NovelToon NovelToon

Tina-Ayu 1 Negeri Tanpa Tahun

NTT 1: Berburu Buku Bekas

*Negeri Tanpa Tahun (NTT)*

 

Episode 1 diperankan oleh:

Tina Cihuy

Ayu Nostalgia

Kunoto

 

Hari ini adalah Ahad tanggal 16 Juli 1995. Tina Cihuy dan Ayu Nostalgia sepakat pergi ke Pasar Impres Kalianda untuk berburu buku bekas. Kesepakatan itu mereka ambil setelah melalui rapat pleno yang dihadiri oleh Tina, Ayu dan Salman.

Setelah waktu ashar dan menjelang senja adalah waktu yang tepat. Sebab, jika Ahad pagi, Tina punya agenda cuci dan jemur diri sambil cuci dan jemur pakaian sekeluarga. Dan bagi Ayu, Ahad pagi adalah waktu yang sangat sakral untuk tidur pagi setelah nyabu, yaitu sarapan bubur kacang hijau.

Sementara Salman yang bernama lengkap Salman Alfarisy, Ahad pagi jadwal wajib bantu ayahnya di kebun kupas sabut kelapa. Ayah Salman adalah juragan kelapa dan pisang. Tanah kebunnya lumayan luas, cukup untuk bekal kawin di hari tua.

Nah, barulah siang dan sore hari Tina dan Ayu punya waktu lowong. Jika pergi ke pasar pada siang hari, terlalu bolong teriknya. Karenanya, mereka sepakat sore hari. Namun, tetap tanpa Salman, karena ia masih sibuk di kala senja. Biasanya ia pulang dari ikut mengantar kiriman kelapa atau pisang baru menjelang magrib.

“Di mana, Yu? Seiman saya di gang dekat jualan tas,” tanya Tina sambil keduanya berjalan di pinggiran jalan beraspal depan Pasar Impres.

“Seingat, Tina. Bukan seiman!” ralat Ayu.

“Maksud saya itu. Seingat,” kata Tina.

“Kalau yang di situ mahal plus belagu. Buku bekas dijual harga baru. Kenapa enggak jual buku baru saja tapi harga bekas?” gerutu Ayu.

“Kenapa tanyanya ke saya?” tanya Tina.

“Siapa yang tanya?!” sentak Ayu sewot.

“Tadi rebusan!” debat Tina.

“Barusan, bukan rebusan, Tinaaa!” ralat Ayu kian sewot.

“Iya, maksud saya itu,” kata Tina seolah tanpa dosa.

“Noh, yang murahan dan komplit segala buku bekas, di Toko Bekas Berkelas punya Bang Kunoto. Saya sudah kenal!” kata Ayu bersemangat.

“Genit amat. Sama tukang bubur saja kenalan,” ledek Tina tanpa senyum.

“Hahaha! Mendingan tukang bubur daripada tukang buku, kalau urusan kesejahteraan. Tapi, kalau urusan jeniusitas, mendingan tukang buku,” kata Ayu yang didahului dengan tawanya.

“Bu Mona cuma suruh beli tiga bulu doang kan?” tanya Tina.

“Buku, bukan bulu!” ralat Ayu.

“Iya, maksud saya itu.”

Akhirnya, keduanya tiba di Toko Buku Bekas Berkelas, milik seorang pedagang bernama Kunoto. Saat mereka datang, hanya ada satu pelanggan yang sedang memilah-milah buku.

“Assalamu ‘alaikum, Bang Ku!” salam Ayu penuh semangat sambil langsung tersenyum kepada lelaki berkumis berkulit cukup hitam, berusia sekitar lima puluh tahun.

“Wa ‘alaikum salam, Ayu!” jawab lelaki berbaju T-shirt warna cokelat itu.

“Sehat, Bang?” tanya Ayu akrab.

“Alhamdullillah! Seperti ini, masih ganteng. Hahaha!” jawab Kunoto lalu tertawa lepas. “Bawa teman cakep, Yu?”

“Namanya Tina Cihuy, Bang. Masih di bawah umur, sama seperti Ayu,” jawab Ayu.

“Hahaha!” tawa Kunoto lagi.

“Bang Ku, ada buku Bahasa Indonesia, IPA, sama IPS kelas dua SMP?” tanya Ayu.

“Terbitan?” tanya balik Kunoto.

“Terbitan apa, Tin?” Ayu justru bertanya kepada Tina.

“Rajabata Apung,” jawab Tina santai sambil melihat-lihat buku yang ada.

“Hah? Rajabata Apung?” ucap ulang Ayu, karena belum pernah mendengar nama terbitan itu.

“Iiih, buta ah!” rutuk Tina. “Rajabasa Agung, Ayu. Mana ada Rajabata Apung!”

“Eh, nih anak! Bisa-bisa saya colok pakai jidat nih!” dumel Ayu kesal. “Tadi kamu yang bilang Rajabata Apung!”

Ayu menendang kaki Tina, tetapi tendangan itu terlalu pendek sehingga tidak bisa menjangkau kaki Tina yang hanya tertawa-tawa, terkesan meledek si kaki gemuk itu. Bukan kakinya yang tertawa, tapi Tinanya yang tertawa. Jangan salah paham.

“Eh eh eh, sesama jeruk itu jangan bertengkar!” kata Kunoto melerai.

“Saya wortel, dia yang beruk!” kata Tina sambil menunjuk Ayu.

Murkalah Ayu disebut beruk, salah satu nama jenis primate sebangsa kera. Ayu berjalan tergopoh-gopoh mendapati Tina yang kurus. Dicekiklah leher Tina dengan pitingan lengan gemuknya. Namun, Ayu melakukannya hanya sekedar lakon drama saja. Terlihat Tina bukannya kesakitan, tetapi justru tertawa terbahak-bahak berkepanjangan.

“Hahaha…!” tawa Tina tidak berujung, meskipun nanti berujung.

“Hahaha…!” Kunoto juga tertawa terbahak-bahak menyaksikan tingkah kedua anak perempuan itu.

“Kenapa sih genit banget kamu, Yu, di depan Bang Ku itu?” tanya Tina setelah tawanya reda dan Ayu sudah tidak memitingnya lagi.

“Siapa yang genit? Kamu tuh yang kebangetan nyebut saya beruk. Cantik begini dibilang beruk, memang ngelihatnya dari patung Raden Intan!”

“Saya itu tadi nyebut kamu jeruk, saya wortel. Harus sabar-sabar kalau punya teman rada-rada putingnya,” kata Tina bela diri.

“Tuh kah salah lagi!” tuding Ayu sambil menunjuk wajah Tina.

“Salahnya di mana? Dua tambah dua, empaaat. Tiga tambah tiga, emaaang!” kata Tina.

“Hahaha…!” Kunoto terus tertawa mendengar perdebatan dua sahabat yang tidak ketemu titik kumpulnya itu.

“Sudahlah, Bang Ku, ambilin bukunya,” kata Ayu memilih menyerah.

“Sebentar,” kata Kunoto.

Lelaki yang sudah lama berdagang buku bekas itu lalu membungkuk-bungkuk di dalam lapaknya, mencari buku-buku yang dimaksud Tina dan Ayu.

“Satu-satu atau dua-dua?” tanya Kunoto sambil melongokkan sebentar wajahnya kepada Tina dan Ayu.

“Dua,” jawab Ayu.

“Kalau ada tiga-tiga!” sahut Tina.

“Buat siapa satunya?” tanya Ayu kepada Tina.

“Buat Salman. Hahaha! Cacar sendiri dilupain!” kata Tina.

“Siapa yang pacar? Masih kecil, belum bisa menghitung kutu. Enggak boleh pacaran. Kalau sudah bisa hitung kutu, nah, langsung kawin tuh,” kata Ayu mengelak agak panjang.

“Aaah, kura-kura,” kata Tina dengan lirikan dan senyuman mengejek.

“Nih, tiga set!” kata Kunoto sambil memberikan setumpuk buku kepada Ayu.

Ayu dan Tina lalu memeriksa buku yang mereka butuhkan itu.

“Bang Ku benar semua!” puji Ayu.

“Buntut, Bang!” kata Tina.

“Hah?” Kunoto bertanya karena tidak mengerti maksud dari perkataan Tina.

“Maksud Tina bungkus, Bang. Hahaha!” ralat Ayu.

“Iya,” sahut Tina.

Kunoto segera membungkus tiga set buku pelajaran itu.

“Berapa, Bang?” tanya Ayu.

“Lima belas ribu rupiah, sudah potong diskon,” jawab Kunoto.

“Nih, Bang. Saya genitin dua puluh ribu rupiah,” kata Tina sambil menyodorkan uang dua puluh ribuan.

“Genit apa?” tanya Kunoto, lagi-lagi dibuat tidak mengerti oleh perkataan Tina.

“Maksud Tina digenapin, Bang Ku,” ralat Ayu.

“Oooh. Memang suka bercanda ya Tina,” kata Kunoto.

“Penyakit saya, Bang Ku. Suka salah-salah kota kalau ngomong,” kata Tina.

“Oh, ada ya sakit begitu?” tanya Kunoto seakan tidak percaya.

“Buktinya saya,” tandas Tina.

“Apa lagi, Tina?” tanya Ayu.

“Buku ini,” jawab Tina, lalu mengambil sebuah buku tebal, yang warnanya sudah kuning karena terlalu tua.

“Pintu Setan Kuning. Buku apaan tuh, Tina?” tanya Ayu setelah membaca judul buku tersebut.

“Buku novel kolor,” jawab Tina.

“Hahahak…!” tawa Ayu dan Kunoto bersamaan.

“Bukan kolormu, tapi horor, Tina!” ralat Ayu sambil tertawa kencang.

“Tapi itu mahalan dikit, sepuluh ribu, mau ambil?” tanya Kunoto.

“Iya,” jawab Tina.

“Banyak duit kamu, Tina,” komentar Ayu.

“Rezeki anak santet,” jawab Tina kalem.

“Hahaha!” tawa Ayu dan Kunoto. “Anak saleh, bukan anak santet, Tina!”

“Hahaha!” Tina hanya tertawa santai. (RH)

NTT 2: Trio Antik

*Negeri Tanpa Tahun (NTT)*

 

Episode 2 dibintangi oleh:

1.      Tina Cihuy

2.      Ayu Nostalgia

3.      Salman Alfarisy

 

Hari ini Senin, 17 Juli 1995. Semua siswa di semua sekolah pasti berangkat sedikit lebih awal, supaya tidak ditutupi pintu gerbang karena datang telat di saat upacara bendera sudah dimulai. Tidak terkecuali bagi para siswa dan siswi SMPN 2 Kalianda.

Di antara para siswa itu adalah dua sahabat kental yang sering bertengkar karena salah paham dan salah mengerti, yakni Tina Cihuy dan Ayu Nostalgia. Keduanya berjalan berdampingan menuju gerbang sekolah yang keberadaannya sekitar seratus meter dari jalan raya Trans Sumatera.

“Yuuu! Tin-tin-tinaaa!” teriak siswa bertubuh kurus, berkulit cukup hitam, tapi model wajahnya punya rasa-rasa India atau Arab. Hidungnya mancung dengan rambut yang keriting. Ia yang bernama Salman Alfarisy, murid kelas 2B.

Salman, sapaan akrabnya, adalah sahabat kental dari Tina dan Ayu. Akan tetapi, dia tidak satu kelas dengan Tina dan Ayu yang kelas 2A. Itu karena level kecerdasannya dengan kedua sahabat lawan jenisnya itu bisa dibilang sama saja.

“Salaman dalang!” ucap Tina sambil berhenti berjalan.

“Hahahak! Kalau emaknya sampai tahu anaknya dibilang dalang kawinan, nanti enggak bakal dapat kado agustusan kamu, Tina,” kata Ayu.

“Itu kan di luar kendali. Emaknya Salaman mah ngerti saya. Hehehe…!” kata Tina bela diri.

Setelah berlari kecil, akhirnya Salman Alfarisy sampai ke depan Tina dan Ayu.

“Hahaha! Bububu…” ucap Salman Alfarisy yang aslinya gagap dan palsunya bicara lancar.

“Bubur?” tanya Ayu memotong.

“Bu-bu-bukan, tapi bu-bu-buku pe-pe-pes….”

“Mana ada buku dipepes? Hahahak!” potong Ayu lagi lalu tertawa terbahak bersama Tina.

“Buku pesek tahu. Hahaha!” timpal Tina yang kian memperparah tawa mereka.

“Hahaha!” Salman hanya ikut tertawa keras. Ia sudah biasa dicandai oleh teman-temannya dengan format seperti itu. Jadi ia pun menikmati sebagai leluconan di antara mereka. “Pe-pe-pesanan saya!”

“Ada,” jawab Tina sambil membuka tasnya.

“Be-be-be....”

“Bebek?” potong Ayu lagi.

“Ih, bu-bu-bukan. Ma-ma-maksud saya be-be-berapa?” tandas Salman penuh perjuangan.

“Nih, saya geliin,” kata Tina.

“Beliin maksudnya,” ralat Ayu. Ia lalu protes, “Wuiiih, Salman kamu beliin. Saya yang ngantar sampai pasar, sampai tetes keringat penghabisan, ditegain kaya mentega!”

“Kalau lihat kamu, saya kan berani tega. Tapi kalau lihat Salman, saya birahi, Sayang,” jawab Tina seraya senyum buatan kepada Ayu.

“Eh, Tina ngomong jorok!” tukas Ayu sambil menunjuk wajah cantik Tina.

“Tina ngo-ngo-ngomong jo-jo-jorok!” tuding Salman pula.

“Iiih, memang saya ngomong apaan?” tanya Tina mengelak.

“Bi-bi-bi….”

“Bini?” terka Tina memotong pula.

“Birahi!” jawab Ayu tegas.

“Siapa yang ngomong birahi? Ih, amit-amit. Saya itu ngomong berani, Sayang,” tandas Tina.

“Dasar!” rutuk Ayu.

Tina lalu memberikan tiga buku bekas yang kemarin ia dan Ayu beli di pasar.

“Ibu Mo-mo-mo….”

“Monyet?” terka Ayu memotong.

“Waaah! Bu Mona dibilang mo-mo-monyet! Hahahak! Pa-pa-parah Ayu!” teriak Salman sambil menunjuk wajah Ayu. Ia terus berjalan mundur di depan kedua sahabat perempuannya itu.

“Awas kalau ngadu!” ancam Ayu seraya melotot kepada Salman.

“Enggaaak! Addaw!” teriak Salman lalu jatuh terduduk karena tumitnya tersandin batu jalanan.

“Hahaha!” tawa Tina.

“Hahahak!” tawa Ayu lebih terbahak.

“Kenapa enggak bilang kalau ada batu?” tanya Salman kesal sambil berdiri.

Ia lalu menepuk-nepuk celana putihnya yang kotor.

“Itu bisa lancar momongnya!” kata Tina terkejut.

“Iya ya. Kok bisa lancar ngomongnya?” tanya Ayu heran pula.

“Ka-ka-kalau habis ja-ja-jatuh, biasanya gagap sa-sa-saya jadi sembuh,” jawab Salman. Kini ia berjalan normal maju ke depan, bukan maju ke belakang.

“Jatuh saja telur, biar momongnya enggak kesandung-sandung!” kata Tina.

“Terus, bukan telur, Tina!” ralat Ayu.

“Salah sedikit aja kamu sewotin,” ketus Tina.

“Bukannya dari dulu begitu?” debat Ayu.

“Hahahak!” tawa terbahak Salman.

“Giliran ngetawain kita, kamu mah enggak gagap, Salamun ‘alaik,” kata Ayu.

“Hahaha!” tawa Salman lagi. “Itu ka-ka-kalau jantung saya la-la-lagi girang.”

“Seperti tante-tante saja,” kata Ayu.

“Kok tan-tan-tante, Yu?” tanya Salman.

“Lah iya, tante-tante girang,” jelas Ayu.

“Hahaha!” Meledaklah tawa mereka bertiga, sampai-sampai siswa lain yang lewat memerhatikan mereka.

“Te-te-terima kasih loh, Tina,” ucap Salman.

“Terima gaji apa, Sal?” tanya Tina.

“Ini, bu-bu-buku sudah dibeliin,” jawab Salman.

“Salman-salman, Sal. Semoga kamu cepat dewata, terus nikah. Pasti gagap kamu sembuh,” kata Tina dengan kata-kata yang salah.

“Naaah! Tina mikirnya pasti joroook! Mikirnya sudah dewasa-dewasaan dan nikah-nikahan,” tuding Ayu lagi.

“Ih, siapa yang mikir jorok? Kamu tuh yang tafsirnya multi talenta!” balas Tina.

“Eh eh eh! Ki-ki-kita bertiga bikin grup yuk!” ajak Salman.

“Buat apaan?” tanya Tina.

“Biar ke-ke-keren aja, seperti Trio Kwek Kwek,” jawab Salman sambil nyengir sapi. “Na-na-nanti, kalau ada tu-tu-tugas dari guru, ki-ki-kita kerjain ba-ba-ba….”

“Bareng?” terka Ayu memotong.

“Be-be-benaaar. Se-se-seratus buat Ayu!” sorak Salman.

“Dosa ngerjain Guru, Sal!” hardik Ayu.

“Bu-bu-bukan ngerjain gu-gu-gu....”

“Guguk?” potong Ayu tidak beradab.

“Bukan ngerjain gu-gu-guru, tapi ngerjain tu-tu-tugasnya,” ralat Salman.

“Bokek,” kata Tina setuju.

“Boleh, bukan bokek!” ralat Ayu. Lalu katanya menanggapi, “Ayo banget. Jadi saya bisa ketemu terus dengan Salman.”

“Hahaha!” tawa Salman.

“Mau buat grup apa? Ninja Kids? Kura-Kura Tinja? Atau Geng Iguana?” tanya Tina.

“Hahahak!” tawa Ayu dan Salman.

“Kura-Kura Ninja, bukan Kura-Kura Tinja! Tina pikirannya jorok terus, sejorok kukunya,” kata Ayu.

Tina lalu melihat kukunya yang dikutek pink.

“Ah, kuku saya cantik-cantik saja, secantik orangnya,” kata Tina.

“Hmmm, cantik dari Somalia,” kata Ayu. Lalu tanyanya kepada Salman, “Grup apa?”

“Bagaimana kalau Tetete… Terio Antik?” usul Salman.

“Trio Antik?” tanya Ayu.

“Iya,” angguk Salman.

“Kenapa pilih nama Trio Udik?” tanya Tina.

“Trio Antik, Tinaaa!” tandas Ayu.

“Ka-ka-karena Ayu seksi,” jawab Salman.

“Wow!” pekik Ayu bergaya genit sambil menepak pinggulnya.

“Tina li-li-lidahnya terkilir dan saya li-li-lidahnya istime-me-mewah,” jelas Salman.

“Hahahak!” tawa Tina dan Ayu bersama.

“Kamu mah lidahnya kesandung-sandung. Istimewa dari mana?” sergah Ayu.

“Da-da-dari Somalia. Hahaha!” kata Salman yang memancing mereka tertawa bersama lagi.

“Setuju!” kata Tina.

“Sedelapan!” kata Ayu juga.

“Setuju, bukan sedelapan, Ayuuu!” ralat Tina membalas Ayu.

“Iya, saya juga tahu, Tina Sayaaang! Saya sengajaaaa!” kata Ayu.

“Hahaha!” tawa Salman. (RH)

NTT 3: Hukuman untuk Tina

*Negeri Tanpa Tahun (NTT)*

 

Episode 3 dibintangi oleh:

1.      Tina Cihuy

2.      Ayu Nostalgia

3.      Salman Alfarisy

4.      Ausyana

5.      Prastyo

6.      Sutan Indra Piliang

7.      Bimo Azar

8.      Rara Dina

9.      Musdahlifa

10.  Okky Sukma

 

Di ruang kelas 2A SMP Negeri 2 Kalianda, sedang berlangsung proses belajar mengajar mata pelajaran PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan).

Okky Sukma, sebagai guru mapel PPKn, sedang mengevaluasi ke-31 murid di kelas itu dengan berbagai pertanyaan lisan.

“Sebelum PPKn, kita mengenal mata pelajaran ini dengan nama apa?” tanya Okky Sukma secara umum.

“Pendidikan Moral Pancasila, Bu!” sahut Prastyo menjawab dengan cepat. Dia ketua kelas.

“Good! Very good!” puji Okky.

“Mantap kali kau, Ketua!” sahut Sutan Indra Piliang yang duduk sendirian di bangku belakang.

“Pertanyaan berikutnya. Tahun berapa PMP diganti PPKn? Ausyana!” tanya Okky Sukma lalu menyebut siswi tercantik di kelas itu.

“Tahun kemarin itu, Bu!” jawab Ausyana, siswi berkulit putih bersih dan bermata agak sipit ala-ala cewek Sumatera.

“Ya, tahun berapa?” tanya Okky Sukma lagi.

“Masa Ibu lupa?” kata Ausyana dengan kening mengerut.

“Iiiya, Ibu tahu. Tapi Ibu sedang tanya kamu, itu digantinya tahun beraaapaaa!” tandas Okky seraya sabar menahan kesal.

“1993!” jawab Ausyana bernada malas.

“Hahaha!” tawa sebagian murid kelas.

“Itu dua tahun yang lalu,” kata Bimo Azar.

“Sudah saya bilang tahun kemarin, Ibu masih minta tahun, jadi salah tahun saya. Sudah saya kasih hati, ibu malah minta jantung!” dumel Ausyana dengan wajah merengut. Lalu ralatnya, “Tahun 1994 yang benar, Bu!”

“Harus jelas, Aus. Kalau jawabannya hanya ‘tahun kemarin’, nanti kalau tahun depan Ibu tanya lagi dengan soal yang sama, jawaban itu pasti salah,” kata Okky Sukma.

“Ibu gantilah soalnya, kalau sama, bosanlah saya,” kata Ausyana lagi, tidak mau mengalah.

“Woi, Pacarku! Kau itu dibilangin sama guru, masih juga ngajak debat!” teriak Sutan Indra Piliang.

“Siapa pacarmu, hah?! Kita sudah cerai sebelum kenal!” hardik Ausyana sambil menengok ke belakang.

“Sudah, kita lanjutkan!” seru Okky menenangkan pertengkaran itu. “Soal berikutnya: Semua sama di mata hukum. Anak nelayan yang mencuri dan anak pejabat yang mencuri, harus sama-sama diii…. Tina!”

“Dihamili, Bu!” jawab Tina yakin.

“Hahaha…!”

Seisi kelas tertawa kencang, kecuali Tina dan Okky Sukma.

“Tina! Jangan jawab sembarangan!” bentak Okky Sukma marah.

Tina diam mendelik, tidak berani berkilah. Ia takut salah kata lagi.

“Maksud Tina, jawabannya adalah ‘diadili’, Bu,” bela Ayu meralat.

“Pembelaan Ayu ditolak, Bu. Terbukti Tina menjawab dalam kondisi sadar dan berakal!” teriak Sutan Indra.

“Enggak pingsan maksud kamu? Awas kamu, Sutan, saya piting nanti pulang!” ancam Ayu, pembela setia Tina.

“Tina, maju!” perintah Okky Sukma tegas.

“Eksekusi! Eksekusi!” seru Prastyo seperti rakyat yang menyaksikan acara hukuman mati di Kekaisaran Romawi.

“Parah banget Ketua Kelas, anak perempuan orang mau dieksekusi,” ucap Rara Dina.

“Hukum mati! Hukum mati!” teriak Sutan Indra pula.

“Kamu yang saya hukum mati!” teriak Ayu marah kepada Sutan.

Ia lalu berlari ke belakang mengincar Sutan yang duduk sendiri di bangku belakang.

“Bu Okky, tolooong!” jerit Sutan sambil buru-buru menjauh dari Ayu, sehingga mereka berseberangan meja.

Ayu siap menerkam dan Sutan siap menghindar.

“Ayu!” seru Okky Sukma.

“Itu anak kalau mulutnya belum disumpal pakai sepatu, saya belum bahagia, Bu!” sahut Ayu.

“Iya, tapi jangan rusuh juga dong di pelajaran Ibu!” kata Okky Sukma.

“Siap, Bu!” sahut Ayu.

“Kembali ke kursi!” perintah Okky Sukma.

“Siap, Bu!” jawab Ayu lagi.

Ayu pun kembali pulang ke kursinya di deretan depan.

“Selamat saya,” ucap Sutan Indra lega.

“Sutan!” sebut Okky Sukma.

“Iya, Bu!” jawab Sutan Indra.

“Jaga omongan kamu!” pesan Okky Sukma tegas.

“Okke, Bu,” jawab Sutan Idra.

“Tina, maju untuk dihukum!” perintah Okky Sukma.

“Iya, Bu,” sahut Tina dengan lemah dan sedih. Ia pun beranjak dari duduknya dan pergi ke hadapan Okky Sukma.

“Sebagai hukuman, tolong kamu ambilkan ibu segelas air putih!” perintah Okky Sukma.

“Iya, Bu,” ucap Tina seraya tersenyum.

“Hahahak…!” tawa Ayu cukup panjang.

*****

 

Sepulang sekolah, Trio Antik (Tina Cihuy, Ayu Nostalgia dan Salman Alfarisy) belajar kelompok di rumah Tina. Mereka dapat PR IPA dari Ibu Anna Maharani.

Tina dan Ayu beda kelas dengan Salman, tapi dapat tugas yang sama.

“Sambil disedot sirupnya, digigit mie ronggengnya, ya,” kata Musdahlifa, ibu dari Tina. Ia meletakkan jamuan buat anak-anak di meja ruang tamu.

“Mie goreng, Bu, bukang mie ronggeng!” ralat Tina.

“Hahaha!” tawa Ayu.

“Hehehe!” kekeh Salman pula.

“Harap maklum ya, Nak Salman. Tina sama Ibu termasuk keluarga pesurak kosa kata bahasa Indonesia. Memang bawaan radi orok. Hihihi!” ucap Musdahlifa lalu tertawa malu sendiri.

“Iya, Bu. Sa-sa-saya juga pe-pe-penghancur. Ma-ma-malah lebih pa-pa-parah,” kata Salman, berusaha menghibur.

“Ibu tinggal ya. Kalau mie ronggengnya kurang, nanti Ibu masak gali,” kata Musdahlifa.

“Kalau kurang, biar Ayu yang masak, Bu. Biar enggak kurang porsinya. Hahaha!” seloroh Ayu.

“Ayu mah jatuhnya tiga porsi, Bu. Satu porsi mah cumi buat sesajen,” timpal Tina.

“Woiiit! Kamu kira saya wewe lele yang doyan sesajen?” sahut Ayu sewot.

“Sa-sa-sa….”

“Sapi?” tanya Ayu memotong perkataan Salman.

“Bu-bu-bukan. Sa-sa-sajen mania! Hahaha!” kata Salman lalu tertawa sendiri.

“Yaudah, lanjutin bejalarnya,” kata Musdahlifa lalu berjalan ke dalam.

“Sampai mana tadi?” tanya Tina.

“Nomor lima,” jawab Ayu.

“Gambarlah alat reproduksi katak,” baca Salman.

“Ih keren, Salaman momongnya lancar!” sorak Tina.

“Itu kan ka-ka-kalau ba-ba-baca!” dalih Salman.

“Ya udah, kamu kalau ngomong, baca buku saja, Sal!” kata Ayu.

“Hahaha! Ba-ba-baca buku ba-ba-bahasa Inggris?” sahut Salman.

“Baca buku separah aja,” timpal Tina pula.

“Buku sejarah, Tina,” ralat Ayu.

“Iya, maksud saya itu,” kata Tina seraya tersenyum.

“Kalau ibu kamu, yang meralat kamu. Kalau kamu, yang meralat saya,” kata Ayu.

“Kalau Ayu, yang lalatin Salmon, eh Salaman. Hahaha!” kata Tina.

“Sa-sa-salmon? Waaah dimarahin pa-pa-pacar saya loooh!” kata Salman.

“Siapa?” tanya Tina.

“Na-na-namanya Ausyana,” jawab Salman seraya tersenyum malu kambing.

“Hahaha! Kirain Ayu,” kata Tina.

“Kalau saya juga, enggap apa-apa. Hahaha…!” kata Ayu genit. “Bapaknya Salman kan juragan pisang.”

“Oooh, kirain juragan kingkong!” kata Tina.

“Singkong, Tinaaa, bukan kingkong!” ralat Ayu.

“Iyaaa!” teriak Tina pula, tanda mengerti tapi rada sewot. Lalu katanya kepada Salman, “Sal, gambarin ya. Anggap aja biaya sewa.”

“Si-si-siap!”

“Sambal nunggu, saya baca novel ya,” kata Tina sambil meraih buku tua yang dibelinya kemarin di pasar. Ia membaca judul novelnya, “Pintu Setan Kuning.”

“Awas, nanti malam setannya datang loh, Tina,” kata Ayu.

“Kalau datang saya suguhin mie ronggeng. Hahaha…!” kata Tina berseloroh lalu tertawa sendiri.

“Ke-ke-kenapa enggak disuruh ga-ga-gambar reproduksi manusia saja?” tanya Salman.

“Pasti mikirnya jorok!” tukas Ayu sambil menujuk wajah Salman.

“Hahaha…!” tawa Salman kencang.

“Wuiiih! Bagus nih ceritanya. Batu mulai, ***** sihirnya sudah baca mandra!” kata Tina heboh sendiri.

“Hahaha…!” tawa Ayu dan Salman.

“Tina ngomong jorok!” tukas Ayu lagi.

“Ngomong jorok apa?” tanya Tina mendelik.

“Tadi nyebut ini!” jawab Ayu sambil menusuk dada Tina.

“Aw! Sembarangan main tusuk!” bentak Tina. “Jorok apaan? Tadi saya ngomong nenek sihir kok!”

“Nanti kalau saya sebutin, malah saya yang dibilangin jorok,” kata Ayu.

“Dengarin nih manteranya, lucu loh,” kata Tina sambil senyum sendiri. Lalu ia membaca mantera di dalam buku novel itu, “Tung tung tung. Bolak balik bolak balik. Nungging jungkir balik. Ka buka buka. Woi!”

Tiba-tiba buku novel di tangan Tina melompat sendiri dan kaget.

“Allahumma!” pekik Tina terkejut.

“Allahuakbar!” teriak Ayu pula terkejut. (RH)

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!