Bab 1
"Aku memutuskan untuk berhenti dari perusahaan ini. Aku sudah tidak tahan dengan cara kerja yang tidak sehat sama sekali," ujar Lisa di ruangan Direktur Choi.
"Kau yakin akan keputusanmu itu, Lisa? Kau sangat berbakat di bidang fotografi. Kau salah satu karyawati unggulan di sini," ucap Direktur Choi bernegosiasi. "Kau tahu, kau pandai bernegosiasi dengan client yang kita miliki. Dan selalu berhasil untuk melakukan kerja sama jangka panjang. Oh, ayolah... Atau aku akan menaikkan gajihmu tiga kali lipat dari yang sekarang, bagaimana? Apakah kau setuju?"
Negosiasi yang alot terjadi di ruangan itu. Lisa tetap memutuskan untuk berhenti dari perusahaan yang dipimpin oleh Direktur Choi. Memang sangat disayangkan dirinya telah menghabiskan waktu sekitar sembilan tahun lamanya untuk mengabdi di perusahaan milik Direktur Choi. Entah, saat ini dia sangat merasa bosan dengan perusahaan itu.
"Maafkan aku, Direktur Choi. Aku tidak bisa bertahan di perusahaanmu lebih lama. Aku sudah menjual rumahku yang ada di sini. Dan sebentar lagi aku ada pertemuan dengan pembeli rumahku. Maafkan aku. Kau boleh berkunjung suatu saat di rumahku yang baru. Kita masih bisa berhubungan melalui WhatsApp," sahut Lisa mendorong kursinya, lalu ia berdiri dan membungkukkan setengah badannya. Tanda hormat kepada Direktur.
Direktur Choi hanya mengembuskan napasnya dengan kasar, lalu membuangnya pula dengan cepat. "Baiklah, kalau itu sudah menjadi keputusanmu. Aku bisa apa? Walaupun aku sudah berusaha untuk menahan mu lebih lama di sini. Aku akan menghubungimu. Kau tak perlu khawatirkan itu. Beritahu aku alamat barumu, ok?"
Direktur Choi pun berdiri, mengantar Lisa untuk keluar ruangannya. Sebenarnya ada perasaan tak rela untuk dirinya melepas Lisa, tapi apa boleh buat. Demi kebahagiaan Lisa.
Pintu segera di dorong oleh Lisa. Dia berlalu pergi begitu saja menuju lift yang bersebrangan dengan ruangan Direktur Choi. Direktur Choi hanya menatap kepergiannya saja. Sampai Lisa masuk ke dalam lift dan melambaikan tangannya kepada Direktur Choi, dan ia pun membalas lambaian itu.
Pintu lift tertutup.
Lisa merogoh ponselnya yang ada di handbag. Mengecek apakah ada panggilan yang terlewatkan atau mengecek pesan yang belum sempat dia baca. Dugaannya benar, ia mendapatkan pesan yang belum sempat dibacanya sekitar dua puluh menit yang lalu. Saat itu dirinya sedang sibuk dengan Direktur Choi atas keterkejutan dirinya berhenti dari perusahaan itu.
Lisa segera membuka pesan itu. Dan itu pesan dari pembeli rumahnya yang baru. Ia pun segera membacanya.
"Selamat Siang, Bu Lisa. Kita akan bertemu di rumah anda pada pukul empat sore, hari ini. Saya harap, urusan kita akan tidak secepatnya selesai. Saya rasa aku tidak terlalu terburu-buru untuk menempati rumah anda. :)"
Lisa tersenyum dengan pesan yang ia baca. Saat ia ingin membalas pesan itu, terdengar suara "Ting" dari lift, penanda bahwa ia telah sampai pada tujuan di lantai bawah. Pintu lift terbuka, Lisa segera melangkahkan kaki keluar dari lift tersebut. Ia melirik arlojinya dipergelangan tangan sebelah kiri. 'Baru pukul dua tiga puluh menit, tidak apa aku akan pulang. Sementara, malam ini aku sudah harus berada di kota Baru,' gumamnya.
Seketika ia teringat untuk membalas pesan dari pembeli rumahnya. Ia meraih ponselnya kembali yang tadi dimasukkannya ke dalam handbag. Dibukanya aplikasi WhatsApp itu dan mengetik sesuatu di sana.
"Anda selalu begitu, Pak Han. Baiklah, saya akan tunggu Pak Han di rumah. Terima kasih banyak, Pak Han. :)"
Pesan telah terkirim, segera saja ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam tasnya, lalu melaju melangkahkan kakinya untuk keluar dari perusahaan itu.
Lisa menunggu taxi di depan jalan raya, tepat di depan kantornya. Berdiri sembari melihat ke arah datangnya mobil. Tak berapa lama, mobil taxi pun terlihat. Lisa segera melambaikan tangannya untuk menyetop mobil taxi itu.
Mobil taxi berhenti tepat di tempat ia berdiri. Segera saja Lisa membuka pintu mobil dan masuk.
"Pak, kita ke jalan Tirta Jaya 2 ya, Pak...," kata Lisa menyebutkan tujuannya.
"Baik, Bu," jawab Pak supir taxi itu.
Perlahan mobil taxi itu menjalankan mobilnya, lalu sedikit melaju. Lisa tidak masalah dengan itu, karena dirinya terbiasa dengan menaiki mobil.
Sebenarnya, Lisa memiliki mobil, dan itu laku terjual dua hari sebelum rumahnya terjual. Tak susah baginya untuk menjual properti miliknya beserta mobil, karena Lisa memiliki circle orang-orang yang memang butuh dengan itu semua.
Butuh waktu sekitar dua puluh menit menuju ke kediamannya dari perusahaan. Lisa sudah berada di depan kediamannya.
"Terima kasih, Pak," ujarnya kepada supir taxi.
Lisa memutar tubuhnya menghadap rumahnya. Memandangi rumah yang sudah menciptakan begitu banyak kenangan di kehidupannya sampai saat ini. Ada perasaan sedih ketika dirinya menjual rumah ini. Tapi Lisa tidak mengapa, ia ingin pindah ke kota Baru dan memulai hidup baru di sana. Entah alasannya seperti apa, yang terpenting saat ini dirinya ingin pergi, menenangkan diri.
"Selamat tinggal, Green. Jaga baik-baik pemilik barumu," gumamnya sambil tersenyum.
Lisa melangkahkan kakinya perlahan memasuki kediamannya, sambil melihat arloji di tangan sebelah kiri, masih menunjukkan pukul tiga kurang lima menit. Masih ada sekitar satu jam lebih untuk melakukan penyerahan dan berkas-berkas jual beli rumah.
Lisa menarik napasnya perlahan, Ia meletakkan hand bag nya di atas meja mini bar. Melangkahkan kaki untuk mengambil segelas air putih dingin di dalam kulkas.
Lisa duduk termenung, memandangi sekeliling. 'Aku akan baik-baik saja,' gumamnya lirih.
Kemudian Lisa beralih, memindahkan tubuhnya ke dalam kamarnya. Ia menaiki tangga dengan perlahan. Muncul kenangan -kenangan kecil ketika dirinya menaiki tangga. Ada canda tawa yang terbayang dalam benaknya. Bermain bersama, berlarian kecil saling menggoda.
Dengan cepat Lisa menaiki anak tangga itu, lalu membuka pintu kamarnya. Ia dengan segera melepaskan lelah yang seharian ini memborgol tubuhnya dengan berbaring di atas kasur yang empuk. Seluruh barang-barangnya sudah tersusun rapi di dalam koper. Memang tak banyak baju yang ia miliki, karena dia selalu bekerja dan bekerja. Menghabiskan waktu dengan bekerja, menekuni apa yang sudah menjadi objeknya.
Tak terasa matanya pun terpejam beberapa menit untuk mengistirahatkan semua. Pertemuan Lisa dan Pak Han masih menyisakan waktu yang masih lumayan lama. Semua berkas pun sudah siap di atas meja kerjanya, tanpa ada yang tertinggal satu pun.
Tiga puluh menit kemudian, Lisa terbangun dari tidur pendeknya. Segera mengarahkan netranya ke arah jam dinding yang terpajang di samping kanannya. Dia beranjak dari kasur itu, melangkah pergi ke kamar mandi untuk menyegarkan tubuhnya.
Tak butuh waktu lama untuk menyelesaikan mandinya, Lisa sudah berpakaian rapi. Mematutkan diri di depan cermin dengan mengembangkan senyuman yang lebar. Menandakan ia senang dan bahagia melepas semua ini.
Terdengar bunyi bel dari depan pintu rumah. Segera ia mendorong koper, membawa semua berkas yang sudah siap, dan beranjak dari kamarnya.
Ia meletakkan kopernya disamping sofa ruang tamu. Dengan segera Lisa membuka pintu rumah. Dilihatnya Pak Han dan beberapa rekan yang sudah berdiri di balik pintu itu.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
tbc
Bab 2
"Silakan masuk, Pak Han. Maaf telah lama menunggu di depan pintu," ucap Lisa dengan sumringah.
"Tidak terlalu lama, Bu Lisa. Terima kasih," sahut Pak Han.
Mereka pun bersalaman dan Lisa mempersilahkan mereka masuk. Ada beberapa pembicaraan terkait penyerahan berkas dan sedikit membutuhkan tanda tangan sebagai pengesahan.
"Terima kasih, Bu Lisa. Saya sangat beruntung bisa memiliki properti di wilayah ini. Dan menurut saya ini harga yang sangat terjangkau." Sambil tersenyum Pak Han memandangi Lisa.
"Saya yang justru berterima kasih terhadap Pak Han. Berkat Pak Han, rumah saya terjual dengan cepat. Tak disangka Pak Han memang handal dalam jual beli properti," sahut Lisa menarik bibirnya sedikit.
"Baiklah, saya kira cukup. Semua berkas dan yang lain-lain sudah saya serahkan, maka dari itu saya akan pamit terlebih dahulu," pamit Lisa beranjak dari duduknya.
Pak Han dan rekan ikut beranjak, melangkah mengiringi Lisa untuk mengantar kepergian mantan pemilik rumah yang asli.
Lisa membungkukkan setengah badannya menunduk, lalu melangkah pergi dengan koper, lengkap tas tangannya. Ia pergi menaiki taxi menuju bandara.
...ΩΩΩ...
Kota Baru.
Sampailah ia di kota Baru beberapa menit yang lalu. Lisa segera melakukan cek in hotel untuk mengistirahatkan tubuhnya kembali. Pukul sembilan tiga puluh menit, ia sudah berada di kamar hotel. Membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Lelah melanda dirinya. Tapi ia teringat satu hal untuk menghubungi orang yang sudah berjanji dengannya untuk pergi melihat rumah yang akan dia beli langsung.
"Halo... Ini dengan Pak Gan? Maaf, Pak Gan. Apakah besok kita bisa langsung melihat rumah yang dimaksudkan oleh Pak Gan?"
"Halo, iya, Bu Lisa.., Bisa. Kita bisa melihat langsung rumah yang ingin Ibu survei. Kira-kira pukul tiga sore, ya Bu. Saya akan jemput ibu agar kita sama-sama melihatnya," usul Pak Gan.
"Baik. Saya di hotel xx, Pak Gan. .... Terima kasih banyak, Pak Gan," tutup Lisa mengakhiri dialnya.
Urusan besok akan dipikirkan besok. Ia akan segera membeli rumah baru di kota Baru. Sesuai dengan namanya. Semoga kehidupannya tidak seperti di kota lama. Kenangan yang tercipta memang tidak dapat dihapus begitu saja, tapi akan mengurangi apabila ia pindah ke kota Baru untuk menciptakan kenangan yang bahagia untuk kehidupannya di masa depan.
Lisa bergegas membersihkan diri, lepas itu dia memutuskan untuk terlelap di atas kasur yang empuk di kamar hotel itu.
Hening, tanpa suara.
Lisa terbangun dari tidurnya. Mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar itu. Dia terkejut dengan jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh pagi. Dan pastinya sarapan bersama sudah terlewatkan di hotel itu. Baiklah, ini adalah kesalahannya kenapa tidak mengatur alarm di ponselnya. Salahnya, kamar di hotel ini memiliki gorden yang anti matahari delapan lima puluh persen dari bahannya. Maka dari itu, dia tidak melihat cahaya dari luar masuk menembus jendela kaca.
Lisa bergegas membangunkan dirinya dan segera pergi ke kamar mandi ingin bebersih. Setelah itu, dia berdandan sedikit untuk keluar berjalan-jalan di kota Baru sambil melihat-lihat suasana di sana.
...ΩΩΩΩ...
Marbel City Mall
Lisa menikmati suasana mall hari itu. Dia berkeliling mengitari seluruh store-store yang ada di sana. Baik yang branded maupun yang tidak berkumpul menjadi satu. Saat ia ingin memasuki salah satu store branded, Lisa melihat seseorang yang mirip dengan yang sempat bersamanya dulu. Tidak salah lihat, seseorang itu masuk ke store yang tak kalah branded dari store yang ingin dihampirinya. Lisa langsung merubah niatnya. Ia berpikir lebih baik ke urban kitchen untuk menikmati makanan yang ada di sana.
Lisa berpaling dan menuju lantai empat mall ini. Dia masuk dan menelusuri apa yang menarik baginya. Dia melihat ada makanan jepang yang cukup menarik dirinya.
"Kak, aku pesan udonnya satu, sama tempura udang satu porsi, pakai saus teriyaki. Minumnya Jus Alpukat susu saja, terima kasih."
Setelah berkata seperti itu, Lisa membayarnya di antrian kasir sebelah kanan dan mengambil nomor meja yang sudah tersedia.
"Silakan... Pesanannya udon satu, tempura udang satu, dan alpukat jus satu. Total semua menjadi dua puluh won," ucap seorang kasir wanita yang melayani Lisa.
Lisa mengangguk dan menyerahkan sejumlah uang pas untuk kasir tersebut. "Baik, terima kasih. Silakan ambil nomor antriannya di sini, ya...," lanjut kasir itu.
"Silakan...," teriak kasir wanita setelah Lisa beranjak dari sana.
Lisa mendapati kursi kosong yang ada di sana, tepat di sebelah kiri pojok. Lisa memikirkan apa yang baru saja dilihatnya beberapa menit yang lalu. Alex. Iya, itu Alex.
Mengapa Alex berada di kota ini? Tak ada yang berarti hubungan Lisa dengan Alex yang terjalin dahulu. Kenangan pun tidak terlalu buruk dan tak terlalu bagus. Biasa saja. Hubungan yang hambar, tak ada rasa saling suka ataupun membutuhkan satu sama lain. Entahlah, dirinya pun bingung kenapa bisa menerima Alex waktu itu. Apakah dirinya hanya merasa kesepian karena kematian kedua orang tuanya yang secara mendadak?
Lisa enggan memikirkannya. Sungguh dia merasa tidak terima akan kepergian kedua orang tuanya yang mendadak itu. Sebuah bencana yang tidak pernah terlupakan oleh dirinya. Apa ini yang menyebabkan dirinya menjual rumahnya dan pindah ke kota Baru ini?
Bunyi mangkuk yang diletakkan di depannya membuat Lisa terperanjat kaget dari lamunannya. Dia mendongakkan kepalanya melihat pelayan itu melayaninya dengan cepat. Tak disangka, pelayan itu tersenyum manis terhadap dirinya. Bentuk servis seorang pelayan yang sering dilupakan terhadap pelanggannya. Lisa pun membalas senyuman itu, lalu mengucapkan terima kasih.
Tanpa menunggu, ia lalu menikmati makanan itu dengan perasaan yang sungguh nikmat tak terkira. Sudah lama ia tidak merasakan makanan ini. Dia teringat akan masakan sang ibu yang lebih lezat dari ini. Tapi apa boleh buat, ibu sudah tenang di sana. Selamat makan, Ibu, Ayah. Bisiknya dalam hati.
...ΩΩΩΩ...
Setelah puas berkeliling di mall itu, Lisa mendapatkan panggilan dari Pak Gan mengenai pertemuannya untuk mensurvei rumah itu. Dia pun mengangkat bunyi ponsel yang berdering.
"Iya, Pak Gan... Oh, baiklah, Pak Gan. Bisakah Pak Gan menjemput saya di Marbel City Mall? Kebetulan saya berada di sini... Oh, baiklah. Terima kasih banyak, Pak Gan."
Percakapan di telepon itu pun berakhir, Pak Gan akan menjemput Lisa di Marbel City Mall untuk sama-sama mereka mensurvei lokasi dan melihat rumah yang sudah membuatnya penasaran.
Lisa menunggu Pak Gan di Lobby utama mall tersebut. Tak berapa lama, mobil Pak Gan memasuki Lobby mall dan nampak Lisa sudah berdiri untuk bersiap.
Mobil berhenti, Lisa memasuki mobil dan duduk di samping Pak Gan.
"Selamat sore, Bu Lisa," sapa Pak Gan ramah menundukkan kepalanya tanda hormat.
"Selamat sore, Pak Gan. Terima kasih telah bersedia menjemputku di sini. Apakah kita langsung saja ke lokasinya?" tanya Lisa setelah acara sapa-menyapa.
"Tidak perlu sungkan dengan saya, Bu. Kita sudah biasa untuk berbisnis. Betul, Bu. Kita akan langsung ke lokasi," jelas Pak Gan.
Mobil Pak Gan meluncur keluar dari mall itu, lalu menuju ke lokasi rumah itu berada.
...ΩΩΩ...
tbc
Bab 3
Lisa dan Pak Gan sudah sampai di lokasi. Mereka keluar dari mobil secara bersamaan. Terlihat pemilik rumah beserta bodyguardnya berada di sana.
"Selamat sore, Bu Lisa, Pak Gan," sapa ramah pemilik rumah yang memberikan tunduk hormat kepada para tamu, beserta pengawal yang berada di belakang pemilik.
"Selamat sore, Pak Minya, Terima kasih sudah menyempatkan waktu anda yang sangat berharga untuk saya," sapa balik Lisa dengan perlakuan yang, kemudian Pak Gan juga turut melakukan hal yang sama..
"Mari, masuk. Anda boleh melihat-lihat rumah yang tidak terlalu besar ini, Bu Lisa," tawar Pak Minya.
Lisa melangkah lebih dulu untuk memasuki rumah itu. Terlihat sangat rapi dan bergaya arsitektur klasik. Rumah ini sudah dilengkapi dengan furniture yang memadai. Sofa yang berwarna abu-abu tua menambah kesan elegan. Cat rumah yang berada di dalam pun di dominasi dengan warna putih bersih. Lampu hias yang tergantung terlihat sangat mewah. Lisa berjalan mengelilingi ruang tamu, lalu dapur. Di bagian dapur terdapat mini bar dilengkapi dengan meja kursi yang tak kalah klasik. Dibukanya pintu yang menghubungkan halaman belakang yang agak berumput tinggi.
Lisa segera menutup pintu belakang dan menguncinya. Dia sudah terpikir akan apa yang dilakukannya dengan halaman luar yang tidak seberapa itu. Yah mungkin sekitar empat kali dua luas keseluruhan. Cukup untuk bercocok tanam di sana. Lalu Lisa menaiki tangga untuk melihat lantai dua.
Sebenarnya rumah ini terlalu besar untuk dirinya sendiri tapi tak mengapa. Dia berani untuk tinggal di sini. Rencananya dia akan menetap lama di kota ini. Langkahnya menuju kamar utama di sana. Cukup luas untuk dirinya sendiri. Kamar itu pun bernuansa putih abu. Apakah pemiliknya suka dengan putih abu? pikirnya.
Dilihat dari depan, rumah ini memiliki gaya yang moderen klasik dengan ber-cat tembok minimalis pada umumnya. Tidak pasaran, dan ini terlihat unik. Cat putih yang mendominasi rumah tersebut menambah kesan elegan walaupun sebenarnya tidak terlalu besar. Benar apa kata Pak Minya, kalau rumah ini tidak terlalu besar.
Lisa turun dari tangga, dan menghampiri Pak Minya, Pak Gan, beserta para pengawalnya yang menunggu Lisa di ruang tamu.
"Pak Minya, seperti yang sudah kita sepakati, saya menyetujuinya," ujar Lisa.
Pak Minya menganggukkan kepalanya, lalu menatap pengacara yang sudah siap dengan tasnya. Pengacara itu mengeluarkan semua berkas-berkas yang harus ditandatangani oleh Lisa.
Pak Gan memperhatikan proses demi proses, setia menemani Lisa yang melakukan transaksi dan melengkapi berkas.
"Baik, Bu Lisa. Semua sudah lengkap. Terima kasih atas kerja samanya. Dan ini kunci rumahnya, Bu. Selamat beristirahat," ucap Pak Minya.
"Berhubung saya ada janji bertemu dengan klien, saya pamit untuk pulang, Bu Lisa," lanjut Pak Minya lagi.
Lisa pun menganggukkan kepalanya, lalu Pak Minya pergi meninggalkan rumah serta Lisa, Pak Gan di sana. Hatinya lega setelah rumah itu laku.
"Apa tidak apa-apa Pak dengan nona itu?" tanya pengawal pribadi Pak Minya.
"Apa maksudmu?" tanya Pak Minya yang sudah berada di dalam mobil bersama pengawalnya. Sedangkan pengacaranya membawa kendaraan sendiri.
"Bukankah rumah itu angker? Saya hanya mengkhawatirkan nona Lisa, Pak," ucapnya lagi.
"Ck... tidak akan terjadi apa-apa. Kau jangan mengarang cerita. Terlalu banyak menonton horor movie juga tidak baik untuk otakmu," sergah Pak Minya.
"Maaf, Pak," ucap pengawalnya.
Semetara di rumah itu, Lisa dan Pak Gan berbincang sebentar di luar rumah.
"Sepertinya saya membutuhkan orang untuk membersihkan belakang rumah, Pak Gan. Apakah Pak Gan punya kenalan?" tanya Lisa yang teringat dengan halaman belakang rumahnya.
"Akan saya carikan, Bu Lisa," sahut Pak Gan cepat.
Lisa dan Pak Gan pun beranjak dari rumah itu. Karena Lisa masih ingin menginap di hotel, maka Pak Gan mengantar Lisa kembali ke penginapan hotel tersebut.
Lisa mengucapkan banyak terima kasih terhadap Pak Gan yang siap sedia membantu dirinya dalam hal ini. Pak Gan pun berlalu setelah mengantarkan Lisa sampai lobby hotel.
Lisa segera menuju lift, memencet angka tempat tujuan ke kamarnya. Lift terbuka, segera dirinya masuk ke dalam kamar. Merapikan semua barang-barang yang ia miliki dan besok pagi dirinya akan meninggalkan hotel.
...****************...
Keesokan harinya.
Lisa bangun pagi sekali. Ia tidak lupa menghidupkan alarm yang ada di ponselnya. Dan dilihatnya ini masih jam tujuh pagi. Namun, mentari pagi sudah meninggi, menyebarkan sinar panasnya ke berbagai penjuru. Ia bangkit dari ranjangnya, langsung menuju ke kamar mandi untuk melakukan ritual yang biasa dilakukan kaum hawa. Beberapa menit berlalu, Lisa keluar dari kamar mandi dan langsung mengenakan setelan baju rapi dengan jas kasual dan celana jeans. Ia duduk di depan cermin sambil tersenyum. 'Aku bisa,' gumamnya seraya menyunggingkan senyuman di bibirnya.
Lisa berdiri dan siap untuk keluar dari kamarnya. Ia menggerek kopernya, lalu turun langsung ke bagian resepsionis. Sebelum ia cek out, Lisa menyempatkan sarapan di hotel itu dengan koper yang ia titipkan di bagian resepsionis. Ia pun menuju restoran hotel yang tak jauh dari dia berdiri. Menikmati sarapan sembari memikirkan apa yang akan dilakukannya nanti setelah sampai rumah baru.
Lisa selesai melakukan cek out, dan ia pun menunggu taxi untuk mengantarkan ke alamat rumah barunya.
"Pak, ke alamat ini, ya," Lisa menunjukkan alamat rumahnya kepada supir taksi.
"Baik, Bu," jawab supir taksi mengerti.
Di jalan, Lisa banyak menatap keluar jendela. Melihat gedung-gedung yang berjejer di deretan sepanjang jalan, tak lupa dengan kendaraan pribadi yang memadati jalan raya.
Menghabiskan waktu dua puluh lima menit dari hotel menuju rumahnya. Sekarang dia sudah berada di depan rumahnya tepat. Ia mengitari netranya ke seluruh penjuru rumah itu. Ada sedikit berbeda. Dia tahu ada yang lain dari rumah ini. Kemarin dia pastikan tidak ada siapa-siapa di rumah ini. Tak mengapa, dia sudah terbiasa dengan hal itu. Tak mungkin rumah ini berhantu.
Melangkahkan kaki menuju pintu utama, lalu membuka kunci pintu itu. Dia menggerek kopernya sampai ke kamar atas. Dia pun merebahkan diri di atas ranjang setelah menyadari bahwa tubuhnya kelelahan. Dia masih berpikir apakah keputusan dirinya pindah ke kota baru, tempat baru, tanpa relasi ini akan berhasil membuat dirinya kembali seperti sedia kala? Lisa pejamkan matanya beberapa saat, dan tak terasa matanya pun menutup perlahan.
Tring ....
Tring ....
Dering ponsel sedari tadi berbunyi, memekakkan telinga yang masih sayup-sayup mendengar akan nada dering yang menguar. Siapakah gerangan yang menelepon dirinya? Apakah Direktur Choi? Sungguh menganggu istirahatnya.
Lisa perlahan menggerakkan tangannya, meraba-raba nakas lalu mencari keberadaan ponselnya. Tidak ada. Dan dia meraba saku jeans nya. Dilihatnya layar itu dengan mata yang masih sayup-sayup terbuka.
"Halo...," sapa Lisa yang masih menutup matanya.
"Halo, Lisa...," sapa seseorang diseberang sana.
Sontak Lisa melebarkan matanya tersentak kaget, dan langsung melihat ke arah layar ponselnya. Apa Direktur Choi?
...****************...
tbc
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!