NovelToon NovelToon

Balqis Untuk Baim

BUB 1 Putri Balqis

Balqis Untuk Baim (1)

Malam masih gelap, seorang gadis sudah terjaga dari tidurnya. Ia bangun dari kasur lantai yang sudah lama menemani tidurnya.

"Hoam.." Tangan kanannya menutup mulutnya. "Sudah jam tiga." Ucapnya saat melihat jam duduk bergambar hello Kitty di atas meja kayu tua yang ada di sampingnya.

Gadis itu bernama Putri Balqis. Nama yang cantik secantik orangnya. Nama yang indah, namun tidak seindah kehidupannya.

Hidup sebatang kara di usia yang kini menginjak dua puluh satu tahun. Tanpa orang tua, tanpa sanak keluarga. Ia pun hanya tinggal di sebuah kontrakan kecil yang akan di pandang sebelah mata oleh kebanyakan orang karena terlalu kecil.

Namun, rasa syukur tak pernah luntur ia ucapkan karena ia masih ada tempat untuk berteduh dan makanan untuk ia makan.

Orang-orang mengenal Balqis sebagai penjual nasi kuning. Keahliannya membuat nasi kuning ia pelajari dari almarhumah nenek yang dulu merawatnya. Seorang nenek tua renta yang dua puluh satu tahun lalu menemukannya menangis di dalam gerobak kosong saat ia hendak ke pasar.

Rasa iba membuatnya memungut Balqis kecil hingga dewasa dan satu tahun lalu berpulang ke Rahmatullah.

" Qis, Balqis. Kamu sudah bangun!" Arumi mengetuk pintu kontrakan Balqis di pagi buta.

Arumi adalah sahabat Balqis. Berbeda dengan Balqis yang lemah lembut, Arumi justru sedikit tomboi. Ia jago beladiri juga sangat blak-blakan dalam berbicara. Pokoknya bertolak belakang dengan Balqis. Namun, mereka saling melengkapi.

Usia keduanya sebaya. Namun, kehidupan Arumi lebih baik karena masih memiliki kedua orang tua yang lengkap juga masih bisa mengenyam pendidikan di bangku kuliah.

"Sudah, masuklah dulu. Aku mau pakai kerudung dulu." Jawab Balqis membuka pintu dan membiarkan Arumi duduk di atas tikar menunggunya.

Nenek Ina, semasa hidupnya pernah menolong orang tua Arumi saat akan melahirkan Arumi dulu, sehingga akhirnya sebagai rasa terima kasih, mereka selalu membantu Balqis. Bahkan Arumi selalu menemani Balqis berbelanja ke pasar di pagi buta.

Tentu agar Balqis lebih aman karena Arumi bisa menjaganya dari orang yang berniat jahat.

" Maaf selalu merepotkanmu." Balqis berjalan ke arah Arumi yang langsung berdiri melihat Balqis sudah siap.

" Jangan sungkan. Aku malah suka, lumayan bisa dapat camilan gratis." Arumi terkekeh. Ia selalu di belikan jajanan pasar yang menjadi kegemarannya setiap menemani Balqis belanja ke pasar.

" Aku hanya bisa memberimu itu." Balqis merasa pemberiannya tidak seberapa.

"Jangan di pikirkan. Aku senang kok." Arumi mulai membuka pintu. "Ayo pergi sekarang, nanti malah kesiangan."

Balqis pun menuruti perkataan sahabatnya. Ia berjalan keluar lalu mengunci pintunya.

Mereka melewati gang sempit hingga berujung di jalan raya. Udara terasa sangat dingin karena hujan baru saja reda.

Byurrr

Sebuah mobil melaju dengan kencang melewati kubangan. Alhasil, airnya terciprat tepat ke tubuh Arumi.

" Arghhhh.." Kesal Arumi karena badannya menjadi basah sekaligus kotor.

" Sudah tahu ada genangan air masih saja di terobos, bukannya pelan-pelan." Geram Arumi.

Balqis mencoba melap Arumi dengan sapu tangannya.

" Kamu pulang saja, Arumi. Mana mungkin kamu pergi dengan pakaian begini." Ucap Balqis

"Kamu tunggu saja aku sebentar ya. Aku akan cepat-cepat ganti pakaiannya." Arumi tidak berani membiarkan Balqis berjalan sendirian menuju pasar.

Jaraknya memang tidak terlalu jauh. Tapi, lingkungan disana masih sedikit riskan. Masih banyak anak muda yang suka nongkrong bahkan terlibat tauran hanya karena berbeda geng motor.

" Tidak usah khawatir, aku sudah biasa." Balqis mencoba tersenyum. Walaupun pada kenyataannya, hatinya sangat berdebar-debar karena takut.

Bukan takut hantu. Tapi, takut ada orang yang berniat jahat. Terkadang kelakuan manusia lebih menakutkan dari hantu.

" Kamu yakin?" Arumi meyakinkan.

Balqis mengangguk dengan cepat.

" Baiklah. Kamu berhati-hatilah. Kalau ada apa-apa langsung teriak saja. Biar memancing orang-orang keluar dan membantu kamu."

"Kamu tenang saja. Ok." Balqis menenangkan sahabatnya.

" Ok. Aku pulang ya. Maaf tidak bisa menemanimu hari ini." Walaupun tidak enak, ia terpaksa pulang.

Memaksa pergi menemani Balqis pun bisa-bisa ia berakhir sakit karena masuk angin. Meminta Balqis menunggu juga bisa-bisa malah kesiangan pergi ke pasarnya. Sementara setelah dari pasar, Balqis harus memasak nasi kuningnya agar bisa ia jual pagi ini.

Balqis memang tidak pergi ke pasar setiap hari. Namun, karena modal yang ia miliki tidak banyak, membuatnya ia terpaksa menyimpan stok bahan yang tidak banyak pula. Hingga akhirnya, mau tidak mau ia harus sering bulak- balik ke pasar. Belanja di warung juga bukan pilihan karena harganya akan lumayan berbeda.

Arumi pun berbalik badan meninggalkan Balqis melanjutkan perjalanan seorang diri.

Baru beberapa meter berjalan, Arumi di kejutkan dengan teriakan meminta tolong di iringi tawa.

"Tolong...Tolong..."

"Hahahaha... berteriak lah semampumu." Seorang pria tertawa.

Balqis mengacuhkan saja teriakan itu. Bukan sekali dua kali ia mendengar. Biasanya itu adalah perkelahian antar dua geng motor.

Balqis bukan tidak peduli, hanya saja dia tahu diri. Dia saja tidak bisa melindungi dirinya sampai harus ditemani Arumi setiap belanja ke pasar. Mana bisa ia menolong orang itu karena mereka pasti tidak hanya satu orang saja. Bisa-bisanya malah dia yang jadi korban.

Balqis melanjutkan langkahnya tanpa ingin melihat keributan apa yang sedang terjadi.

"Tolong.. Tolong.... Tolong...."

Teriakan itu semakin memekakkan telinga. Namun, Balqis tidak punya keberanian sedikitpun. Kakinya membeku di tempat. Ia tidak bisa melangkah melanjutkan perjalanan ke pasar atau berbelok ke arah suara itu berasal.

Ia pun mulai bernyanyi dan menutup telinganya agar saudara itu tidak terdengar dan berusaha untuk terus mengabaikannya. Mencoba melanjutkan langkahnya ke pasar.

"Tolong... Tolong... Tolong..."

Suara itu kembali terdengar

Balqis akhirnya menghentikan langkahnya lagi. Ia dilema. Apa yang harus ia lakukan? Meminta pertolongan pun rasanya percuma.

Orang-orang yang tahu bahwa itu adalah perkelahian antar dua geng motor pasti tidak akan mau menolong.

Mereka membenci geng motor yang ada. Selain suka berbuat ulah, mereka juga memberi pengaruh buruk pada anak-anak yang ada di kampung sekitarnya.

Apalagi kalau sampai akhirnya mereka harus terlibat dengan kepolisian karena adanya korban dan harus mau menjadi saksi. Itu sangat mereka hindari.

"Aduh... Aku harus gimana ini?" Balqis melihat sekitarnya.

Namun, tidak ada seorang pun kecuali mobil yang berlalu lalang. Itupun tidak banyak.

" Tolong,, jangan , tolong,, jangan..." Ucap Balqis

"Tolooong.."

"Haish...Kenapa sih mereka selalu membuat ulah." Geram Balqis

Balqis terus menimbang-nimbang apa yang harus ia lakukan. Juga memikirkan apa dampak dan akibatnya jika ia menolong atau membiarkannya begitu saja.

Kakinya terus melangkah selama Balqis memikirkan langkah yang harus ia ambil. Entah kemana kakinya membawa Balqis yang masih dilema itu.

To Be Continued...

...----------------...

Mohon dukungannya. Ini karya keempat author. 🥰🥰🥰

BUB 2 Pertemuan

Balqis Untuk Baim (2)

Balqis terus menimbang-nimbang apa yang harus ia lakukan. Juga memikirkan apa dampak dan akibatnya jika ia menolong atau membiarkannya begitu saja.

Kakinya terus melangkah selama Balqis memikirkan langkah yang harus ia ambil. Entah kemana kakinya membawa Balqis yang masih dilema itu.

💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞

" Tolooong...!!"

Seorang laki-laki meringkuk di atas rerumputan. Kedua tangannya di letakkan di depan wajahnya untuk menghalangi pulukan beberapa orang laki-laki yang semakin membabi-buta itu.

Dia adalah Muhammad Ibrahim. Orang-orang mengenalnya dengan sebutan Baim.

Ma, maafkan Ibra karena memilih jalan ini. Ucapnya dalam hati.

Ibra adalah nama panggilannya saat berada di lingkungan keluarganya. Sementara saat ia berada di antara teman-teman di geng motornya, ia lebih senang di panggil Baim. Karena panggilan Ibra hanya mengingatkannya pada keluarganya.

Ibra janji, jika Ibra masih bisa selamat Ibra akan berubah menjadi lebih baik. Seperti yang Mama inginkan. Tapi, Ibra tetap tidak akan berjanji untuk pulang ke rumah. Janjinya dalam hati.

Ibra juga berjanji akan membalas orang yang mau menolong Ibra. Jika ia laki-laki, Ibra akan menjadikannya sahabat. Jika dia perempuan, Ibra akan menjadikannya pendamping hidup. Entah apa yang dipikirkan Ibra karena bisa-bisanya berjanji seperti itu di dalam hatinya disaat ia terus menerima tendangan yang keras di sekujur tubuhnya.

Baim sebenarnya merasa sangsi akan ada yang mau menolongnya mengingat betapa bencinya mereka pada anak-anak yang tergabung di dalam geng motor yang bisanya hanya mencari keributan dan berbuat onar.

"Wiuuuuuu.... Wiuuuuuu... Wiuuuuu..."

Suara sirine mobil polisi terdengar sangat jelas di telinga Baim juga para anggota geng motor yang tiba-tiba kompak berhenti menendang Baim.

"Bos, polisi bos!!" Teriak salah seorang di antara mereka.

Tak ingin mendekam di penjara, akhirnya mereka lari tunggang langgang bahkan meninggalkan motor mereka yang terparkir di pinggir jalan.

Mereka tentu lebih mementingkan untuk melarikan diri tanpa terpikirkan nasib sepeda motor yang mereka tinggalkan begitu saja.

Baim tidak sekuat mereka sehingga ia hanya diam terkapar. Ia hanya pasrah jika polisi membawanya.

"Kamu tidak apa-apa ?," tiba-tiba seorang perempuan berhijab menghampirinya.

Baim hanya meringis lalu berusaha untuk duduk. "Polisinya kemana?," tanya Baim yang merasa aneh karena suasana masih tampak sepi. Tidak ada seorang polisi pun yang datang padahal, ia tadi jelas-jelas mendengar suara sirine mobil polisi.

" Ough itu. Mereka tentu saja masih ada di kantor." Jawab Balqis datar.

Ya, perempuan itu adalah Balqis. Setelah perang di dalam dirinya antara menolong atau tidak, ia akhirnya lebih memilih menolong atas dasar kemanusiaan.

Hanya bermodalkan nekad ia memberanikan diri untuk menolong sesuai kemampuannya. Ia tidak ingin di hantui rasa bersalah jika esok ada berita kematian seseorang.

"Tapi, bukannya tadi ada suara sirine mobil polisi ya?" tanyanya lagi pada perempuan yang kini sedang berjongkok di hadapannya.

"Maksud kamu ini?"

Wiuuuuuu... Wiuuuuuu.. Wiuuuuu..

Balqis memutarkan rekaman suara sirine mobil polisi di hadapan Baim dari ponselnya.

" Jadi, itu perbuatan mu ?"

"Hmm"

" Terimakasih karena sudah mau menolongku."

"Sama-sama. Karena kamu masih hidup, aku bisa tenang dan bisa kembali melanjutkan perjalananku ke pasar." Balqis berdiri dan bersiap pergi.

" Nama kamu siapa ?"

" Tidak penting."

" Tentu saja sangat penting. Agar suatu hari aku bisa menyapamu jika kita bertemu dan bisa membalas kebaikanmu." Jawab Baim.

"Aku justru berharap kita tidak bertemu lagi. Jika kita tidak sengaja bertemu, pura-pura tidak saling mengenal saja. Karena aku tidak ingin berurusan dengan geng motor seperti kalian." Balqis mulai berjalan.

"Oh iya satu lagi. Aku ikhlas menolongmu. Jadi, tidak perlu untuk membalasnya." Balqis pun pergi dari hadapan Baim.

Baim hanya diam memandangi kepergian gadis yang sudah menolongnya itu.

Baim pun tidak marah sama sekali atas kata-kata Balqis karena siapa juga yang mau berurusan dengan orang-orang sepertinya.

" Sudahlah. Yang penting aku masih selamat." Perlahan Baim berdiri. Dengan sisa tenaganya berjalan ke arah jalan Raya.

Setelah sampai di sebuah bangku kayu, ia pun duduk mengistirahatkan tubuhnya. Setidaknya, ia sudah agak jauh dari tempatnya tadi juga dari tempat dimana para geng motor itu memarkirkan motornya.

" Ini pakaillah untuk mengobati lukamu"

Baim yang awalnya memejamkan matanya, membuka mata perlahan saat seseorang meletakkan bungkusan plastik kecil di pangkuannya.

"Kamu kembali lagi?" Baim tidak percaya kalau gadis tadi kembali dengan membawa obat untuk lukanya.

" Hmm.. hanya untuk memberikan itu saja."

Baim sejenak terpana. Jika tadi ia hanya bisa mendengar suaranya saja. Kini, ia bisa melihat dengan jelas wajah perempuan yang sudah menolongnya.

"Terimakasih."

"Hmm."

" Tidak berniat mengobati lukaku sekalian?"

Balqis mencebik. " Tidak. Obati saja lukamu sendiri."

Balqis pergi meninggalkan Baim yang terus melihat kepergiannya.

...******...

Pagi harinya, Balqis sudah menata dagangannya di pinggir jalan raya yang tidak jauh dari rumahnya. Ia dibantu Arumi sebelum berangkat ke kampus.

" Perjalanan ke pasar tadi, aman kan?," tanya Arumi.

" Aman," jawab Balqis tanpa ingin menceritakan kejadian yang sebenarnya.

" Syukurlah. Aku sangat khawatir soalnya. Apalagi tadi aku dengar ada bentrokan lagi." Arumi duduk di bangku kayu.

" Kamu tenang saja. Lihatlah, buktinya aku baik-baik saja Tidak kurang apapun." Jelasnya.

Arumi pun mengamati sang sahabat yang memang terlihat baik-baik saja.

" Oh ya, kamu masih berniat mencari kedua orang tuamu?"

Arumi ingat bahwa Balqis ingin mencari keberadaan orang tuanya. Serta mencari tahu alasan kenapa mereka membuangnya begitu saja.

" Ya, aku masih berniat mencarinya."

Walaupun akan sangat menyakitkan nantinya, Balqis tetap ingin mengetahui kebenarannya.

" Kamu yakin akan kuat saat tahu kenyataannya ?"

" Tentu saja." jawab Balqis yakin. "Aku ingin tahu apakah aku anak di luar nikah atau bukan. Jika bukan, setidaknya aku ingin tahu tentang ayahku. Apakah masih ada atau sudah tiada. Aku kan juga mau kalau nikah nanti, wali nikahnya adalah ayah kandungku." Jelas Balqis panjang lebar.

"Tapi, kalau aku lahir di luar nikah, aku akan menghentikan semua pencarianku." Tambahnya.

"Semoga kamu bisa menemukan mereka dan mengetahui kebenarannya." Arumi mendo'akan dengan tulus.

" Aamiin." Keduanya mengaminkan.

Balqis pun terus menggenggam liontin miliknya. Nenek Ina bilang, itu adalah benda yang ia pakai saat masih bayi. Balqis masih memakainya sampai sekarang tentu dengan kalung yang berbeda. Karena kalungnya yang dulu sudah tidak mungkin ia pakai lagi karena sudah kecil.

" Kak, Nasi Kuningnya satu ya. Di bungkus," seorang anak sekolah menghampiri mereka untuk membeli nasi kuning.

"Iya tunggu sebentar, ya." Jawab Balqis ramah. "Ayo duduk dulu."

Arumi menggeser tubuhnya memberi ruang pada pelajar sekolah itu agar bisa duduk.

"Terimakasih, kak." Ucapnya pad Arumi.

"Sama-sama." Jawab Arumi tersenyum.

TBC

...----------------...

...Dukung terus ya, supaya Author nya tambah semangat upload.....

...Jangan lupa tinggalkan jejak like, komentar dan subscribe...

...Terima kasih atas dukungannya...

...🥰🥰🥰...

BUB 3 Sepenggal Kisah Baim

Balqis Untuk Baim (3)

Arumi menggeser tubuhnya memberi ruang pada pelajar sekolah itu agar bisa duduk.

"Terimakasih, kak." Ucapnya pad Arumi.

"Sama-sama." Jawab Arumi tersenyum.

💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞

Di tempat berbeda, Baim sedang tertidur pulas. Setelah ia mengobati lukanya sendiri dengan obat-obatan yang di bawa Balqis tadi, ia pun mengendarai motornya denga perlahan menuju rumah kosan temannya yang selama ini mau menampungnya.

"Bang, aku tinggal ya. Sudah mau berangkat ngampus nih"

" Ya, pergilah. Hati-hati " Jawab Baim dengan mata terpejam.

"Oh iya, tadi Bang Elang nelpon minta Abang ke markas nanti sore." Indra menyampaikan pesan ketua mereka.

"Hmm.. Nanti aku kesana."

Baim melanjutkan tidurnya sementara Indra langsung pergi ke kampus.

Sore itu, Baim pergi ke markas sesuai perintah ketua mereka.

Tiba-tiba terdengar suara adzan berkumandang dari masjid yang sudah cukup banyak di datangi orang-orang yang akan melaksanakan sholat ashar berjamaah.

Baim menghentikan motornya tepat di depan masjid. Keberadaannya sedikit menarik perhatian para jamaah. Celana jins bolong yang warnanya agak pudar dengan atasan kaos putih dan dilapisi lagi dengan jaket jins. Warna jaketnya pun senada dengan celana yang ia kenakan.

Ia memang tidak memakai tindik ataupun anting.Tapi, dengan pakaiannya yang sekarang saja masih tetap menarik perhatian. Apalagi ada lambang elang di jaketnya sekalipun tidak terlalu jelas.

"Dia pasti geng motor kan? Ngapain dia disana? Gak mungkin buat sholat kan?" Seorang pemuda yang sudah rapi dengan Koko putih serta sarung kotak-kotak melihat ke arah Baim.

"Biarkan saja. Asalkan dia tidak mengganggu." Timpal temanya yang berjalan di sampingnya.

" Ah, kamu gak seru, Bar." Ucap Panji.

" Kalau mau seru ajak tuh Andin. Dia kan paling hobi ngegibahin orang. Kalian cocok"

"Haish, nih anak. Kalau sama Andin mah males."

"Aku juga males urusan sama kamu kalau cuma buat gibahin orang." Timpal Akbar masuk ke dalam tempat wudhu.

Panji pun mengikuti langkah temannya.

" Masuk, Im. Sholat berjamaah." Ajak Pak Ahmad salah seorang ustadz yang kenal dengan Baim karena pernah di tolong Baim saat motornya mogok.

Baim hanya cengengesan. "Kapan-kapan saja, Ustadz." Jawab Baim.

" Kenapa tidak sekarang saja?"

"Saya belum siap."

" Kalau di sholatin sudah siap?" Timpal Pak Ahmad.

Jlebb

"Apalagi itu, saya sangat tidak siap, Tadz." Jawab Baim. "Kalau begitu, saya permisi dulu, Ustadz. Assalamu'alaikum." Baim memilih kabur.

"Wa'alaikumussalam." Pak Ahmad melihat ke arah Baim yang sudah tidak terlihat lagi karena berbaur dengan para pengendara yang lain.

Pak Ahmad pun melanjutkan langkahnya ke arah masjid.

Baim bukanlah orang yang tidak paham agama. Sang ibu selalu mengajarkannya nilai-nilai agama. Dari mulai sholat wajib sampai saum di bulan Ramadhan ia laksanakan.

Namun, kepergian sang ibu saat ia kelas tiga SMA merubah semuanya. Ia tetap harus kehilangan sang ibu karena sakit yang di deritanya. Padahal, saat itu ia selalu sholat malam untuk mendo'akan kesembuhan sang ibu di sepertiga malam. Salah satu waktu mustajab untuk berdoa.

Namun, alih-alih sembuh. Sang ibu malah meninggalkan dirinya untuk selamanya. Disaat itulah, Baim merasa kecewa. Ia sudah melaksanakan apa yang seorang muslim wajib laksanakan. Ia pun sudah berdo'a dan meminta hanya kepadaNya, namun tidak ada hasil sama sekali.

Allah seolah sedang mempermainkannya. Itulah yang ada di benak Baim pada saat itu. Ia lupa, Allah memberikan apa yang terbaik untuk umatnya. Bukan apa yang di inginkannya.

Namun, Baim tidak terpikir sampai kesana pada saat itu. Rasa kecewa sudah menutup hatinya. Ibu yang menjadi sandarannya, penguat hatinya, yang paling mengerti dirinya kini sudah tidak ada.

Ayahnya? Jangan tanyakan ia. Orang yang Baim panggil Papa itu hanya sibuk pada pekerjaannya. Ia memang pekerja keras dalam mencari nafkah untuk anak-anaknya. Namun, ia terlalu keras dalam mendidik. Baginya anak yang bisa di andalkan dan banggakan adalah anak yang pintar di bidang akademik seperti sang kakak. Bukan seperti dirinya yang biasa-biasa saja.

Bahkan orang pertama yang ayahnya salahkan atas kematian sang ibu adalah dirinya. Katanya, Baim hanya anak yang menambah beban pikiran bagi ibunya.

Penilaiannya pada Baim tidak berubah sedikitpun saat ia melihat nilai ujian kelulusan Baim yang cukup bagus. Padahal Baim dibantu sang ibu belajar dengan giat agar mendapatkan nilai yang bagus dan mendapatkan sedikit perhatian serta pujian dari sang ayah.

Namun, lagi-lagi ia harus kecewa. Sang ayah tidak peduli. Bahkan sekedar mengucapkan selamat atas nilai bagusnya saja tidak.

Orang bilang, hasil tidak akan mengkhianati usaha. Tapi,ia benar kecewa. Karena, usahanya tidak menghasilkan apapun.

Disaat itulah, ia semakin terpuruk. Ia mulai berontak dan tidak mau lagi di atur hingga akhirnya sang ayah murka dan mengusirnya saat ia pulang dalam keadaan mabuk berat.

Baim menghapus air matanya. Ia tiba-tiba teringat pada masa-masa saat ibunya masih ada. Ibu yang tidak pernah membedakan ia dan mendukung apapun pilihannya.

"Mengapa bukan Papa saja yang pergi? Mengapa malah Mama?" lirihnya.

Pertanyaan yang selalu ia tanyakan berulang kali. Namun, tak pernah ia tahu jawabannya. Karena ia hanya menanyakan pada dirinya sendiri. Sementara baginya, sang Papa lah yang harusnya meninggalkan dunia ini. Karena ia tidak pernah bisa adil pada anak-anaknya.

Baim turun dari motornya. Ia masuk ke dalam sebuah gedung tua terbengkalai yang di jadikan markas oleh Bang Elang, ketua mereka.

" Akhirnya, kamu datang. Kamu baik-baik saja?" tanya seorang pria yang lebih tua dari Baim yang juga ketua geng motor tempat Baim bergabung sambil memindai Baim dari atas sampai bawah. Banyak luka lebam yang mulai nampak jelas.

" Seperti yang Abang lihat. Abang sendiri?" Baim balik bertanya.

"Berkat bantuan mu."

Berkat bantuan Baim, Bang Elang baik-baik saja. Ia mengumpankan dirinya dengan berpura-pura sebagai Bang Elang agar para anggota geng motor musuhnya mengejar dirinya. Dengan begitu, Bang Elang bisa menyelamatkan diri.

"Aku berhutang nyawa padamu." Baim hanya diam. "Aku akan membalas pengorbananmu. Mintalah apapun dan aku akan mengabulkannya." Ucap Bang Elang.

"Akan aku pikirkan." Jawab Baim.

"Ya, katakan saja kalau kamu sudah tahu apa yang akan kamu minta." Bang Elang menepuk bahu Baim.

"Baik."

Bang Elang meninggalkan Baim seorang diri. Markas itu memang masih sepi jika hari masih terang. Karena kebanyakan anggotanya yang masih sekolah dan kuliah sibuk dengan urusannya masing-masing.

Baim kembali menuju ke tempat motornya berada. Ia melajukannya tanpa tahu akan kemana. Hingga ia berhenti di lampu merah.

"Gadis itu.." Baim tersenyum melihat ke arah seorang gadis yang telah menolongnya sedang berjalan dengan temannya.

"Sepertinya aku sudah tahu apa yang aku inginkan. Semoga Bang Elang mau mengabulkannya" Baim berharap.

TBC

... ----------------...

...Dukung terus ya, supaya Author nya tambah semangat upload.....

...Jangan lupa tinggalkan jejak like, komentar dan subscribe...

...Terima kasih atas dukungannya...

...🥰🥰🥰...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!