NovelToon NovelToon

Since You Married Me

Prolog

Zaya menghela nafasnya dalam, mengumpulkan segenap keberanian di dalam dirinya. Tampak ia mengeratkan genggamannya pada kotak kecil yang sedari tadi ia pegang.

Hari ini adalah hari ulang tahun Aaron, lelaki yang menikahinya sudah hampir tujuh tahun ini. Dan ya, saat ini ia tengah mengumpulkan nyali hanya untuk sekedar mengucapkan selamat ulang tahun dan memberikan kado untuk suaminya sendiri.

Jangan bilang itu terdengar aneh, karena pada kenyataanya, hubungan mereka berdua memang tidaklah seperti hubungan suami istri pada umumnya. Aaron menikahi Zaya hanya karena tanggung jawab yang harus dia penuhi, tidak lebih. Zaya pun tak pernah berani untuk berharap lebih.

Lalu kini, lagi-lagi Zaya harus berperang dengan batinnya sendiri, antara harus atau tidak untuk menyapa Aaron. Karena bagi Zaya, berbicara tatap muka dengan Aaron adalah hal yang lebih menegangkan ketimbang harus menghadapi ujian saat ia masih bersekolah dulu.

Jantung Zaya mendadak berpacu makin cepat saat Aaron turun dari lantai atas, tempat kamarnya berada. Dengan setelan berwarna navy yang sangat pas membalut tubuhnya dan rambut yang telah disisir rapi, Aaron tampak sempurna seperti biasanya.

Dengan langkah mantap, Aaron berjalan diiringi oleh Dean, asisten pribadinya. Ia berhenti sejenak di dekat meja makan, tempat di mana sedari tadi Zaya menunggunya dengan harap-harap cemas.

"Selamat pagi, Pa," sapa Albern, putra mereka yang telah berusia enam tahun lebih.

"Selamat pagi. Teruskan sarapanmu, Papa akan langsung berangkat ke kantor," jawab Aaron sambil sedikit mengusap pucuk kepala Albern.

"Baik, Pa." Albern menjawab patuh, kemudian melanjutkan sarapannya kembali.

"Apa kamu tidak sarapan dulu?" Zaya akhirnya memberanikan diri membuka suara.

"Tidak," jawab Aaron singkat sambil berlalu, diikuti Dean dari belakang.

Zaya kemudian beranjak dari duduknya dan buru-buru melangkah hendak menyusul Aaron.

"Aaron tunggu ...." Tanpa sadar Zaya memanggil Aaron. Seketika Aaron pun menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Zaya dengan sedikit mengerutkan alisnya.

"Kenapa?" tanyanya. Datar dan dingin seperti biasa.

"Aku ...." Zaya menghentikan langkahnya tepat di hadapan Aaron, tampak kesulitan merangkai kata-kata.

"Waktumu dua menit," ujar Aaron. "Dan sebaiknya ini hal yang penting," tambah Aaron lagi tepat di saat Zaya hendak mengatakan sesuatu.

Seketika Zaya kembali menutup mulutnya. Tiba-tiba keberanian yang telah ia kumpulkan dengan susah payah tadi menguap entah kemana melihat tatapan mata Aaron yang tajam namun tak terbaca. Zaya pun bimbang apakah ucapan selamat ulang tahun darinya untuk Aaron bisa dibilang penting atau tidak. Pasalnya, Aaron sendiri tidak pernah merayakan hari ulang tahunnya secara pribadi.

"Aku ... aku ...." Entah kenapa sangat sulit bagi Zaya untuk menyusun kata menjadi sebuah kalimat, seakan ia adalah balita yang baru belajar bicara.

Aaron pun menunggu dengan tatapan yang semakin sulit diartikan.

"Tidak, maaf ... ini tidak begitu penting." Zaya akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sedikit menundukkan wajahnya untuk menghindari tatapan Aaron.

Terdengar Aaron sedikit menghela nafas dan kembali melanjutkan langkahnya menuju mobil.

"Maaf, Nyonya. Hari ini Tuan sedang ada rapat dengan para pemegang saham, jadi beliau sedang terburu-buru. Saya harap Nyonya bisa memaklumi." Suara Asisten Dean membuat Zaya kembali mengangkat wajahnya, dan ternyata asisten suaminya itu masih berada di hadapannya.

Zaya mengulas senyum canggung.

"Ah iya, tentu saja," jawabnya.

"Kalau begitu, saya permisi, Nyonya. Tuan sudah menunggu," pamit Asisten Dean. Ia pun sedikit membungkukkan tubuhnya hormat kepada Zaya sebelum akhirnya menyusul Aaron masuk ke dalam mobil.

Zaya memandangi mobil suaminya melaju hingga hilang ditelan pepohonan rindang yang tumbuh di sekitaran rumah mereka. Dihelanya nafas dalam dan dipandanginya kotak kecil yang sedari tadi ia sembunyikan dengan satu tangan di belakang tubuhnya. Setelah bertahun-tahun lamanya, tetap saja ia tak punya keberanian untuk sedikit saja menunjukkan perasaanya kepada Aaron, bahkan hanya sekedar memberikan kado dan ucapan selamat ulang tahun sekali pun.

Zaya tersenyum miris dan melangkah kembali masuk ke dalam rumahnya. Dilihatnya Albern telah menyelesaikan sarapannya dan bersiap hendak ke sekolah dibantu sang pengasuh.

"Sayang, sudah siap, ya?" tanya Zaya berbasa-basi.

"Iya, Ma," jawab Albern.

Zaya mendekati Albern dan sedikit membenahi seragam yang dikenakan putranya itu.

"Nanti Mama jemput, oke?" ujar Zaya sambil mengulas senyuman manis.

"Tidak perlu, Ma. Nanti Grandma yang akan jemput Al, Grandma juga yang akan antar Al buat pelajaran tambahan," jawab Albern.

Zaya kembali tersenyum, meski kali ini sedikit dipaksakan.

"Baiklah, sayang. Hati-hati." Zaya akhirnya juga melepas kepergian Albern ke sekolahnya, lagi-lagi dengan helaan nafas.

Bahkan untuk dekat dengan putranya sendiri pun sangat sulit baginya. Karena apa yang dilakukan Albern setiap harinya semua telah diatur oleh seseorang yang Albern panggil Grandma, ibu mertua Zaya. Ya, Aaron memang telah mempercayakan Albern untuk diurus oleh ibunya ketimbang Zaya, ibu kandung Albern sendiri. Sedari Albern bayi, Zaya tidak terlalu dilibatkan dalam mengurus Albern, bahkan Albern lebih sering minum asi yang telah dipompa terlebih dahulu ketimbang menyusu langsung pada Zaya.

Segala kebutuhan Albern telah ada yang mengurusnya tanpa perlu Zaya melakukan apa-apa. Dari mulai memandikan, menyuapi makan dan mengajak bermain. Masing-masing sudah ada yang bertugas melakukan semua itu, dan mereka semua adalah ahli yang bersertifikasi.

Hingga akhirnya Zaya hanya bisa menjadi penonton tanpa bisa ikut andil dalam tumbuh kembang Albern. Zaya sadar, Albern adalah pewaris selanjutnya dari Brylee Group yang harus dididik dengan benar agar bisa mengemban tugas yang diberikan padanya kelak. Itulah sebabnya ia tak pernah protes dengan setiap hal yang diatur Aaron dan ibu mertuanya untuk Albern. Meskipun tak jarang ia menatap Albern dengan berurai airmata dari kejauhan.

Ya. Biar bagaimanapun Zaya tetaplah seorang ibu yang seringkali merindukan putranya. Zaya ingin selalu dekat dengan Albren, ingin memeluk dan mencium Albern seperti yang ibu-ibu lain lakukan pada putranya. Tapi hal sederhana itu sungguh terasa mahal bagi Zaya.

Antara Zaya, Aaron dan Albern, meski mereka hidup satu atap dan berstatus satu keluarga, tapi ada dinding pemisah tak terlihat yang membuat mereka terpisah. Meski dekat, suami dan putranya itu sangat sulit untuk Zaya gapai, seolah mereka hidup berdampingan dalam dunia yang berbeda. Hingga sulit bagi Zaya untuk mendekat meski ia telah berusaha.

Begitulah Zaya setiap harinya, berusaha untuk mendekatkan diri pada suami dan putranya sendiri, meski tetap saja mereka menjadi dua orang yang tak tersentuh oleh Zaya.

Dan kini, sepeninggalan suami dan putranya, Zaya melangkah gontai menaiki tangga menuju kamarnya, meninggalkan sarapan pagi yang belum sempat ia mulai

Zaya memasuki kamarnya dan duduk di meja rias. Tangannya membuka laci paling bawah meja riasnya. Tampak telah ada lima kotak kecil berjajar di dalam laci tersebut. Zaya meletakkan satu lagi di sana. Itu adalah kado ulang tahun yang telah disiapkan Zaya untuk Aaron di tahun-tahun sebelumnya sejak ia menjadi istri lelaki itu, tapi tak pernah ia berikan pada orangnya.

Zaya tak punya cukup keberanian untuk menunjukkan perasaannya pada Aaron. Ia terlalu takut Aaron akan merasa terganggu dan marah padanya. Perasaannya yang dalam pada Aaron membuatnya lemah dan hanya mampu menerima apa pun yang Aaron berikan padanya.

Hampir tujuh tahun sudah Zaya mencintai Aaron dalam diam, berharap suatu hari Aaron akan membalas perasaannya dan mereka menjadi pasangan suami istri yang sesungguhnya. Tapi sejauh ini, Zaya harus menerima kenyataan bahwa baik Aaron maupun Albern, keduanya adalah gunung es yang tidak bisa dicairkan oleh kehangatan Zaya.

Entah sampai kapan Zaya akan memendam perasaannya pada Aaron. Zaya sendiri pun tidak tahu. Baginya, setiap hari bisa melihat kedua malaikatnya itu saja sudah membuatnya bahagia. Dan ia tak membutuhkan yang lain lagi.

Bersambung ....

Hai, semuanya. Ini adalah karya pertama Author. Mohon untuk memberikan kritik dan sarannya, ya. Dan jika berkenan, Author sangat senang kalau ada yang sudi like, koment dan kalau bisa vote juga😅

Jangan lupa favorite sama kasih bintang 5, ya.

Happy reading❤❤❤

Awal Pertemuan

Zaya Diandra, itulah nama yang tercantum pada kartu identitas milik Zaya. Ia sendiri tidak tahu pasti siapa sebenarnya yang memberikan nama itu padanya. Ibunya, kah? Ayahnya? Atau pengurus panti yang telah membesarkannya selama ini.

Zaya memang salah satu penghuni dari sebuah panti asuhan yang terletak di pinggiran kota. Sejak kecil Zaya tidak pernah tahu siapa orang tua kandungnya, karena sejauh Zaya bisa mengingat, ia hanya mempunyai memori tentang panti asuhan saja. Tidak pernah sekali pun ia bisa mengingat seperti apa wajah kedua orang tuanya.

Menurut cerita yang dikatakan oleh pengurus panti, kedua orang tua Zaya meninggal karena sebuah kecelakaan lalu lintas, saat usia Zaya masih sangat kecil. Lalu karena keduanya sama-sama tidak memiliki keluarga, akhirnya salah seorang kenalan dari orang tua Zaya menyerahkan Zaya kecil pada pihak panti untuk diasuh.

Tapi sejujurnya, Zaya sendiri agak meragukan cerita itu, karena di sisi lain, teman-temannya seringkali mengejeknya dengan mengatakan bahwa dirinya adalah anak hasil hubungan gelap yang sengaja dibuang ibunya sendiri karena malu. Zaya yang awalnya ingin tahu tentang asal-usulnya akhirnya memilih untuk tidak ambil pusing dan tidak mencari tahu lagi. Pasalnya, ia tidak ingin mendapati kenyataan buruk lain yang bisa membuatnya semakin terpuruk.

Zaya sendiri sebenarnya memiliki paras yang cukup manis. Rambutnya hitam dan lebat, hidung mungil, serta bibir tipis berwarna kemerahan alami, yang pastinya tidak akan disukai oleh produsen lipstik. Belum lagi matanya yang besar dan jernih, membuatnya lebih terlihat seperti manekin hidup. Satu-satunya hal yang membuatnya sering diejek tentang tubuhnya adalah berat badannya yang di bawah rata-rata.

Saat kecil ia sering dijadikan bahan lelucon dengan julukan 'Tulang Belulang' atau 'Manusia Kurang Makan'. Zaya tak menampik julukan itu, terutama yang ke dua, karena pada kenyataannya Zaya memang seringkali kekurangan makanan dan terpaksa harus menahan lapar. Itu jugalah yang akhirnya membuat Zaya memutuskan untuk belajar mencari uang sendiri saat ia memasuki sekolah menengah. Mulai dari menerima jasa mencuci dan menyertika, hingga menjajakan roti saat hari minggu atau hari-hari libur lainnya.

Seringkali Zaya kelelahan karena tak punya waktu untuk beristirahat, tapi setidaknya saat panti sedang kekurangan persediaan makanan, ia bisa membeli sendiri makanan dan tak perlu lagi menahan lapar seperti sebelumnya.

Jangan tanya prestasi Zaya di sekolah. Otaknya yang pas-pasan ditambah dengan waktu belajarnya yang bisa dibilang tidak ada, membuat pencapaian Zaya dalam menguasai bidang mata pelajaran sangatlah memprihatinkan. Bahkan tak jarang guru sekolah Zaya memergoki gadis itu tertidur di dalam kelas saat pelajaran sedang berlangsung. Hal itu membuat Zaya sering ditegur dan tidak disukai di kalangan para guru.

Tentu Zaya sangat tahu diri. Ia tak memimpikan hal yang muluk untuk sekolahnya, cukup tak pernah tinggal kelas saja sudah merupakan sebuah keberuntungan buatnya.

Keadaan Zaya itu pun berlangsung hingga ia menyelesaikan sekolah menengahnya dan melanjutkan ke jenjang menengah atas.

 

___________________________________________

 

Hari itu, sama seperti hari-hari libur lainnya, di saat teman-teman sekelasnya sibuk dengan liburannya masing-masing, Zaya justru tengah berkeliling menjajakan dagangannya. Zaya yang saat itu berusia tujuh belas tahun, menjinjing dua buah keranjang roti yang bermuatan penuh di kedua tangannya.

Peluhnya bercucuran, tapi tak membuat semangatnya surut untuk terus melangkah. Kaki kurusnya berjalan menyusuri trotoar, menawarkan pada siapa saja yang lewat untuk membeli dagangannya. Tapi sepertinya ia sedang tidak terlalu beruntung, pasalnya sudah hampir tengah hari, roti dagangannya masih belum terlalu banyak yang laku.

Akhirnya karena lelah, Zaya pun memilih duduk di bawah sebatang pohon dengan menjulurkan kedua kakinya. Ditenggaknya air minum yang ia bawa dari rumah sampai tandas. Dan disekanya peluh yang sedari tadi membanjiri dahinya dengan punggung tangan.

Zaya menengadahkan wajahnya sembari memejamkan mata, berharap keajaiban datang dan dagangannya segera habis agar ia bisa pulang dengan membawa sedikit uang. Tapi tiba-tiba sekumpulan remaja laki-laki datang menghampiri Zaya. Sontak Zaya langsung berdiri dan meraih kedua keranjang dagangannya.

"Woy, ada roti, nih!" seru salah satu dari para pemuda itu.

Zaya mengedarkan pandangannya ke segala arah, berharap bisa mencari pertolongan, tapi dilihatnya jalanan sekitaran situ sepi. Rupanya karena lelah, Zaya tanpa sadar telah memasuki kawasan yang sering terjadi tindak kejahatan.

"Kebetulan sekali belum makan siang, hari ini makan roti kita," tambah pemuda yang lain menimpali.

Wajah Zaya tampak cemas, ia tak ingin rugi lagi seperti sebelumnya. Sekumpulan anak jalanan itu telah beberapa kali membuatnya harus mengganti rugi karena memakan roti-roti dagangan Zaya tanpa memberi uang. Bukan karena tak punya uang, tapi karena tindakan premanisme yang telah mendarah daging pada diri anak-anak jalanan ini, sehingga mereka lebih suka menjarah daripada membeli.

"Ayo, tunggu apalagi. Kemarikan rotinya!" Pemuda-pemuda itu pun mulai mengerubuti Zaya.

"Tidak boleh!!" Zaya berteriak lantang.

"Kalau mau roti, kasih uang dulu!" seru Zaya lagi.

"Oh ... sudah berani melawan kamu sekarang. Minta kita main kasar, ya!" herdik pemuda yang tubuhnya paling besar.

Zaya menelan ludahnya. Sebenarnya ia merasa takut menghadapi pemuda-pemuda jalanan ini, apalagi dirinya hanyalah seorang gadis, sendirian pula. Tapi rasa enggannya untuk kembali merugi membuatnya mau tidak mau harus melawan. Meski jika dilihat dari jumlah, perlawanannya dapat dipastikan akan sia-sia.

"Kalian makan tidak pernah bayar. Kalau mau terus-terusan seperti itu, aku rugi, tahu!" sergah Zaya

Pemuda bertubuh gempal itu mendelik. "Itu urusan kamu," sarkasnya sambil terbahak, diikuti tawa pemuda-pemuda yang lain.

"Dia lucu juga," ujar salah satu dari pemuda itu di sela-sela tawanya.

"Sudah, kemarikan rotinya. Habis itu kamu boleh pergi." Pemuda yang paling besar itu pun menarik keranjang dagangan Zaya.

Tentu saja Zaya tidak tinggal diam. Ditahannya keranjang miliknya, hingga terjadilah adegan tarik-menarik keranjang, sampai akhirnya kedua keranjang itu terlempar ke atas dan roti-roti di dalamnya berhamburan.

Zaya histeris. Bersamaan dengan itu, sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti di hadapan mereka. Sontak hal itu membuat para pemuda jalanan tadi berlari menjauh, menginjak-injak roti dagangan Zaya yang berserakan di tanah.

Zaya semakin histeris melihatnya. Dipungutinya roti-roti malang itu sebisa mungkin, meski sudah jelas terlihat mereka sudah tidak layak lagi untuk dijual.

Sementara Zaya sibuk dengan roti-rotinya, seorang laki-laki muda dengan setelan kantoran turun dari mobil menghampiri Zaya.

"Nona tidak apa-apa?" tanyanya.

Zaya mengangkat wajahnya sekilas dan menggeleng, lalu kembali memunguti roti-rotinya.

"Tidak ada yang terluka?" tanya laki-laki itu lagi.

"Tidak," jawab Zaya singkat.

Setelah selesai memunguti roti-rotinya dan memasukkannya kembali kedalam keranjang, Zaya pun berdiri dan hendak pergi dari tempat itu. Tapi belum sempat Zaya melangkah, tiba-tiba ia mematung saat pintu penumpang mobil mewah di hadapannya terbuka, dan nampak seseorang keluar dari sana.

Sosok laki-laki muda berbalut setelan jas abu-abu tua tampak melangkah dengan sangat berkharisma dan memancarkan aura yang begitu kuat. Wajahnya sangat sempurna, mengingatkan Zaya pada ilustrasi wajah Dewa Yunani Kuno yang pernah ia lihat di komik yang pernah ia baca. Tubuhnya tinggi dengan bentuk badan yang sangat proposional. Belum lagi kulit wajahnya yang halus dan bersih, seolah sosok di hadapannya ini tidak pernah terkontaminasi kotoran apapun.

Sekali lagi Zaya kesulitan menelan ludahnya. Ia membeku layaknya patung yang tak bisa bergerak, melupakan jika ia hendak pergi dari sana.

"Tuan muda, maaf Anda sampai ikut keluar." Laki-laki yang sebelumnya telah lebih dulu menghampiri Zaya, tampak sedikit membungkukkan badannya.

"Tidak apa-apa," jawab Lelaki berwajah bak Dewa Yunani itu. Suaranya berat, tapi sangat enak terdengar di telinga Zaya.

"Apa yang kau jual itu, Nona?" tanyanya kemudian pada Zaya.

Sontak Zaya sedikit tergagap.

"Ro-roti, Tuan," jawabnya terbata.

"Hm, boleh aku membelinya?" tanyanya lagi.

"Ya?"

"Roti itu, aku ingin membeli semuanya. Boleh, kan?"

Pertanyaan laki-laki rupawan itu sedikit membuat Zaya terperangah.

"Ta-tapi semua roti ini sudah tidak layak lagi, Tuan. Saya tidak bisa menjualnya," tolak Zaya kemudian.

Laki-laki itu sedikit menipiskan bibirnya, hampir menyerupai sebuah senyuman.

"Tidak masalah. Aku akan memberikan roti-roti ini pada ikan peliharaanku," ujarnya.

"Jadi, berapa harga semua roti-rotimu itu, Nona?" tanyanya lagi.

Zaya nampak agak ragu, tapi kemudian ia pun menghitung roti-rotinya.

"Semuanya seratus dua puluh ribu, Tuan. Tapi karena roti-roti ini sudah rusak, Anda cukup bayar separuhnya saja," jawab Zaya kemudian.

"Bolehkah?" Lelaki rupawan itu kembali bertanya sambil sedikit mengangkat satu alisnya.

"Iya," jawab Zaya mantap.

"Baiklah, kalau begitu." Lelaki rupawan itu kemudian mengeluarkan beberapa lembar uang kertas dari dompetnya dan menyerahkannya pada Zaya. Zaya menerimanya dengan tatapan bingung.

"Ini ... ini terlalu banyak, Tuan. Saya tidak bisa menerimanya." Zaya menyodorkan kembali uang itu.

"Itu termasuk uang untuk membeli keranjangnya sekalian," jawab lelaki rupawan itu sambil berlalu.

"Eh?" Zaya masih bingung dibuatnya tatkala laki-laki muda yang satunya lagi ikut berlalu sambil membawa roti-roti milik Zaya beserta keranjangnya.

Mobil mewah itu pun akhirnya pergi dari hadapan Zaya, meninggalkan Zaya yang masih termangu, mencoba mencerna apa yang baru saja dialaminya.

Sementara itu, di dalam mobil mewah yang tengah melaju, laki-laki muda yang duduk di samping kursi sopir tampak masih memandangi dua keranjang roti rusak di hadapannya.

"Tuan muda, apa Anda sungguh memelihara ikan?" tanyanya kemudian.

"Tidak," jawab sang tuan muda.

"Lalu, roti-roti ini?"

"Buang saja. Atau kau ingin meletakannya di museum? Terserah padamu."

Laki-laki muda itu pun menahan senyum. Di balik sifat dingin yang selalu tuan mudanya tampilkan, tidak disangka ia bisa melihat sisi lain dari majikannya itu. Sisi yang tak sengaja terlihat karena bertemu dengan gadis penjual roti yang sedang di-bully. Sejak saat itu, laki-laki muda itu percaya gadis penjual roti itu istimewa.

Bersambung ....

Sebuah Insiden

Setelah menyelesaikan sekolahnya, Zaya memutuskan untuk keluar dari panti dan hidup mandiri. Ia pun menyewa sebuah kontrakan murah dan bekerja serabutan.

Hingga akhirnya ia diterima bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran. Meski dengan gaji yang tak terlalu besar, tapi setidaknya ia bisa menyambung hidup dari bulan ke bulan. Bekerja dengan tak kenal lelah menjadi rutinitas Zaya setiap harinya. Menjadi pelayan di restoran sampai sore hari, dan bekerja paruh waktu pada malam harinya.

Dua tahun sudah Zaya menjalani kehidupan di luar panti, dan ia telah terbiasa hidup seorang diri tanpa menggantungkan diri pada siapa pun. Meski tak dipungkiri, seringkali Zaya merasa kesepian dan memimpikan sebuah keluarga. Beruntung lingkungan kerjanya cukup bersahabat, sehingga Zaya cukup merasa terhibur dengan kehadiran teman-teman kerjanya.

Sore itu, Seperti biasa, Zaya tengah bersiap-siap pulang setelah seharian bekerja. Sembari menunggu temannya bersiap, Zaya duduk menyaksikan acara yang tengah ditayangkan salah satu stasiun televisi yang berada di ruang istirahat karyawan restoran. Sebenarnya Zaya tidak terlalu memahami berita ekonomi yang ditayangkan, tapi kemudian berita selanjutnya membuat ia sedikit terpana.

Berita tentang pengangkatan pemimpin baru di sebuah perusahaan besar itu menyebutkan, bahwa Aaron Brylee telah secara resmi menggantikan ayahnya, Carlson Brylee, sebagai Direktur Utama di perusahaan Brylee group. Dan yang membuat Zaya terpana adalah sosok bernama Aaron Brylee tersebut tak lain adalah orang yang selalu Zaya ingat selama bertahun-tahun ini. Lelaki rupawan yang telah membeli dua keranjang roti rusak darinya. Lelaki yang telah menyelamatkannya dari kerugian hingga ia bisa membeli makanan pada malam harinya.

"Hei!" Sebuah tepukan di pundak menyadarkan zaya dari keterkejutannya. Tampak Kara, teman kerjanya tersenyum menggoda ke arahnya.

"Dia memang tampan dan kaya, tapi jangan sebegitunya juga. Kalau tidak berkedip, nanti matamu bisa iritasi," goda Kara sambil terkekeh.

Zaya mendelik. Kara memang suka bercanda. Sehingga hal apa pun tidak akan luput jadi bahan candaannya.

"Kalau aku bilang pernah bertemu langsung dengan orang di tv itu, kamu percaya?" tanya Zaya.

"Siapa? Aaron Brylee?" Kara balik bertanya.

Zaya mengangguk.

"Aku percaya. Dulu juga aku pernah bertemu Jack Ma, tapi dalam mimpi ...." Kara kembali terkekeh.

Zaya hanya bisa menggeleng. Sepertinya ia hanya akan jadi candaan Kara jika menceritakan yang sebenarnya. Untuk itu, Zaya lebih memilih untuk mengakhiri saja percakapan tentang Aaron Brylee dan segera pulang untuk beristirahat.

"Ayo pulang." Zaya beranjak, diikuti Kara yang masih sedikit terkekeh.

"Zaya, aku dapat tawaran menjadi pelayan di pesta perusahaan besok malam. Apa kamu mau ikut? Kebetulan mereka butuh dua orang lagi," tanya Kara saat mereka tengah menunggu bus di halte.

"Benarkah?"

"Iya. Temanku bilang upahnya lumayan. Dan lagi jika pesta berjalan mulus, kita bisa dapat tip." Kara nampak bersemangat.

"Kamu yakin kita bisa ikut? Bukannya mereka cuma pakai yang sudah berpengalaman?" Zaya terlihat sedikit tidak yakin.

Kara tersenyum.

"Tenang saja, aku punya orang dalam. Kalau kamu mau, kita tinggal datang saja. Pestanya di hotel bintang lima, banyak makanan enak." Kara mengedipkan matanya, dibalas dengan pelototan dari Zaya. Kemudian mereka pun sama-sama tertawa.

Keadaan ekonomi yang tidak terlalu baik membuat kedua gadis ini sangat jarang menikmati makanan enak. Jadi jangan heran jika mereka tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menyantap makanan enak, selama itu bukan dari mencuri.

"Baiklah, aku ikut," seru Zaya semangat, dibalas senyuman lebar dari Kara.

"Itu baru semangat," timpal Kara sambil terkekeh. Mereka kemudian kembali tertawa sampai akhirnya sebuah bus datang dan menghentikan celotehan keduanya.

Zara dan Kara pun masuk ke dalam bus sambil masih meneruskan obrolan ringan mereka. Melupakan sejenak lelah yang hinggap di tubuh mereka dan mencoba untuk memberi semangat satu sama lain. Dengan tertawa, mereka seolah ingin mengatakan pada dunia bahwa meski hidup mereka tak mudah, tapi mereka bisa tetap berdiri tegak dan mampu menghadapi semua kesulitan yang ada.

___________________________________________

Pesta yang diadakan oleh sebuah perusahaan properti itu pun berlangsung meriah. Banyak pengusaha dan orang-orang penting hadir. Dan di sinilah Zaya, dengan balutan seragam pelayan dan nampan berisi minuman d itangannya, ia berkeliling menghampiri para tamu jika saja ada yang menginginkan minuman.

Kakinya sudah terasa pegal karena sudah sangat lama berdiri dengan sepatunya yang mempunyai sedikit heels. Belum lagi karena sejak pagi ia bekerja terlebih dahulu di restoran, tubuhnya pun sudah terasa sangat lelah.

Zaya akhirnya memutuskan untuk membasuh mukanya di toilet agar sedikit lebih segar. Tapi alangkah terkejutnya Zaya saat mendapati seorang lelaki di dalam toilet wanita, sampai-sampai ia kembali membaca tulisan di pintu masuk toilet untuk memastikan jika ia tidak salah masuk ke dalam toilet pria.

"Apa yang Anda lakukan disini, Tuan? Ini toilet khusus perempuan. Apa Anda tidak membaca tanda di depan?" tanyanya kemudian.

Lelaki yang tengah berdiri di depan cermin dengan kedua tangan bertumpu pada wastafel itu sontak menoleh ke arah Zaya.

Zaya semakin terkejut kala melihat wajah lelaki itu.

"Tu -Tuan Aaron Brylee?" lirihnya tanpa sadar.

Aaron menatap jengah ke arah Zaya. Penampilannya sangat berantakan. Rambutnya kusut masai dan dasinya telah dilonggarkan dengan kemeja yang telah terbuka beberapa kancing di bagian atasnya. Keringat juga bercucuran di dahi lelaki itu. Mulutnya pun sedikit menggeram dan tatapannya terlihat sedikit sayu.

"Keluar," geramnya.

Zaya mengerutkan kening. Lelaki itu terlihat sedang tidak baik-baik saja.

"Apa Anda baik-baik saja, Tuan? Haruskah saya panggilkan bantuan?"

Aaron tampak memejamkan matanya seperti sedang menahan sesuatu.

"Aku bilang keluar!" kali ini ia sedikit berteriak. Tapi bukannya pergi, Zaya justru melangkah mendekatinya.

"Anda nampak sedang tidak sehat, Tuan. Mari saya bantu untuk menemui dokter." Mata Aaron membulat saat tangan Zaya dengan lancangnya meraba dahi Aaron untuk memeriksa suhu tubuhnya. Hal yang secara refleks Zaya lakukan tanpa berpikir apa-apa.

Sontak Aaron mencekal lengan Zaya dan memandang gadis itu dengan tatapan yang sulit untuk dijelaskan.

"Aku menyuruhmu menjauhiku, tapi kau malah menyentuhku ...." Aaron mendesis. "Sekarang jangan salahkan aku, Nona."

Zaya terpekik kaget saat Aaron secara tiba-tiba menyeret tubuhnya keluar dari toilet itu. Dicengramnya tangan Zaya kuat hingga memaksa Zaya tertatih mengikuti langkahnya yang lebar sambil berusaha melepaskan diri.

"Lepaskan saya, Tuan. saya hanya berniat membantu. Jika Anda tidak berkenan, maafkan saya." Zaya nampak ketakutan.

Aaron tak menghiraukan perkataan Zaya. Ia terus mencengkram dan menyeret Zaya hingga akhirnya sampai ke salah satu kamar hotel. Dengan cepat Aaron membuka pintu kamar tersebut menggunakan sebuah kartu tanpa melonggarkan cengkramannya pada lengan Zaya.

"Tuan, kenapa Anda membawa saya ke sini. Saya mohon lepaskan saya, Tuan." Zaya semakin ketakutan. Airmatanya jatuh tanpa aba-aba.

Aaron tetap tak peduli. Diseretnya Zaya masuk ke dalam kamar itu. Setelah ia mengunci kembali pintu kamar, ditariknya Zaya dan dihempaskannya ke atas tampat tidur.

Zaya terpekik. Sontak ia langsung mendudukkan diri dan beringsut mundur.

Aaron menatapnya tajam seperti hewan buas yang siap menerkam mangsanya.

Zaya semakin ketakutan dibuatnya. Nafasnya pendek-pendek menahan detak jantungnya yang berpacu cepat. Ia tak habis pikir, bagaimana lelaki yang pernah menolongnya tiga tahun yang lalu itu menjadi sangat mengerikan saat ini.

"Apa yang akan Anda lakukan, Tuan?" tanyanya lirih.

Aaron tak menjawab. Ia malah melepas sepatunya dan dengan cepat melepas paksa sepatu yang dikenakan Zaya, lalu melemparnya ke sembarang arah.

Dan tiba-tiba Zaya kembali terpekik saat Aaron merobek pakaiannya tanpa ampun.

"Hentikan, Tuan. Saya mohon jangan lakukan ini pada saya. Biarkan saya pergi!" Zaya berteriak ketakutan.

Tapi bukannya berhenti, Aaron malah semakin mencabik-cabik pakaian Zaya dan melepaskan paksa apa saja yang Zaya kenakan.

Setelah selesai melucuti Zaya, Aaron pun melucuti dirinya sendiri didepan Zaya. Lalu dengan buasnya ia menerkam Zaya hingga gadis itu menjerit-jerit ketakutan.

Zaya berontak sekuat tenaga, tapi ia kalah dari Aaron yang tenaganya berkali-kali lipat lebih besar dibandingkan dengan dirinya.

"Tuan ... hmmmpt ...."

Aaron membungkam mulut Zaya dengan mulutnya, ******* dengan kasar bibir gadis itu hingga membuatnya kehabisan nafas.

Airmata mengalir deras di pipi Zaya, tapi tak juga membuat Aaron berhenti. Malah semakin ganas memporak-porandakan pertahanan Zaya.

Zaya akhirnya pasrah karena telah kehabisan tenaga. Hanya tangisnya saja yang semakin kencang. Dan saat Aaron berhasil menembus bagian bawah tubuhnya, tak ada yang bisa ia lakukan selain menjerit pilu.

Sungguh tubuhnya terasa seperti dicabik-cabik hewan buas. Perih dan sakit tak terhingga. Tapi ia tak bisa melakukan apa-apa untuk melawan. Satu-satunya yang bisa Zaya lakukan hanyalah terus menangis sampai tenggorokannya terasa sakit. Dan tangisannya itu terdengar sangat memilukan, hingga akan membuat iba siapa pun yang mendengarnya.

Bersambung ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!