Seorang gadis sedang menari di lantai dansa gerakannya menghentak mengikuti ritme musik yang memekakkan telinga, untuk sebagian orang mungkin akan merasa terganggu dengan musik yang berdentum keras dan menyakitkan jantung dan menjadikan ritme debaran yang keras.
Tapi tidak bagi gelombang manusia yang ada di tempat remang tersebut, semua begitu asik dengan suasana berisik tersebut, termasuk seorang gadis bernama Amanda Cecilia Barnes.
Gadis berusia 19 tahun tersebut dengan asik menggerakan tubuhnya hingga bergoyang dengan seksii dan membuat para pria di sekitarnya meneteskan air liur, saking cantik dan seksinya gadis itu.
Rambutnya yang di gerai dan ditata bergelombang meliuk mengikuti gerak tubuhnya menambah kesan seksii gadis tersebut.
Amanda Cecilia Barnes..
Putri dari Alden Leonard Barnes dan Airin Joseane Barnes kini telah beranjak dewasa..
Amanda masih terus menggerakkan tubuhnya mengikuti hentakan demi hentakan musik, hingga tak menyadari seseorang di lantai atas tak melepas tatapannya dari gadis itu..
"Gadis itu!" Tatapan tajam di layangkan oleh seorang pria tampan dengan stelan jasnya yang sudah sedikit berantakan akibat kegiatannya barusan di ruang VVIP, pria itu baru saja mengadakan kesepakatan bisnis dengan pemilik Club malam tersebut, hingga sang pemilik Club menyodorkannya seorang wanita dan bersikeras akan melayaninya, dan pria dengan rahang tegas tersebut menolaknya, sayang sekali si wanita yang terpesona dengan raut tampannya begitu agresif hingga menarik pakaiannya dan membuatnya sedikit berantakan..
Sial..
Dia di kerjai oleh pemilik Club ini yang lebih sialnya lagi adalah sabahatnya sendiri "Kau kabur lagi?" pria itu mendengus sebal.
"Mau sampai kapan kau mempertahankan perjakamu Alan, kau hidup di zaman apa?!"
Alan Leonel Barnes,
pewaris satu- satunya keluarga Barnes, di usianya yang baru menginjak 25 tahun dia sudah menjadi pemimpin perusahaan keluarganya, di saat para pria seusianya masih bebas bersenang- senang, Alan sudah di didik bahkan sejak dini untuk menjadi pemimpin..
Apa boleh buat Kakaknya Alden sama sekali tak mau memegang perusahaan karena sudah memiliki perusahaan sendiri yang dia bangun bersama kedua sahabatnya Ben dan Roland, dan dia juga tak mungkin membiarkan Ayahnya yang semakin tua terus bekerja, jadilah dia jadi pemuda tersibuk dengan segudang pekerjaan. Disaat teman- temannya masih bersenang- senang, Alan sudah memeras otaknya dengan pekerjaan.
"Ini soal prinsip kau tahu.." Alan mendengus melihat ke arah Piter sang sahabat lucnut yang menyodorkannya wanita ja lang.
Alan kembali mengarahkan pandangannya ke arah lantai dansa keryitan di dahinya semakin menajam seiring tatapannya yang memicing. Dia melihat keponakannya sudah mulai di kerumuni para pria hidung belang.
"Dia perlu di hukum rupanya.." Alan berjalan tegas ke lantai bawah dimana Amanda masih tak peduli dengan para pria yang semakin merapat ke arahnya.
Piter yang penasaran pun melihat kemana arah tatapan Alan sejak tadi lalu terkekeh "Wuaah kau tak menyukai wanita di dalam sana, karena sudah mengincar gadis itu rupanya, seleramu bagus juga.." Piter mengikuti langkah Alan.
"Sepertinya dia pelanggan baru aku tak pernah melihatnya, tapi tenang saja jika kau mau aku akan mencari tahu tentangnya dan aku yakin dia akan langsung jatuh cinta pada ketampananmu.. kau tak perlu susah payah." Alan menghentikan langkahnya lalu menatap tajam Piter.
"Diamlah!"
Piter terkekeh lalu kembali mengikuti Alan "Aku serius, sungguh.. kau tahu seleramu memang bagus, harus ku akui dia memang cantik dan seksii postur tubuhnya yang bak gitar spanyol membuat siapa saja yang melihatnya berfantasi liar, apalagi dengan pakaian seperti itu, kau lihat aku bisa melihat perut putihnya itu, jika saja kau tidak menandainya aku yang akan mengambilnya.."
Alan kembali menghentikan langkahnya lalu dengan cepat meraih kerah kemeja Pitter "Kau..!" tatapan Alan begitu tajam hingga Piter sedikit tertegun syok.
"Sudah ku bilang diamlah! lagi pula aku tidak akan membiarkan keponakanku jatuh ke tangan pria brengsek macam dirimu!" Piter semakin bergidik saat Alan menarik kerahnya hingga dia merasa sesak dan dia tak merasakan kakinya menapak tanah.
"Alan .. kau.." napas Piter mulai tersengal dia merasa tercekik akibat tarikan di lehernya, tatapan tajam Alan seolah akan mengulitinya.
"Diamlah, brengsek!" Alan melempar Piter hingga semua tatapan mengarah padanya, untuk sejenak kegiatan mereka terhenti lalu beberapa detik kemudian mereka tak peduli dan kembali bergerak meliukkan tubuh mereka, namun gadis yang sejak tadi menjadi tujuan Alan terpaku di tempatnya dengan sedikit gugup.
Amanda bisa melihat tatapan tajam Alan yang mengarah padanya membuatnya bergidik.
Amanda akan berlari namun dengan cepat tangannya di tarik dan di seret pria berparas tampan namun tampak mengerikan untuknya.
"U.. uncle.." Amanda terseok saat Alan menariknya cepat kearah pintu keluar.
"Uncle kau menyakitiku.." Amanda mengerang kesakitan saat tangan Alan mencengkram pergelangan tangannya hingga tangannya terasa akan patah.
Alan tak peduli meski mendengar suara Amanda terpekik tanda gadis itu kesakitan, dia hanya ingin membawa keponakan pembangkangnya pergi dari tempat itu dan menghukumnya dengan segera.
Membuka pintu mobil Alan mendorong Amanda masuk hingga Amanda sedikit tersungkur di kursi, Amanda terlonjak kaget saat mendengar pintu tertutup dengan keras.
Sialan..
Batinnya memaki sang paman, sambil mengusap pergelangan tangannya yang memerah akibat cengkraman paman sialannya itu.
Amanda menatap benci pada pria yang kini berjalan ke arah kursi kemudi, sungguh dia benci paman sialan gilanya itu, benci!.. sebenci- bencinya.
...
Holla..🤗 selamat datang di Novel terbaruku, semoga suka.. seperti kisah emaknya Alan (My Sweet Baby) di sini gak ada konflik berat, pelakor atau adegan menegangkan tenang aja, mari kita bermanis- manis ria😘
"Aku bertanggung jawab atas kamu saat orang tuamu menitipkanmu padaku!" Amanda mendengus sebal saat Alan lagi- lagi mengatakan hal yang sama.
Mommy dan Daddynya memang menitipkannya pada Alan pamannya, karena mereka sedang pergi ke luar negeri untuk perjalanan bisnis sekaligus bulan madu entah yang keberapa kalinya dalam satu tahun ini.
Amanda rasa orang tuanya adalah pasangan paling romantis di dunia meski usia mereka tak muda lagi, setiap ada waktu senggang mereka selalu pergi untuk berbulan madu, Dan setiap mereka pergi, mereka selalu menitipkan Amanda pada Alan, tanpa mereka tahu Alan selalu berlaku menyebalkan dan melarangnya ini dan itu, ayolah dia sudah besar usianya sudah 19 tahun dan bisa mengurus dirinya sendiri, tapi Alan selalu melarangnya pergi tanpa pengawasannya atau pengawalnya, dilarang main ke club atau tempat karaoke dimana banyak pria hidung belang di sekitarnya, yang lebih parah Amanda bahkan dilarang pergi meski dengan teman- temannya.
Saat bersama Alan, Amanda selalu tertekan dan dimarahi oleh pamannya itu.
"Apa yang kamu kenakan ini Amy!" Amanda mendengus saat lagi- lagi dia di lempar kasar oleh Alan hingga kini dia tersungkur ke sofa, mereka baru saja tiba di rumah besar keluarga Barnes.
Alan mengemudi seperti kesetanan setelah menyeretnya dari Club malam hingga perjalanan yang harusnya di tempuh dalam waktu satu jam, bisa di tempuh dalam 30 menit saja.
"Kamu berpakaian seperti ja lang!" Alan menatap marah sedangkan Amanda mendengus geli, dia memakai rok mini sebatas paha lalu atasannya tanktop ketat menampilkan lekuk tubuh bagian dada yang menantang sempurna, apalagi jika dia mengangkat tangan ke atas dan berjoget di flor akan nampak terlihat kulit perutnya yang mulus, akibat kain itu tertarik ke atas.
Pakaian ini sangat cocok di pakai ke club memangnya kenapa? memang dia harus memakai apa?
Amanda memberengut dan bangun "Uncle kau berlebihan, aku bisa menjaga diriku sendiri, bagaimana bisa Mommy selalu meminta mu menjagaku.." Amanda berdiri menantang dengan tangan berkacak pinggang, dadanya membusung dengan mata memicing benci "Aku hanya menari, dan tidak mabuk.."
"Kamu membiarkan pria hidung belang itu mengerumuni mu!" Alan semakin frustasi entah bagaimana memberi tahu Amanda jika dia anak kecil yang belum tahu cara menjaga diri.
"Mereka hanya mengerumuni, dan tidak menyentuhku!" Amanda semakin berang dia tak mau kalah dengan pamannya itu, mana mungkin dia diam saja saat dia di lecehkan.
"Tidak kamu bilang!, kamu pikir jika tak ada kesempatan mereka akan melakukannya!" Alan mencengkram pundak Amanda dengan keras hingga Amanda meringis kesakitan, selalu seperti itu Alan selalu berlaku kasar jika dia tidak menurut padanya.
Alan mengerut tak suka, saat melihat Amanda menunduk dengan raut kesakitannya "Masuk ke kamarmu!" desisnya tajam sambil menyentak pundak Amanda hingga dia hampir terjatuh, dan Amanda yang tak ingin berdebat lagi memilih bangun dan menghentakkan kakinya pergi dari hadapan Alan.
Alan menghela nafasnya berulang kali melihat punggung Amanda menjauhinya.
"Sialan!" Alan berusaha menenangkan gejolak hatinya agar tidak bertindak lebih jauh lagi.
Amanda membanting pintu kamar dengan keras hingga membuat orang di sekitarnya berjengit, para pelayan yang mengintip ketakutan pertengkaran mereka mulai membubarkan diri, dengan saling berbisik.
"Kau lihat apa tuan Alan tidak terlalu kasar, pada keponakannya?"
"Ck, siapa suruh terus membantah.. kalau aku pasti akan menurut pada paman tampan sepertinya.." Pelayan itu mulai membayangkan bagaimana rasanya punya paman super tampan seperti majikannya "Aku akan menurut apalagi jika aku di berikan kartu hitam untuk tetap diam, dan hanya menghabiskan waktuku untuk belanja, tidak perlu club atau tempat semacamnya.. berlaku manis kepada pamanku, dan melakukan apapun yang dia perintahkan.."
Pelayan yang satu lagi mendengus geli "Kau membayangkan memiliki paman seperti tuan Alan atau kekasih.." Pelayan itu melanjutkan langkah kakinya mendahului pelayan yang kini terkekeh geli dengan bayangannya sendiri.
Semua pelayan sudah terbiasa dengan perdebatan antara keponakan dan pamannya itu, Tuan mereka yang keras dan dingin selalu saja memarahi keponakannya meski dengan hal kecil seperti saat Keponakannya itu memakai pakaian yang seksii misalnya.
Dan si keponakan selalu membantah dan membangkang tak peduli meski dia sudah dimarahi oleh si paman, baginya hidupnya adalah haknya dan Pamannya itu tak berhak mengurusinya, bahkan meski orang tuanya sendiri telah menitipkannya pada pria itu.
..
"Mom, kapan kalian pulang?" Amanda sedang merajuk dan menghubungi Airin sang Mommy.
"Daddy mu masih ada pekerjaan baby.."
"Tapi aku merindukan kalian.."
"Sungguh?" Amanda mengangguk, dia lupa jika sedang melakukan panggilan telepon, dan itu berarti Mommynya tak bisa melihatnya.
Airin terkekeh "Honey jangan terus membuat uncle mu marah.." Amanda mendengus.
"Dia yang selalu membuatku marah Mom.."
"Percayalah apa yang dia lakukan semua sudah di bicarakan dengan kami.."
"Oh, Mom.. biarkan aku bicara dengan Daddy.." Airin menoleh ke arah Alden yang sedang duduk bersandar di sandaran ranjang, lalu memberikan ponselnya.
"Ya, Honey..?"
"Dad, kau selalu bersamaku kan?"
"Tentu." Airin menggelengkan kepalanya saat melihat Alden tersenyum ke arahnya.
"Aku sungguh bisa menjaga diriku , tidak bisakah aku tinggal di Apartemen saja?"
"Untuk yang itu tidak bisa Honey!, tinggal sendirian tidak baik untukmu"
"Kalau begitu biarkan aku tetap tinggal di rumah kita, ada pelayan disana.."
"Tapi tidak ada yang mengawasimu, Daddy akan bicara pada Alan untuk tidak memarahimu lagi.."
Amanda menggigit jarinya "Tidak perlu, kau sama sekali tidak bersamaku." Amanda dengan kesal mematikan ponselnya, tak peduli meski dia sudah bersikap tidak sopan pada orang tuanya, dia benar- benar tertekan tinggal bersama paman sialannya itu, setiap hari ada saja yang Alan jadikan topik untuk memarahinya.
"Menyebalkan.."
...
"Kau lihat dia akan membenciku sekarang" Alden memberikan ponsel Airin.
"Tidak masalah saat pulang, kita akan membujuknya.."
"Ya, anak itu mulai dewasa dan mulai penasaran dengan kegiatan liar.." Airin terkekeh.
"Dan itu dia lihat dari Daddynya."
Alden mendengus " Kamu lupa sejak menikah aku tidak pernah ke club lagi." Alden menarik Airin dan merapatkan tubuh mereka.
"Itu sebabnya aku percayakan dia pada Alan?"
"Kenapa?" Alden mengecup bahu Airin yang masih terbuka bekas permainan panas mereka. "Aku sungguh tak suka dengan pria sok tampan itu.."
"Aku rasa dia memang tampan.." Alden mengerut tak suka.
"Kamu memuji pria lain di hadapan suamimu.."
"Selain tampan dia juga pria yang baik.."
Alden semakin mendengus tak suka mendengar ucapan istrinya itu.
"Diamlah, atau aku akan memberi hukuman karena memuji pria lain.."
"Tapi, Alan memang pria yang baik, dan aku percaya padanya."
"Astaga.. Alden!" Airin berteriak saat Alden mendorongnya hingga Airin terlentang di ranjang.
"Apa yang akan kau lakukan?"
"Menghukummu!" Alden mengungkung tubuh mungil istrinya.
"Astaga Alden kita baru saja melakukannya.." Airin menahan Alden yang hendak memberi ciuman padanya, namun sia- sia tenaganya tak cukup kuat untuk menahan sang suami.
"Aku sudah bilang jangan memuji pria lain di depan suamimu,.."
Airin tertawa geli "Baiklah aku tidak akan melakukannya lagi,..hahahaha.. sungguh Al.." Namun Alden sudah tak mendengarkan dan hanya melakukan sesuatu yang menjadi kesenangannya yaitu menghabisi istrinya sampai dia tergolek lemas di bawahnya.
Alden memang pencemburu bahkan pada adiknya sendiri, yang memang tampan seperti kata istrinya.
...
Lanjut?
Amanda berjalan perlahan menuruni tangga kedua kakinya berjinjit agar tak memberikan suara berarti, kepalanya sesekali menoleh ke arah kanan dimana kamar Alan berada, saat menyadari suasana aman Amanda berlari kecil menuruni tangga hingga tiba di pijakan terakhir barulah dia bernafas lega.
"Apa yang kau lakukan?" Amanda tertegun saat mendengar suara tegas di belakangnya, dengan pelan Amanda menoleh dan mendapati pamannya yang bersedekap kedua tangannya di lipat di dada dan menatap Amanda dengan tatapan tajamnya.
"He.. uncle, apa yang kau lakukan malam- malam begini?" Amanda bicara dengan nada yang di buat- buat bibirnya cengengesan seperti orang bodoh.
Alan mendengus "Seharusnya aku yang bertanya itu padamu, sedang apa kau mengendap- endap di tengah malam seperti pencuri!"
"Aku.. aku_ akan ke.. minum, ya aku akan mengambil minum." Amanda merasa punya alasan yang kuat sekarang dan dengan berani mengangkat dagunya.
"Apa air minum di lantai atas habis?." Amanda mengerjapkan matanya, benar di lantai atas juga tersedia pantry kecil tepat di dekat kamar Alan, berbagai macam minuman tersedia bahkan minuman beralkohol sekalipun tersedia berjejer bagai pajangan di dalam lemari, belum lagi lemari es besar lengkap dengan camilan di dalamnya.
Alan memang sengaja menyediakan semuanya di lantai dua, agar tak perlu turun ke lantai bawah hanya untuk camilan bahkan minuman, dia juga punya privasi untuk dirinya, apalagi sejak Amanda sering di titipkan padanya, Alan menyediakan semuanya termasuk cemilan kesukaan gadis itu.
Letak kamar mereka yang bersebelahan membuat Amanda dengan mudah mengambil apapun yang dia mau, bahkan pantry itu lebih mirip mini market dengan banyaknya makanan.
"Mu..mungkin pelayan lupa mengganti.. tempat airnya sudah kosong.." Mata Alam memicing tajam, tak percaya.
"Lalu apa yang kau sembunyikan di balik punggungmu?" Alan masih berwajah datar tanpa ekspresi, apa pria itu tak bisa tersenyum, Amanda bahkan merasa seumur hidupnya tak pernah melihat pria itu tersenyum bahkan tertawa, hanya kekehan jahat yang menakutkan yang seringkali dia lihat untuk mengancamnya.
Amanda semakin gugup saat Alan mendekat ke arahnya dan dengan cepat menarik tangannya hingga tas kecil di tangannya terjatuh. "Kau mengambil air dengan menggunakan tasmu!?" Alan mendengus lalu menendang tas kecil yang tergolek di lantai.
Melihat tasnya di tendang begitu saja membuat Amanda berang "Uncle kau keterlaluan!"
"Dengar Amy, tidak bisakah satu malam saja kau diam di rumah!, apa seperti itu kelakuanmu saat di rumahmu!, aku tidak peduli apa yang kau lakukan di rumah orang tuamu, tapi saat kau tinggal bersamaku maka kau harus menuruti apa pun perintahku!" itu dia masalahnya, bahkan dirumahnya sang Daddy justru menyiapkan pengawal saat dia keluar rumah mengikuti kemana pun bahkan hingga ke toilet pun mereka akan menunggu di luar pintu, hanya saat bersama Alan, Amanda merasakan kebebasan tanpa pengawal, tapi rupanya gadis itu semakin terkekang saat bersama Alan di banding dengan pengawalnya.
"Uncle aku hanya akan pergi sebentar, temanku menunggu, kami juga akan membahas tentang tugas..."
"Di tengah malam?!" Amanda bungkam, lagi- lagi alasannya tak masuk akal.
"Masuk ke kamarmu Amy!" Alan berkata dengan tegas, hingga mau tak mau Amanda menurut dan berlari ke arah kamarnya.
Amanda benci pria itu titik.
...
"Amanda!" Amanda mendengus saat mendengar teriakan dari sahabatnya Mina, dia baru saja datang ke ruang kelas dan mendudukan dirinya.
Gadis berusia 19 tahun itu memang masih mengenyam bangku universitas di bidang akademi bisnis, di gadang- gadang akan melanjutkan perusahaan sang Daddy membuat Amanda belajar sangat keras meski sesekali dia nakal dengan membangkang, itu karena dia hanya ingin menjernihkan otaknya dari buku- buku pelajarannya.
"Kau, aku menunggumu tadi malam, dan kau tidak datang." Amanda meringis saat Mina menepuk punggungnya, mereka memang berjanji bertemu di club malam, dia pikir bisa lolos dan pergi seperti malam sebelumnya, dan tak akan peduli meski akhirnya ketahuan, tapi siapa sangka belum juga keluar rumah, Alan sudah menemukannya.
"Aku sedang tinggal di rumah Uncle Alan."
"Sungguh?" Mina berkata dengan antusias,dia tahu saat Amanda di rumah pamannya itu dia selalu tak bisa lolos keluar malam, jika dengan bodyguardnya dia masih bisa melarikan diri meski akhirnya tetap di temukan, atau pilihan lainnya Amanda akan mengajak serta para pengawalnya itu untuk ikut pergi ke club, tapi tidak saat dia dalam pengawasan Alan, pria itu seperti hantu yang akan tahu dimana pun dia berada.
Amanda tahu Mina menggilai pamannya sejak dia mengenalkannya pada Alan, dan Mina langsung terpesona pada paman tampannya, ya..! Amanda akui Alan memang tampan, dan setiap orang yang tahu jika dia keponakan Alan mereka akan memanfaatkannya untuk mendekati pria itu, dulu saat dia masih duduk di bangku sekolah menengah setiap gadis memperlakukannya dengan baik dan ramah hingga Amanda tahu jika mereka hanya menjilatnya untuk mendekati Alan, Amanda membatasi pertemanannya, hingga di bangku kuliah dia hanya berteman dengan beberapa orang saja, termasuk Mina. Dia memang menyukai pamannya tapi tidak terobsesi seperti yang lainnya, sepertinya Mina mengerti jika dia hanya bisa membayangkan pria itu tanpa bisa memilikinya dan itu membuatnya nyaman berteman dengan Mina, meski dia sering melantur tentang pamannya tapi tak terlalu berlebihan hingga mengganggu Amanda, seperti itulah Alan berpengaruh di hidupnya, tapi Amanda sama sekali tak mengerti pada pemikiran para gadis itu yang memuja pamannya bak pangeran di negeri dongeng, baginya untuk apa tampan tapi banyak mengekang dan arogan.
"Bagaimana dia, pasti dia semakin hari semakin tampan.. sudah berapa minggu aku tidak melihatnya." Mina menopang dagunya matanya menerawang membayangkan Alan si super tampan. "Apa hari ini kamu masih pulang ke rumahnya?, bolehkah aku ikut?, aku bisa menemanimu menginap agar tidak bosan.."
Amanda hanya memutar matanya malas.
"Hay, Amy.. bisakah aku bicara sebentar?" Seorang pria menghampiri.
Amanda memperhatikan pria yang kini tersenyum ke arahnya, pria yang manis dengan kaca mata bulat membingkai matanya, meski penampilannya culun tapi Amanda tahu pria ini cukup tampan, dan meski bersembunyi di balik kemeja kotak- kotak dengan kancing menutupi sepenuhnya hingga Amanda kira pria itu sedikit tercekik karenanya dia tahu tubuh pria itu pasti bagus dengan postur tinggi sedikit di bawah Alan, jika di modifikasi pasti dia akan sangat tampan "Ya?"
"A.. aku ingin mengajakmu makan siang?, maukah?" Amanda terkekeh saat melihat pria di depannya bicara dengan gugup, bahkan kosa katanya tidak teratur, persis seperti dirinya jika ketahuan berbohong oleh Alan.
Lagi- lagi dia mengingat paman menyebalkannya itu, cih!.
"Maafkan aku, aku harus segera pulang saat selesai dengan mata kuliahku" Amanda menatap pria di depannya dengan merasa bersalah.
Pria itu menunduk kecewa dia sudah berusaha untuk bicara pada Amanda dengan mengumpulkan keberaniannya, selama ini dia hanya bisa melihat Amanda dan mengagumi gadis itu dari jauh, apalagi setiap hari gadis itu di kawal oleh para bodyguard berbadan besar dan menyeramkan membuat nyalinya ciut "Sekali lagi, maafkan aku Andy" pria bernama Andy itu mendongak dan tersenyum, tiba- tiba hatinya membuncah, saat Amanda mengetahui namanya.
"Ka..kau tahu namaku?" katanya dengan tatapan tak percaya.
Amanda mengangguk "Tentu, aku sering melihatmu duduk di pojok sana.."Amanda menunjuk ke arah pojok ruangan kelas, dan seketika membuat Andy memerah, rupanya Amanda juga sering memperhatikannya.
"Ba..baiklah kalau begitu, aku.. kita bisa makan siang lain kali.." Andy masih ingin bicara dengan Amanda, tapi dosen sudah memasuki ruangan.
Andy pergi ke arah pojok ruangan dimana dia selalu duduk masih dengan senyum di bibirnya, betapa senangnya saat tahu Amanda mengenal bahkan memperhatikannya.
"Kau yakin akan langsung pulang?" Mina menyenggol bahu Amanda dan berbisik karena dosen sudah memulai absensinya.
Amanda mengedikkan bahunya, dan sudah Mina tahu jika Amanda memang menolak ajakan Andy secara halus seperti biasanya.
Bukan hanya Andy saja yang mencoba mendekati Amanda, tapi banyak pria lain sebelum Andy yang mencoba menarik perhatian gadis itu, namun Amanda selalu menolak mereka secara halus berharap dia tak menyakiti siapapun.
Amanda selalu ingat pesan sang Mommy "Jangan pernah memperlakukan orang lain dengan buruk, bagaimanapun mereka juga punya perasaan, kecil, besar, kaya dan miskin jangan pernah meremehkan siapapun.."
Namun yang Mina tak mengerti setiap ada pria yang mendekat Amanda selalu menolaknya, bahkan pria paling tampan di kampus mereka sekalipun.
"Sebenarnya kau mencari pria seperti apa?" Amanda hanya terkekeh matanya mulai fokus menatap mata kuliah yang di terangkan dosennya.
..
Like..
Komen..
Vote..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!