sebatang rokok, Arcelio melangkah gagah menuju motornya terparkir. Dari kedai kopi tadi, pria tampan dengan jaket kulit hitam itu melanjutkan perjalanan menuju studio miliknya.
Studio itu tidak terlalu luas. Letaknya berada sedikit di pinggiran kota. Arcelio sengaja memilih tempat yang tidak terlalu berisik. Dia membutuhkan pikiran tenang, saat menggoreskan kuas pada permukaan kanvas. Arcelio juga lebih sering menginap di sana, jika dirinya sedang malas untuk pulang ke apartemen yang berada di pusat kota. Seperti halnya malam itu. Dia terlelap di atas sofa bed studio lukisnya.
Tanpa terasa, malam berlalu dengan begitu cepat. Arcelio terbangun dari tidurnya, ketika mendengar suara dering ponsel. Tanpa membuka mata, pria itu meraba bagian samping sofa bed hingga menemukan benda yang dirinya cari. “Pronto, sayangku,” sapa Arcelio. Dia tahu bahwa yang menghubunginya adalah sang tunangan, Samantha.
“Selamat pagi, tampan. Apa kau masih tidur? Dasar pemalas.” Suara lembut Samantha, seketika membuat Arcelio membuka matanya. Akan tetapi, setelah itu dia kembali terpejam. “Maaf, karena aku tak sempat membalas pesanmu. Kemarin, aku benar-benar sibuk.”
“Tidak apa-apa. Aku sudah bisa menebaknya,” balas Arcelio dengan suara parau khas bangun tidur.
”Bagaimana hasil pertemuanmu, sayang?” tanya Samantha penasaran.
“Nona Verratti ingin agar kita bisa berunding bersama. Dengan begitu, dia dapat mengambil kesimpulan dan memberikan saran yang paling tepat, untuk konsep pesta pernikahan kita nanti. Kuharap, kau segera pulang karena aku juga sangat merindukanmu,” goda Arcelio diiringi tawa khasnya.
“Oh, kau benar-benar manis. Tinggal satu kota lagi, dan aku akan kembali ke Milan. Rasanya sangat melelahkan. Kau tahu apa yang sangat kurindukan saat ini?” Samantha tertawa renyah.
Sebuah isyarat yang langsung dapat ditangkap baik oleh Arcelio. “Itu juga yang kuinginkan,” balas Arcelio. Dengan malas, dia menyibakkan selimut tipis yang menutupi tubuh tegapnya.
Arcelio menyugar rambutnya ke belakang sambil duduk. Pria itu mengumpulkan segenap kesadaran yang belum sepenuhnya menyatu. “Cepatlah pulang. Dua minggu tak menciummu, rasanya ….” Arcelio menjeda ucapannya. Dia menoleh ke pintu, karena terdengar ketukan pelan di sana. Sebelum membuka pintu tadi, Arcelio sempat melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.
“Kopi pesananku sudah datang. Kuhubungi lagi nanti. Dah.” Arcelio menutup sambungan telepon. Dia meletakkan ponsel yang baru digunakan dengan sembarangan di atas sofa bed.
Tanpa mengenakan T-Shirtnya terlebih dulu, Arcelio melangkah tenang ke pintu, lalu membukanya dengan tidak terlalu lebar. Dia bahkan sempat menguap, sambil menyugar rambutnya.
"Selamat pagi, Arcelio," sapa suara lembut, dari wanita yang berdiri di depan pintu. Dia tersenyum manis, sambil melambaikan tangan ke hadapan wajah Arcelio yang hanya berdiri terpaku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!