“Gue suka sama lo”, insiden pagi itu sukses menjadi berita heboh seantero kampus.
Bagaimana tidak? Seorang pria dan wanita sedang membuat suasana kampus yang biasanya tenang dan serius, mendadak menjadi drama bergenre romantis. Kejadian yang sudah lebih sepekan berlalu masih terus menjadi pembicaraan para mahasiswa seolah tidak ada masa expired-nya.
Ibarat channel gosip, headlinenya terus saja membahas hal yang sama berulang - ulang sampai ada berita fantastis lainnya. Adegan beberapa hari lalu juga begitu.
Seolah tak ada berita yang tak kalah fantastisnya dari situ, sampai - sampai semua orang di kampus membicarakan hal yang sama terus menerus.
Dari setiap sudut kampus terdengar kalimat itu lagi itu lagi. Adegan itu lagi itu lagi. Tatapan itu lagi itu lagi. Seolah mereka sedang kehabisan tugas kampus saja.
“Apa – apaan sih orang – orang. Hello... ini udah minggu keberapa? Kenapa omongannya masih nggak jauh – jauh dari berita basi itu.”
“Memangnya mereka kekurangan tugas? Ke kampus buat apa? Ngomongin berita cinta orang aja? Mereka kira uang kuliah dibayar dengan daun apa?”
Mereka tidak memikirkan orang tua mereka yang sudah susah payah menyekolahkan anaknya? Hah… aku geram.”, ucap Kirana, seorang gadis yang di tangannya memegang sebuah laptop serta sebuah laporan tugas yang sepertinya tidak kelar - kelar bagaimanapun dia berusaha menyelesaikannya.
“Na, bilang aja lo cemburu. Lo kan ngakunya udah lama tuh nge - gebet si Radit. Eh giliran dia ngungkapin rasa sukanya ke cewek lain, lo jadi diam seribu bahasa. Udah nggak berkicau lagi nih ceritanya?”, ujar Ghea, sahabat Kirana di kampus.
-Perkenalan Karakter-
Hai nama gue Kirana. Gue mahasiswa semester tiga di Fakultas Teknik sebuah kampus negeri terkenal di Indonesia. Gue mengambil jurusan Teknik Arsitektur Interior karena gak lolos masuk kedokteran.
Ini sahabat gue, Ghea. Doi juga ngambil jurusan yang sama.
Hampir terdiam seribu bahasa, Kirana hanya bisa menoleh ke kiri dan menatap tajam pada teman yang dia pikir adalah sahabat terbaiknya di kampus.
“Kenapa lo menatap gue begitu? Bukannya memang bener lo udah lama ngincer yang namanya ‘Radit’? Salah ya gue? Huh?”, ucapnya yang bukannya takut ditatap dengan mata membulat seperti itu, malah menantang dengan kalimat yang lebih pedas.
“Ihhhh ...apa - apaan, kapan gue pernah bilang kalo gue suka Radit? Ngarang banget lo, ya. Kalo lo bisanya ngarang, jangan masuk Fakultas Teknik. Masuk sana Fakultas Ilmu Budaya biar jadi penulis.”, balas Kirana sambil nge-gas.
“Nggak ada ya dalam buku sejarah gue yang namanya ‘Kirana suka sama Radit’. Enak aja main menyimpulkan sembarangan. Kalo orang bego lewat dan dengar yang lo sebutin, dia bisa nganggepnya bener. BAHAYA, Ghe.”, Kirana terus nyerocos membela diri sambil tangannya masih sibuk mengoleskan cream wash setitik demi setitik ke wajahnya.
Dia sudah meletakkan laptop dan laporannya dengan rapi di samping wastafel. Tentu saja dengan gaya marah - marah karena masih emosi.
“Sejarah? Lo aja berarti yang masuk Fakultas Ilmu Budaya. Pake bawa - bawa sejarah segala.”, ujar Ghea tak kalah lantang.
Saat itu toilet seperti milik mereka berdua. Mereka memang sengaja memilih toilet paling pojok dari ruang laboratorium. Hampir tidak pernah ada mahasiswa yang lewat disini. Ini membuat mereka menjadi lebih leluasa untuk berdandan.
“Iiih… susah banget ya perasaan ngomong sama lo. Sejarah, HISTORY, maksudnya sejarah hidup gue. Bukan sejarah dalam mata kuliah kampus. Perlu banget gue jelasin sejelas - jelasnya.”, Kirana masih mengomel dengan nada tegas. Namun, jari - jari lentik miliknya tetap bisa menempelkan krim ke wajahnya dengan lembut.
“Ah… bilang dong dari tadi kalau yang lo maksud itu adalah lembaran sejarah hidup lo. By the way, mau gue buka lagi lembar sejarah lo. Perlu gue putar pake film dokumenter? Biar lo inget kalo lo pernah suka sama Radit. Tunggu, bukan pernah sih, kayanya sekarang masih. Hahahhaha”, Ghea tertawa heboh sambil mencuci tangannya.
Toilet ini sudah menjadi tempat persembunyian mereka dan markas untuk bergosip. Karena memang sejarang itu ada yang menggunakan toilet ini. Tapi, mereka juga tidak pernah menyangka kalau kata ‘JARANG’ bukan berarti tidak ada yang lewat.
“Udah gue bilang kan, itu cerita lama. Buka hari baru dong. Masih aja ngomongin berita lama. Sekarang sudah abad ke berapa. Harus move-on.. Hello, kalau lo buka bisnis, sekarang udah ga tahu kemana perginya karena lo gak up-to-date.”, ujar Kirana dengan tangannya yang masih sibuk. Entah mau berapa lapis dia mengenakan krim itu.
“Tadi bilangnya nggak ada dalam sejarah, sekarang bilangnya udah cerita lama, yang konsisten dong. Cemburu bilang aja. Gak usah malu – malu kali, Ran. Lo bilang ‘MOVE-ON’, kan? Bener dong lo pernah suka sama Radit.”, meski tak terlihat memperhatikan, ternyata Ghea mengomentari kata per kata dari Kirana.
“Gue nggak cemburu. Catet baik - baik. GUE GAK CEMBURU. Jangan asal ngomong dong. Lagian apa bagusnya sih si Radit itu. Poin dia tuh cuma di jabatannya doang, K-E-T-U-A B-E-M Kampus. Selain itu, apa lagi? Gak adaaa”, kata Kirana menegaskan.
Dia bahkan tidak segan - segan menggunakan gestur tangan dan ekspresinya untuk mempertegas pendapatnya. Lalu, dia kembali fokus dengan dandanannya.
“Anak basket?”, ucap Ghea lagi antara ingin memastikan dan menjahili.
“Ehm.. ya.. itu juga. Cuma itu doang kan? Heh.. basket mah semua laki - laki juga bisa. Gak cuma Radit doang.”, Kirana mengalihkan wajahnya sekilas ke arah Ghea dan mengakuinya sambal ragu - ragu.
“Tajir?”, ucap Ghea lagi yang sudah menaikkan jarinya yang ketiga untuk mendaftarkan satu per satu keunggulan Radit, laki - laki yang mereka bicarakan.
“Yah, cuma itu kan? Tajir mah bokapnya. Bukan dia. Jangan samakan tajir dari lahir sama tajir penjajakan, ya. Beda!”, kata Kirana lagi tidak mau menyerah meski sekarang Ghea sudah mengangkat jarinya yang ke-empat.
“Cakep, putih, tinggi semampai, kaya model internasional, bersahaja, kekar? Apa perlu gue pake jari kaki? Udah gak cukup nih mau daftarin keunggulannya si Radit”, Ghea terus saja mentrigger kemarahan temannya.
“Aahh serah lo dah. Rasa gue ama dia udah lama hilang.”, sanggah Kirana lantang.
Kirana sudah kehilangan kata - kata. Dia ingin menyangkal tetapi mau bagaimana. Perkataan Ghea, sahabatnya barusan ada benarnya juga. Dia juga tidak bisa tidak mengakui hal yang benar adanya.
Kalau dipikir - pikir sekali lagi. Radit memang tampan. Tingginya lumayan. Dia bukannya orang sembarangan di kampus. Ketua BEM yang bisa memikat hati siapapun. Bukan lagi BEM Fakultas tetapi BEM satu universitas. Gimana gak keren?
“Nah, udah ngomongin rasa nih. Berarti pernah ada dong, rasanya. Kapan rasanya? Gimana rasanya?”, ucap Ghea terus menjahili Kirana yang sudah selesai mengoleskan krim di wajahnya.
“Lagian, apa bagusnya juga cewek yang ditembak sama Radit. Kaya gak ada cewe lain aja di kampus ini.”, Kirana memasukkan kembali krimnya ke dalam tas dan merapikan laptop dan laporannya di tangannya.
Semakin Kirana menyangkalnya, semakin terlihat kalau sebenarnya Kirana mungkin punya rasa terhadap Radit. Atau, Kirana hanya tidak bisa mengutarakan maksudnya sehingga membuat sahabatnya salah paham? Atau dia hanya tidak bisa dibilang kalah dengan perempuan yang sekarang sudah resmi menyandang status ‘Pacar Radit’. Yang mana nih kira - kira?
“Cuih, cemburu bilang aja, jangan disembunyiin. Ntar jatohnya nyesek lo, Ran.”, kata Ghea.
Dia masih tidak ingin menyerah.
Ghea, entah sahabat atau bukan. Sedari tadi dia sangat bersemangat untuk memanas - manasi Kirana. Bukan Ghea namanya kalau mengalah tentang urusan perdebatan rasa ini. Mereka belum bersahabat lama tetapi sudah sangat akrab semenjak Ghea dan Kirana berada dalam satu kelompok Ospek yang sama.
Mereka punya sejarah simbiosis mutualisme di jaman itu. Sehingga, persahabatan mereka juga terbilang unik.
“Waaah ni orang ngajak ribut, sini lo...”, kata Kirana sambal menunjuk – nunjuk ke arah Ghea.
Kedua gadis yang mengenakan celana jeans dan kemeja formal itu masih saling bergurau satu sama lain sembari sibuk merapikan diri mereka untuk persiapan presentasi tugas di kelas nanti. Satu gadis sibuk merapikan rambut yang tatanannya yang sebenarnya tidak pernah berubah meskipun sudah disisir ratusan kali. Satu lagi sibuk menyemprotkan parfum ke bajunya.
Begitu asyiknya membicarakan masalah pribadi mereka di depan toilet hingga tak sadar pada keberadaan orang lain. Bahkan sampai Kirana yang sudah selesai dengan ritual siangnya menabrak seseorang. Terasa sekali dada bidang dan tubuh tegapnya, karena setelah menabrak pun tubuhnya masih santai dan tak bergeming.
“Anggap gue nggak denger apapun.”, kata seorang cowok yang tiba – tiba berjalan melewati toilet wanita, tepat saat peri – peri gosip itu meluncur keluar toilet.
Belum lagi Kirana sempat menoleh, pria itu sudah mengucapkan satu kalimat. Bukannya terdengar biasa, kalimatnya justru membuat dia terdengar lebih mencurigakan.
Pria itu juga langsung pergi. Lebih tepatnya berlari terbirit - birit karena sepertinya dia sudah mendengar hal yang tidak seharusnya dia dengar.
Kirana dan Ghea hanya bisa saling bertatap - tatapan.
Wajah mereka merah padam, antara ragu, bingung, dan malu pada kemungkinan kalau pria tadi mungkin sudah mendengar semua perkataan mereka hari ini.
“Ghe, dia nggak denger apa yang kita omongin kan?”, kata Kirana dengan wajah khawatir.
Kirana, gadis ini memang tidak begitu mempedulikan apapun yang orang lain katakan. Tetapi, kalau untuk urusan romansa di kampus, apalagi kalau hal ini berhubungan dengan Radit, dia juga tidak bisa tinggal diam.
Bagaimana kalau pria tadi mengatakan pada yang lain. Bagaimana kalau dia malah salah paham? Ah… tidak mungkin. Memangnya bisa terdengar keluar. Dia saja mengatakan untuk menganggap dia tidak mendengar apapun.
‘Menganggap berarti benar - benar dengar?’, Kirana bersusah payah untuk meyakinkan dirinya sekuat tenaga kalau cowok tadi tidak mendengar apapun atau bahkan salah paham.
“Menurut lo?”, jawab Ghea dengan nada tak menyakinkan.
“Aahhhh bodo! Gara – gara lo sih.”, Kirana langsung menuduh Ghea sambal mengeluarkan nada ngegas dan muka bete-nya.
“Loh kok jadi gara – gara gue. Orang yang suaranya kaya toak tuh elu.”, lagi - lagi, bukan Ghea namanya kalau dia mengalah begitu saja.
“Tunggu, tapi cowok tadi sepertinya bukan dari fakultas kita deh? Atau bukan dari angkatan kita? Kok perasaan wajahnya gak gue kenal sama sekali?”, tanya Kirana yang akhirnya bisa berpikir jernih setelah tadi kalang kabut harus bagaimana mengendalikan situasi ini.
“Bener juga. Kalau dipikir - pikir gue baru pertama kali melihat cowok tadi? Apa adik kelas ya?”, sekarang Ghea pun ikut bertanya - tanya.
“Gak mungkin, walaupun lo jarang ngampus, tapi gue sering. Gue juga anak BEM Fakultas, jadi junior sampai senior gue apal. Dan anak tadi sepertinya bukan.”, Kirana sangat sangat dengan dirinya.
“Bener juga. Lo pasti apal. Atau mungkin dia anak fakultas lain?”, Ghea mulai mengeluarkan berbagai asumsi yang ada di kepalanya.
“Ngapain anak fakultas lain disini? Pake nguping dekat toilet lagi.”, Kirana tak bisa menerima begitu saja asumsi dari Ghea.
“Biasalah. Mungkin ceweknya anak fakultas sini dan lagi jemput atau mau makan bareng. Kan sering. Atau lagi ada keperluan apa gitu.”, kata Ghea kembali menguatkan dugaannya di awal.
“Bener juga. Artinya dia gak bakal kenal dong sama gue, apalagi Radit. Jadi aman dong.”, kata Kirana tersenyum lega.
“Hn. Untuk sementara bisa kita anggap begitu.”, ucap Ghea.
“Loh, kok untuk sementara sih?”, Kirana tak menerimanya.
“Ya mau gimana. Kan kita belum mendapatkan jawaban pastinya.”, lagi - lagi mereka berdebat untuk yang ke sekian kalinya.
Suasana kelas masih saja berisik meskipun kelas sudah dimulai sejak 10 menit yang lalu. Sebenarnya, suasana yang sangat biasa ditemukan jika belum ada dosen yang masuk ke dalam kelas.
Pemandangan seperti ini sangat sering ditemukan. Mereka tidak mencoba untuk mencari tahu apakah kelas hari ini tetap akan diadakan atau tidak? Apakah dosen mereka masuk atau tidak. Yang terpenting adalah mereka masuk ke dalam kelas dan duduk. Jika sampai waktu yang ditentukan dosen tidak juga masuk, itu artinya tidak ada kelas untuk hari ini.
Meskipun kelas ini terhitung sebagai salah satu kelas favorit di kampus mereka. Tetapi saat tidak ada dosen di kelas, inilah pemandangan yang biasa ditemui.
Para mahasiswa yang mengambil kelas ini biasanya adalah mahasiswa yang tidak mau berurusan dengan dosen killer. Biasanya, satu mata kuliah akan memiliki beberapa pilihan dosen untuk mengajar mahasiswa.
Mahasiswa akan melakukan war di platform internet untuk bisa mendapatkan dosen yang mereka inginkan. Kenapa kelas ini dikatakan sebagai kelas favorit? Hal itu tidak lain karena pertama, dosen yang mengajar adalah seorang dosen wanita yang masih muda. Kedua, dosen ini dikenal sangat murah hati dalam memberikan nilai.
Ketiga, saat di kelas, beliau tidak terlalu strict dan memberikan aturan. Siapapun bisa datang dan pergi sesuka hati. Bahkan, beliau juga tidak peduli jika ada yang terlambat bahkan tidak datang selama satu semester lamanya sekalipun.
Yang terpenting untuknya adalah mahasiswa mengerti apa yang diajarkan. Mahasiswa bisa mengikuti ujian dan lulus. Oleh karena itu, kelas ini dikenal sangat sulit untuk didapat.
Di beberapa sudut kelas yang masih kosong terdapat para mahasiswa dengan earphone di telinga mereka dan menari – nari di bagian belakang kelas yang kosong. Para gadis ribut membicarakan novel dan film – film terbaru, atau berteriak ricuh membicarakan idol - idol korea yang tampannya nggak ketulungan.
Beberapa dari mereka yang tak memiliki ketertarikan pada apapun memilih untuk tidur di barisan belakang meskipun sesekali dari mereka ada yang terkena pukulan bola beberapa anak basket yang tak tahu dimana tempat mereka berolahraga.
“Guys, kabar kali ini bener – bener.”, ujar seorang anak laki – laki dengan jaket lusuh dan sebuah topi di kepalanya. Nafasnya tersengal setelah berlari dari ruang dosen ke kelas.
“Bu Rika nggak masuk, jadi kita nggak ada kelas.”, teriaknya, masih dengan nafasnya yang tersengal - sengal.
Baru saja seisi kelas ingin berteriak, seorang dosen laki - laki masuk dan memukul bagian belakang kepala Ega, panggilan akrab untuk cowok cebol berjaket lusuh dan topi tadi. Tak tanggung – tanggung, dosen tadi memukul kepalanya dengan buku setebal 3 cm.
“Oke, yang ngajar hari ini saya, jadi mohon buka bukunya halaman 94 dan kerjakan latihannya. Kalo ada yang mau ditanyakan, saya duduk disini.”, jelas seorang dosen muda berparas tampan bak pangeran dari negeri antah barantah yang dengan malasnya mendorong kursi guru ke arah pintu dan mulai memasang earphone ke telinganya.
Terdengar hembusan nafas mahasiswa yang mengeluh kecewa.
“Berapa soal pak?”, tanya Rika, mahasiswi perempuan yang paling rajin di kelas ini.
“Semuanya.”, jawab dosen pria itu dengan santai.
“Tapi ini ada 100 soal dan ini adalah hitungan semua, pak.”, dengan sedikit penekanan pada akhir katanya, mahasiswi itu tak melupakan sopan santunnya dengan masih menggunakan sapaan yang pantas.
“Lalu?”, masih dengan nada santai, dosen itu kemudian memasang kembali earphone-nya tanpa menghiraukan pandangan mahasiswa lain yang saling bersahutan dengan sesekali mengeluarkan sumpah serapah mereka.
Dia cuma mengubah arah pandangnya ke lapangan basket tepat beberapa meter dari pintu kelas. Beberapa mahasiswi perempuan dengan pakaian cheers berlalu sambil menyapanya.
“Siang, pak ganteng!”, sapa para anak cheers tersebut.
Dosen lelaki ini hanya tersenyum.
“Dia mau ngebunuh kita, ini banyak banget!!”, Kirana, mahasiswi yang sedari tadi sibuk membalas pesan di ponselnya, mulai berkicau.
Ia mulai membuka bukunya dan mengambil pensil dengan malas. Sedikit tatapan sinis tak lupa ia layangkan pada pemilik kemeja polos warna putih. Cakep sih, tapi kebiasaannya itu, pikirnya.
“Bahkan dia lebih tampan dari pemain sinetron.”, ucap temannya yang ternyata ikut memandangi dosen itu. Dan tidak hanya mereka, mahasiswa perempuan lainnya ikut memandangi dosen dengan siluet mata berwarna coklat kebiruan itu. Melihatnya menatap ke luar kelas mereka membuat jantung seakan berhenti berdetak.
“Eh .. lo lagi ngelamunin Pak Rian, ato Radit?”
“Shutttt.. diem ah.. Nanti kalau ketahuan anak – anak yang lain. Gue jadi bahan gosip.”, kata Kirana berusaha menenangkan temannya yang sudah seperti ember bocor ini.
“Abis gue heran ama lo. Cantik, tapi nggak punya pacar. Segitu setianya lo nungguin Radit. Padahal maren - maren gue kira dia ada perasaan ama lo sampe suka ngajakin lo pulang bareng. Kok dia berubahnya cepet banget ya.”, kata Ghea heran. Ia menaruh pensil mekaniknya di kepala seolah – olah sedang berpikir.
“Bodo” jawab Kirana sekenanya. Sambil menghapus tulisan di bukunya kuat – kuat karena kesal.
“Lo kerjain aja tuh soal 100 biji. Kebanyakan ngomong yang ada gak kelar nih kerjaan kita.”, lanjut Kirana.
“Tapi ya, Na. Pak Rian tuh masih muda, ganteng, kuning langsat, baik lagi. Lo ga mau beralih ke dia aja. Kayanya dia belum ada cewe.”, sambar Ghea lagi tanpa pakai rem.
Kepala pak Rian terlihat menoleh ke arah mereka, seolah dia mendengarkan.
“Heh.. lo mau bikin gossip lagi tentang gue? Udah ah, Ghe. Kalo lo ngomong lagi, gue resign jadi temen, lo. Mana ada gossip datang dari sahabat sendiri.”, kata Kirana menggeleng.
“Tolong, boleh kerjasamanya untuk gak berisik, ya. Jumlah soalnya 100. Orang paling pintar di kelas saja mau protes, kalian yang IP nya gak seberapa masih sempat ngobrol.”, kata Pak Rian dengan tegas. Arah pandangnya kembali ia lakukan ke lapangan basket.
--------------
Hari sudah semakin sore. Sorak – sorai mahasiswa yang baru saja menyelesaikan kuliah terakhirnya hari itu terdengar riuh di sekitar kampus. Beberapa mahasiswa ada yang langsung berlari menuju gerbang. Beberapa ada yang sekedar duduk di kantin untuk mengobrol, dan ada juga yang langsung masuk ke dalam mobil.
Tapi tidak untuk kelas yang saat ini harus mengerjakan 100 soal.. Rata – rata dari mereka baru menyelesaikan setengahnya saja. Soalnya pilihan ganda, tapi bagi mereka ini jauh lebih sulit. Banyak sekali soal – soal yang sulit ditemukan solusinya.
Kebanyakan mahasiswa mungkin akan asal menebak saja. Toh itu juga bukan isian, jadi kemungkinannya masih 0.2 dari 5 pilihan yang ada. Tapi ini yang membedakan mereka dari mahasiswa di kampus lain. Mereka terkenal dengan kepedulian mereka terhadap nilai, akreditasi, dan kemampuan mereka. Meskipun kelihatan seperti mahasiswa normal lainnya, tapi peringkat merupakan hal paling penting disini.
Mereka memang suka bercanda, bermain, girang jika ada guru yang tidak hadir, tetapi dedikasi mereka terhadap aktivitas perkuliahan dan kampus terutama bidang akademik sangat tinggi.
“Baiklah, tugas itu boleh kalian kerjakan di rumah dan dikumpulkan besok pagi sebelum jam 7 di meja saya. Sekian dulu. Kalian boleh pulang.”, Pak Rian, sapaan akrabnya mulai menarik diri dari kelas itu setelah mengucapkan kata – kata yang melegakan mereka sekaligus menyakitkan.
Lega karena sudah bisa pulang dan terlepas dari rutinitas kampus hari ini. Sakit karena tugas ini masih harus membayang – bayangi mereka sampai besok. Di kepala mereka masing – masing, mereka sudah membayangkan harus begadang semalaman untuk mengerjakan ini.
Beberapa diantara mereka sudah ada yang membentuk kelompok kerja dan menentukan café mana yang menjadi markas. Para murid laki – laki biasanya senang berkumpul dan mengerjakan tugas ini bersama – sama.
“Sebelum jam 7, waras nggak sih dia?” Sahut Kirana yang tak usai dengan kalimat protesnya sejak ia mengerjakan soal. Bahkan setiap soal yang dikerjakannya disertai dengan sumpah serapahnya pada dosen tampan sekaligus menyebalkan itu.
“Dan yang mengatai saya gila bisa mengumpulkannya sebelum jam setengah 7 pagi. Sekian.” Kirana kaget, dia mengira dosen itu masih memutar lagu di telinganya.
“What?”, Kirana merasa darahnya naik hingga ke ubun – ubun. Kemarahannya langsung berada di puncak begitu mendengar kalimat itu. Dosennya hanya berlalu, bahkan seperti angin menghilang begitu saja.
“Kan gue gak bilang dia gila. Gue hanya menanyakan tingkat kewarasannya. Apa – apaan sih.”, kata Kirana masih emosi sambal melempar kasar semua bukunya ke dalam tas.
“Selamat datang di kuliah pagi ya, Rana.”, Beberapa mahasiswa laki – laki meledeknya. Jelas, Rana bukan tipe mahasiswa rajin yang akan terlihat di kelas saat burung - burung masih berkicau dan embun di dedaunan masih segar.
“Jangan pake ledek – ledek, ya. Mau gue bilangin juga. Biar kalian nginap sekalian di mapus ini.”, kata Kirana kesal.
“Dih, lo aja kali. Kita permisi…Kalo mo ikut kita juga boleh. Buat lo, kita bikin satu slot khusus buat cewe.”, kata bocah – bocah itu berlalu. Mereka sudah menentukan café mana yang menjadi markas peperangan tugas mereka sore itu.
“Makasih.”, teriak Kirana. Dia langsung melaju ke depan pintu kelas. Awalnya dia ingin mengejar pak Rian untuk menarik kembali kata – katanya tentang hadir di kampus lebih pagi dari orang – orang lain.
Mungkin sedikit permintaan maaf bisa mengubah titah pangeran sekolah ini. Tapi Kirana mengurungkan niatnya saat melihat Pak Rian sedang dikerubungi oleh dayang – dayang sekolah. Siapa lagi kalau bukan anak – anak cheers yang senang sekali mengekor dan mengerubungi Pak Rian seperti semut.
Kirana berdecak dan berlalu. Saking kesalnya, dia meninggalkan Ghea di belakang. Pak Rian adalah tipikal dosen yang sangat jarang terlihat di luar ruangan. Dia seperti pertapa yang selalu mengurung dirinya di ruangannya.
Karena itu begitu dia keluar dari persembunyian, para dayang – dayangnya pasti tidak akan menyia – nyiakan kesempatan besar itu.
“Arghhhh! Kenapa dia kejam banget sih? Bisa ga sih ga sok - sok berkuasa jadi dosen? Memangnya kalau dosen, bisa suruh - suruh kerjain soal sebanyak itu terus kumpulin pagi dini hari? Dia kira aku apa? Kenapa cuma karena protes aku langsung disuruh kumpulin jam 6 pagi? Memangnya dia sudah di kantor jam segitu? Kesel banget ngadepin dosen killer tuir kaya dia.”, Kirana yang sudah sampai di rumah segera melepaskan kekesalannya pada bantal dan kasur yang tidak bersalah.
Apapun yang ada di rumahnya langsung menjadi korban Kirana. Dia tidak hanya mengeluarkan sumpah serapah dengan mulutnya, tetapi Kirana sudah melakukan reog dan srimulat di kamarnya dengan bantal - bantal miliknya yang dia anggap sebagai Pak Rian, si dosen killer.
“Heh… dia kira orang di kampus hanya mengerjakan tugas dari dia? Apa hebatnya sih jadi dosen Fisika? Tahu banget aku gak pinter Fisika sama sekali. Kalau otaknya sehebat itu, kenapa dia ga ngajuin jadi penerima Nobel aja sekalian? Arghhhh… terus besok aku harus gimana? Sekarang sudah jam segini. Pertama, aku gak akan bisa bangun pagi. Kedua, aku gak bakal bisa ngerjain tugas sebanyak itu dalam semalam. Help!!!”, Kirana berteriak di kamarnya seperti orang gila.
“Kenapa lagi sih Ran? Pulang kampus kok langsung marah – marah begitu. Malu dong, kamu kan perempuan. Sudah kuliah lagi, masa kelakuannya masih seperti anak SD saja. Siapa sih yang kamu marah - marahin?.”, tanya ibundanya yang kebetulan lewat di depan kamarnya.
Tadinya, ibunda Kirana bermaksud untuk mengambil beberapa buah buku yang ada di ruangan samping kamar Kirana sekaligus mengajak anaknya untuk makan malam. Mendengar kehebohan dari ruang sebelah, ibundanya langsung berhenti di kamar Kirana.
Kirana membaringkan badannya di kasur dan bertumpu pada bantal guling. Sesekali dia melihat ponsel yang isinya kosong tanpa pesan dengan kesal. Pertama, Ghea sudah mengajak ribut perkara Radit. Kedua, hal itu didengar oleh cowok misterius yang tidak pernah dia lihat sebelumnya.
Ketiga, dia harus diajar oleh dosen killer yang dia pikir tidak akan pernah ditemui lagi karena sudah berhasil mendapatkan kelas yang tentram dan damai. Siapa kira dosen itu malah menggantikan dosen yang seharusnya mengajar di kelasnya.
Keempat, dia yang sudah sangat menghindari dosen itu malah harus terlibat masalah dengannya mengerjakan setumpuk soal bodoh yang tidak disukainya. Plus, besok dia mau tidak mau harus kembali menemui pria itu. Eh, salah. Dosen itu.
Mendengar ibunya bertanya, Kirana langsung membalikkan badannya dan bersiap untuk sesi curhat.
“Gimana Kirana gak marah - marah kalau dosennya suka cari gara - gara, ma. Mama kan tahu perjuangan Kirana biar dapat guru Fisika yang tidak bawel dan kerjaannya nyusahin orang. Kirana sampe pasang WiFi yang bandwidthnya gede supaya bisa dapat kelas itu.”, Kirana bercerita dengan menggebu - gebu. Bahkan dia tidak memberikan titik koma sama sekali.
Mungkin semua kalimatnya tadi dia katakan hanya dalam satu tarikan nafas saja.
“Iya, mama tahu. Kamu sampai cari kerja sampingan untuk bisa masukin WiFi yang cuma kamu pakai satu bulan. Terus? Bukannya kamu ngabarin mama kamu akhirnya berhasil dapat kelasnya. Sekarang masalahnya dimana?”, tanya ibunda Kirana sambil meletakkan baju yang yang dia taruh sembarangan.
“Udah mama gak usah beresin. Nanti Kirana beresin sendiri. Itu cuma karena Kirana lagi marah aja makanya Kirana sengaja berantakan.”, kata Kirana yang merasa tidak enak melihat ibundanya mengutip satu persatu baju dan tasnya.
“Ya udah. Terus?”, kata ibunda Kirana sambil kembali duduk mendengarkan isi hari putri semata wayangnya.
“Sekarang ga ada gunanya, ma. Dosen itu tetap aja masuk ke kelas yang Kirana ambil. Alibi banget gantiin dosen sebelumnya.”, kata Kira masih dengan berdecak kesal setiap kali berbicara tentang dosennya.
“Ya, siapa tahu memang dosen yang sebelumnya berhalangan. Kok malah dibilang alibi, sih. Dia juga masuk mungkin sesi hari ini aja. Besok - besok enggak masuk lagi.”, kata ibunda Kirana menenangkan.
“Cuma dosen pengganti aja, dia udah kasih kita satu kelas PR yang luar biasa banyak. Terus besok harus dikumpul pagi - pagi. Kirana gimana ngerjainnya. Terus mama tahu, dia suruh Kirana kumpulin jam 6 pagi. Beda sama anak - anak lainnya, cuma karena Kirana ngomel pas dikasih tugas. Killer banget, kan dosennya.”, kata Kirana kesal.
“Siapa sih nama dosennya yang killer itu?”, tanya ibunda Kirana berusaha melanjutkan percakapan dengan putrinya agar rasa kesalnya hilang. Tanya - tanya sedikit dan mengobrol panjang mungkin bisa membuat amarah Kirana berkurang.
“Ada pokoknya dosen killer bin sadis yang Kirana gak mau ketemu lagi. Cuma dia alasan satu - satunya Kirana mau lulus 3.5 tahun biar ga liat muka dia lagi di kampus. Kesel pokoknyaaa.”, teriak Kirana sambil meremas bantal guling dihadapannya.
“Ya sudah.. Marahnya udahan. Saatnya kamu mandi terus makan malam. Setelah itu kerjain PR nya sebisa kamu. Besok kumpulkan. Yang penting ngerjain. Toh, yang akan menilai kan nanti dosen yang kamu enroll. Beliau hanya pengganti.”, kata ibunda Kirana.
‘Hm.. bener juga. Kenapa aku tidak berpikir kesana, ya. Memikirkan dia, membuat aku kesal sampai lupa kalau dia toh bukan dosen yang aku enroll. Yang akan kasih nilai kan dosen yang memang aku enroll. Ngapain pusing.’, pikir Kirana dalam hati.
Seketika itu juga, Kirana langsung berdiri dan mengambil handuk. Bersiap untuk masuk ke kamar mandi.
Meski Kirana masih tidak bisa melenyapkan rasa kesal dalam dirinya. Bayang - bayang aktor - aktor antagonis yang hari ini membuat harinya sulit bermunculan di kepalanya. Dia sudah bisa mengontrol emosinya. Dia simpan dulu amarahnya untuk dia luapkan nanti - nanti.
“Ya udah, kamu mandi dulu. Mama udah buatin jus kesukaan kamu, jus melon sayur. Mama tunggu di bawah ya. Kita makan malam bareng. Mama juga udah bikin Ayam Taliwang kesukaan kamu. Harus makan banyak pokoknya biar bisa menyelesaikan PR dari si dosen killer. ”, ibunda Kirana memang sudah menyiapkan jus ini untuk putrinya itu.
Setiap pulang dari kampus, ibunda Kirana pasti punya menu jus baru yang dia selang seling selama seminggu agar tidak bosan. Dia yakin dengan mengkonsumsi jus dan buah setiap hari bisa meningkatkan daya tahan tubuh. Kesehatan kulit juga terjaga.
“Mama emang tahu kesukaan aku, tiap hari kayak gini kan enak ma, aku jadi nggak gampang marah – marah mulu.”, ucap Rana langsung masuk ke dalam kamar mandi.
“Lah, kan memang tiap hari. Tapi sepertinya kamu tetap tidak bisa mengendalikan amarah kamu yang suka meledak - ledak, ya. Sepertinya mama harus buat jusnya dua kali sehari.”, sahut ibunda Kirana sambil bercanda.
Kirana memang anak yang keras. Dia juga tegas. Meski seorang perempuan, dia tidak lantas kalem seperti anak - anak lainnya. Meski di rumah dan saat bersama teman - temannya dia sering meledak - ledak, tetapi Kirana adalah anak yang baik.
Dia rajin dan terbukti selalu berprestasi di sekolah. Awalnya dia sangat ingin untuk mengambil kuliah kedokteran, tetapi apa daya meski nilainya bagus, Kirana sulit untuk mendapatkan beasiswa.
Biaya kuliah sangat besar kalau harus ditanggung oleh ibundanya yang single parent sendirian. Meski kadang papanya yang sudah resmi bercerai saat dia masuk SMA, Kirana tidak bisa membebankan hal itu karena istri baru papa pasti akan mengganggu mama terus.
Jadilah Kirana mengambil jurusan Teknik Sipil. Dia tidak begitu tahu saat pertama kali mengambil jurusan ini. Perhatian pertamanya tetaplah di jurusan kedokteran. Tapi, saat ditekuni ternyata jurusan ini juga menarik untuknya dengan sendirinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!