NovelToon NovelToon

Sudah Cukup Main Mainnya

Episode 1 [Pernikahan]

Menikah dengan seorang pria Konglomerat adalah hal aneh yang dilakukan oleh seorang wanita bernama Natalia Faralyn.

Wanita yang kerap dipanggil Nata ini, memutuskan untuk menjalani hidup berkeluarga yang hanya diketahui oleh anggota keluarga suaminya saja.

Kehidupan berkeluarga tidaklah mudah, terlebih dia menikah dengan seorang pria yang hanya berkepentingan politik saja.

Tentu ia menyetujui kesepakatan itu dengan uang. Uang yang sebelumnya begitu sulit ia dapatkan, kini hanya perlu duduk santai dan berakting didepan banyak orang layaknya tak ada apa-apa.

"Setiap harinya, kau akan mendapatkan uang dariku. Jadi kau tidak perlu khawatir akan kekurangan. Kau hanya perlu mengikuti semua perkataanku saja," cakap seorang pria yang tak lain adalah calon suaminya.

Pria bertubuh kekar itu memandang dingin Nata yang berdiri tegak di hadapannya. Nata berdalih menatap ke arah cermin meja rias. Perlahan kepalanya tertunduk ke bawah karena merasa canggung.

"Ba– baik, aku akan mengikuti perkataanmu," balas Nata dengan wajah memerah bak riasan.

Setelah cukup lama berbicara empat mata di sebuah ruangan asing, keduanya pun keluar dari tempat itu. Mereka berjalan beriringan menuju tempat dimana banyak orang tengah menunggunya.

****

Tak terasa satu bulan setelah ia menikah berlalu begitu cepat. Hari-hari Nata kini terasa berbeda dari kehidupan sebelumnya yang serba kekurangan dan hidup sebatang kara.

Di rumah yang mewah bak istana itu, dirinya dilayani dengan sepenuh hati oleh para asisten rumah tangga.

Perlakuan suaminya terhadap dirinya pun tak jauh berbeda dari pasangan suami istri pada umumnya. Namun, ada hal tertentu yang harus Nata ketahui dalam hubungan mereka.

"Ha– Hansen," panggil Nata pada seorang lelaki yang duduk berdampingan dengannya di ruang makan.

Lelaki yang disebut-sebut sebagai Hansen tak lain adalah suaminya sendiri.

"Ada apa?"

"Begini, bukannya aku lancang atau bagaimana. Tapi, kita kan suami-istri, apa tidak masalah jika sampai sekarang kita tidak tidur di kamar yang sama?" tanya Nata sedikit ragu.

Hansen perlahan meletakkan garpu serta sendok yang sedari tadi di genggamnya. Ia kemudian menelan makanan yang sudah penuh di dalam mulut.

"Baiklah, sekarang aku akan menjelaskannya padamu. Kita tidak perlu melakukan hal itu karena kita tidak saling mencintai. Terlebih, aku juga tidak peduli dengan anak atau apalah itu dalam sebuah keluarga," jelas Hansen dengan ketus.

"Aku jadi tidak selera makan, lebih baik kau cepat-cepat memesan taksi. Karena hari ini kita akan tiba secara terpisah," imbuh Hansen dengan wajah dinginnya.

Nata hanya memperhatikan setiap langkah Hansen yang mulai menjauh darinya. Hingga tak terlihat seujung jari pun.

"Tidak aneh jika sejak awal dia menikahiku, hanyak karena ingin mendapatkan beberapa warisan perusahaan dari kakeknya. Bahkan, malam pertama pun tidak kami lalui bersama," batin Nata sembari menatap makanan di hadapannya dengan pasrah.

Seusai mengisi perut di pagi hari, ia lekas memesan taksi seperti yang diperintahkan oleh Hansen. Sampai pada akhirnya, ia pun tiba di sebuah perusahaan besar yang tak lain adalah perusahaan milik suaminya sendiri.

Namun siapa sangka? Tiada satu pun pekerja perusahaan itu yang mengetahui rahasia bahwa Nata adalah istri dari Hansen Gard, sang pemilik perusahaan. Dan mereka telah menikah sejak satu bulan yang lalu. Terlebih, keluarga Hansen menerima Nata karena mereka menduga Nata adalah orang yang berkedudukan tinggi.

"Nata, akhirnya kau sampai juga," sapa Yilan, rekan kerjanya di perusahaan.

"Ah, selamat pagi. Apa aku sedikit terlambat dari biasanya?" tanya Nata memastikan. Lantas, ia segera duduk di meja kerjanya.

Keduanya pun berbincang cukup lama, dan melanjutkan pekerjaan yang semalam tertunda karena hujan deras. Karena terlalu menikmati pekerjaan itu, Nata sampai tak menyadari bahwa jam istirahat makan siang telah tiba.

Sesegera mungkin ia serta Yilan menuju kantin perusahaan sebelum jam istirahat usai.

Nampak keramaian terjadi di kantin tersebut, hingga memancing perhatian sejumlah orang yang berada di sana.

"Wah, sebentar lagi Tuan Hansen akan menikah. Aku jadi sedih karena tidak bisa mengambil hatinya," gerutu seorang pekerja wanita yang juga berada di kantin.

"Apa aku tidak salah dengar? Hansen? Dia memperlihatkan pertunjukan apa di kantin siang hari seperti ini?" gumam Nata sembari mencoba masuk ke dalam kerumunan tersebut.

Tubuhnya seketika terdiam mematung begitu mendapati suaminya tengah menyebarkan rumor bahwa ia akan segera menikah dengan wanita di sampingnya. Wanita dengan wajah yang nampak asing baginya tengah duduk dipangukan Hansen.

Bagaimana hatinya tidak sakit melihat hal itu? Ditambah, akhir-akhir ini sikap Hansen terhadapnya berubah ketus.

Spontan, kakinya berlari menjauh agar sesegera mungkin bisa menenangkan hatinya yang terasa sakit.

"Hansen, kenapa kau lakukan hal ini padaku?!!" ucap Nata dengan wajah yang sudah bercucuran air mata.

Tiba-tiba saja sebuah tangan mendarat tepat dibahu kanannya. Sontak ia terkejut dan langsung mengusap air mata yang membasahi wajahnya itu.

"Kenapa kau ada di sini, Nata? Ka– kau, kau menangis?" tanyanya dengan raut wajah cemas.

Nata menggeleng pelan, ia berdalih menatap ke arah kiri untuk menghindari kontak mata dengan lelaki di hadapannya.

"Jika ada masalah, katakan saja padaku. Aku siap mendengarkan isi curhatan hatimu," imbuhnya.

"Tidak, Yilan. Aku tidak ada masalah … tadi mataku hanya kelilipan saja, tidak ada hal lain."

"Ya sudah, ayo kita kembali ke kantin. Sepuluh menit lagi waktu istirahat selesai."

"Hmm, iya …."

"Dia tidak mendengar aku menyebut-nyebut nama Hansen, kan?" pikirnya.

****

Hari yang terasa panjang Nata lalui. Di nantikannya hari esok dengan harapan akan datang kebahagiaan. Nampak seorang lelaki mengendarai sebuah mobil yang melaju ke arahnya.

"Nata, masuklah," perintah sosok itu, Hansen.

"Malam ini aku ada sedikit acara dengan rekan kerja, jadi kita tidak bisa pulang bersama," ucap Nata beralasan. Sesekali tangannya berusaha mengusap air mata yang hampir menetes.

"Jangan berbohong. Ada hal lain yang ingin aku jelaskan padamu. Jadi, naiklah sekarang."

Kakinya perlahan masuk ke dalam mobil dengan perasaan ragu. Tapi, bagaimanapun juga, Hansen adalah suaminya.

"Hari ini aku benar-benar minta maaf, Nata. Aku tau saat itu kau ada di sana dan menyaksikan semuanya. Tapi, aku hanya berakting dengan Floryn … semuanya tidak nyata, percayalah," ungkap Hansen sembari menatap dalam wajah Nata.

"Setelah semua yang kau lakukan siang itu di kantin perusahaan, dan sekarang kau bilang padaku bahwa semua itu hanya akting?" batin Nata berusaha menahan air matanya.

"Oh, jadi namanya Floryn? Tapi aku tidak pernah melihat wanita itu bekerja di perusahaan."

"Benar, dia memang tidak bekerja di perusahaanku. Floryn memiliki perusahaan sendiri," lanjut ucap Hansen menjelaskan.

Setelahnya mereka menghentikan obrolan yang dirasa Hansen telah usai. Ia kemudian melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi agar cepat sampai rumah.

"Hansen, dia mengubur dalam-dalam kehidupanku sebelumnya pada keluarganya. Dan itu artinya, tak ada seorang pun yang tau bahwa sebenarnya aku adalah orang miskin yang bahkan sulit untuk makan."

𝙱𝚎𝚛𝚜𝚊𝚖𝚋𝚞𝚗𝚐....

𝚃𝚎𝚛𝚒𝚖𝚊 𝚔𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚝𝚎𝚕𝚊𝚑 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚊𝚌𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚙𝚊𝚒 𝚊𝚔𝚑𝚒𝚛, 𝚓𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚕𝚞𝚙𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚒𝚔𝚊𝚗 𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚋𝚎𝚛𝚞𝚙𝚊 𝚕𝚒𝚔𝚎, 𝚐𝚒𝚏𝚝, 𝚔𝚘𝚖𝚎𝚗, 𝚟𝚘𝚝𝚎 𝚍𝚊𝚗 𝚏𝚊𝚟𝚘𝚛𝚒𝚝! 𝚂𝚊𝚖𝚙𝚊𝚒 𝚓𝚞𝚖𝚙𝚊 𝚍𝚒 𝚎𝚙𝚒𝚜𝚘𝚍𝚎 𝚜𝚎𝚕𝚊𝚗𝚓𝚞𝚝𝚗𝚢𝚊!!!𝙹𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚕𝚞𝚙𝚊 𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚍𝚊𝚗 𝚜𝚊𝚛𝚊𝚗 𝚗𝚢𝚊 𝚢𝚊🍀

Episode 2 [Lelah]

Hanya membutuhkan waktu beberapa menit, akhirnya mobil yang di kendarai oleh Hansen pun tiba di rumah. Keduanya bergegas masuk untuk melakukan kesibukannya masing-masing. 

Karena menurut Nata tak ada yang akan dilakukan setelah tiba di kediamannya, ia pun memutuskan untuk langsung menuju kamar tidur yang berada di lantai dua. 

"Nata," panggil Hansen dengan suara lantang hingga membuat Nata menoleh ke arahnya. 

Wanita itu kembali menginjakkan kaki di setiap anak tangga untuk turun.

"Ada apa?" tanyanya singkat. 

"Apa kau tidak mau makan malam lebih dulu denganku? Aku rasa kita perlu mengisi perut sebelum tidur," ujar Hansen tanpa berbasa-basi. 

"Maaf, aku lelah. Lagipula aku tidak lapar, makanlah sendiri." Ia berdalih menatap sekelilingnya, yang kemudian acuh tak acuh pada Hansen. 

Nata bergegas kembali ke lantai dua untuk beristirahat. Raut wajah iba nampak terpasang pada wajah Hansen. 

*****

Suara dering alarm terdengar sangat nyaring, hingga membangunkan Nata yang tengah tertidur lelap. Ia menguap, sembari tangannya berusaha meraih alarm yang masih berdering. 

Tanpa berpikir panjang, tubuhnya segera bangkit dan berjalan dengan langkah kaki yang tak beraturan. 

Setelah cukup lama disibukkan oleh sabun mandi serta air yang penuh berisi busa, akhirnya ia pun selesai bersiap-siap. 

Tak seperti biasanya, Hansen, sang suami yang biasa lebih dulu sampai di ruang makan untuk menunggunya kini tak lagi sama. Sosoknya yang memberikan senyuman lebar namun sinis itu tak lagi terlihat. 

"Bi, dimana Hansen?" tanya Nata yang tak sengaja berpapasan dengan salah satu asisten rumah tangganya. 

"Tn. Hansen sudah pergi ke perusahaan satu jam yang lalu. Tapi … dia pergi dengan seorang wanita," ungkapnya sembari kembali mengingat kejadian tersebut.

"Wanita yang bibi maksud itu pasti Floryn. Walaupun sedih, tapi aku tidak berhak untuk marah pada Hansen," gumam Nata. Ia kemudian mendekati sebuah mobil yang terparkir di halaman rumahnya itu. 

Supir pribadi yang tak biasa mengantarkannya ke perusahaan pun kini mengantarkannya dengan sepenuh hati sampai ke tempat tujuan. 

Tepat saat setelah ia sampai di perusahaan, hal pertama yang dilihatnya adalah sosok suaminya. Lelaki itu tengah berjalan beriringan dengan seorang wanita yang tak lain adalah Floryn. 

Seketika hatinya terasa perih, begitu juga dengan air mata yang mendadak keluar membasahi wajahnya. Karena seberapa keras pun ia berusaha untuk tidak meneteskan air mata itu, rasa sakit pada hatinya terus membuat matanya membendung sekumpulan cairan bening. 

"Tidak, aku tidak boleh menangis di sini. Ini bukan saatnya aku menangis di tempat umum," umpat Nata dengan hati gelisah. 

Memang sejak awal pernikahan mereka tak dilandasi dengan cinta. Tapi seiring berjalannya waktu, sedikit demi sedikit perasaan cinta itu tumbuh pada diri Nata. Kenapa harus Nata? Wanita yang hanya akan bertindak sesuai perintah suaminya saja. Itu artinya, tak ada kemungkinan baginya untuk terus berasa disisi Hansen. 

Beberapa saat setelahnya, terlihat Nata yang tengah disibukkan oleh beberapa tumpukan berkas yang berada di atas mejanya.

Nampak seorang pekerja yang begitu familiar baginya perlahan memasuki ruangan di mana ia sedang duduk.

"Silahkan diminum kopinya," ujarnya sembari meletakkan kopi di atas meja kerja Nata.

"Terima kasih Janse," ucap Nata.

"Sama sama ... oh ya, ngomong ngomong ada seseorang yang ingin bertemu denganmu. Kalau tidak salah, dia itu kakak Tn. Hansen. Dia sudah menunggumu di kantin perusahaan," wanita yang disebut-sebut sebagai Janse itu memberitahukan.

Tentu ia langsung teringat oleh seorang lelaki bernama Harwell Gard, kakak dari Hansen Gard. Walaupun keduanya adalah saudara, namun hubungan mereka tak seperti kakak dan adik pada umumnya.

Ditambah, mereka selalu bersaing untuk memperebutkan warisan dari sang kakek.

Perlahan ia meneguk secangkir kopi di hadapannya. Tanpa berpikir panjang, kakinya melangkah keluar dari ruangan tersebut untuk menemui Harwell.

*****

"Selamat siang, Kak Harwell ... " sapa Nata yang kemudian duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Warwell.

"Ah, akhirnya kau datang juga, Nata."

"Apa yang ingin Kakak bicarakan denganku di sini? Setahuku Kak Harwell sangat sibuk," cakap Nata membuka pembicaraan di antara keduanya.

"Aku kesini hanya ingin mengingatkanmu mengenai pernikahan kalian yang sudah menginjak dua bulan. Jangan bilang kau lupa," seloroh Harwell sambil memperlihatkan senyuman licik.

Nata menepuk dahinya dengan pelan. Perlahan ia memperlihatkan senyuman kecil yang tak biasa di perlihatkannya.

"Sudah kuduga kau lupa, itu sebabnya aku kesini untuk memberitahumu," imbuhnya.

"I-- iya, terima kasih Kak Harwell. Karena terlalu sibuk, aku jadi lupa."

"Baiklah kalau kau sudah mengingatnya. Sekarang aku harus kembali," ucap Harwell yang kemudian beranjak dari kursinya sambil melambai-lambai kan tangan.

Nata mengangguk kecil. Sesuatu melintasi pikirannya sejenak.

"Kenapa kak Harwell sangat peduli padaku? Bahkan, suamiku saja tidak pernah memerhatikanku dengan lebih," pikir Nata.

Keduanya memang sudah tidak bertemu sejak Nata dan Hansen pindah rumah. Tentu Nata juga merasa sedikit canggung akan hal itu.

*****

Malam semakin larut, langit yang awalnya terlihat cerah pun kini terlihat semakin gelap. Nata memandang jarum jam yang berada di tangannya. Terlihat waktu sudah menunjukkan pukul 21.12 waktu setempat.

Sesegera mungkin ia merapikan berkas-berkas yang belum terselesaikan ke dalam laci mejanya.

"Aku harus mampir ke toko kue sebelum pulang, ku harap masih ada beberapa toko yang buka," ucapnya pada diri sendiri.

Seperti inisiatifnya beberapa waktu lalu, ia pun mendatangi sebuah toko kue ternama yang kebetulan masih buka.

Nampak beberapa kue anniversary yang dirasa adalah selera suaminya.

"Bu, saya ingin membeli kue yang ini. Langsung di bungkus saja, ya ... " kata Nata sembari mengeluarkan uang dari dompetnya.

"Ah, baik. Sepertinya pernikahan kalian berdua sangat romantis. Semoga kalian akan bersama sampai akhir," tutur pegawai toko.

Ia tak menggubris perkataan pegawai itu, hanya senyuman kecil yang di perlihatkannya sebagai jawaban.

Setelah cukup lama menyibukkan diri di toko kue itu, ia pun kembali menaiki taksi yang mengantarkannya sampai rumah.

Suara langkah kaki yang menggema terdengar mengisi ruangan. Lampu-lampu ruangan yang tak menyala tentu membuat suasana terasa menyeramkan. Namun hal itu tak mengurungkan niat Nata untuk memberikan kue anniversary tersebut pada Hansen, suaminya.

"*Hahaha!! Hati-hati, kakiku sakit ... "

"Tenang saja, aku tidak akan menyakitimu*."

Tawa menggeliat serta obrolan yang terdengar asing baginya sontak membuat Nata menghentikan langkah kakinya.

"Suara wanita itu ... "

Nata yang tadinya berhenti tepat didepan ruangan kamar Hansen perlahan meletakkan tangannya pada pintu tersebut.

Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin bercucuran membasahi tubuhnya yang bergetar hebat.

Ia berharap tebakannya mengenai Hansen yang tengah bersenang-senang di dalam kamar bersama wanita lain tidaklah benar.

Kriettt***

"Hansen, kau ... "

Namun takdir berkata lain. Kue dengan posisi lilin yang menyala terjatuh dalam sekejap. Nata terdiam mematung begitu mendapati suaminya yang tengah berhubungan dengan wanita lain di ranjang.

"Na-- Nata ... "

"Ini ... bukan mimpi, kan? Tidak, ini semua pasti hanya delusi ku saja! Ini semua tidak benar!!!!"

"Nata, tenanglah!!!"

"Bagaimana aku bisa tenang setelah melihatmu berhubungan dengan wanita lain di atas ranjang, Hansen?!!!" sanggahnya dengan wajah yang di penuhi air mata.

"Walaupun pernikahan kita hanya sebatas untuk kepentingan politik saja, tapi aku tidak pernah menyangka hal seperti ini akan terjadi. Hansen, lanjutkan saja ... " imbuh Nata. Kakinya dengan cepat berlari menuruni anak tangga.

𝙱𝚎𝚛𝚜𝚊𝚖𝚋𝚞𝚗𝚐....

𝚃𝚎𝚛𝚒𝚖𝚊 𝚔𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚝𝚎𝚕𝚊𝚑 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚊𝚌𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚙𝚊𝚒 𝚊𝚔𝚑𝚒𝚛, 𝚓𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚕𝚞𝚙𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚒𝚔𝚊𝚗 𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚋𝚎𝚛𝚞𝚙𝚊 𝚕𝚒𝚔𝚎, 𝚐𝚒𝚏𝚝, 𝚔𝚘𝚖𝚎𝚗, 𝚟𝚘𝚝𝚎 𝚍𝚊𝚗 𝚏𝚊𝚟𝚘𝚛𝚒𝚝! 𝚂𝚊𝚖𝚙𝚊𝚒 𝚓𝚞𝚖𝚙𝚊 𝚍𝚒 𝚎𝚙𝚒𝚜𝚘𝚍𝚎 𝚜𝚎𝚕𝚊𝚗𝚓𝚞𝚝𝚗𝚢𝚊!!!𝙹𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚕𝚞𝚙𝚊 𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚍𝚊𝚗 𝚜𝚊𝚛𝚊𝚗 𝚗𝚢𝚊 𝚢𝚊🍀

Episode 3 [Memutuskan Untuk Pergi]

Sudah dua hari berlalu sejak kepergian Nata di rumah mereka. Hal itu tentu membuat Hansen terus memikirkan sosok istrinya yang tak kunjung pulang setelah mendapatinya tengah bermain di ranjang yang sama dengan wanita lain.

"Hansen, aku tau hal ini pasti akan terjadi. Itu sebabnya aku memutuskan untuk bertemu dengan istrimu sebelum dia benar-benar pergi," cakap seorang lelaki yang tiba-tiba saja berada di hadapan Hansen.

"Jangan ikut campur dalam urusan rumah tanggaku! Lagipula, aku juga tidak pernah mengundangmu untuk datang ke rumahku dan Nata." Lantas Hansen berjalan menjauhi sosok lelaki itu yang tak lain adalah Harwell Gard, kakaknya sendiri.

"Aku harap semuanya berjalan dengan lancar sesuai keinginanmu. Lagipula, bukankah sejak awal kau hanya menginginkan warisan saham perusahaan dari kakek?" imbuh Harwell. Sontak Hansen menarik kerah pakaiannya yang sudah tertata rapi.

Raut wajah iba terpampang pada wajah Hansen. Ditambah, cengkeramannya semakin kuat hingga membuat Harwell kewalahan untuk bernafas.

"Dengar, aku tidak butuh omong kosong mu itu. Dan lagi, kau tidak tau apa-apa tentang hubungan kami!" sanggah Hansen yang kemudian melepaskan cengkeraman tangannya.

Harwell hanya memperlihatkan senyuman kecil sebagai jawaban.

Ditengah perkelahian di antara keduanya, tiba-tiba saja pintu rumah terbuka lebar. Nampak seorang wanita tengah berdiri dengan tegak di depan pintu tersebut.

Sontak keduanya menghentikan pertikaian mereka karena menyadari bahwa seseorang baru saja datang. Mata Hansen terbelalak begitu mendapati sosok wanita yang tengah dicari carinya selama dua hari ini.

Kakinya dengan cepat melangkah mendekati wanita yang tak lain adalah Nata. Dengan sigap, tangannya memeluk erat-erat tubuh Nata. Namun, tak sedikitpun ekspresi bahagia terpampang pada wajah wanita di hadapannya itu.

"Nata, akhirnya kau pulang juga. Aku sudah menunggumu sejak dua hari ini," cakap Hansen dengan lembut. Perlahan tangannya meraih wajah Nata yang tak memperlihatkan ekspresi.

"Jangan sentuh aku!" Nata menolak dengan kasar tangan Hansen yang hendak meraih wajahnya.

Sontak kedua pria kakak beradik itu terkejut akan sikap Nata yang tiba-tiba saja berubah.

"Na-- Nata, ada apa denganmu? Kenapa kau ...."

"Maaf, tapi kedatanganku ke sini bukan untuk hidup kembali bersamamu. Sekarang, aku ingin memberikan dua pilihan untukmu. Silahkan, kau akan tetap bersama dengan wanita itu, atau mau memperbaiki hubungan denganku," tegas Nata.

Ia kemudian melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah bahkan sebelum Hansen menyuruhnya untuk masuk.

Dua lelaki yang tengah berdiri memperhatikannya langsung mengikuti langkah kaki Nata dari belakang.

"Pilihlah."

Hansen menatap dalam wajah Harwell. Ia berharap kakaknya bisa memberikan jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan oleh Nata padanya.

Namun Harwell yang duduk berdampingan dengannya sama sekali tak membuka mulutnya untuk memberikan jawaban.

"Karena aku tidak bisa memikirkan jawaban yang tepat, lebih baik aku menunda waktu dulu," pikir Hansen berdalih menatap istrinya.

Dengan berat hati ia pun membuka mulut. Berharap Nata akan memberinya kesempatan untuk menunda waktu lebih dulu.

"Nata, aku tidak bisa menjawabnya hari ini juga. Aku harap, kau mau ...."

"Kau menyuruhku untuk menunggumu memberikan jawaban? Baiklah, jika itu yang kau minta. Aku akan memberimu waktu satu minggu untuk berpikir dengan jernih."

"Dan jika sampai saat hari itu juga kau tetap tidak memberikan jawabannya, maka aku akan menganggap bahwa tidak ada lagi hubungan di antara kita," lanjut ucap Nata menutup pembicaraan.

Setelahnya, ia langsung beranjak keluar dari rumahnya itu. Kedua lelaki yang masih berada di dalam hanya terdiam mematung satu sama lain. Hingga pada akhirnya, Hansen menghembuskan nafas panjang.

*****

Disisi lain, kehidupan kantor Hansen terasa jauh berbeda semenjak Nata tak pernah lagi menunjukkan sebatang hidung pun. Begitu juga dengan beberapa rekan kerja yang cukup dekat dengannya.

"Janse, apa kau tau kenapa Nata tidak pernah lagi datang ke kantor?" tanya Yilan pada wanita bernama Janse.

"Entahlah. Terakhir kali aku melihatnya itu ketika mengantarkan kopi untuknya," jawab Janse yang masih fokus pada kopi yang sedang di seduhnya.

"Apa aku harus bertanya pada Tn. Hansen? Tapi, aku lihat akhir-akhir ini raut wajahnya juga sedikit tidak senang. Tidak mungkin aku menemuinya hanya untuk menanyakan tentang Nata," pikir Yilan.

*****

Satu minggu sejak kedatangan Nata kembali ke rumah berlalu begitu cepat. Itu artinya, hari ini adalah hari penentuan apakah Hansen akan memilih untuk rujuk dengannya atau lebih memilih untuk memulai hubungan yang baru dengan Floryn.

*Tuk!! Tuk!! Tuk!!*

Suara langkah kaki terdengar begitu menggema di setiap anak tangga. Semakin lama, suara langkah kaki itu semakin terdengar mendekati Hansen yang tengah berpikir keras.

"Hansen ...." Suara itu sontak membuat Hansen berdalih menatapnya. Jantungnya berdegup dengan kencang, begitu juga dengan keringat dingin yang bercucuran di sekujur tubuhnya.

"Sekarang sudah waktunya kau menentukan siapa pilihanmu. Aku, atau Floryn?"

"Na-- Natalia ...."

"Jangan berbasa-basi! Kau ingin memilih siapa di antara ka--"

"Floryn Lawrence, aku memilihnya!"

"Baiklah, jika itu yang kau mau. Kau hanya perlu menandatangani surat ini. Kita tidak perlu membeberkan perceraian kita pada publik. Lagipula, sejak awal pernikahan kita juga dilakukan secara tertutup, bukan? Hanya keluargamu saja yang tau mengenai pernikahan kita," hardik Nata. Tanpa disadari, ia meneteskan cairan bening dari kedua bola matanya.

Hansen yang mendapati istrinya menangis, membuatnya ingin mengusap air mata itu dari wajah Nata. Namun, sungguh sulit baginya untuk memperlihatkan sisi baiknya pada sang istri.

Perlahan Nata meninggalkan ruangan yang hanya berisikan dua orang di dalamnya. Langkah demi langkah membuat sosoknya tak terlihat sedikitpun.

*Flashback on*

"Tumben kakek memanggilku. Apa yang sebenarnya ingin kakek inginkan?" gumam Hansen sembari terus berjalan memasuki ruangan kakeknya.

"Kakek, apa yang membuatmu memanggilku?" tanya Hansen dengan lirih. Berharap tak ada hal buruk yang terjadi.

"Ternyata wanita itu adalah wanita miskin yang bahkan sulit untuk mencari makan, Natalia Faralyn! Kau sungguh sengaja menutup kehidupan pribadinya padaku?" Pertanyaan yang dilontarkan oleh sang kakek sontak membuat Hansen tersentak kaget.

Tubuhnya mendadak tak bisa digerakkan bak manusia patung.

"Jika kau tidak ingin kehilangan saham perusahaan yang sudah ku berikan padamu, menikahlah dengan seorang wanita yang se perantara denganmu, camkan itu baik-baik."

"Ka-- Kakek!!! Bagaimana bisa aku menceraikannya begitu saja?!!" sanggah Hansen dengan suara lantang.

"Jangan bilang kau benar-benar mencintai wanita itu? Selera cucu pertamaku ternyata benar-benar aneh!"

"Tidak!! Aku tidak mau menceraikan Nata! Dia adalah wanita yang benar-benar aku cintai!!!"

*Flashback off*

"Padahal aku berpikir untuk menikahinya kembali jika kakek meninggal. Tak ku sangka sepertinya Nata benar-benar menganggap hal itu nyata. Tapi, apa ini semua salahku karena aku tidak menjelaskannya sejak awal pada Nata?" ucap Hansen pada dirinya sendiri.

Ia kemudian memegang dahinya yang tiba-tiba saja terasa sakit.

"Tidak, Nata tidak mungkin mau mendengarkan penjelasan ku dan mempercayainya begitu saja. Sudahlah, lagipula aku akan menikahinya kembali saat kakek sudah meninggal."

𝙱𝚎𝚛𝚜𝚊𝚖𝚋𝚞𝚗𝚐....

𝚃𝚎𝚛𝚒𝚖𝚊 𝚔𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚝𝚎𝚕𝚊𝚑 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚊𝚌𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚙𝚊𝚒 𝚊𝚔𝚑𝚒𝚛, 𝚓𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚕𝚞𝚙𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚒𝚔𝚊𝚗 𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚋𝚎𝚛𝚞𝚙𝚊 𝚕𝚒𝚔𝚎, 𝚐𝚒𝚏𝚝, 𝚔𝚘𝚖𝚎𝚗, 𝚟𝚘𝚝𝚎 𝚍𝚊𝚗 𝚏𝚊𝚟𝚘𝚛𝚒𝚝! 𝚂𝚊𝚖𝚙𝚊𝚒 𝚓𝚞𝚖𝚙𝚊 𝚍𝚒 𝚎𝚙𝚒𝚜𝚘𝚍𝚎 𝚜𝚎𝚕𝚊𝚗𝚓𝚞𝚝𝚗𝚢𝚊!!!𝙹𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚕𝚞𝚙𝚊 𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚍𝚊𝚗 𝚜𝚊𝚛𝚊𝚗 𝚗𝚢𝚊 𝚢𝚊🍀

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!