Semua berawal dari kehilangan, kehilangan sosok yang menjadi alasan seorang anak perempuan pertama berjuang hingga di titik sekarang ini.
Dia bernama Alena Freeya, seorang anak perempuan pertama yang mau tak mau harus berjuang menjadi tulang punggung keluarga setelah kepergian sang ayah.
Sang Ayah meninggal karena sakit meningitis yang di deritanya selama hidup, entah sejak kapan Ayah Lena menutupi sakitnya dari anak juga istrinya.
Lena sangat dekat dengan sang ayah, oleh sebab itu kepergian sang ayah membuat Lena begitu hancur.
Sang ayah meninggal ketika Lena duduk di bangku sekolah menengah atas, di saat bulan-bulan terakhirnya menjadi seorang pelajar.
Ayah Lena meninggal satu bulan sebelum Lena mengikuti ujian kelulusan, hal itu sempat membuat Lena hilang semangat. Terlebih ketika Ayahnya meninggal, Lena harus tinggal bersama Bibi juga pamannya. Selama ini, Lena hidup bersama Ibu tirinya dan ketika sang suami meninggal, Ibu tiri Alena kembali pulang ke rumah orang tuanya.
Sebenarnya Lena masih punya Ibu kandung, juga Nenek dari pihak Ibu. Namun saat perceraian orang tuanya terjadi, Lena ikut bersama sang ayah.
Lena tak bisa langsung pindah ke rumah ibunya, Ia harus menyelesaikan sekolahnya dan di sisi lain sang ibu juga tak mengulurkan tangan atau bahkan membujuk Lena untuk ikut bersamanya.
Lena memilih bertahan, hidup dengan Bibi yang tak lain adalah Kakak kedua dari ayahnya.
Hari itu, Lena terbangun dari tidurnya. Ia mengedarkan pandangannya, melihat suasana lain yang terasa berbeda.
"Hemm." Lena menghela nafasnya, Ia turun dari ranjang dan bermaksud untuk membasuh wajahnya.
Lena mendengar suara dari arah dapur, Lena berjalan perlahan dan melihat Bibinya tengah menanak nasi juga menyiapkan sarapan.
"Udah bangun?" tanya Bibi Lena.
"Iya." Lena menjawab seadanya, lalu berjalan menuju kamar mandi.
"Habis shalat subuh, beres-beres kamar. Nyapu, ngepel, buat sarapan ada di meja makan! Sebelum berangkat sekolah, buka warung dulu. Bangunin A Aris biar jagain warung sampai Bibi pulang dari pasar!" Bi Aidah membeberkan beberapa tugas Alena setiap paginya sebelum pergi ke sekolah. Aris adalah anak pertama dari Bi Aidah, semua anak diberi tanggung jawab masing-masing oleh Bi Aidah.
"Iya, Bi." Lena segera kembali ke kamarnya dan menunaikan shalat subuh.
Bi Aidah bergantian masuk ke kamar mandi, Ia harus segera bersiap untuk pergi ke pasar.
Selesai bersiap, Bi Aidah yang di antar oleh suaminya berpamitan untuk pergi ke pasar.
Sedangkan Alena, segera membereskan kamar juga menyelesaikan tugasnya yang lain.
Selesai menyapu juga mengepel lantai, Luna bermaksud untuk mandi. Sebelum itu, Ia melirik gundukan pakaian kotor di dalam mesin cuci. Alena melihat ke arah jam dinding, masih ada waktu untuk mencuci.
"Aku cuci aja deh sekalian," ujar Lena.
Akhirnya Lena mencuci semua pakaian milik orang rumah beserta pakaiannya, sambil menunggu cucian Lena memutuskan untuk mandi lebih dulu.
Sementara itu Kak Aris baru saja bangun, Ia mengetuk pintu kamar mandi yang di dalamnya ada Lena yang tengah mandi.
"Len. Masih lama? 'Aa mau mandi," teriak Aris dari luar.
"Udah, A. Bentar!" Seru Lena.
Lena keluar dari kamar mandi, dan bergantian dengan Aris.
"A, kata Bibi nanti jagain warung dulu sebentar. Aku mau buka warungnya sekarang," ujar Lena.
"Oh, iya. Sok buka dulu Len warungnya nanti Aa jagain," jawab Aris.
Lena segera memakai baju biasa, Ia belum memakai seragam sekolahnya karena masih harus membereskan cuciannya. Setelah membersihkan pakaian dan memasukannya ke dalam mesin pengering, Lena segera membuka warung. Selanjutnya ketika mesin pengering berhenti, Lena bergegas menjemur pakaian. Tugasnya di pagi hari telah selesai, Lena segera mengganti pakaiannya. Lena juga menyempatkan untuk sarapan lebih dulu, setelah itu Lena sempat terdiam beberapa saat.
"Bekal sekolah Aku dimana, ya?" Lena meraba saku roknya, dan Ia menemukan uang yang di selipkan oleh Bi Aidah untuk bekal sekolahnya.
"A, Lena berangkat ya." Lena berpamitan pada Aris.
"Iya, Len. Bekalnya ada?" Tanya A Aris yang memang bersikap sangat baik pada Lena.
"Ada." Setelah berpamitan, Lena harus berjalan kaki lebih dari lima ratus meter untuk sampai di jalan besar.
Saat tengah menunggu angkutan umum di jalan besar, tak sengaja Ezra mantan pacar Alena lewat di depannya.
"Len. Bareng yuk ke sekolah!" Pinta Ezra.
Alena terdiam sesaat, namun tumpangan Ezra lumayan membantunya menghemat bekal sekolah.
"Gak apa-apa emangnya kalau Aku numpang?" Tanya Alena.
"Ya gak apa-apalah," jawan Ezra.
Alena mengangguk, Ia lalu naik ke atas motor dan berangkat ke sekolah bersama Ezra.
Hubungan keduanya memang sempat renggang, pasalnya kejadian yang membuat hubungan Mereka kandas bukan murni keinginan dari Ezra maupun Alena sendiri.
Mereka terpaksa mengakhiri hubungan karena permintaan ayah dari Ezra, Ezra memang tidak di perbolehkan pacaran oleh ayahnya.
Ezra bahkan masih sering menghubungi Alena, dan beberapa kali juga Ezra tiba-tiba menjemput Alena ke rumah untuk pergi sekolah bersama.
Situasi yang benar-benar membuat Alena gundah, pasalnya Ezra masih bersikap sama seperti saat Mereka berpacaran. Ezra masih selalu memuji dan menunjukkan rasa sayangnya pada Alena, namun dengan status yang tak jelas atau bisa di bilang hubungan tanpa status.
"Maaf ya, semalaman Aku gak ada SMS kamu. Soalnya Bapak ada di rumah," ujar Ezra.
"Emm. Iya," jawab Alena singkat. Ia tak ingin terlalu berharap pada Ezra, pasalnya perkataan Ayah Ezra begitu terngiang di ingatannya.
Flashback
Sore hari sepulang sekolah, Alena dan Ezra tengah berbalas pesan. Namun di tengah-tengah percakapan, Ezra tiba-tiba menghilang tak membalas pesan Alena hingga dua jam lamanya.
"Ih, kok gak bales-bales terus. Ezra Kemana, sih?" Alena mencoba menelepon Ezra namun malah di matikan oleh Ezra.
"Hah, kok di rijek?" Alena merasa kesal, dan memutuskan untuk berhenti mengirim pesan pada pacarnya itu.
Di rumah Ezra, Ia tertidur ketika tengah berbalas pesan dengan Alena. Namun saat itu tanpa Ezra ketahui, sang ayah pulang dari tempatnya bekerja. Ayah Ezra memang pulang satu minggu sekali dan biasanya selalu meminta Ezra untuk menjemputnya, namun kali ini Ayah Ezra tiba-tiba pulang sendiri tanpa sepengetahuan Ezra.
Ayah Ezra melihat ponsel yang tergeletak di atas meja, sedangkan putranya itu tengah tertidur di sofa.
Ayah Ezra mengambil ponsel putranya yang terus berbunyi, dan bermaksud untuk mengecek ponsel putranya.
Betapa terkejutnya beliau, melihat pesan yang masuk ke ponsel putranya.
"Ini apa-apaan?" Sang ayah langsung membangunkan Putranya.
"Ezra, bangun!" Bentak Pak Dedi, Ayah Ezra.
Ezra terhentak, dan Ia bangun seketika.
"Bapak. Kapan Bapak pulang?" tanya Ezra.
"Ini apa? Kamu pacaran?" tanpa basa basi, Pak Dedi langsung mengintrogasi putranya.
Ezra terdiam, Ia tak menyangka hubungan yang selama ini di sembunyikannya dari sang ayah, kini terbongkar juga.
Ezra merasa takut, namun Ia kepalang basah. Tak mungkin jika Ezra harus berbohong pada ayahnya, dengan terpaksa Ezra berbicara sejujurnya.
"Iya, Pak." Ezra menjawab dengan gemetar.
"Berani sekali Kamu jawab 'iya'!" Bentak Pak Dedi.
"Ya mau gimana lagi, udah ketahuan ini. Maafin Ezra, Pak." Ezra menundukkan pandangannya.
Pak Dedi terlihat begitu marah, namun Ia tak sampai bermain tangan.
"Sekarang gimana? Mau tetap di lanjutin?" Tanya Pak Dedi.
Ezra terdiam, Ia tak langsung menjawab pertanyaan ayahnya.
"Jawab Bapak!" Bentak Pak Dedi.
"Nggak, Pak. Ezra gimana Bapak aja," ujar Ezra dengan terpaksa.
"Putusin! Gak suka Bapak Kamu udah mulai berani pacaran, lihat Kakak Kamu! Dia kuliah, tapi gak sampai berani pacaran kayak Kamu!" Seru Pak Dedi.
Ya, Ezra anak kedua dari tiga bersaudara. Ayah Ezra melakukan hal yang sama kepada ketiga anaknya, memerika ponsel setiap Ia pulang dari tempat kerjanya seminggu sekali. Tentunya melarang ketiga anaknya untuk berpacaran, terutama bersikap lebih keras pada Kakak juga adik Ezra yang dimana keduanya adalah perempuan.
"Iya." Ezra menjawab dengan pasrah.
"Ya udah lakuin sekarang!" Pinta Dedi. Ia ingin Ezra melakukan tepat di depan matanya.
Ezra meraih ponselnya, dan mengirim pesan pada Alena.
Jari-jari Ezra terlihat gemetar, mengetik setiap kata untuk mengakhiri hubungannya dengan Alena.
"Alena. Maaf, kayaknya Kita harus putus." Begitulah pesan yang di tulis oleh Ezra untuk Alena.
Alena terkejut, Ia meminta penjelasan mengapa Ezra memutuskan hubungannya secara tiba-tiba bahkan saat tak terjadi masalah apapun diantara keduanya. Ezra menjelaskan banyak hal, namun Alena masih tak percaya hubungannya dengan Ezra berakhir karena terkendala restu.
Bahkan kekecewaan Pak Dedi berlangsung hingga seminggu setelah kejadian dimana Ia mengetahui putranya berpacaran, bahkan di saat Ia kembali ke tempat kerjanya Pak Dedi selalu memberikan nasihat pada Ezra melalui pesan suara.
Setelah kejadian itupun, Ezra masih berusaha menemui Alena.
Ezra bahkan membiarkan Alena untuk mendengarkan pesan suara yang di kirim ayahnya, Ezra begitu bersalah pada ayahnya juga pada Alena.
"Zra. Perasaan Kamu sama Alena itu gak salah, hanya terjadi di waktu yang belum tepat saja. Bapak juga minta maaf karena harus bertindak keras sama Kamu, sudah bikin Kamu sakit hati. Tapi Kamu dan Alena itu ibaratnya seperti pisang yang masih muda, kalau di paksakan di makan saat itu juga rasanya hanya ada pahit! Bapak harap Kamu ngerti, dan mau terima aturan dari Bapak ini."
Begitulah pesan suara yang di kirim oleh ayah Ezra.
Alena menitikan air mata, mau tak mau Ia harus menerima.
Namun satu yang membuat Alena dilema, yaitu sikap Ezra yang tak berubah padanya. Bahkan setelah mengakhiri hubungannya dengan Alena, Ezra masih sering memberi kabar dan memberi perhatian pada Alena.
Flashback Off.
Sesampainya di sekolah, Alena bermaksud langsung menuju kelasnya. Hari itu, adalah hari-hari dimana Alena dan siswa siswi lainnya sibuk dengan latihan-latihan ulangan untuk ujian akhir.
"Kemana?" Tanya Ezra.
"Ke kelas. Kenapa?" Tanya Alena.
"Buru-buru amat, mau jadi anak rajin ceritanya? Ngobrol dulu," ujar Ezra.
Alena terdiam sesaat, namun Ia sudah berniat untuk tidak terlalu berharap pada Ezra lagi.
"Tapi lagi banyak tugas, Zra. Nanti aja ya," ucap Lena.
Ezra terlihat kecewa, namun Ia juga sama harus mempersiapkan diri untuk latihan ujian akhir.
"Ya udah deh, pulangnya nanti bareng lagi ya!" Pinta Ezra.
Alena tersenyum tipis, "iya." Lalu Ia melangkah meninggalkan Ezra yang masih berada di parkiran.
Satu teman sekelas Alena belum ada yang tahu bahwa Alena dan Ezra sudah tidak lagi berpacaran, dan Alena pun tak berniat untuk menceritakan hal itu pada temannya.
"Len. Kok siang datengnya?" Tanya Rahma, sahabat Alena, teman sebangkunya.
"Iya, Ma. Tadi emang dari rumah agak siang sih," jawab Lena.
"Oh. Gimana, Bibi Kamu baik? Nerima Kamu baik kan di rumahnya?" Tanya Rahma yang mengkhawatirkan kondisi sahabatnya itu.
"Ya gitu lah, Ma. Namanya juga numpang, mau di saudara atau orang lain tetap harus bisa jaga sikap, kan? Bibi baik, kok. Tapi Aku juga jangan sampai memanfaatkan kebaikan Bibi, hati orang siapa yang tahu, kan." Lena berusaha untuk membiasakan dirinya, hidup bersama Kakak dari ayahnya yang memiliki sikap keras dan jauh berbeda dengan Ibu juga Ayahnya dulu.
"Iya, sih. Tapi sabar, Len. Sebentar lagi Kita lulus, udah lulus Kamu bisa cari kerja. Dan gak nyusahin siapapun!" Seru Rahma.
Alena terdiam, sejujurnya Ia ingin sekali melanjutkan pendidikannya. Cita-cita sang ayah pun sama sepertinya, ingin Alena bisa berkuliah di jurusan yang sama dengan yang tengah Ia jalani di sekolah menengah kejuruan saat ini.
"Iya, Ma. Semoga cepet bisa dapet kerja," jawab Alena, yang berbanding jauh dengan hatinya.
***
Selesai kelas, Lena tak berminat untuk ikut bersama teman-temannya yang akan mengadakan acara di salah satu rumah teman satu kelas Lena juga.
Ketika Lena keluar dari kelas, Lena sudah melihat Ezra yang tengah menunggunya.
"Ngapain berdiri disini?" Tanya Alena.
"Ngapain lagi, nungguin Kamu keluar kelas. Kan mau pulang bareng," ujar Ezra.
Alena hanya diam, Ia juga tak menolak sama sekali ajakan Ezra.
"Len. Hayu ikut, kan ada Ezra." Rahma masih membujuk.
"Gak bisa, Ma. Aku harus pulang cepat," jawab Alena.
"Pada mau kemana, sih?" Tanya Ezra.
"Mau makan-makan nasi liwet di rumahnya si Dini, ikut yuk, Zra!" Ajak Rahma.
"Ah, malu. Masa Alena gak ikut, Aku yang bukan teman sekelas malah ikut." Ezra pun ikut menolak.
Alena dan Ezra pun pulang, selama di perjalanan, tak ada percakapan di antara keduanya.
Sampai Ezra memulai pembicaraan lebih dulu, namun tampaknya Alena tengah gundah.
"Kamu kenapa? Dari tadi diam terus, mikirin apa?" Tanya Ezra.
Terdengar Alena menghela nafasnya dengan berat, Ia seperti tengah menahan tangis.
"Nggak apa-apa, cuma lagi kangen aja sama Bapak." Alena menjawab dengan getir.
Ezra terdiam, Ia paham apa yang di rasakan oleh Alena. Kehilangan ayah, adalah hal terberat bagi Alena. Pasalnya, Alena sangat dekat dengan ayahnya. Ezra pun masih merasa bersalah pada Alena, ketika ayah Alena meninggal, Ezra tak bisa menemui dan menemani Alena di saat terpuruknya.
Ketika itu, Ezra tengah sakit. Ezra tak bisa memaksakan diri untuk hadir di pemakaman ayah Alena, hal itu pun sempat membuat Alena kecewa.
"Sabar, ya. Bapak Kamu sekarang udah senang, udah sehat. Gak ngerasa sakit lagi," ujar Ezra yang mencoba untuk menenangkan Alena.
"Iya." Alena hanya menjawab singkat.
Sedewasa dan sesiap apapun seorang anak, tidak akan pernah siap jika harus kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya.
Sepulang sekolah, Alena tidak bisa langsung makan siang seperti saat masih ada sang ayah juga ibunya.
Kini Ia harus memastikan lebih dulu, apakah orang rumah sudah makan atau belum.
Alena selalu menunggu di perintah, Ia tak pernah makan jika belum di izinkan.
Alena mengganti pakaiannya, dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Hah, capek banget. Padahal gak banyak kegiatan di sekolah, tapi kebanyakan mikir kayaknya sih ini." Alena memijit pelan keningnya.
Terdengar suara sang bibi dari luar, Alena segera membuka pintu.
"Bibi manggil Lena?" Tanya Alena.
"Iya. Pulang sekolah langsung makan, terus gantian jaga warung sama Bibi. Bibi mau istirahat sebentar dari pagi belum istirahat," ujar Bi Aidah.
"Oh, iya Bi." Alena segera mengambil makan, setelah itu Ia bergegas bergantian menjaga warung selagi Bi Aidah beristirahat.
Saat tengah menunggu warung, datang seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahunan.
"Eh, Lena. Bi Aidahnya kemana?" Tanya Tante Nur, salah satu pelanggan Bi Aidah.
"Eh, Tante Nur. Bi Aidahnya lagi istirahat dulu," jawab Alena.
"Tante Nur mau beli apa?" Tanya Alena.
"Oh, gitu. Tante mau beli ayam sekilo, kentang sekilo, bumbu merahnya lima ribu, penyedap rasa yang lima ribu, sama minyaknya satu liter, ya!" Pinta Tante Nur.
Alena segera menyiapkan semua yang di pesan oleh Tante Nur, Ia juga dengan teliti menghitung total belanjaan Tante Nur.
"Ini Tante belanjaannya, ada lagi?" Tanya Alena.
"Udah deh. Berapa?" Tante Nur.
"Totalnya jadi tujuh puluh tujuh ribu, Tan." Alena menuturkan.
"Oh, iya ini." Tente Nur memberikan selembar uang seratus ribu.
"Ini kembaliannya, Tan." Alena memberikan kembalian dari uang yang di berikan oleh Tante Nur.
"Makasih, Len. Oh iya, ini ada sedikit buat bantu biaya UJIKOM Kamu, Len." Tante Nur menyoborkan beberapa lembar uang seratus ribuan pada Alena.
Alena terdiam, Ia kaget melihat Tante Nur memberinya uang dengan cuma-cuma.
"Tante ini banyak banget, terus Tante tahu dari mana kalau Aku harus bayat UJIKOM?" Tanya Alena.
"Ah, gak banyak, kok. Iya waktu itu Bi Aidah cerita, katanya lagi sedih karena harus nyari biaya buat bayar ujian komputer Kamu. Tante kebetulan ada rezeki, Kamu terima, ya!" Pinta Tante Nur.
Alena merasa haru sekaligus tak enak hati, pasalnya masalahnya tentang biaya sekolah sampai ke telinga orang lain.
"Terima kasih banyak, Tan. Semoga Allah ganti dengan yang lebih dari yang di berikan," ucap Alena dengan tulus.
"Aamiin. Ya udah Tante pulang dulu ya, salam sama Bi Aidah!" Tante Nur berpamitan, dan keluar dari warung.
Alena mengangguk, Ia masih menatap uang yang ada di tangannya kini.
"Uang dari mana itu, Lena?" Tanya Bi Aidah yang kedatangannya tak di ketahui oleh Alena.
"Oh, ini Bi. Tadi ada Tante Nur belanja, terus ngasih uang buat bayar UJIKOM Lena," jawab Alena apa adanya.
"Oh, alhamdulillah. Sini uangnya Bibi yang pegang, kalau Kamu yang pegang takutnya nanti malah di jajanin!" Pinta Bi Aidah.
Alena tak menolak, Ia memberikan semua uang yang di berikan oleh Tante Nur padanya.
Bukan hanya sekali itu saja, setiap ada orang yang memberi uang pada Alena, semua uang itu di pegang oleh Bi Aidah. Alena mendapat jatah sehari dua puluh ribu, itupun kadang Alena harus menahan diri untuk berhemat karena memang tengah banyak kebutuhan untuk persiapan ujian.
Flashback on
Pernah suatu hari, Alena berjalan kaki dari sekolahnya sampai ke jalan besar yang menempuh waktu setengah jam lamanya. Biasanya Alena selalu naik ojeg, atau di beri tumpangan oleh teman sekelasnya. Namun kala itu, Alena pulang terlambat dan tak mendapat tumpangan. Uang Alena tak cukup untuk naik angkutan umum, jika harus di pakai untuk naik ojeg dari sekolah hingga jalan besar. Maka, Alena memutuskan untuk berjalan kaki.
Alena teringat, ketika sang ayah masih ada.
Entah firasat atau bukan, saat Alena naik ke kelas dua belas. Sang ayah selalu mengantarkan Alena ke sekolah, bahkan tak jarang beliau juga menjemput putrinya tanpa memberitahu sebelumnya.
Kali ini, Alena merasa sangat kehilangan. Bukan karena Ia harus berjalan kaki, atau berhemat. Tetapi, kenangan dan masa-masa indah bersama sang ayah tak dapat Ia rasakan lagi untuk selamanya.
Dan ada hal yang membuat Alena merasa sedih setiap harinya, yaitu ketika Ia tak sengaja mendengar Bi Aidah berkeluh kesah di depan para tetangga yang tengah berbelanja di warungnya.
"Aku tuh semenjak ayahnya Alena meninggal, setiap hari tuh bawaannya sedih, pusing. Sedih karena kehilangan adik bungsu, mana Alena lagi banyak kebutuhan buat ujian sama kelulusan nanti. Beban aja, harus nambah nanggung satu anggota keluarga lagi." Bi Ai mengeluhkan.
"Tapi kan katanya Bu Lurah kan sahabatnya Ayah Alena, setiap bulan selalu ngasih buat kebutuhan bekal harian Alena, Bi." Salah seorang pembeli menimpal.
"Iya, sih, Bu. Tapikan itu buat bekal jajannya aja, buat makannya gimana? Buat biaya ujian-ujian? Terus nanti kalau lulus harus tebus ijazah," ujar Bi Aidah.
"Saya juga denger Bu Nur sering ngasih buat Alena juga, Bi. Masa sih gak cukup juga, emang Alena boros, ya?" Tanya pembeli yang lain.
"Ngga terlalu boros juga, sehari bekal ke sekolah itu 20 ribu itu juga harus cukup sampai sore. Tapikan setiap hari Dia harus makan, Bu." Bi Ai menimpal.
"Ya elah Bi, cuma ketambahan satu orang aja. Lagian kayaknya Alena juga bisa nempatin dirinya!" Seru pembeli lainnya.
"Iya. Ah pokoknya setiap hari tuh kayaknya ada beban aja," ucap Bi Aidah yang benar-benar membuat Alena sedih.
"Ngurus anak yatim itu biasanya mendatangkan rezeki, Bi. Sabar aja!" Seru pembeli lagi.
Flashback off
Sungguh, memang tidak enak jika hidup menumpang pada orang lain sekalipun itu saudara sendiri.
Namun apa daya, ujian setiap orang pun berbeda-beda. Alena pun tetap mencoba untuk berpura-pura tak tahu, berusaha untuk tetap bersikap patuh dan hormat pada Bibinya.
***
Seminggu telah berlalu, kini saatnya Alena melaksanakan ujian komputer. Seperti biasa, Ezra kini menjemput Alena di depan rumah Bi Aidan. Alena tak tahu jika Ezra akan menjemputnya, pasalnya Alena selalu menolak jika Ezra ingin menjemputnya ke rumah.
Kali ini, Alena tak menolak. Ia akhirnya pergi ke sekolah bersama Ezra, dan keduanya pun sama-sama akan melaksanakan ujian. Pagi itu, Ezra sengaja melewati jalan alternatif. Dimana jalan yang di pilih Ezra adalah jalan yang melewati pemakaman umum, disana pula lah Ayah Alena di makamkan.
Sebelum melewati area pemakaman, Ezra tiba-tiba menepikan motornya di seberang gerbang pemakaman.
"Kenapa berhenti, Zra?" tanya Alena.
"Kita kan mau ujian, disana makam Bapak Kamu, kan?" Ezra menunjuk ke sebuah lahan dimana Ayah Alena di makamkan.
"Iya. Kenapa gitu?" tanya Alena.
"Kita gak mungkin masuk ke area pemakaman karena semalam hujan, pasti jalannya becek nanti sepatu sama seragam takut kotor. Jadi Kamu bisa minta doa sama Bapak Kamu dari sini," ucap Ezra.
"Minta doa?" tanya Alena yang masih bingung dengan maksud Ezra.
"Iya. Bukan bermaksud apa-apa, cuma ya barangkali ada yang ingin Kamu ucapin sama Bapak sebelum Kita ujian." Ezra menuturkan.
Alena paham, Ia pun menatap ke arah makam ayahnya. Air matanya menggenang di pelupuk mata, dan sebuah kalimatpun Alena utarakan di dalam hatinya.
"Pak. Sedikit lagi, Alena lulus. Doakan selalu Alena, agar bisa menggapai cita-cita seperti apa yang Bapak mau," ucap Alena dengan lirih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!