Wajah Allan tanpak gagah dengan balutan jas hitam yang terpakai rapih di tubuhnya. Nampak juga sepasang tangan manis yang sedang merapikan dasinya. Seorang wanita cantik yang tak lain adalah istrinya.
Allan akan menghadiri sebuah pesta. Tempat ia bekerja, telah mencapai target tahunan yang cukup memuaskan sehingga tuan Smith memutuskan untuk merayakan bersama semua pegawainya.
Allan sedikit menundukkan kepalanya agar dapat melihat istrinya yang cantik walau hanya mengenakan piyama berwarna merah. Dielusnya dagu sang istri serta dipandanginya kedua mata indah itu. terukir senyum dari bibir sang istri yang juga memandang mata suaminya.
“kenapa kau sama sekali tidak berubah, Rianti?” kata Allan, “Setiap garis wajahmu, tetap sama sejak pertama kali kita bertemu.” Sambung Allan semakin merayu.
Rianti tampak melebarkan senyumannya “berhentilah merayu, cepatlah berangkat! Kau pasti sudah ditunggu oleh Tuan Smith.” Rianti menyelesaikan aktivitasnya lalu mundur meninggalkan suaminya.
“Apakah istri yang baik akan membiarkan suaminya pergi tanpa ciuman?” Ucap Allan.
Rianti hampir tertawa mendengar suara suaminya yang terus saja merayu. Ia teringat awal mereka bertemu, Allan begitu pemalu dan gugup saat ingin berbicara dengannya. Mendengar suaminya yang kini sangat mudah melontarkan kata-kata manis, membuatnya benar-benar ingin tertawa.
Allan pergi setelah mendapatkan satu kecupan manis dari istrinya. Dengan mengendarai mobilnya, Allan membelah jalanan kota dengan lampu-lampu jalan yang mulai menyala di sepanjang jalan.
Allan tiba di kediaman Tuan Smith yang sangat megah itu. ia menyaksikan sendiri betapa mewahnya pesta makan malam itu. ada puluhan meja bundar di halaman luas dengan sebuah panggung kecil dengan seorang penyanyi jazz yang terlihat sudah cukup berumur. Allan ingin sekali mengajak Rianti, namun Rianti adalah wanita yang cukup berbeda dengan wanita lainnya yang menyukai pesta.
“Allan, duduk di sini”! teriak seorang pria yang sedang duduk bersama seorang wanita di sampingnya.
Tentu saja Allan tahu siapa yang memanggilnya. Adam, rekan kerja yang cukup dekat dengannya di kantor. Allan tidak menolak ajakan Adam dan langsung menghampiri mereka. Adam dan wanita disampingnya berdiri dan menjabat tangan Allan. Mereka saling melempar senyum dan kemudian duduk berhadapan. Allan kemudian berkenalan dengan wanita itu yang ternyata bernama Lenna.
“Pacarmu?” Tanya Allan sambil menunjuk ke arah wanita di samping Adam.
Adam mengangkat tangannya dan memperlihatkan sebuah cicin emas yang melingkar di jari manisnya. “kami sudah bertunangan.” Ucap Adam yang kemudian Lenna pun ikut menunjukan miliknya. Mereka tersenyum bahagia sambil memamerkan hubungan mereka kepada Allan.
“Wah, aku turut senang. Aku harap kalian tidak lupa mengundangku dengan Rianti ke pernikahan kalian. Ujar Allan bergurau.
“Kalian orang pertama yang akan menerima undangan kami.” Ucap Adam menimpali gurauan Allan.
Setelah cukup lama, obrolan mulai jarang diantara mereka bertiga. Allan sesekali menengok ke beberapa arah. Dia mencari keberadaan Tuan Smith yang belum juga muncul untuk menyampaikan pidato panjangnya yang cukup membosankan itu. Allan memang membenci pidato Tuan Smith, namun ia lebih benci menunggu.
Minuman yang tadi diberikan pelayan kepada mereka bertiga sudah habis. Allan nampak bosan. Berbeda dengan Adam dan Lenna yang saling membisikan kata-kata mesra di depannya. Hal itu membuatnya lebih bosan. Allan mengalihkan pendangannya ke arah panggung kecil di depan sana. Tak ada hal lain yang bisa ia nikmati selain apa yang sedang ditampikan di atas panggung itu. nampak pria tua penyanyi jazz itu sudah selesai dengan penampilannya lalu kini diganti oleh seorang wanita.
Wanita muda yang nampak begitu menarik. Allan cukup terpanah melihat wanita itu. Wanita itu sangat cantik. Bahkan kata cantik saja kurang tepat untuk mendeskripsikan penampilan wanita itu.
“Sempurna.” Ucap Allan tanpa suara.
“Sarah Aletta memang sempurna, dia muda dan cantik. Lelaki yang mendapatkannya pasti sangat beruntung.” Ucap Adam sambil menatap Sarah yang kini mulai melantunkan suara indahnya.
“Asalkan lelaki itu bukan lelaki yang sudah punya cincin di jari manisnya.” Sahut Lenna sinis pada tunangannya itu.
“Aku hanya berkata jujur, sayang.’ Ucap Adam sambil menoleh pada Lenna.
Allan tidak terlalu menggubris perdebatan dua sejoli itu. ia masih terhipnotis pada kecantikan dengan suara merdu bercampur serak yan begitu menggoda milik Sarah. Belum lagi bibir dengan senyuman manis juga mata indah serta rambut gelombang yang digerai lepas itu. sosok Sarah dengan cepat menguasai pikiran Allan.
Sarah mengakhiri penampilannya pada lagu kedua dan digantikan oleh Tuan Smith yang memulai pidato panjang lebarnya. ‘Sangat disayangkan’ begitulah batin Allan kecewa.
Allan sibuk mengalihkan pandangan ke segala arah mencari keman wanita itu pergi alih-alih mendengarkan pidato Tuan Smith.
“Aku akan ke toilet sebentar.” Ucap Allan pada Adam dan Lenna lalu pergi meninggalkan mereka.
Tentu saja Allan tidak benar-benar ingin ke toilet. Itu hanyalah alasan baginya untuk mencari keberadaan Wanita itu. Allan berjalan mengitari rumah yang cukup luas itu hingga dia samai di halaman belakang rumah itu. tampak Sarah dan Nyonya Smith sedang mengobrol di sambil duduk di sebuah bangku. Allan berdiri cukup lama, berharap orolan di antara mereka segera berakhir. Harapan Allan ternyata tidak sia-sia. Tak lama Nyonya Smith meninggalkan Sarah sendirian lalu masuk ke dalam rumah. Kesempatan yang bagus bagi Allan untuk mendekati Sarah.
“Sarah!” Gadis itu menoleh saat mendengar ada yang memanggilnya.
Sarah menatap pria itu. dengan teliti ia memperhatikan penampilan Allan sambil mengingat-ingat siapa pria berparas tampan yang ada di hadapannya ini.
“Allan?” Ucap Sarah dengan nada sedikit terkejut.
“Ah, aku kira kau sudah lupa padaku.” Ujar Allan lega setela Sarah menyebut namanya.
Sarah segera memeluk Allan dengan senang. Mereka seperti sedang reuni setelah sekian lama tidak bertemu.
Sarah melepaskan pelukannya. “Bagaimana kabarmu? Si brengsek yang selalu merusak mainanku.” Tanya Sarah sabil mengungkit kejadian di masa kecil.
Alan Tertawa. “Aku baik-baik saja.” Ucap Allan. “Lalu bagaimana kabarmu? Gadis cengeng.”sambung Allan yang disambut pecah tawa dari Sarah.
Begitu lucu jika mengingat kejadian masa kecil mereka yang sudah cukup lama itu.
“Siapa pria yang tidakberuntung mendapatkan gadis cengeng ini sekarang?” Tanya Allan.
“Aku belum mendapat yang benar-benar cocok untukku.” Jawab Sarah sambil memaksakan senyumnya.
“bagaimana dengan wanita kasihan yang menikahi si brengsek perusak ini?” Sarah balik bertanya.
“Wanita itu benama Rianti, kami sudah menikah hampir lima tahun, dan aku sudah punya bocah laki-laki yang akan merusk mainan teman-temannya, seperti yang dilakukan ayahnya.” Ucap Allan sambil tersenyum senang. Walau ia sadar raut wajah Sarah langsung berubah.
“Kau membawa istrimu?” Tanya Sarah.
Allan menggeleng.
“Sayang sekali yaa. Semoga aku segera bertemu dengan istri dan anakmu.” Ucap Sarah dengan senyuman yang tampak dipaksakan. “Sebaiknya kita ikut bergabung di luar. Tidak baik berada di sini.” Sambung sarah lalu kemudian membalikan badan dan berjalan kembali ke tempat acara.
Allan hanya mengikuti Sarah dari belakang. Dengan Sikap Sarah yang terlihat tidak nyaman saat Allan membicarakan anak dan istrinya, menguatkan pendapat Allan bahwa gadis yang umurnya empat tahun lebih muda darinya itu masih menyimpan perasaan padanya. Allan pun juga harus mengakui bahwa ia juga masi menyimpan perasaan yang sama.
...***...
Allan berjalan di samping Sarah dan berkata, "aku tidak bermaksud un-"
Sarah segera memotong dan cepat-cepat mengalihkan topik pembicaraan, "kau salah satu pegawai pamanku, bukan?"
"Maksudmu Tuan Smith? Jadi, kau keponakannya?” tanya Damian sontak. Ia baru mengetahui ternyata Sarah adalah keponakan dari bosnya.
“Apa dia lupa mengatakan bahwa dia punya keponakan cantik sepertiku?” ujar Sarah.
"Wah, sepertinya dia lupa mengatannya. Atau dia sama sekali tidak menganggapmu sebagai keponakan,” sahut Allan.
"Kau ini! Aku keponakan paling disayang Paman! Jangan salah!" kata Sarah dengan nada meninggi.
“Apa Tuan Smith, menyukai keponakannya sendiri? Wah, bisa jadi skandal, nih!" Allan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tentu saja bukan, tolol! Kau ini, masih saja menyebalkan! ujar Sarah tertawa melambatkan langkahnya.
“Walau pun menyebalkan, kau tetap mengagumiku ‘kan?” kata Allan menyeringai ikut melambatkan langkahnya.
"Demi Tuhan, istrimu pasti kenyang setiap hari mendengarkan kata-katamu itu!" Sarah menyindir.
"Tidak juga, dia kenyang kalau melihat brokoli!" sahut Allan.
"Wah, dia sama seperti Paman, tidak menyukai brokoli!" ujar Sarah.
Mereka berdua tidak melanjutkan obrolan kecil itu karena Tuan Smith menghampiri mereka dan menyuruh dua orang itu bergabung dengan meja besarnya. Allan tak bisa menolak, sebenarnya ia tidak enak dengan Adam dan Lenna, namun setelah ia pikirkan lagi mereka berdua pasti lebih senang makan berdua. Allan pun abaikan saja.
“Wah, Allan ternyata sudah mengenalmu, Sarah?” tanya Tuan Smith seusai duduk di depan meja yang telah tersaji banyak hidangan.
Sarah menjawab dengan senang, tentu saja diceritakannya juga tentang bagaimana dia mengenal teman masa kecilnya itu. Gadis itu membicarakan kenakalan anak lelaki sepuluh tahun kepada bocah perempuan enam tahun dengan tawa di sela-sela ceritanya. Saat semua terbahak atas cerita Sarah, Allan ikut tertawa walau dalam hatinya dia juga ingin menceritakan betapa cengengnya Sarah waktu kecil.
Selama pesta makan malam itu, mata Allan selalu tertuju pada Sarah. Gadis periang yang seakan terlihat begitu bahagia. Saat Nyonya Smith menceritakan kucingnya yang hilang berhari-hari dan kemudian muncul kembali di bawah ranjangnya, Allan hanya terdiam dengan mata tetap tertuju pada Sarah yang tertawa mendengar bibinya bercerita.
“Aku benar-benar tak tahu, di mana kucing itu berhari-hari, Johnny memarahiku karena aku meminta kucing lagi,” tambah Nyonya Smith merampungkan ceritanya.
“Paman ‘kan sudah tahu kalau Bibi ini teledor,” ujar Sarah masih saja tertawa.
“Bibimu ini memang pelupa, dia bahkan lupa menaruh cincin kawinnya, padahal kami temukan di laci, dan sungguh aneh dia juga lupa menaruh kucingnya,” sahut Tuan Smith menertawakan istrinya.
Allan berpikir bahwa sangat berbeda antara cincin kawin dan kucing. Bagaimana mungkin itu bisa disamakan? Setidaknya Allan sedikit tergugah dengan topik yang menurutnya sama sekali tidak penting itu. Ingin dia untuk merubah topik, tapi apa gunanya juga. Dia agaknya tidak punya bahan obrolan.
"Kalau masalah cincin, aku masih yakin bahwa aku menaruhnya di atas meja!" sanggah Nyonya Smith bersih keras.
Sejenak Allan mulai memerhatikan Nyonya Smith. Wanita yang sudah menginjak kepala lima itu masih tampak kencang, pipinya tirus dan matanya sayu. Rambutnya diikat dan digulung belakangnya membentuk konde kecil. Nyonya Smith terlihat seperti wanita anggun dengan dagu tegak dan bahu lurus. Tidak dia sangka, Nyonya Smith pandai membuat orang lain tertawa dengan menertawakan dirinya.
Johnny Smith yang jelas terlihat lebih tua lima sampai delapan tahun dari istrinya itu punya wajah tegas dan berwibawa. Allan mengenalnya dari sosoknya yang sangat disiplin di kantor. Sebagai direktur utama, Tuan Smith punya cara cerdas menuntun semua bawahannya. Allan sama sekali tidak ada pikiran negatif terhadap pemimpinnya itu.
Orang yang duduk di samping Nyonya Ross adalah David Rogers, dia adalah pengacara keluarga Smith. Pria berkacamata itu terlihat sebagai seorang yang cerdik, Damian selalu berpikiran bahwa pengacara khususnya dalam menangani kasus di pengadilan adalah sosok pemutar balik fakta. Allan cenderung tidak menyukai profesi yang penuh muslihat itu. Baginya berbohong demi uang sama sekali tidak bermartabat.
"Allan, bagaimana kabar istrimu?” tanya Tuan Smithkepada Allan yang berada di sampingnya.
"Dia baik-baik saja, dia selalu sehat dan tak pernah sakit,” jawab Allan.
“Ibu yang kuat, kalau ada waktu bawalah istri dan anakmu berkunjung ke rumah kami,” kata Tuan Smith.
Allan hanya mengiyakan. Hanya saja, ia yakin Rianti tidak akan mau untuk berkunjung ke rumah Tuan Smith. Apalagi membawa Saka, anak mereka, karena itu akan sangatmenyulitkan baginya. Allan benar-benar bersalah telah mengiyakan sesuatu yang tidak mungkin terjadi.
Sarah melihat wajah murung Allan yang terlihat ditutup-tutupi, ia bertanya-tanya apa yang sedang dipikirkan pria itu. Akan sangat menyenangkan
jika ada waktu lebih panjang untuknya mengobrol dengan Allan. Serasa ada jutaan cerita yang ingin diceritakannya pada teman masa kecilnya itu. Lagi pula ia juga ingin mendengar cerita Allan, apa saja kecuali satu hal. Cerita tentang istrinya.
Saat acara pesta makan malam ditutup pidato panjang dari Tuan Smith yang sebenarnya intinya hanya ungkapan berterima kasih itu, Allan dan Sarah memanfaatkan waktu untuk bicara berdua. Apa lagi Nyonya Smith dan pengacara itu sudah pergi, tersisalah mereka berdua saja di meja paling besar itu.
“Akhir pekan ada acara?” tanya Sarah.
"Selain mengantar Rianti belanja, aku benar-benar bebas,” jawab Allan, yang tentu saja harus membatalkan janji memancing bersama sepupunya. Yah, Sebenarnya ia sudah punya janji. lebih tepatnya rutinitas akhir pekan yang selalu ia lakukan dengan sepupunya, Tommy.
“Bagaimana kalau kita ke pantai cavanna? Aku ingin sedikit bernostalgia.” ucap Sarah dengan senyum dan tatapan manis yang tak mungkin Allan tolak. Malah ini adalah kesempatan bagus untuk kembali bertemu dengan Sarah.
Allan mengangguk dan mereka segera mencanangkan semuanya. Dari jam berapa berangkat dan apa yang akan mereka lakukan di sana. Allan sesungguhnya juga rindu pada kampung halamannya itu. Pantai Cavanna adalah sebuah pantai yang ada di kota kelahirannya, kota dimana ia tumbuh, begitupun dengan Sarah. Pantai di mana dua insan itu menghabiskan waktu kecilnya. Akan sangat menyenangkan jika mereka kembali mengulang kejadian-kejadian yang dahulu pernah mereka lakukan.
Rencana Allan setelah ini adalah menelepon Tommy untuk membatalkan rencana memancingnya. Sebagai tambahan Allan juga akan mengatakan pada sepupunya untuk berpura-pura tidak membatalkan rencana mereka. Allan khawatir jika Rianti menelepon Tommy untuk memastikan dirinya sedang memancing di akhir pekan nantinya.
"Apa yang akan kaukatakan pada istrimu, nanti?” tanya Sarah.
"Tentu saja aku akan jujur, aku akan ke pantai bersama temanku," jawab Allan cukup jelas.
Entah apa yang dipikirkan Sarah, ia merasa kata teman tidak mengenakannya. Akan tetapi, yang dikatakan Allan memang benar. Mereka berdua memang teman. Liburan akhir pekan pantai Cavanna juga hanya sebuah nostalgia kecil antara dua teman yang baru bertemu kembali setelah sekian lama.
...***...
Rianti mengamati suaminya yang sejak tadi tersenyum sendiri. Allan yang memakai kaus putih polos dan celana pendek itu membaca koran ditemani kopi di atas meja kayu dekat kursinya. Wanita itu merasa ada yang beda dalam gerak-gerik suaminya. Biasanya Allan akan sangat serius jika membaca koran. Rianti menarik kesimpulan bahwa ada isi berita yang tampak lucu bagi suaminya.
Setelah dirasa cukup mengamati suaminya, Rianti beralih ke dapur. Ia akan membuatkan sarapan untuk suaminya sebelum Saka terbangun. Karena pengasuh anaknya izin untuk cuti selama seminggu, Rianti harus mengurus Saka sendiri. Pekerjaan sebagai istri sekaligus ibu memanglah impiannya dari dulu. Ia sangat menyanyangi anak dan suaminya. Kehidupannya sudah sangat sempurna.
Damian segera datang ke meja makan setelah panggilan manis isterinya menggema. Dilihatnya masakan ringan roti bakar isi telur dan susu putih di sampingnya. Rianti sebagai istri yang baik duduk di depan suaminya dengan pandangan tertuju pada wajah lapar itu.
"Bagaimana pesta semalam?" tanya Rianti.
“Sebelumnya aku minta maaf karena pulang terlalu malam, aku sampai tak mencium keningmu dan Saka sebelum tidur," ucap Allan dengan pandangan lurus pada istrinya sementara tangannya sudah memegang roti bakarnya.
"Tak perlu minta maaf, kau pantas untuk bersenang-senang! Lagi pula tadi malam kau juga lelah. Aku akan selalu senang jika suamiku senang," kata Rianti memangku dagunya dengan tangan kanannya.
"Pesta kemarin memang cukup menyenangkan," jawab Allan singkat segera menyantap sarapannya.
Rianti tak bertanya lagi. Ia langsung berdiri dan mengatakan pada suaminya bahwa ia akan menyiapkan pakaian untuk suaminya berangkat ke kantor. Allan hanya mengiyakan dan melanjutkan sarapannya. la sebenarnya gugup jikalau istrinya menanyakan banyak hal mengenai pesta tadi malam. Ia tahu Rianti adalah wanita yang cerdas, dia tak mudah dibohongi.
Si kecil Saka sudah terbangun dari tempat tidurnya, ia merengek memanggil ibunya. Rianti tentu saja segera datang setelah semua pakaian suaminya tertata rapi di atas ranjang siap untuk digunakan. Rianti bergerak ke kamar sebelah, di mana bocah empat tahun itu sudah duduk di atas ranjang dengan sprai bergambar kumpulan robot kecil yang tersebar.
"Mama!" teriak bocah berwajah imut dengan pipi tembem itu melihat ibunya.
Rianti segera mengusap rambut anaknya berkali-kali. "Apa kau mimpi buruk, sayang?” tanya Rianti.
Saka menggeleng dan baru kemudian ia menurunkan pandangannya ke bawah. Rianti segera tahu saat melihat selimut yang basah. Anak lelakinya ngompol. Wajah Rianti berubah dengan cepat, memerah.
“Mama sudah bilang berapa kali padamu? Jangan ngompol lagi!" ucap Rianti dengan pandangan mengancam.
Saka menggeleng. "Ini bukan! Ini bukan!" ucapnya mengeras sembari tak henti-hentinya menggeleng.
Rianti dengan cepat mengangkat kedua tangannya dan mearuhnya ke samping kepala Saka agar ia berhenti menggeleng. Dilihatnya wajah putranya sudah tampak pucat ketakutkan. Rianti memandang wajah putranya, menatapnya dengan lembut. Bagaimanapun juga itu hal yg tidak disengaja.
“Jangan berbohong, Mama tidak suka Saka berbohong! Lain kali Saka tak boleh ngompol lagi yaa. Sekarang sikat gigi lalu ganti baju!” ucap Rianti yang akhirnya mencium kening anaknya itu.
Saka pun segera turun dari ranjang dan menuju kamar mandi. Anak itu cukup pintar untuk melepaskan pakaian sendiri dan menyikat giginya. Rianti memandang apa yang ada di depannya, kekotoran yang ditinggalkan anaknya. Sungguh tidak ada pengasuh di rumah ini membuatnya tidak bisa bersantai lagi.
Rianti dan Saka berdiri di depan rumah, melambai pada Allan yang menaiki mobil hitam yang tampak ramping dan mengkilat miliknya. Ia melambai pada anak dan istrinya dan kemudian melajukan mobilnya keluar jalan perumahan.
Allan sampai di kantor tepat waktu dan segera menuju ruangannya. Tidak lama ini dia sudah diangkat menjadi supervisor bagian marketing yang mengharuskannya
membawahi beberapa koordinator. Di ruangannya memang koordinator yang menjadi bawahannya dan mereka tentu saja mengucapkan salam pada atasannya itu.
"Pak, ada beberapa dokumen yang perlu ditandatangani!" ucap seorang wanita yang mejanya berada di dekat Allan.
"Taruh saja di mejaku, Clarrie!" ucap Damian pada sekretarisnya itu.
Pekerjaan berlangsung seperti biasa, untung saja hari ini Allan tidak harus keluar kantor untuk keperluan pekerjaannya. Itu sangat tidak menyenangkan di saat seperti ini. Dia mengenyampingkan pekerjaannya
dan membuka browser di komputernya, dia mencari nama Sarah di situs pencarian. Ada banyak yang bernama Sarah Aletta. Ia mengecek satu persatu hasil pencarian. Tautan akan membawa Allan ke sosial media atau situs lain, namun dia tidak berhasil menemukan apa yang dia cari.
Sesungguhnya bertemu Sarah tadi malam adalah suatu anugerah baginya. Ia tidak pernah berhasil menemukan Sarah di mana saja. Ia kembali teringat akan kejadian masa lalu yang mengharuskannya meninggalkan Sarah. Gambar-gambar di otaknya secara beruntun menampilkan wajah gadis enam belas tahun yang tersenyum menahan tangis. Sungguh kata maaf Allan tadi malam tidak akan pernah sepadan dengan perlakuannya di masa lalu.
Ia berlalih dari layar komputer, memandang tanpa fokus pasti ke depan. Dilihatnya dari balik jendela ruangannya seorang wanita berjalan ke arah keluar. Allan langsung mengenali wanita itu walau hanya terlihat dari samping. Segera ia bangkit dan keluar ruangannya meninggalkan wajah-wajah bingung anak buahnya yang sedari tadi cukup bisa memerhatikan tingkah Allan.
Wanita yang bisa memancingnya keluar tentu saja Sarah, namun kenapa dia terlihat di kantor? Itu yang menjadi pertanyaan Allan. Jika ia ke sini bertemu pamannya, namun untuk apa? Bukannya sekarang Sarah sedang tinggal di rumah pamannya akan jadi aneh jika Sarah juga menemui pamannya di sini. Kemudian segala spekulasi muncul di otak Allan. Pikiran pria memang dipenuhi logika, tapi tetap saja logika pria akan hilang saat menggilai seorang wanita.
Ia masih berjalan mengikuti Sarah. Sengaja ia tidak memanggil gadis itu. Pria beristri ini ingin muncul dengan sedikit kejutan. Ia berhati-hati agar Sarah tak sampai melihatnya. Saat Sarah memasuki lift, dengan cepat Allan menuju tangga. Sudah pasti Sarah akan keluar gedung dan Allan dengan cepatnya menuruni barusan anak tangga agar sampai di bawah hanya terpaut sebentar dari gadis yang diikutinya.
Allan muncul tepat waktu dan segera bisa mengikuti Sarah lagi. Langkah sepatu hak tinggi gadis yang diikutinya menghentak paving jalan. Sarah yang memakai atasan merah itu menuju arah jalanan. Allan tidak menyangka Sarah tidak membawa kendaraan sendiri ke sini. Mengamati Sarah tengah berdiri di pinggir jalan, Allan mengambil kesimpulan bahwa Sarah akan menaiki taksi.
Allan hampir menyerah untuk mengikuti Sarah, ia kira Sarah akan mampir ke tempat makan di depan kantor atau membawa kendaraan sendiri dan kemudian ia ikuti. Keringatnya menetes karena ia cukup lama berpikirdi bawah terik mentari. Akhirnya ia memutuskan
untuk mengambil mobilnya, keluar lewat belakang dan menunggu Sarah mendapatkan taksi di dekat tikungan. Satu yang ia harapkan jangan sampai Sarah mendapatkan taksi terlebih dulu sebelum ia bisa menyaksikannya sendiri.
Allan bukan orang yang mudah menyerah akan keingintahuannya. Dia memandangi Sarah dari kejauhan dengan sesekali menata rambutnya bermodalkan jari tangan dan spion mobilnya. Saat Sarah mendapatkan taksi dengan segera Allan memutar kemudi dan menekan gas untuk mengikuti sang gadis.
Diingat-ingatnya plat nomor taksi itu, jangan sampai ia kehilangannya. Allan sesekali melihat jam, ditargetkannya jam dua sudah harus kembali ke kantor. Sekarang sudah hampir jam dua belas. Allan masih mengikuti taksi itu melewati beberapa lampu merah yang cukup membuang waktunya,
Sampai akhirnya taksi itu berhenti di depan sebuah hotel. Allan segera meminggirkan mobilnya ke bahu jalan dengan jarak sekitar dua puluh meter dari taksi yang berhenti itu. Seorang wanita keluar dari taksi, Damian terhenyak saat ia memandang lebih jelas wanita itu bukanlah Sarah. Wanita itu bukan gadis 24 tahun melainkan lebih tua, namun anehnya pakainnya samadengan gadis yang ia ikuti barusan, atasan Merah Maroon.
Ia segera sadar bahwa ia terlalu banyak memikirkan Sarah hingga orang lain pun akan tampak seperti cinta pertamanya itu. Dia benar-benar merasa mulai tidak waras karena Sarah. Dengan mengumpat cukup keras, Allan akhirnya memutuskan kembali ke kantor.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!