NovelToon NovelToon

Ketulusan Cinta JONATHAN

1. Aku wanita kotor

...Haloooo.... selamat datang dan selamat membaca dinovelku yang ke-6. Semoga suka, ya.......

...Novel ini merupakan season ke-2 dari novel 'Mengejar Cinta Duplikat Istriku'...

...****************...

"Angkat tangan kalian ke atas!" seru seorang polisi sambil menodongkan sebuah pistol pada dua pria di depan pintu kamar.

Dia dan rekan seprofesinya berhasil menemukan jejak dimana Syifa diculik.

Sebelumnya, Joe meminta anaknya Robert untuk menghubungi pihak polisi. Supaya membantunya untuk bisa menemukan Syifa, calon istrinya.

(Flashback On)

Syifa dan Robert tengah duduk sambil mengobrol, di kursi panjang di depan kamar inap Mami Yeri dan Papi Paul. Dua orang itu adalah orang tua Joe, mereka berada di rumah sakit karena mengalami magh dan butuh cairan. Sehingga pihak rumah sakit meminta keduanya untuk sementara dirawat.

Selain duduk dan mengobrol, Syifa dan Robert juga menunggu Abi Hamdan dan Umi Maryam yang berada di sana. Mereka adalah orang tua dari Syifa.

Rencananya, dua pasang orang tua itu hendak berdiskusi. Menentukan kapan berlangsungnya Syifa dan Joe menikah.

Abi Hamdan sudah mengusulkan ijab kabul yang akan dilakukan malam ini pada jam 7. Tapi tidak tahu mereka setuju atau tidak.

Namun, disaat Syifa dan Robert mengobrol dengan asiknya. Tiba-tiba saja datang seorang pria, lalu meraih Syifa dengan kasar hingga membuat tubuhnya berdiri.

"Syifa! Ternyata kamu ada di sini juga?!" tanyanya. Sebenarnya ini hanya basa basi saja. Padahal awalnya dia memang sudah membuntuti Syifa sejak kemarin-kemarin.

Robert pun ikut berdiri, kemudian menepis tangan pria yang terlihat asing dimatanya itu. "Om siapa? Jangan pegang-pegang calon Mommy baruku!" tegasnya.

"Kamu pokoknya nggak boleh menikah, Fa! Dan kita nggak boleh putus!" tegasnya.

Ternyata pria itu adalah Beni, mantan kekasih Syifa. Dia lantas menoleh ke kanan dan kiri, mengamati situasi. Dan ketika menurutnya aman, segera dia pun kembali meraih tangan Syifa. Tapi kali ini sambil ditarik dan mengajaknya pergi.

"Hei! Mau bawa Mommy baruku ke mana kau?!" teriak Robert yang langsung berlari mengejar mereka pada lorong rumah sakit.

"Kakak ini apa-apaan, sih! Lepaskan aku!" pekik Syifa memberontak. Bukan hanya menepis tangan Beni, dia juga mendorong dadanya hingga membuat pria itu mundur beberapa langkah.

"Kamu harus ikut denganku, Fa!" Dengan nekat dan tanpa berpikir, Beni langsung mengangkat tubuh Syifa. Kemudian membawanya berlari pergi dari sana hingga keluar dari rumah sakit.

Robert yang masih mengejar langsung membuka seluruh sepatunya, lalu melemparkannya ke arah punggung pria di depannya sambil berteriak meminta tolong. "Semuanya tolong aku! Calon Mommy baruku mau diculik!" teriaknya kencang.

(Flashback Off)

Dua pria di depan pintu itu adalah temannya Beni. Niat awal Beni memanglah ingin menculik Syifa supaya bisa memperko*sanya. Tapi jika dilakukan seorang diri, rasanya dia tidak akan bisa. Selain itu, dia juga tak punya mobil.

Kedua teman Beni ingin membantu karena memang diberikan iming-iming. Tapi ini bukan soal uang, melainkan soal kebutuhan biologis.

Dua pria tersebut sontak terbelalak, mereka terkejut sebab tahu-tahu sudah ada tiga polisi yang menodongkan senjata di hadapannya. Sebelumnya, dia dan temannya itu sama sekali tak curiga dan mendengar apa pun jika akan ada polisi datang.

Ada Joe juga di samping salah satu polisi itu.

'Kok tiba-tiba sudah ada polisi? Wah gawat ini,' batin pria berjaket hitam seraya mengangkat tangannya.

'Kira-kira si Beni sudah selesai memperko*sa Syifa belum, ya?' batin pria berkaos merah. Dia juga perlahan mengangkat tangannya. 'Ah sial banget sih ini, padahal aku belum memperko*sa Syifa. Masa sudah ditangkap duluan.'

"Pak, saya dan teman saya hanya disuruh Beni. Dia lah orang yang ...." Ucapan pria berjaket hitam itu terhenti saat tiba-tiba saja mendengar suara perempuan berteriak histeris di dalam kamar. Padahal sebenarnya dia ingin menjelaskan supaya tak mendapatkan hukuman.

"Kakak br*ngsek, hiks!"

"Syifa!" seru Joe dengan keterkejutannya. Sorotan matanya tertuju ke arah pintu kamar. Suara itu dia kenal betul milik calon istrinya.

Dengan panik, Joe langsung menendang pintu di depannya. Tidak lagi menggunakan tangan untuk membuka. Ternyata, kayu jatinya pun sudah rapuh. Sehingga sekali tendangan saja benda tersebut langsung tertubruk jatuh.

Bruk!

"Astaga Syifa!" Joe sontak terbelalak dengan jantung yang berdegup kencang, kala melihat Syifa yang setengah tel*njang itu dihimpit dari bawah serta diciumi oleh pria yang entah dia sendiri tak tahu siapa. Tapi yang jelas, pria itu tanpa busana.

"Bre*ngsek sekali, kau! Berani-beraninya melecehkan calon istriku!" geram Joe dengan kedua tangan yang mengepal kuat. Dadanya bergemuruh dan matanya memanas.

Namun, ada rasa sakit di dalam lubuk hatinya, dan itu membawanya untuk menghajar habis-habisan Beni.

Kerah belakang pria itu langsung Joe tarik dengan kasar, hingga membuat tubuhnya terhentak ke lantai.

Bruk!

"Ternyata kau orangnya?! Dasar manusia bia*dab!" berang Joe dengan penuh kemurkaan, ketika mengetahui ternyata Beni lah oranganya. Pertemuannya sekali dengan pria itu ternyata tidak membuatnya lupa dengan wajahnya.

Segera, Joe menghentakkan bokong ke perut Beni. Kemudian mulai menonjokki seluruh wajah pria itu secara bertubi-tubi dan tanpa ampun.

Bugh!

Bugh!

Bugh!

"Hiks, hiks, hiks!" Syifa yang sejak tadi menangis langsung membenarkan pakaiannya, kemudian beringsut mundur menuju beberapa tumpukan kardus kosong di sana untuk menutupi tubuhnya.

Pakaiannya sekarang sudah tak bisa lagi menutupi aurat. Banyak yang robek karena ulah Beni. Bahkan hijab pashminanya pun hilang entah ke mana.

"Pak Jonathan! Hentikan, Pak!" Seorang polisi mencoba menarik tangan Joe. Berupaya menghentikan aksinya, yang sekarang tengah mencekik leher Beni.

Wajah pria itu terlihat memerah dalam kegelapan. Napasnya sudah tersendat-sendat. Kalau aksi Joe tidak dihentikan, bisa-bisa Beni kehilangan nyawa.

"Biarkan aku membunuhnya malam ini!" Joe sudah seperti orang yang kerasukan setan, karena sangking murkanya melihat keadaan. Dengan kasar, dia pun menepis tangan Pak Polisi yang menghalanginya.

Lantas, dengan satu tangan, dia kembali mencekik leher Beni. Dan tangan satunya dia gunakan untuk mencengkeram tongkat dan kedua telur Beni.

"Bukan hanya nyawamu yang kubuat melayang. Tapi tongkat dan kedua telurmu juga, Bia*dab!!" teriaknya. Bagi Joe, Beni pantas mendapatkan semua itu. Sebab dia menggunakan ketiga benda tersebut di tubuhnya untuk bisa melecehkan Syifa.

"Aaarrrgghh!" Beni mengerang tertahan. Matanya sontak mendelik ke atas. Saat merasakan sakit yang tak terhingga, sepanjang sejarah dalam hidupnya.

"Pak Jonathan astaghfirullah!" Pak Polisi sontak membelalakkan matanya, saat mendapati Beni sudah hilang kesadaran.

Cepat-cepat, dia yang dibantu temannya yang baru saja menghampiri langsung menarik tubuh Joe hingga membuatnya berdiri.

Setelah itu, dia lantas berjongkok ke arah Beni. Jari telunjuknya ditempelkan pada lubang hidungnya. Untuk bisa memastikan jika pria itu masih bernapas atau tidak.

"Astaghfirullah! Dia nggak bernapas, Pak! Cepat kita bawa ke rumah sakit!" perintahnya pada rekan seprofesinya. Sebab memang dia tak merasakan angin yang berhembus dari lubang hidung pria itu.

"Ayok, Pak." Rekannya itu mengangguk, kemudian berjongkok dan meraih tubuh Beni.

Keduanya berlari pergi dari sana, membawa Beni. Sedangkan polisi yang satunya datang menghampiri Joe, dia baru saja selesai memasukkan kedua teman Beni ke dalam mobil. Tentunya dengan diborgol juga, supaya tak kabur.

"Syifa!" Joe langsung berlari menghampiri Syifa saat mengingat akan dirinya yang sejak tadi menangis. Dia melihat, kaki putih calon istrinya berada dibalik tumpukan kardus kosong.

"Jangan mendekat!" teriak Syifa histeris. Dia beringsut mundur dengan wajah ketakutan, tubuhnya terlihat bergetar hebat. Kedua tangannya itu menyilang ke arah dada, berusaha menutupi bagian-bagian tubuh supaya tak dapat dilihat orang lain.

Joe masih melangkah pelan. Perlahan dia pun melepaskan jas, kemudian melepaskan beberapa kancing kemejanya.

"Jangan mendekat kataku! Jangan perko*sa aku!" teriak Syifa yang makin kencang sambil menangis.

Melihatnya yang begitu ketakutan, Joe akhirnya menghentikan langkahnya. Padahal niat Joe, ingin memberikan apa yang dia pakai kepada Syifa. Supaya gadis itu dapat menutupi tubuhnya.

"Aku Jonathan, Fa. Aku nggak akan mempe*rkosamu. Aku datang justru membantumu." Perlahan, Joe berjongkok. Tangan kanannya pun terulur dengan pelan ke arah Syifa yang tengah menundukkan wajahnya. Rambut panjang berwarna hitamnya bergerai indah. "Tolong pakailah ini untuk sementara, biar aku akan membawakan baju ganti untukmu," pintanya dengan lembut.

Bukannya mengambil, Syifa justru menangis pilu dengan menutupi wajahnya. Dia merasa, saat ini hidupnya benar-benar telah hancur. Dunia pun rasanya runtuh.

"Hiks! Hiks!"

"Tenanglah, Fa. Aku sudah datang dan menolongmu," ucap Joe dengan lembut seraya mengusap puncak rambut Syifa. Akan tetapi, gadis itu menepisnya. Jas abu yang sudah Joe lepaskan kini diletakkan di samping kaki kanan Syifa, sebab sejak tadi belum diambil. "Kamu sudah aman sekarang. Tunggu sebentar ... aku akan mencarikan baju untukmu supaya kita bisa pulang, ya?"

Joe tersenyum manis. Dia lantas berdiri. Baru saja kakinya hendak melangkah pergi, tetapi seketika urung saat di mana Syifa berucap,

"Aku nggak mau menikah dengan Bapak." Suara Syifa begitu lirih, tertahan oleh tangisnya dan terasa begitu menyesakkan dada.

"Nggak mau menikah?!" Joe mengerutkan keningnya, lalu berbalik badan dan menatap kembali Syifa dengan bingung. "Kenapa? Bukankah malam ini kita akan melangsungkan akad. Pasti orang tua kita sudah menunggu, Fa."

"Harusnya Bapak nggak perlu tanya kenapa. Kan Bapak sudah tau sendiri, apa yang telah aku alami, hiks!" rintih Syifa.

"Terus kenapa? Apa masalahnya di sini, Fa? Yang penting 'kan kamu sudah baik-baik saja sekarang."

"Baik-baik saja apanya, Pak?" Syifa mengangkat wajahnya yang sudah banjir karena air mata. Matanya merah begitu pun dengan seluruh wajahnya. "Aku sudah nggak suci lagi. Aku wanita kotor, hiks!"

Jantung Joe sontak berdebar kencang. Dadanya terasa berdenyut. Ngilu sekali rasanya, mendengar apa yang terucap dibibir gadis pujaan hati itu.

Namun, dia sendiri justru memilih untuk menyalahkan dirinya sendiri. Sebab kalau benar itu semua telah terjadi—itu dikarenakan dia lah yang lalai. Telat datang untuk menyelamatkan.

Harusnya, Joe juga tidak perlu mandi saat itu. Supaya tidak meninggalkan Syifa bersama Robert.

"Kamu benar-benar sudah dilecehkan tadi? Dia memperko*samu?" tanya Joe dengan bibir yang bergetar. Bola matanya tampak berkaca-kaca. Dia tentunya ikut sedih. Melihat calon istrinya bersedih.

Syifa hanya menjawab dengan anggukan kepala.

Tapi sejujurnya, dia sendiri tak tahu jelas bagaimana kejadiannya. Sebab saat terbangun dari pingsan, Syifa sudah melihat Beni tengah berada di atas tubuhnya yang bermandikan keringat. Sedang menciumi bibir.

Keadaan mereka pun yang bisa dikatakan tak berbusana. Selain itu, Syifa juga sekarang merasakan seluruh tubuhnya sakit, sela*ngkangannya, serta kepala. Jadi semua itu rasanya sudah meyakinkan hatinya, jika Beni benar-benar sudah melakukan tindakan asusila.

"Aku benar-benar wanita kotor, Pak! Bapak pasti sudah jijik kepadaku, kan, hiks?!" Syifa kembali menangis, meratapi nasibnya.

"Kamu bukan wanita kotor, Fa!" tegas Joe dengan gelengan kepala. "Aku juga nggak peduli dengan apa yang telah terjadi. Karena kamu tetap akan menikah denganku!"

"Tapi aku tetap nggak mau menikah dengan Bapak!" tegas Syifa sambil menggeleng cepat.

"Kenapa, Fa?" Suara Joe terdengar begitu lembut. Air mata pun seketika luruh, membasahi kedua pipinya. "Bukan cuma aku saja yang telah berjuang. Tapi Robert juga. Masa kita sudah dititik ini harus nggak jadi menikah? Masa perjuanganku sia-sia?"

...Jangan lupa masukkan ke daftar favorit ya, Guys!...

...Like, komen, vote dan hadiahnya juga jangan lupa dibagi! Biar Author semangat nulisnya 😉...

2. Menjadi milikku selamanya

"Tapi aku bukan perempuan yang pantas untuk Bapak. Aku wanita ko—"

"Berhenti mengatakan hal itu, Fa!" sergah Joe dengan lantang dan menegaskan. "Aku nggak peduli. Aku nggak peduli dengan apa yang telah terjadi. Yang terpenting sekarang kita harus pulang, kita harus melakukan akad nikah!"

"Bagaimana kalau misalkan aku hamil?" Syifa menangis tersedu-sedu sembari menyentuh perutnya yang mendadak terasa kram. "Aku hamil dari pria lain sedangkan kita ... Aaarrrgghh!" Ucapan Syifa menggantung kala merasakan kepalanya berdenyut. Sakit sekali dan berkunang-kunang.

"Syifa! Kamu kenapa?" Joe langsung merangkul bahunya, lalu ikut menyentuh kepala Syifa yang saat ini disentuh oleh pemiliknya.

"Kepalaku ...." Penglihatan Syifa pun seketika kabur. Semakin gelap dan tak lama dia pun hilang kesadaran.

"Astaga! Syifa!" teriak Joe sambil menggoyangkan pipi Syifa.

Pak Polisi yang masih ada di sana sejak tadi hanya diam dan memerhatikan. Akan tetapi, dia merasa heran sebab saat ini melihat Joe tengah melucuti pakaiannya. "Bapak mau ngapain? Kok buka celana?"

Joe langsung menoleh, tapi dia tanpa malu meneruskan apa yang dia lakukan. "Bapak pergilah dari sini. Aku akan memakaikan pakaianku untuk Syifa. Dan Bapak nggak boleh melihatnya! Ini haram!" teriaknya sambil menunjuk ke arah luar, seolah mengusir pria di hadapannya.

"Terus Bapak nanti pakai baju apa, kalau baju Bapak dipakaikan Nona Syifa?" tanyanya bingung.

"Jangan pikirkan tentang aku! Sekarang Bapak keluar saja dulu!" perintahnya dengan lantang dan terlihat geram sebab merasa tak sabar.

Pak Polisi itu pada akhirnya menurut, dia melangkah keluar meninggalkan Joe.

Setelah memakaikan stelan jas abu ke tubuh Syifa. Kini dia pun mengambil sebuah kardus, lalu memakainya. Tidak peduli jika orang lain mengatakan dirinya gila, yang terpenting sekarang adalah aurat calon istri tidak dilihat orang lain.

Joe pun dengan perlahan mengendong tubuh Syifa, kemudian berlari keluar dari rumah kosong itu hingga menuju mobilnya.

Robert yang sejak tadi menunggu dimobil tentunya merasa terkejut melihat kedatangan Daddynya. Selain karena pakaian yang dipakai keduanya, dia juga merasa kaget sebab Syifa terlihat tak sadarkan diri.

"Dad! Ada apa dengan Bu Syifa? Kok pingsan? Dan kenapa pakai jas Daddy?"

Pertanyaan Robert terdengar begitu banyak. Dan rasanya Joe tidak dapat menjawab semuanya.

"Kamu sekarang pindah ke kursi belakang, temani Bu Syifa. Kita akan ke rumah sakit karena dia pingsan," titahnya saat keluar dari pintu belakang mobil. Kemudian masuk kembali pada kursi kemudi.

"Iya, Dad." Robert dengan patuhnya langsung berpindah tempat. Dan tak lama kemudian, mobil itu pun melaju pergi menuju rumah sakit di mana Mami Yeri dan Papi Paul dirawat. Sekalian juga, melangsungkan akad.

Joe sangat yakin—jika kedua orang tuanya dan orang tua Syifa pasti sudah lama menunggu mereka.

'Apa pun yang telah terjadi aku nggak peduli, Fa. Yang terpenting sekarang ... kamu dan aku akan menikah. Dan kamu akan menjadi milikku selamanya,' batin Joe sambil membuang napasnya berkali-kali.

*

*

*

30 menit kemudian....

"Jon, kenapa dengan Syifa?!" Abi Hamdan sontak terkejut, saat melihat Joe yang berlari tergesa-gesa dengan mengendong Syifa menuju UGD.

Pria bermata sipit itu sudah memakai pakaian sekarang, tidak dengan kardus lagi. Akan tetapi, pakaian yang dia pakai sama dengan sebelum mandi.

"Bu Syifa habis diculik, Opa." Yang menjawab Robert. Dia juga berlari di belakang Joe dan langsung meraih tangan Abi Hamdan.

"Diculik?" Kening pria berpeci itu terlihat mengerut. "Diculik sama siapa? Dan kalian bertiga habis dari mana?"

"Dokter! Tolong calon istriku, Dok! Dia pingsan!" seru Joe yang sudah masuk ke dalam ruang UGD. Dengan perlahan dia pun membaringkan tubuh Syifa di atas tempat tidur.

Kepala gadis itu sudah Joe tutupi dengan syal milik Sandi yang ada di dalam mobil, itu sengaja dilakukan supaya rambutnya tidak dilihat oleh orang lain.

"Baik, Pak." Dokter wanita berambut pendek langsung mengangguk. Lantas melangkah mendekat. "Bapak keluar dulu."

"Iya." Joe melangkah keluar dari sana, kemudian menutup dua pintu itu dengan rapat.

"Jon! Bagaimana ceritanya, kok Syifa bisa pingsan? Kata Robert dia diculik? Tapi siapa yang nyulik dan kenapa orang itu menculik Syifa?" Abi Hamdan langsung mencecar beberapa pertanyaan kepada Joe. Sungguh dia merasa penasaran, ditambah juga khawatir.

"Benar, Pak, Syifa diculik," jawab Joe. Perlahan dia pun merangkul bahu Abi Hamdan, lalu mengajaknya untuk duduk di kursi panjang. Robert juga ikut duduk dipangkuan pria itu.

"Kok bisa diculik? Awalnya gimana?"

"Awalnya pas Robert dan Bu Syifa duduk di depan kamar inap Opa dan Omanya Robert, Opa." Robert membantu menjawab. "Tiba-tiba ada seorang pria menghampiri kita, dan langsung membawa Bu Syifa pergi."

"Kamu diam saja, Jon, pas Syifa dibawa pergi?" Abi Hamdan menatap tajam ke arah Joe.

"Aku nggak tau pas pria itu datang, Pak," jawab Joe.

"Daddy 'kan posisinya lagi mandi, Opa. Kan Opa yang nyuruh Daddy mandi." Robert kembali menyahut.

"Kau sudah mandi?" Abi Hamdan memperhatikan penampilan Joe yang sama seperti tadi pagi. Wajah dan tubuhnya yang terlihat berkeringat menjadikannya terlihat seperti belum mandi. "Nggak kelihatan sudah mandi. Kau mandi nggak pakai air, ya? Mana masih bau lagi." Langsung menutup hidung, saat mencium aroma baju Joe yang menurutnya seperti bangkai.

"Pakailah, Pak, masa nggak."

"Terus, alasan Syifa pingsan itu apa?"

"Syifa pingsan sepertinya karena kelelahan." Joe sengaja tak menceritakannya, sebab takut jika nantinya Abi Hamdan marah atau pun kecewa yang pada akhirnya membatalkan pernikahan.

Ditambah, Joe juga tak ingin masalah itu melebar hingga diketahui orang-orang. Kasihan Syifanya nanti, bisa-bisa dia makin terpuruk dengan keadaannya.

"Siapa yang berani menculik anakku? Apa kau sudah lapor polisi, Jon? Kita harus penjarakan orangnya!" geram Abi Hamdan dengan kedua tangan yang terlihat mengepal kuat.

"Dia mantan kekasihnya Syifa, Pak."

Abi Hamdan sontak membelalakkan matanya. "Si Beni! Pria bre*ngsek itu?!" geramnya.

"Yang panuan itu, Opa? Jadi dia mantannya Bu Syifa?" tanya Robert. Abi Hamdan langsung mengangguk cepat. "Kok Bu Syifa mau sih, pacaran sama pria jorok seperti itu?" tambahnya sambil bergidik geli.

"Entahlah. Opa juga nggak ngerti."

"Mungkin Syifa kena pelet." Joe mengepalkan kedua tangannya, dia terlihat sama geramnya seperti Abi Hamdan. "Tapi Bapak tenang saja. Beni sudah kubunuh, jadi dia nggak akan gangguin Syifa lagi."

"Kau membunuhnya? Kapan? Apa tadi?" Kembali, Abi Hamdan tampak membelalakkan mata. Merasa terkejut dengan apa yang Joe dikatakan

"Iya." Joe mengangguk. "Saat aku menyelamatkan Syifa, aku langsung mencekik lehernya dan memencet kedua telur serta tongkatnya." Sebenarnya Joe belum merasa puas, sebab telur pria itu belum berhasil pecah. Hanya saja Beni sudah keburu tak sadarkan diri. Sehingga polisi menghentikan aksinya.

"Lalu mayatnya kamu tinggal, Jon? Bagaimana kalau sampai polisi tau?"

"Polisi justru tau. Orang aku melakukannya di depan polisi."

"Apa?!" Abi Hamdan menyeru dengan lantang. Lalu memukul bahu kanan Joe. "Apa kau sudah gila, Jon? Kau membunuh orang di depan polisi?"

"Kalau Bapak di posisiku ... Apa Bapak akan diam saja?" Joe menoleh. Sorotan matanya terlihat begitu sendu. Dia seketika mengingat, adegan dimana Beni dengan beraninya menciumi bibir Syifa. Dia saja kemarin sempat mencium, tapi mendapatkan sebuah tamparan dan katai pria mesum. "Pasti Bapak juga akan melakukan hal yang sama, kan?"

"Iya juga, sih, tapi bagaimana kalau nanti kamu yang justru dipenjara, Jon? Akibat membunuh Beni? Masa Syifa jadi janda, setelah menikah denganmu?"

"Kok ke janda-janda. Hubungannya apa, Pak?" Alis mata Joe tampak bertaut. Dia tak mengerti dengan arah pembicaraan calon mertuanya itu.

"Ya 'kan kamunya masuk penjara. Nanti Syifa ditinggal. Itu 'kan sama saja seperti jadi janda nantinya. Mana Syifa lagi hamil muda," jelas Abi Hamdan, lalu mendekat ke arah telinga kanan Joe seraya berbisik. "Harusnya, kamu berpikir dulu sebelum bertindak. Setidaknya, kalau mau membunuh ... jangan didepan polisi."

3. Udah gatel banget rupanya

Secara tidak langsung, Abi Hamdan mengajari hal yang tidak benar.

"Ah nggak! Nggak!" Tiba-tiba, pria itu langsung teringat. Jika apa yang dia katakan adalah salah. Kepalanya pun menggeleng. "Mau bagaimana pun masalahnya, membunuh orang itu nggak dibenarkan, Jon. Lagian dosa juga. Ya semoga saja Beni nggak beneran mati. Biar matinya pas dipenjara saja."

"Gimana pun nasibnya, aku nggak peduli, Pak. Tapi disini aku melakukan hal itu karena wajar, karena Beni dengan berani sudah memper ...." Joe cepat-cepat melipat dalam bibirnya dengan rapat, sebab takut sampai keceplosan.

"Sudah berani apa, Jon?" tanya Abi Hamdan penasaran.

"Sudah berani menculik Syifa. Padahal harusnya, aku dan Syifa 'kan malam ini sudah ...." Joe sontak membelalakkan matanya, kala menatap jam dinding yang berada di atas sudah menunjukkan pukul 10 malam. "Ya ampun, ini bahkan sudah lewat dari jam 7. Harusnya aku sudah menikah sekarang, Pak." Joe langsung berdiri dengan keterkejutannya.

Abi Hamdan mengangguk. "Iya, Pak Penghulu dan yang lainnya sebenarnya sudah menunggu kamu dan Syifa sejak tadi, Jon. Tapi berhubung kamu dan Syifa lama ... jadi aku memutuskan untuk membatalkan."

"Membatalkan?!" Joe kembali terbelalak. Dia lantas menoleh ke arah Abi Hamdan. "Bapak membatalkan pernikahanku dengan Syifa? Tapi kenapa, Pak? Apa aku membuat kesalahan?"

"Kan kamu dan Syifanya lama. Sedangkan Pak Penghulunya musti menikahkan calon pengantin lain. Jadi dia memutuskan untuk pergi."

"Aku kebetulan punya teman seorang Penghulu. Nanti biar dia saja yang menikahkan aku dan Syifa." Joe langsung merogoh saku dalam jasnya, kemudian mengambil ponsel dan mencari nomor kontak penghulu yang dia maksud.

"Besok saja, Jon, kamu nikahnya." Abi Hamdan tiba-tiba berdiri dan merebut ponsel Joe.

"Kenapa? Aku nggak mau, Pak!" Joe menggeleng cepat. Dia terlihat seperti orang yang ketakutan. Memang takut, takut jika pernikahannya batal. "Pernikahan ini nggak boleh ditunda! Aku harus menikahnya sekarang!" tambahnya menegaskan.

"Tapi Syifanya 'kan lagi diperiksa, dia juga pasti kecepekan. Ditambah sudah malam, Jon." Memang benar, pernikahan itu lebih cepat dilakukan akan menjadi lebih baik. Tapi kalau sudah jam 10 malam, tidak masalah jika ditunda besok. Nanti pagi-pagi mereka bisa melangsungkan akad.

"Nggak, Pak! Aku nggak mau!" tolak Joe bersikukuh. "Aku tetap ingin menikahnya sekarang." Joe langsung mengambil ponselnya ditangan Abi Hamdan. Lantas melangkah menjauh untuk menghubungi temannya.

Satu panggilan tidak diangkat, dua panggilan, sampai tiga panggilan baru diangkat.

"Halo," ucap seorang pria dari seberang sana. Suaranya serak khas orang yang baru bangun tidur.

"Halo, Dy, Tolong kamu ke Rumah Sakit Sejahtera, ya! Buat nikahin aku!" perintah Joe tanpa basa-basi.

"Menikah?" Pria yang bernama Dylan itu terdiam sesaat. Lantas tak lama bersuara dengan nada mengomel "Kamu gila, ya, Joe? Aku masih normal kali meskipun jomblo. Nggak maulah aku nikah sama kamu. Nggak enak main pedang!"

"Bukan nikah sama kamu. Aku nikahnya sama Syifa, tapi kamu yang nikahin. Kan kamu penghulu, Dy," jelas Joe.

"Tapi 'kan kamu Kristen, gimana, sih? Ya nggak bisalah, kamu minta nikahnya sama aku, Joe," gerutu Dylan yang tak habis pikir.

"Aku jadi mualaf, pas mau akadnya. Cepat kamu siap-siap buat ke sini, ya!" titah Joe.

"Oh. Tapi mahar dan semua berkasnya sudah siap, kan?"

"Sudah." Sebenarnya Joe sendiri tidak tahu. Tapi dia merasa yakin—jika Sandi sudah mengurus semuanya. Saat dia pergi tadi. "Oh ya, Dy. Aku mau tanya dulu sesuatu sama kamu."

"Tanya apa?"

"Aku pernah nonton film, pas adegan orang Islam akad nikah. Tapi di sana hanya cowoknya saja yang mengucapkan janji suci, tapi ceweknya nggak. Memangnya ... seperti itu, ya?" tanya Joe penasaran.

"Mungkin yang kamu maksud ijab kabul," tebak Dylan. "Itu si cowoknya mengucapkan kalimat ijab kabul, Joe. Memang begitu kalau pernikahan Islam."

"Oh ...." Joe mengangguk-nganggukan kepalanya. Dan tiba-tiba saja, ada sebuah ide brilian yang mengisi otaknya. "Itu, sih, Dy ... kalau misalkan pas ijab kabul ceweknya nggak ada gimana? Apa pernikahannya tetap sah?"

"Ceweknya mati, maksudmu?"

"Dih nggak!" Joe menggeleng cepat. "Ceweknya lagi sakit, atau pingsan. Jadi nggak ikut serta pas acara ijab kabul. Apa pernikahannya tetap sah?"

"Oh. Kalau begitu tetap sah. Yang penting dia awalnya sudah mau menikah dan orang tuanya setuju. Paling nanti tinggal tanda tangan dibuku nikahnya saja, setelah ijab kabul selesai, Joe," jelas Dylan panjang lebar.

"Syukurlah ...." Joe bernapas lega. Lebih baik, dia segera melangsungkan ijab kabul. Sebelum Syifa terbangun. Sebab takutnya, gadis itu akan menolak jika diajak menikah. Yang terpenting sekarang, kedua orang tua mereka sudah sama-sama setuju.

"Apa calon istrimu sedang pingsan sekarang? Atau koma?" tanya Dylan.

"Hanya pingsan, dia sedang sakit, Dy."

"Kenapa nggak tunggu dia sadar atau pas sembuh saja, Joe?"

"Ini genting. Akunya udah nggak sabar."

"Nggak sabar mau malam pertama, ya?" goda Dylan dan tak lama terdengar suara gelak tawanya. "Dasar duda! Udah kebelet banget pengen ganti oli, ya?"

"Apaan sih, Dy." Wajah Joe seketika bersemu merah. Dia terlihat malu-malu. Abi Hamdan yang melihatnya dari kejauhan tampak mengerutkan keningnya. "Kalau iya juga nggak apa-apa kali, kan aku udah punya calon. Memangnya kamu?!" cibirnya.

"Iya deh," kekeh Dylan. "Ya sudah, 30 menit lagi mungkin aku akan segera sampai. Nomor kamarnya berapa?"

"Nanti aku kirim lewat chat. Takutnya kamu lupa," sahut Joe. Kemudian memutuskan panggilan.

Setelah itu dia pun mengirimkan pesan. Lantas melangkahkan kakinya mendekati Abi Hamdan dan Robert.

"Pak Joe ke mana saja dengan Dek Robert? Dan di mana Bu Syifanya?" tanya Sandi yang baru saja melangkah menghampiri. Wajah pria itu terlihat seperti pusing dan capek sekali. Dia memang sangat sibuk tadi, mencari keberadaan tiga orang yang tiba-tiba hilang.

"Nanti aku jelaskan, San," jawab Joe dengan santai. "Oh ya, apa mahar dan syarat nikahku sudah lengkap, San? Dan mana baju pengantin dan orang butiknya?" Joe menatap sekitar, mencari orang butik yang dia maksud.

"Semuanya sudah siap, Pak. Baju pengantin Bapak dan Bu Syifa juga sudah ada," jelas Sandi. "Tapi kalau orang butiknya ... mereka sudah pulang. Karena kata Ustad Hamdan, pernikahan Bapak dan Bu Syifa ditunda besok."

"Pernikahanku dan Syifa akan berlangsung sekarang, San. Ayok bantu aku memakai baju pengantin," ajaknya seraya merangkul bahu Sandi, kemudian mengajaknya melangkah pergi.

"Jon! Bagaimana dengan Syifa?!" seru Abi Hamdan yang berlari mengejar sambil mengendong Robert. Sehingga membuat langkah kaki dua pria itu terhenti. "Dia 'kan masih ditangani Dokter!"

Joe lantas menoleh. "Syifa biarkan ditangani Dokter. Nanti aku suruh Bibi pembantu di rumahku untuk datang dan menunggunya. Sekarang lebih baik Abi Mertua siap-siap, aku mau langsung berikrar dan ijab kabul. Supaya cepat sah menjadi suami Syifa."

"Kenapa nggak besok saja, Jon? Atau setidaknya menunggu Syifa selesai diperiksa?"

"Kan Abi Mertua udah tau. Karena aku udah nggak sabar. Aku kebelet kawin. Udah ayok, San, bantu aku ganti baju." Joe langsung menarik Sandi, kemudian mengajaknya melangkah cepat meninggalkan Abi Hamdan dan Robert.

"Udah gatel banget rupanya si Jojon tongkatnya. Sampai nggak mau nunggu Syifa selesai diperiksa," gumam Abi Hamdan dengan bibir yang mengerucut. "Perasaan ... cepet juga itu tongkatnya kering. Aku dulu pas disunat sampai sebulan, baru kering dan bisa pakai celana." Tangannya perlahan merogoh kantong celana, lalu mencoba untuk menghubungi Ustad Yunus. Meminta pria itu datang lagi ke rumah sakit dengan membawa Pak RT.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!