...Siapa yang menyangka jika hari bahagia akan berubah menjadi hari duka. Tangis kebahagiaan akan berubah menjadi tangisan duka....
...~Husna~...
Hari yang telah dinantikan sekian lama dengan melewati segala proses panjang dan persiapan yang sudah sangat matang, tiba-tiba harus terkubur dalam suasana duka untuk selama-lamanya.
Tepat di hari pernikahannya, mobil yang dikendarai Yudha mengalami sebuah kecelakaan yang harus merenggut nyawanya. Namun, sebelum Yudha menghembuskan napas terakhirnya, dia berpesan kepada Huda untuk menggantikan dirinya menikahi Husna, calon istrinya.
Kecelakaan itu terjadi ketika Yudha tidak bisa mengendalikan kecepatan laju mobilnya. Dimana dia sedang memburu waktu agar bisa segera sampai ke tempat tujuannya. Namun, naasnya, saat dia hendak menyalip mobil yang ada di depannya tiba-tiba ada sebuah mobil dari arah berlawanan. Tak dipungkiri lagi, kecelakaan maut itu terjadi.
BRAAAAAKKKKK ....
Mobil yang dikendarai Yudha terpelanting beberapa meter membuat mobil hampir tak berbentuk lagi.
Entah darimana kabar kecelakaan itu terjadi hingga ambulans datang untuk menyelamatkan Yudha dan segera membawanya ke rumah sakit terdekat.
"Tidak Mas. Mas Yudha harus bertahan. Sebentar lagi kita akan sampai di rumah sakit dan dokter akan menyelamatkan Mas Yudha," isak Huda yang juga sedang menahan rasa sakitnya. Namun rasa sakit yang dialaminya tidak sebanding dengan rasa sakit yang sedang dialami oleh kakaknya.
Terlihat dengan jelas jika Yudha sudah tidak sanggup lagi untuk bernapas. Alat bantu pernapasan pun juga telah terpasang ke tubuh Yudha.
"Hu-da, ingat pesanku! Kamu harus menjaga Husna untukku. Nikahi dia, jaga dia dan sayang dia!" pesan Yudha dengan napas kembang kempis.
"Tidak, Mas! Hari ini adalah hari pernikahanmu! Aku tidak akan menggantikanku, karena kamu yang akan menikahinya!"
Tak berselang lama ibu dan juga calon istrinya pun juga sudah sampai di rumah sakit. Husna yang masih terbalut gaun pengantin menangis histeris saat melihat keadaan Yudha yang sudah terpasang berbagai alat medis di tubuhnya.
"Mas Yudha." Tangis Husna pecah saat dia melihat dengan jelas kondisi calon suaminya yang terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit.
Yudha yang masih sadar mengulurkan tangannya untuk menyentuh Husna, calon bidadari surganya.
"Hus-na," ucap Yudha terbata.
"Mas Yudha, bertahanlah!" Husna menggenggam erat tangan Yudha dengan air mata yang terus membanjiri pipinya.
"Hu-da." Yudha terbata lagi.
Huda yang berada di sampingnya segera mendekat ketika tangan Yudha terulur untuk menyentuhnya.
"Husna, ma-afkan a-ku ti-dak bi-sa mene-pati janjiku," kata Yudha dengan sisa napas yang dia miliki.
"Ta-pi ka-mu te-nang saja, a-da Hu-da yang a-kan mengganti-kanku setelah a-ku pergi," lanjut Yudha yang sudah tidak semakin kesulitan untuk bernapas.
"Mas Yudha ngomong apa? Kamu gak akan pergi kemana-mana. Kita akan segera menikah, Mas. Ingat kita pernah bermimpi untuk hidup sampai menua," kata Husna dengan isak tangisnya.
"Hu-da ... ni-ka-hi Husna!" Meskipun dengan terbata, tetapi ucapan Yudha sangat jelas di telinga semua orang, termasuk Husna.
Tangan Huda dan tangan Husna sudah berada dalam genggaman Yudha. Yudha berharap jika Huda bersedia untuk menggantikan dirinya menjadi penggantinya untuk Husna. Bagaimanapun Yudha berharap jika pernikahan ini tetap berlanjut, meskipun bukan dia yang menjadi pengantin pria untuk Husna.
Huda menggeleng pelan. "Tidak, Mas! Kamu-lah yang harus menikah dan menjadi imam untuk mbak Husna," tolak Huda, yang berusaha menarik tangan yang sedang digenggam boleh Yudha.
Namun, Yudha tak melepaskan genggaman tangannya, begitu juga dengan Husna yang mencoba untuk melepaskan.
Yudha hanya bisa memejamkan matanya sambil menahan rasa sakit yang sudah menyebar keseluruhan tubuhnya.
"Huda, to-long! Aku mohon, agar a-ku bi-sa pergi dengan tenang!"
Tanpa sengaja mata Huda dan Husna saling bertemu. Husna yang menyadari langsung segera membuang pandangannya.
Yudha tidak memberikan celah untuk mereka melepaskan tangannya, sebelum Huda menyetujui permintaan Yudha.
"Maaf Mas, aku tidak bisa menikahi calon istrimu karena aku juga sudah memiliki calon sendiri," tolak Huda.
"Mas Yudha harus optimis. Aku yakin Mas Yudha bisa melewati semua ini. Kita akan menikah, Mas! Saling mencintai hingga menua bersama anak cucu kita," sambung Husna dengan rasa sesak di dada.
Humaira adalah wanita pilihan dari mendiang ayah Yudha sebelum meninggal. Namun, karena saat itu Yudha masih harus menyiapkan sebuah rumah untuk calon istrinya, Yudha meminta sedikit waktu untuk mengkhitbah Husna. Yudha berjanji setelah rumah itu selesai, dia akan segera mengkhitbah Husna dan akan langsung menikahinya
"I-bu," panggil Yudha dengan terbata. Yudha terlihat sangat kesulitan untuk bernapas lagi.
"Iya, Nak. Ini ibu." Dengan berurai air mata ibu Yudah menggenggam erat tangan anaknya. Bisa dilihat jika saat ini Yudha telah menggunakan alat bantu pernapasan. Yudha mengalami benturan kuat di kepala dan mengalami pendarahan di otak kecilnya. Bahkan dokter saja tidak bisa menjamin apakah Yudha masih bisa diselamatkan atau tidak.
Namun, semua itu bisa saja terjadi ketika mukjizat itu datang. Nyatanya saja dengan luka yang parah dan sempat tidak sadarkan diri, Yudha masih bisa untuk berbicara.
"I-bu. Ma-maaf Yu-dha be-lum bisa menja-di anak yang berbakti kepada i-bu. Ja-ngan me-nangis."
Bagaimana perasaan seorang ibu ketika melihat anaknya sedang berjuang antara hidup dan matinya. Dengan berurai air mata ibu Yudha mencoba untuk menyekanya. Dia tidak ingin menunjukkan kesedihan didepan Yudha.
"Iya, ibu tidak menangis, Nak," ucap wanita itu dengan dada yang terasa sesak.
Detik kemudian Yudha menatap kearah Huda dan Humaira. Dengan sisa napas yang masih dimiliki, Yudha berkata, "Hu-da, ti-tip Husna."
Tatapan penuh cinta untuk Husna. Namun, Yudha sadar jika dia tidak bisa untuk menjaganya lagi.
Sebagai manusia hanya bisa berencana, tetapi Allah yang menentukan. Mungkin ini adalah garis takdirnya Yudha sampai disini, karena Allah lebih menyayanginya.
Yudha tidak menginginkan ada air mata di hari kepergiannya. Senyum terakhir dia ukir sebelum dia menyebut asma Allah untuk menuntun kepergiannya.
"Mas Yudha!" teriak Husna yang melihat Yudha sudah tak bergerak lagi.
"Mas Yudha!" Kini giliran Huda yang sangat panik saat sang kakak sudah tak bernapas lagi.
Di waktu yang bersamaan, layar monitor telah menunjukkan garis lurus, yang artinya tidak ada detak jantung yang berdetak.
Dengan gaun pengantin yang masih menempel, Husna tidak bisa membendung tangisnya. Dia memeluk Umi untuk menumpahkan kesedihannya.
"Umi ... Mas Yudha ... Umi," isak Husna.
Sambil menyeka air matanya, Umi Salwa mengelus punggung anaknya. "Kamu harus kuat, Nak. Allah lebih menyayangi Yudha." Air mata yang ditahan akhirnya mengucur dengan deras.
"Yudha," teriak ibunya berusaha untuk membangunkan Yudha. Tangis itu pecah sejadi-jadinya ketika Yudha tak bisa dibangunkan lagi.
Umi Salwa berusaha untuk tegar meskipun terasa sesak. Dia memeluk tubuh besannya yang sudah tak sadarkan diri. Sementara Husna terus menangis tubuh Yudha yang sudah terbujur kaku tak bernyawa lagi.
"Innalilahi wa innailaihi ro'jiun," ucap Abi dengan tegar.
Sesungguhnya hidup dan mati telah ditentukan oleh sang pencipta. Seperti sebuah firman Allah yang menjelaskan bahwa setiap nyawa pasti akan mengalami kematian. Cepat atau lambat, itu sudah pasti.
...***...
Halo Assalamualaikum cerita Huda kembali kita sambung lagi ya. Yang udah pernah baca pasti udah tau ceritanya, tapi disini Humaira othor ganti dengan Husna. Semoga terhibur dengan cerita receh ini 💜
Seharusnya orang-orang datang dengan memberikan kata selamat berbahagia. Namun, nyatanya mereka datang dengan bela sungkawa.
Hari ini seharusnya sepasang pengantin berdiri diatas pelaminan. Namun, dengan kehendak sang pencipta, salah satu diantara mereka harus berada di liang lahat, tempat peristirahatan terakhir yang nyata.
Tak hentinya Husna menitihkan air mata kesedihan saat melihat jasad calon suaminya hendak di masukkan ke liang kubur dan ditutup dengan tanah.
"Kamu harus mengikhlaskan Yudha agar dia merasa tenang di alam sana!" nasehat Uminya.
"Kita tidak boleh mencintai hamba-Nya hingga melupakan sang penciptanya. Allah mengambil Yudha, karena Allah menyayangi Yudha," lanjut Uminya lagi.
Husna berada dalam sandaran Umi, wanita yang selalu memberikan kekuatan untuk dirinya selama ini. "Iya, Umi. Husna tahu," balas Husna dengan pelan.
"Syukurlah, Nak. Sekarang tugasmu adalah mendoakan Yudha agar diberikan tempat terindah dan diampuni dosa-dosa," kata Umi lagi.
Kasih sayang ibu yang tulus tak akan pernah tergantikan dengan siapapun dan apapun. Ibu adalah segalanya. Ibu adalah sandarann yang mampu menenangkan hati dan perasaan.
Setelah acara pemakaman selesai, Abi langsung mengajak Husna untuk meninggalkan pemakaman. Namun, Husna menolaknya. Dia masih ingin tetap berada di makam untuk menemani Yudha.
"Ibu pulanglah bersama dengan Umi dan Abi. Huda yang akan membujuknya," kata Huda pada kedua orang tua Husna.
"Baiklah, Nak. Jangan lama-lama!" pesan Abi.
Husna masih menatap sendu batu nisan yang bertulis Yudha Pranata. Harusnya nama itu tertera di dalam buku nikah, bukan di batu nisan.
Husna masih menangis untuk menumpahkan perasaannya saat ini. Bahkan suara tangisannya bisa di dengar oleh Huda.
Huda yang berada di samping Husna hanya mampu melihat bagaimana Husna terus terisak menangisi batu nisan sang kakak.
Bukan Huda tidak memiliki kesedihan yang mendalam, tetapi Huda mencoba untuk menutupinya. Dia mencoba untuk tetap tegar saat dia melihat batu nisan yang berada disebelah kakaknya. Makam milik ayahnya yang tiga bulan lalu pergi untuk selamanya. Lalu hari ini Huda harus kehilangan sosok pengganti ayahnya. Itu tandanya Huda harus menggantikan peran ayahnya untuk menjaga ibunya.
"Sudah hampir sore, lebih baik kita pulang," bujuk Huda.
Husna menyeka air matanya. Dia baru menyadari jika ternyata Huda belum pulang.
"Mengapa kamu belum pulang?" tanya Husna dengan sesenggukan.
"Karena aku sedang menunggumu yang masih menangisi batu nisan kakakku," jawab Huda datar.
"Pulanglah! Aku bisa pulang sendiri!"
"Aku tidak akan pulang tanpa kamu! Kamu pikir kakakku akan bahagia jika kamu terus menerus menangisi kepergiannya? Tidak, Mbak! Dia hanya akan bersedih saat melihatmu seperti ini. Lebih baik kita doakan mas Yudha dari pada kita menangisinya!" ujar Huda.
Husna kembali menyeka air mata yang tak bisa berhenti mengalir. Ada benarnya ucapan Huda, saat ini yang dibutuhkan Yudha adalah doanya, bukan air matanya. Namun, untuk saat ini Husna masih belum rela untuk meningkatkan pusara Yudha.
"Mas Yudha, ingin rasanya aku memaki. Namun aku sadar jika hidup dan mati adalah milik Allah. Ingin rasanya aku tidak ridho, tetapi itu hanya akan membuatmu menderita. Kamu jahat, Mas!" Husna kembali menangis tersedu-sedu diatas batu pusara.
"Mbak, kita pulang ya!" Kini Huda memberikan diri untuk mengangkat tubuh Husna yang sudah lemas. Selama hampir satu jam Huda bersabar untuk menunggu dan kini dia memberanikan diri untuk menyentuh wanita yang terus-menerus menangis pusara milik kakaknya.
"Mas Yudha, aku pulang." Dengan berat hati Husna pasrah saat tubuhnya telah dipapah oleh Huda untuk meningkatkan tempat peristirahatan terakhir Yudha.
Selama perjalanan pulang, tak ada kata yang terucap dari bibir keduanya. Pandangan Husna kosong. Yudha telah pergi untuk selamanya. Kini semua cerita hanya tinggal kenangan. Husna benar-benar sangat terpukul. Mengapa hari bahagianya harus berubah menjadi hari duka?
Tak terasa kini mobil yang dikemudikan oleh Huda telah sampai di rumahnya. Rumah yang masih dalam suasana duka, dimana masih ada beberapa orang datang silih berganti rumahnya untuk bertakziah.
Terlihatlah juga masih ada Umi dan Abi Husna yang belum pulang.
"Assalamualaikum, Abi. Maaf lama," kata Huda seraya menyalami Abi Husna
"Walaikumsalam, Nak Huda. Tidak apa-apa, Abi dan mengerti," jawab Abinya Husna.
...****...
Sesuai dengan amanah yang diberikan kepada Huda, seminggu setelah kepergian sang kakak, Huda langsung menikahi Husna. Meskipun dengan hati yang sangat berat, tetapi dia tetap menjalankan permintaan terakhir sang kakak.
"Bagaimana para saksi?" tanya pak penghulu setelah Huda melafazkan ijab kabulnya.
"Sah." Kata serentak bisa terdengar dengan jelas.
"Alhamdulillah," seru pak penghulu. Detik kemudian pun pak penghulu membacakan doa untuk kedua mempelai yang baru saja sah menjadi pasangan suami-isteri.
Meskipun acara tidak mengundang banyak tamu, tetapi acara berjalan dengan lancar sampai akhir. Kini Husna telah resmi menyandang status istri dari seorang Muhammad Al-Huda.
"Alhamdulillah, acara berjalan dengan lancar ya, Mbak," kata Umi Salwa pada ibunya Huda.
"Semoga mereka menjadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah, until Jannah," timpal besannya.
Bukan ingin berbahagia diatas rasa duka, tetapi mereka hanya menjalankan pesan terakhir dari mendiang Yudha yang menginginkan Huda menggantikan dirinya.
"Huda, mulai hari ini tanggung jawab Abi telah berpindah kepadamu. Abi titipkan putri Abi Al-Husna Az-Zahra kepadamu, Nak. Sayangi dia, kasihi dia seperti Abi dan Umi menyayangi dia. Abi tahu jika pernikahan ini bukanlah keinginan kalian. Abi juga tahu, jika saat ini belum ada rasa cinta diantara kalian berdua. Menyatukan dua hati yang berbeda itu tidaklah mudah seperti menyatukan kedua telapak tangan. Jadi jika sewaktu-waktu ada masalah, tolong selesaikan dengan kepala dingin," wejangan Abi panjang lebar.
Huda hanya bisa mengangguk dan mengiyakan saja wejangan yang diberikan oleh Abinya.
"Insyaallah. Doakan Huda agar bisa menjadi imam yang baik untuk Mbak Husna, Bi." balas Huda.
Akhirnya setelah acara usai, Huda langsung membawa Husna untuk ikut bersama dengannya. Karena saat ini Huda sedang menempuh pendidikan diluar kota, mau tidak mau, Huda juga harus membawa Husna ke tempat tinggalnya yang ada diluar kota.
Air mata Aira harus tumpah lagi manakala dia harus meninggalkan kedua orang tuanya.
"Sudah jangan menangis! Sudah sewajarnya seorang istri mengikuti langkah suaminya pergi. Jadilah makmum yang berbakti kepada imam ya, Nak," pesan umi Salwa sebelum Husna meninggalkan rumahnya.
"Kamu harus ikhlas dengan kenyataan ini, Nak. Saat ini Huda adalah suamimu. Meskipun usianya lebih muda darimu, tetapi dia adalah suamimu. Panggil dia dengan sebuah Mas!" timpal Abinya.
Husna menanggung pelan. "Insyaallah Husna akan menjadi seorang istri yang berbakti sekalipun itu bukan pada mae Yudha."
"Nak Huda, apakah tidak bisa diundur besok pagi?" tanya Umi Salwa.
"Tidak bisa Umi, sudah satu minggu lebih Huda izin. Huda takut dengan libur yang kepanjangan ini akan mempengaruhi nilai Huda. Tapi jika mbak Husna tidak ingin ikut Huda untuk keluar kota tidak apa-apa. Akhir pekan Huda akan usaha untuk pulang."
"Tidak, Nak. Sebagai seorang istri, Husna akan ikut kemanapun suaminya bernaung. Maafkan Umi jika belum siap untuk ditinggal, Husna. Tapi saat ini kamulah yang berhak sepenuhnya pada Husna. Umi nitip Husna, ya!" sesal Umi Salwa.
...***...
Menjadi seorang suami dadakan untuk Husna membuat Huda harus berlapang dada menerima takdirnya. Diusianya yang masih muda, Huda sudah harus mengemban status suami, terlebih usianya dengan terpaut terpaut lima tahun lebih muda dari Husna.
Didepan sebuah ruko berlantai dua, Huda memberhentikan mobilnya. Terlihat tiga orang laki-laki menatap heran kearah Huda yang menyeret koper besar dan diikuti oleh seorang wanita dibelakangnya.
“Dengarkan! Mulai malam ini kalian bertiga tidak boleh tidur lagi disini lagi!”
Tiga orang yang merasa tinggal di ruko masih menatap Huda dengan heran. “Kenapa?” tanya Arul.
“Lo ngusir kita?” sambung Dimas.
“Karena gue bawa bini gue. Gue gak mau kehadiran kalian membuatnya terganggu,” ujar Huda dengan tenang.
Ketiga orang temannya masih tak percaya dengan pengakuan Huda yang sangat mengejutkan. Mereka mengira Huda sengaja ingin mengusir mereka dengan cara seperti itu. Namun, setelah melihat sosok wanita muncul dibelakang Huda membuat tiga laki-laki ternganga.
“Ini bukanya calonnya mas Yudha?” celetuk Mail yang mengenali Husna.
“Iya, gue inget. Ini kan mbak Husna, calon istrinya mas Yudha,” timpal Dimas. "Mengapa bisa sampai disini?"
Meskipun merasa canggung, Husna tetap menyapa ketiga laki-laki yang ada di depanya dengan senyum yang ramah.
“Assalamualaikum,” sapa Husna
“Waalaikumsalam,” jawab ketiga laki-laki itu dengan serempak.
“Dah, gue mau keatas dulu. Nanti kita bahas!” ujar Huda yang kemudian nyelonong masuk dengan menyeret koper milik Husna.
Ketiga temannya hanya mampu melihat kedua orang yang sedang menaiki anak tangga untuk menuju ke lantai dua.
Sesampainya di lantai atas, Huda membawa Husna ke kamarnya. Kamar yang rapi dan bersih. Bahkan kamarnya juga harum dengan pengharum ruangan.
“Kamu istirahat saja. Aku mau turun lagi ke bawah,” ujar Huda.
Huda pun segera membalikan badan untuk keluar. Namun, detik kemudian Maira menahannya sejenak. “Huda, tunggu!”
“Ada apa, Mbak?” tanya Huda.
“Kalau bisa jangan usir temanmu. Kasihan mereka. Aku gak papa kok.”
“Baiklah,” kata Huda yang kemudian menutup pintu kamar.
Setelah kepergian Huda, Husna meneliti setiap sudut kamar yang hendak dia tempati. Tak sengaja mata Husna menangkap sebuah foto dimana dua lelaki saling tersenyum lebar dalam satu bingkai.
Tangannya terulur untuk menyentuh bingkai foto itu. Dengan mata yang berkaca-kaca, Husna mengusap pelan gambar yang membuat dadanya terasa sakit. “Mas Yudha,” lirihnya.
Tak terasa air matanya membasahi pipi. Kebersamaanya selama ini hanya tinggal sebuah kenangan. Semua mimpinya telah terkubur dalam liang kubur bersama dengan jasad Yudha. “Kamu jahat! Kamu bilang kita akan menua bersama dengan anak cucu kita. Namun, nyatanya kamu malah meninggalkanku, Mas.”
Dada Husna terasa sesak. Kepergian Yudha seperti mimpi buruk untuknya, yang berharap saat membuka mata Yudha masih ada di depan matanya.
Husna langsung menyeka jejak air matanya dan meletakkan kembali bingkai foto ketempat semula. Namun, penglihatannya tak sengaja menangkap lagi satu bingkai foto. Kali ini bibirnya hanya tersenyum tipis saat melihat gambar Huda dengan seorang perempuan yang memiliki senyum manis.
Husna tidak tahu siapa perempuan itu. Dia hanya menebak jika perempuan itu adalah kekasih Huda. Kerena Huda pernah menyebutkan jika dia telah memiliki calon sendiri. “Apakah ini adalah calon Huda?” Husna bertanya pada dirinya sendiri.
Tidak ingin larut dengan pemikirannya, Husna meletakan kembali bingkai foto itu. Rasa lelah dalam perjalan membuat Aira memutuskan untuk beristirahat sejenak. Membuang rasa berat dalam dadanya, Husna mencoba untuk mengucap kata istighfar agar hatinya sedikit lebih tenang.
“Ya Allah, mengapa Engkau terlalu cepat untuk mengambil calon imamku? Apakah aku tak pantas untuk mas Yudha sehingga Engkau mengambilnya dariku?” desah Husna dengan napas beratnya.
Sementara itu tiga orang teman Huda menatapnya dengan serius kearahnya. Kabar duka yang baru saja disampaikan Huda membuat ketiganya merasa sangat shock. Bahkan Arul sempat tidak percaya dengan kabar yang disampaikan oleh Huda.
“Lo keterlaluan, gak ngabarin kita kalau mas Yudha meninggal. Setidaknya kita bisa datang,” kata Dimas dengan tubuh lemas.
“Meskipun kita ke-re setidaknya Lo anggep kita sodara seiman-lah!” sambungnya lagi.
“Sorry. Otak gue bener-bener ngeblank. Ibu gue sangat terpukul dengan kepergian mas Yudha. Kalian tahu sendiri kan kalau bapak gue baru pergi beberapa bulan yang lalu dan kini mas Yudha juga pergi untuk selamanya. Gue bener-bener minta maaf,” ujar Huda dengan rasa bersalah, karena tak memberi kabar kepada ketiga sahabatnya lebih awal.
“Gak papa. Gue ngerti posisi Lo kok, Hud,” ucap Arul dengan merangkul tubuh Huda. Mencoba untuk memberikan kekuatan agar Huda tetap tegar.
“Terus Lo gantiin mas Yudha buat nikahin mbak Husna, dong?” celetuk Mail.
Huda hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban iya, karena memang itulah kenyataanya.
“Jadi sekarang mbak Husna istri, Lo?” potong Dimas.
“Pakai nanya lagi. Jelas iya lah! Gimana sih Lo!” sahut Arul.
“Terus kalau Lo usir kita dari sini, kita mau tinggal dimana? Nyewa Kontrakan mahal. Gaji dari bengkel Lo aja mana cukup dibagi-bagi. Bisa-bisa kita jadi gelandangan.” kata Dimas dengan lesu.
Ketiganya sahabat yang dimiliki Huda memang tak seberuntung dirinya yang masih bisa merasakan secuil harta dari orang tuanya. Ketiganya hanya bermodal nekat ketika mendaftar kuliah disalah satu perguruan tinggi di kota tersebut.
Beruntung saja mereka bisa bertemu dengan Huda.
Karena Huda merasa kasihan, akhirnya Huda menyewa sebuah ruko untuk membuka bengkel. Dari situlah Huda bisa membantu ketiga sahabatnya yang tak seberuntung dirinya.
“Tenang aja karena kebaikan hati mbak Husna kalian masih bisa tetap tinggal di sini. Tapi tidak di kamar atas lagi! Kalian bisa bereskan gudang kosong dibelakang sana untuk tidur!”
“Gue sih gak masalah tinggal di gudang sana asalkan gak jadi gelandangan,” celetuk Arul.
“Gue juga. Selama makan gue juga masih ditanggung,” timpal Mail.
“Gue ngikut aja selama gaji gue gak dipotong uang sewa dan uang makan.” Dimas juga menimpali.
Setelah membereskan kamar yang selama ini digunakan sebagai gudang, akhirnya ketika sahabat Huda bisa bernapas lega. Bagi mereka Huda adalah malaikat yang tak bersayap, meskipun Huda memiliki seribu kekurangan.
“Kalian harus ingat pesan gue. Gak boleh lirik-lirik dan gak boleh godain mbak Husna. Dia itu titipan yang harus gue jaga. Kalau sempat gue tahu kalian menyentuhnya, gue akan langsung tendang ke neraka, mau?!”
Ketiga orang sahabatnya menggeleng dengan serentak.
“Bagus. Satu lagi, kalian juga harus bersiap siaga saat dibutuhkan oleh mbak Husna.”
Setelah ketiga orang sahabatnya paham, Huda pun naik ke lantai dua untuk melihat Aira sedang apa. Sesampainya di dalam kamar, langkah Huda tertahan saat melihat Aira sedang menengadah sambil terisak.
“Ya Allah ya Rabb, aku ikhlas atas takdir yang Engkau gariskan untukku meskipun itu terasa berat. Aku yakin jika Engkau telah menempatkan mas Yudha di Surga-MU. Meskipun kami tidak berjodoh di dunia, izinkanlah kami berjodoh di akhirat kelak ya Rabb. Ya Allah, apakah aku terlalu egois untuk memiliki mas Yudha sepenuhnya? Sedangkan aku tahu Engkaulah pemilik yang sesungguhnya. Ya Allah, saat ini aku telah menjadi seorang istri dari pria yang tidak aku cinta. Sanggupkah aku menggantikan sosok mas Yudha dalam hati ini? Mengapa takdir tidak adil, Ya Allah.”
Huda yang awalnya ingin masuk, memilih untuk mengurungkan niatnya. Dia sadar sepenuhnya jika sampai kapanpun dia tidak akan pernah bisa menggantikan sosok Yudha. Meskipun keduanya terlahir dari rahim yang sama, tetapi sifat mereka bertolak belakang.
...****...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!