"Apa, Kak? Kakak dipecat? Kok bisa, sih?" tanya Aisyah kepada kakak lelakinya, yang tak biasanya pulang kerja lebih awal.
"Ini semua gara-gara kamu!" ketus Zaenal, yang merupakan kakak Aisyah.
Aisyah mengerutkan keningnya. "Lho, kenapa Kakak jadi nyalahin aku?"
"Kamu itu egois, bangun langsung berangkat kerja sendiri, gak pernah bangunin aku. Jadinya aku selalu telat kerja, dan sekarang aku dipecat. Kamu tuh punya kakak, tapi mentingin diri sendiri," kata Zaenal sambil memalingkan muka seolah enggan menatap adiknya itu.
"Astaghfirullah, Kak, aku tuh selalu bangunin Kakak berkali-kali, tapi Kakak aja yang susah dibangunin. Aku juga harus kerja, Kak. Jadi ya karna Kakak gak bangun-bangun, ya udah aku tinggal aja," ucap Aisyah sambil menatap kakaknya.
****
Aisyah adalah gadis belia nan cantik dan soleha, usianya baru dua puluh satu tahun, dia ingin sekali kuliah. Namun karena keterbatasan biaya, akhirnya Aisyah harus merelakan kuliahnya, dan bekerja sebagai penjaga kantin sekolah di SD Kamboja. Pekerjaan Aisyah terbilang santai, karena Pukul dua belas siang sudah pulang.
Aisyah hidup bersama kakaknya, Zaenal dan ibunya, Sri. Zaenal bekerja di pabrik rokok, namun karena dia sering datang terlambat, dia dianggap tidak konsekuen dalam bekerja, akhirnya Zaenal dikeluarkan dari pekerjaannya. Ayah Aisyah yang bekerja sebagai kurir, sudah meninggal satu tahun lalu dalam kecelakaan, sewaktu beliau sedang dalam perjalanan mengantar barang.
Sedangkan Ibu Sri, kini tengah sakit-sakitan karena kesehatannya memburuk. Untuk itu beliau hanya beraktifitas di rumah saja.
Semenjak kepergian ayahnya, kehidupan Aisyah terasa sulit, untuk makan sehari-hari pun, Aisyah harus bekerja demi mendapatkan uang.
****
Zaenal tidak mempedulikan ucapan terakhir Asiyah, dia justru berjalan menuju dapur.
Brakkk ....!
Tiba-tiba terdengar suara seperti meja digebrak.
"Syah! Kamu dari tadi ngapain aja? Kenapa gak ada makanan, aku laper, tau!" seru Zaenal dari dapur.
Aisyah pun berjalan tergopoh-gopoh menuju dapur. Dia melihat Zaenal tengah berdiri berkacak pinggang.
"Ya ampun, Kak, ini kan bulan puasa, dan sekarang baru aja jam setengah satu. Memang Kakak gak puasa? Puasa itu wajib, Kak. Lagian aku baru aja pulang kerja. Dan karna aku puasa, jadi aku masaknya nanti jam tiga," ucap Aisyah sambil membetulkan kerudung yang dia pakai.
"Tapi ibu gak puasa, aku lihat dia tiap hari makan sama minum." Zaenal bersikeras.
"Kak, ibu tuh lagi sakit, dan dia harus minum obat. Kakak jangan gitu, dong," ucap Aisyah mengiba.
"Ah, cerewet kamu, udah sana beliin aku makanan, jam segini pasti udah ada yang jualan takjil di jalanan," ketus Zaenal.
"Jelas belum ada, Kak, nanti jam empat baru pada jualan, lagian ini masih siang," ujar Aisyah.
"Ya gak harus takjil juga, kan. Beliin bakso atau mie instan sana. Warung pasti ada yang buka," paksa Zaenal.
"Kak, mending Kakak puasa deh, aku malu kalau jam segini ke warung. Pasti mereka mengira kalau aku yang gak puasa," ujar Aisyah.
"Halah, gak usah dengerin omongan orang. Lagian aku gak sahur, mana bisa puasa." Zaenal masih terus menyuruh adiknya untuk membelikan makanan.
"Kak, puasa itu gak sahur gak masalah, yang penting niatnya. Apa Kakak tau, sejak pertama puasa, dan sudah tiga hari ini, aku puasa gak sahur. Karna memang gak ada makanan," tutur Aisyah.
"Kamu itu pinter ya, ceramah. Oh iya kamu biasanya pulang kerja dapet makanan, sekarang kok gak dapet," harap Zaenal.
"Gak ada, Kak. Tadi tuh jajanan di kantin laris, banyak belinya dobel-dobel sama buat buka katanya," dalih Aisyah.
Aisyah terpaksa berbohong, sebenarnya setiap pulang dari menjaga kantin sekolah, Aisyah selalu dibawakan jajanan kantin yang kebetulan masih tersisa, oleh pemilik kantin.
Dan hari ini, Asiyah pun mendapat aneka roti. Dan Aisyah sudah berniat, kalau roti itu untuk berbuka. Dia sengaja menyembunyikan roti itu di rak piring, dan ditutupi rantang, jadi Zaenal tidak dapat melihatnya. Hal itu Aisyah lakukan, karena setiap kali pulang kerja pada sore hari, Zaenal pasti melihat jajanan di atas meja. Dan selalu dia habiskan, sehingga Aisyah dan ibunya pun tidak mendapat bagian.
"Ya udah buan ke warung, beliin mie instan," titah Zaenal
"Gak, Kak, aku gak mau. Kalau bukan bulan puasa, aku pasti mau. Kalau aku menuruti perintah Kakak, itu sama saja aku berdosa, dan puasaku jadi batal," tolak Aisyah.
Karena geram, Zaenal segera menarik rambut Aisyah yang tersembunyi di dalam kerudung, membuat Aisyah meringis. "Hei, kamu sekarang berani, ya. Cepat ke warung belikan mie, atau aku bakar semua kerudung kamu," ancam Zaenal.
"Uhuk ...."
Di sela perdebatan antara kakak beradik itu, terdengarlah suara batuk dari arah kamar Ibu Sri.
Aisyah segera melepaskan dengan paksa, tangan Zaenal yang mencengkeram kerudungnya. Kemudian Aisyah berlari masuk ke dalam kamar sang ibu.
"Ibu, ibu tidak apa-apa?" cemas Aisyah.
"Ibu tidak apa-apa, Nak. Kalian kenapa bertengkar?" ujar Ibu Sri.
"Tidak apa-apa, Bu, hanya salah paham sedikit saja." Aisyah berdalih.
Gadis itu sengaja tidak menceritakan secara rinci mengenai perdebatannya dengan Zaenal, karena khawatir penyakit ibunya bertambah parah.
"Ya sudah, ibu pikir kalian bertengkar," lirih Ibu Sri.
"Oh iya, Ibu mau minum? Sebentar, aku ambilkan." Aisyah berusaha mengalihkan pembicaraannya. Dia berjalan keluar kamar, dan mengambil gelas kemudian mengisinya dengan air putih. Aisyah sudah tidak lagi melihat Zaenal di dapur. Entah kemana dia.
Kemudian Aisyah mengambil satu bungkus roti yang dia sembunyikan, dan bergegas masuk ke dalam kamar ibunya.
"Bu, ini diminum dulu, terus ini ada roti. Dimakan ya." Aisyah sengaja berbicara berbisik, khawatir Zaenal mendengarnya, karena Aisyah mengira bahwa Zaenal masuk ke dalam kamar. Padahal Zaenal diam-diam pergi keluar rumah entah kemana.
Terimakasih, Nak." Ibu Sri segera meneguk air dan memakan roti perlahan.
"Nak, ibu minta maaf," lirih Ibu Sri.
Aisyah mengerutkan keningnya, mendengar ucapan permintaan maaf ibunya. "Maaf? Untuk apa, Bu?"
"Ya, gara-gara ibu sakit, kamu jadi susah, harus bekerja. Padahal ibu tahu kalau kamu ingin sekali kuliah di kampus impian kamu. Sejak ayah meninggal ...."
"Sssttt ...." Aisyah menyela ucapan ibunya.
"Sudah, Bu, jangan diungkit lagi. Ayah sudah tenang di sana, kasihan kalau kita masih membicarakan dia. Ibu harus ikhlas, ya," tutur Aisyah bijak.
Tanpa disadari, mata Ibu Sri berkaca-kaca. Dia benar-benar terharu dengan kedewasaan putrinya itu.
"Ya sudah, Ibu sekarang istirahat, ya. Jangan banyak gerak, nanti tambah parah." Aisyah pun membaringkan ibunya di kasur kumalnya. Kasur yang sudah bertahun-tahun dipakai.
Setelah itu, Aisyah masuk ke dalam kamarnya. Dia memandangi potret almarhum ayahnya. Tanpa disadari bulir bening menetes di pipi Aisyah.
'Ayah, kenapa Ayah pergi begitu cepat? Meninggalkan kami semua.'
Aisyah pun merebahkan tubuhnya di atas kasur, dia mengingat kembali kenangan-kenangan indah bersama ayahnya sewaktu masih hidup, hingga tanpa disadari gadis itu tertidur.
Dan sayup-sayup terdengarlah adzan ashar berkumandang ....
Aisyah membuka mata perlahan, dia mendudukkan tubuhnya di atas kasur. "Ya Allah, aku ketiduran," lirihnya.
Tiba-tiba Aisyah merasakan sesuatu pada pipinya. Dia pun meraba pipi tirusnya yang basah karena menangis tadi. Aisyah cepat-cepat mengusap pipinya yang basah. "Nggak, aku nggak boleh sedih, kasihan ayah nanti ikut sedih juga, ayah sudah tenang di alam sana," lirihnya.
Aisyah pun berjalan keluar dari kamarnya. Dia melirik pada jam dinding yang menempel di tembok ruang tengah.
"Jam tiga lebih, sebaiknya aku siap-siap untuk masak," lirihnya seraya berjalan ke dapur.
Di dapur Aisyah mulai berkutat dengan peralatan masak. Saat itu dia hendak memasak sayur bayam dan tempe goreng. Jangan lupakan juga sambal goreng pedas manis.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam petang. Bersamaan dengan itu, Aisyah telah selesai memasak. Dia segera menyeduh tiga gelas teh manis dan menyiapkan roti yang dia dapat dari kantin di atas meja.
Setelah itu, Aisyah mencuci peralatan masak yang kotor. Selesai berkutat di dapur, Aisyah pun segera menuju kamar sang Ibu untuk menyeka badan dan mengganti pakaian ibunya itu, karena ibunya memang belum bisa terkena air.
Setelah itu, Aisyah segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Setelah
Kini Aisyah telah berpenampilan rapi, dengan baju usangnya, dan juga kerudung yang membalut kepalanya. Walaupun pakaian Aisyah terlihat kumal, tapi tidak menutupi kecantikan gadis tersebut.
Tak terasa adzan maghrib berkumandang ....
"Alhamdulilah, puasa ke lima ini berjalan lancar," gumam Aisyah seraya berjalan ke kamar ibunya.
"Ibu, aku ambilkan makan ya," kata Aisyah kepada Bu Sri yang terbaring lemah di atas kasur.
"Iya, Nak, kalau kamu capek, nanti saja," sahut Bu Sri.
"Capek kenapa, Bu? Tidak, kok." Aisyah segera berjalan keluar kamar menuju dapur. Kemudian kembali lagi membawa sepiring nasi yang sudah di campur sayur dan juga lauknya.
Dengan sabar, Aisyah menyuapi Bu Sri. Setelah selesai menyuapi ibunya, Aisyah menyuruh Bu Sri minum obat.
"Ya sudah, Ibu istirahat lagi ya, aku mau buka dulu," kata Aisyah.
"Lho, kamu ini gimana, Nak. Jadi kamu belum membatalkan puasa kamu, malah nyuapin ibu?" ujar Bu Sri.
Aisyah pun tersenyum. "Aku sudah membatalkan puasa dengan minum air putih, dan membaca basmalah."
"Ibu minta maaf, ya. Sekarang bisanya cuma merepotkan kamu saja," sesal Bu Sri.
"Bu, aku tidak mau dengar Ibu berbicara seperti itu lagi. Jangan suka menyalahkan diri sendiri, tidak baik," tutur Aisyah.
Bu Sri benar-benar terharu mendengarnya, dia sangat bersyukur memiliki anak gadis semulia Aisyah.
"Ya sudah, kamu buka dulu sana," titah Bu Sri.
"Baik, Bu." Aisyah segera keluar kamar dan menuju dapur. Dia mengambil piring dan mengisinya dengan nasi, kemudian duduk menghadap masakannya.
Sedang asik berbuka, tiba-tiba datang Zaenal. "Eh, kamu masak apaan, Syah? Aku laper nih."
Aisyah menoleh ke arah Zaenal. Seketika aroma alkohol menguar dari mulut Zaenal.
"Astagfirullah, Kak, kakak minum minuman keras, ya? Kak, ini bulan puasa, gak baik, Kak," ujar Aisyah.
"Ah cerewet kamu, cepet siapin makanan buat aku," titah Zaenal.
"Kak, Kakak kan sehat, ambil sendiri, dong. Kecuali Kakak sakit parah, baru minta diladeni," tolak Aisyah.
Zaenal segera berlalu dari hadapan Aisyah. "Kamu itu jangan suka melawan orang yang lebih tua. Cepet ambilkan makan sekarang juga, dan buatin teh manis, gak pake lama!" seru Zaenal sambil terus berjalan, dia duduk di ruang tengah dan menghidupkan televisi.
Aisyah hanya menggelengkan kepala, sambil mengelus dada. Tak lama dia menghampiri Zaenal, dengan membawakan piring berisi nasi dan sayur serta lauknya. Jangan lupakan teh manisnya.
"Ini, Kak, makannya."
Zaenal menerima makanan dari Aisyah. Dia mengerutkan keningnya melihat makanan tersebut.
"Apaan ini? Kamu pikir aku sapi, dikasih makan daun beginian?" ketus Zaenal.
Aisyah menatap lekat wajah Zaenal. "Kak, ini tuh sayur bayem, bergizi, kak."
"Tapi lebih bergizi daging ayam. Kamu itu, tiap hari masaknya cuma sayur, tahu tempe, masak yang enak-enak, dong," ujar Zaenal tak mau kalah.
"Kak, aku juga maunya masak yang enak-enak. Tapi ekonomi kita pas-pasan, jadi menyesuaikan dong. Lagian Kakak juga nggak pernah kasih aku uang, sementara gajiku cuma pas-pasan buat makan kita bertiga setiap harinya, aku mau beli baju sama kerudung baru saja, mikir-mikir. Takut nggak cukup buat nyambung hidup." Aisyah berbicara panjang lebar.
"Lah, kan kamu tau sendiri, kalo aku dipecat dari kerjaan, ini semua gara-gara kamu juga, kok," bantah Zaenal.
"Tapi kemarin-kemarin, waktu Kakak masih kerja, Kakak emang gak pernah bantu-bantu untuk kebutuhan rumah," kata Aisyah.
"Udah diem, berisik ngomong terus dari tadi, sekarang beliin aku bakso, aku udah gak selera makan nasi!" bentak Zaenal.
Karena tak ingin berdebat lagi, Aisyah pun menuruti perintah kakaknya. Dia segera keluar rumah dengan naik sepeda bututnya, mencari penjual bakso.
Sementara di dalam kamar ....
"Uhuk ... uhuk ...."
Terdengar suara Bu Sri terbatuk.
'Ya Allah, berilah hamba kesehatan, sembuhkan penyakit hamba, supaya hamba dapat ikut bekerja, supaya anak-anak hamba tidak bertengkar lagi masalah keuangan,' batin Bu Sri yang dengan jelas mendengar perdebatan kedua anaknya itu.
Bu Sri hanya bisa menangis dalam hati, dia tidak dapat berbuat apa-apa, apalagi melerai kedua anaknya yang selalu berselisih, dikarenakan kondisi badannya yang sangat lemah.
Dan beberapa lama kemudian, Aisyah datang dan menghampiri Zaenal. "Ini baksonya."
Zaenal menoleh ke arah Aisyah. "Ya taro di mangkok lah, masa aku makan pake plastiknya, gimana sih kamu?"
Aisyah menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya dengan kasar. Kemudian dia berjalan ke dapur dan memindahkan basko yang dia beli ke dalam mangkuk. Kemudian memberikannya kepada Zaenal. Gadis itu tidak ingin berdebat dengan kakaknya, mengingat kondisi ibunya.
Kemudian Zaenal melahap semangkuk bakso yang masih mengepul. "Nah gini dari tadi, baru namanya adik berbakti," gumam Zaenal lirih.
Sementara Aisyah melanjutkan berbuka puasa yang telah tertunda. Nasi dalam piring yang tinggal separuh sudah melar, karena lama terendam kuah bayam. Dan sayuran pun sudah dingin. Namun Aisyah tetap melahap makanan itu dengan lahap.
'Alhamdulilah, terimakasih untuk nikmat yang Kau berikan, ya Allah. Aku masih bisa makan setiap hari,' batin Aisyah.
Selesai makan, Aisyah kembali menghampiri Zaenal. "Kak, ayo kita teraweh," ajaknya.
"Teraweh? Sejak kapan? Gak ah, kamu aja sendiri, aku mau nonton tivi," tolak Zaenal tanpa menoleh ke arah Aisyah. Netranya tertuju pada televisi yang masih menyala.
"Ya sudah, kalau Kakak gak mau." Aisyah pun bergegas menuju ke mushola terdekat.
Selesai terawih, Aisyah berjalan pulang sambil mendekap mukena. Di tengah perjalanan, Aisyah disilaukan oleh cahaya motor yang berasal dari hadapan tak jauh dari Aisyah berjalan.
Aisyah pun segera menutup wajahnya dengan mukena yang dibawanya. Dia berhenti sejenak. 'Duh, motor masuk gang kok nggak dimatiin sih lampunya,' batinnya.
Sementara sepeda motor terus saja berjalan, hingga melewati Aisyah yang masih berdiam di tempat.
"Aisyah!" Terdengar suara seorang gadis memanggil nama Aisyah.
Merasa namanya dipanggil, Aisyah pun menoleh ke arah si pengendara sepeda motor. Aisyah memicingkan matanya. Dia seperti mengenal orang yang memanggilnya.
"Ya ampun, Tini, kamu apa kabar?" kata Aisyah.
"Kamu itu yang apa kabar, sekarang gak pernah main ke rumahku," balas gadis seusia Aisyah bernama Tini.
"Aku sekarang kerja, Tin," kata Aisyah.
"Kerja apa?" tanya Tini.
"Jaga kantin sekolah," sahut Aisyah.
"Ke rumahku aja yuk, kita ngobrol-ngobrol, gak enak di sini, banyak orang lewat," ajak Tini.
"Eh tapi, ini udah malem, nanti ibuku nyariin," kata Asiyah berusaha menolak ajakan Tini.
"Terus kapan? Besok kamu kerja, sore aku juga udah siap-siap kerja, ayolah sekarang aja. Ini mumpung aku libur," ujar Tini setengah memaksa.
Aisyah tampak sedang berpikir ....
'Ya sudah deh, aku main sebentar, lagian aku juga hampir nggak pernah main ke tempat Tini. Semoga saja ibu sudah tidur,' batin Aisyah.
"Eh, Syah ... malah bengong ...." Tini membuyarkan lamunan Aisyah.
"Eh, i-iya, Tin, ayo deh kita ke rumah kamu." Aisyah pun terkesiap.
"Ya udah, ayo naik," titah Tini.
Aisyah segera membonceng sepeda Motor matic Tini.
Tini adalah tetangga sekaligus teman sekolah Aisyah. Mereka sama-sama tidak dapat melanjutkan kuliah.
Tini mengendarai sepeda motornya perlahan, namun dia tidak menuju ke rumahnya, melainkan menuju sebuah tempat, yang jauh dari rumah Tini.
"Lho, Tin, rumah kamu sudah pindah, ya?" tanya Aisyah dengan raut wajah heran.
Tini tak menjawab pertanyaan Aisyah. Tak lama, mereka tiba di sebuah bangunan yang mirip dengan kos-kosan, yang terdapat beberapa kamar berjajar.
Kemudian kedua gadis itu turun dari sepeda motor, dan masuk ke dalam salah salah satu kamar. Mereka pun duduk di atas ranjang.
"Aku kos di sini," kata Tini tanpa berbasa-basi.
"Kamu kos?" ulang Aisyah.
Tini mengangguk. "Iya, Syah. Aku kerja di kafe. Kerjanya berangkat jam sembilan malem, pulangnya jam empat pagi."
"Huh? Kerja apa emangnya? Kafe kopi?" tanya Aisyah dengan polosnya.
"Bukan kafe kopi, aku kerja di kafe tempat karaokean. Kerjanya nyanyi, dan bayarannya lumayan, kalo lagi rame, sehari dapet lima ratus ribu, kalo sepi paling cuma dapet seratus ribu, tapi lumayan kan," ujar Tini.
Aisyah terbelalak, mendengar nominal yang disebutkan oleh Tini.
'Kalau sepi saja, dapat seratus ribu. Sehari? Wah, aku sebulan jaga kantin saja, hanya dibayar lima ratus ribu,' batin Aisyah sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar kos Tini
Aisyah melihat banyak sekali barang-barang mewah di dalam kamar itu. Salah satunya, ada televisi dengan layar tidak begitu lebar, namun juga tidak begitu kecil. Kemudian di sebelahnya terdapat dispenser beserta galon berisi air mineral. Kemudian tempat tidur yang berbentuk spring bed, dan kamar mandi dalam.
"Kamu kos di sini, bayarnya bulanan? Atau satu tahun sekalian?" tanya Aisyah penuh selidik.
"Ya bulanan dong, Syah. Ini kan kos kosan, kalau tahunan, namanya kontrakan," sahut Tini sambil terkekeh.
"Oh ... terus, berapa satu bulannya?" lanjut Aisyah.
"Satu juta," jawab Tini spontan.
Seketika kedua bola mata Aisyah membulat. "Sa-satu ju-juta ... itu ... uang semua?"
"Hahaha! Syah, kamu lucu juga, ya. Ya uang semua, masa campur daun," tawa Tini.
'Wah, mahal sekali. Dan itu artinya, gaji Tini memang besar ....'
Aisyah membatin sambil membayangkan, kalau dirinya pun bisa bekerja dengan gaji besar, dan bisa membantu keluarga. Bisa masak yang enak dan mewah, bisa menuruti kemauan kakaknya, yang sekarang menyandang status sebagai pengangguran.
Dan yang lebih penting lagi bagi Aisyah, dia bisa membiayai ibunya berobat di Rumah Sakit termahal dengan pelayanan bagus. Karena selama ini Aisyah hanya mampu membeli obat warung, untuk penyakit yang diderita ibunya.
"Hei ...." Tini pun mengusap wajah Aisyah.
"Aisyah terkesiap. "Eh, i-iya, Tin.
"Kamu ngelamun apaan, sih?" heran Tini seraya mengerutkan keningnya.
"Gak kok, Tin," dalih Aisyah.
"Oh iya, Syah, kamu mau ikut kerja juga, gak? Lumayan lho gajinya. Daripada di kantin, pasti dikit, kan?" telaah Tini.
"Aisyah menurunkan pandangannya. Kemudian dia menatap Tini. "Sorry, Tin, aku gak bisa kalo kerja malem sampe pagi, kasihan ibuku gak ada yang jaga, kakakku kalo malem pasti pergi."
"Hem, Syah ... Syah ... kamu ini lugu banget sih. Kan kamu bisa bayar orang, buat jagain ibu kamu, kalo kamu udah kerja sama aku, enak lho, dapet uangnya tiap hari, jadi gak ada gaji bulanan atau mingguan. Kalo tutupan kafe, langsung dikasih," ujar Tini.
"Tiap hari gajian? Wah, enak juga, ya," heran Aisyah.
Iya, Syah, makannya ikutan, yuk," ajak Tini antusias.
"Aku pikir-pikir dulu deh, Tin. Gak bisa langsung, juga gak janji ya," kata Aisyah.
"Ya udah, aku juga gak maksa," pasrah Tini.
"Iya, Tin, jadi ini kamu lagi libur?" ujar Aisyah.
"Iya, Syah. Liburnya seminggu sekali, bebas mau ambil hari apa aja, tapi gak boleh malem minggu, soalnya hari itu rame banget pelanggan," tutur Tini.
Aisyah mengangguk, dan mereka pun mengobrol disertai canda tawa.
Tak terasa, satu jam pun berlalu ....
"Eh, Tin aku pulang ya, udah malem," pamit Aisyah.
"Oke, ayo aku anter, tapi ke rumahku bentar, ya. Aku mau ngambil jaket, dingin nih, jaket ku kotor semua masih di laundry," kata Tini.
"Oke, Tin. Oiya, orang tua kamu tau, gak. Kalau kamu kerja di kafe?" ujar Aisyah.
"Gak taulah, kalo tau gak bakal boleh," sahut Tini.
"Terus, kamu bilang kerja apa, sama mereka?" tanya Aisyah.
"Aku bilang di kedai kopi. Kan banyak tuh kedai-kedai kopi yang lagi viral, bukanya juga malem sampe pagi. Jadi mereka percaya," kata Tini.
Aisyah hanya mengangguk, karena dia sendiri pun belum paham, bagaimana pekerjaan temannya itu.
pun
"Oh iya, nanti kalau udah di rumahku, jangan bahas masalah kerjaan, ya, gak enak aja," pesan Tini.
"Iya," angguk Aisyah.
Kemudian Tini memboncengkan Aisyah. Hingga tiba di rumah Tini. Tini mengajak Aisyah masuk ke dalam.
Aisyah benar-benar kagum dan tak percaya dengan penglihatannya. Dia melihat rumah Tini terbuat dari beton. Dan isi rumahnya sungguh mewah.
Padahal setahu Aisyah, dulu rumah Tini sama seperti Aisyah, yakni terbuat dari gubug.
'Subhanallah ... ini beneran rumah Tini?' batin Aisyah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!