Teet… Teet....
Terdengar bunyi bel sebagai tanda pulang pertama. Waktunya anak-anak selesai kegiatan belajar mengajar.
"Amavista!" Teriak Bu Murti.
Ketika sedang menggantikan baju, namanya dipanggil oleh Bu Murti.
''Amavista, sapu ruang makan anak di atas!'' Perintah Bu Murti.
Amavista sambil memakaikan celana ke salah satu anak ''Baik, Bu.'' Jawab Amavista menuruti seruan dari kepala sekolah itu.
"Dasar, wanita kere numpang cari duit! kerja lelet!" Bu Murti memakinya dengan puas,
Amavista Hyun Joong merupakan anak dari keluarga yang ekonominya lebih rendah dari Bu Murti.
Ibunya Amavista meminta Bu Murti untuk memperkerjakan anaknya sebagai guru di tempat Ia bekerja.
Permintaan Sang Ibu dikabulkan oleh Bu Murti. Bu Murti dengan licik memperkerjakan Amavista sebagai guru sekaligus menggantikan posisi Cleaning Service dan Babysitter.
***
Mata melotot ke arah semua guru. ''Siapa ini yang membolehkan tamu untuk menghadap ke saya? Saya sekarang sedang sibuk, tidak bisa diganggu!'' Ketus Bu Murti.
Sekolah Amanah di pimpin oleh kepala sekolah bernama Bu Murti. Dia merupakan kepala sekolah yang sangat kejam, dan diktator.
Amavista, selalu yang disuruh-suruh. Jika Amavista melakukan kesalahan, tidak sungkan dia memarahinya.
''Maaf bu, saya yang membolehkan tamu tersebut untuk bertemu dengan ibu.'' Jawab Amavista dengan takut.
Amavista mengalah dengan keegoisan Sang Kepala Sekolah, tamu yang dibawa merupakan staff marketing produk odol anak-anak yang ingin mengajak kolaborasi dengan sekolah Amanah.
Bu Murti meninggalkan Amavista yang sedang berdiri bersama dengan tamu itu. Sang tamu mengangguk kebingungan tidak menyangka kunjungannya itu membuat kepala sekolah marah besar. ''Apa salahnya sih nemuin tamu sebentar,'' Celoteh Amavista dalam hati sambil mengantarkan tamu itu keluar gerbang.
***
''Amavista! Sudah saya bilang kalau ada siswa yang pup di kelas, kamu yang bereskan!'' amuk Bu Murti sembari menudingkan jari telunjuknya yang dilapisi pewarna semerah darah.
''T-tapi… saya….''
''Ya! Kamu malah ketiduran di warung soto Bu Diah. Ini masih mengajar, kenapa kamu keluyuran?'' Lanjut Bu Murti semakin menjadi.
Semua ini gara-gara Bu Wiwin, Senior Amavista yang menyuruhnya memfoto kopi ratusan lembar berkas di konter seberang jalan.
Karena jenuh menunggu, kebetulan belum sarapan juga.
Amavista mampir melahap semangkuk soto ayam di warung sebelah konter.
Entah dibuat angin apa, perut Amavista mengantarnya tidur berbantalkan tangan di salah satu meja warung.
Amavista meruntuk dalam hati, ''Padahal guru disini kan bukan Cuma aku. Kenapa lagi-lagi aku yang disuruh berurusan sama kotoran anak orang.''
''Urus Aura! Dia pup dia menangis dari tadi karena tidak ada yang menggantikan popok!'' Sentak Bu Murti lagi dan lagi.
Dengan terpaksa, Amavista mengangguk. Menundukkan tubuh sekaligus berpamitan keluar ruangan kepala sekolah.
Kedua kali Amavista mengomel dalam hati, ''Aku lagi, aku lagi. Kenapa sih aku terus yang salah!''
Keesokan harinya…
Hari Selasa, Amavista selalu mengajak anak-anak belajar di luar kelas, di taman bermain. Tujuan belajar di luar kelas diadakan setiap dua minggu sekali untuk menghindari kebosanan anak-anak kegiatan belajar mengajar.
''Anak-anak berdiri yang rapih, hari ini kita akan bermain bersama!'' Seru Amavista di depan anak-anak.
''Main apa Bu Guru?'' Tanya salah satu anak yang saling berhadapan dengan Amavista.
''Kita akan bermain bola, Nak.'' Tutur Amavista sambil memegang beberapa bola di tangan.
''Tapi sebelum kita bermain, Ibu akan memperkenalkan warna-warna bola ini,'' Tambah Amavista kepada anak-anak.
Suasana proses belajar pun terasa khidmat, tidak ada yang bercanda, semuanya serius mendengarkan apa yang dijelaskan oleh Amavista. Tiba-tiba…
''Amavista, dipanggil Bu Murti untuk datang ke kantor kepala sekolah.'' Kata salah satu guru di sekolah Amanah.
''Tapi Bu, saya sedang kegiatan proses belajar mengajar.'' Jawab Amavista.
''Siapa yang akan membimbingnya jika saya pergi?'' Tanya Amavista.
''Gini aja anak-anak ini, saya yang akan mengganti posisi kamu,'' Perintah guru itu yang sedang memberikan solusi ke Amavista.
''Baiklah Bu, kalau begitu.'' Amavista menuruti perintah guru itu. Ia tak mengerti alasan Bu Murti memanggil.
Sesampainya di depan ruang kantor, yang mana menjadi tempat pertemuan Amavista dan Bu Murti.
Sosok Amavista muncul di depan pintu masuk kantor Bu Murti, terlihat di dalam ada seseorang yang telah menunggu Amavista. Wajah hitam sangarnya itu membuat Amavista semakin takut.
Tok … tok ….
''Ya, silahkan masuk Amavista.'' Terdengar suara perempuan dari balik pintu di dalam ruangan yang baru saja diketuk.
Amavista bergegas langsung masuk dengan memutar gagang pintu dan masuk ke dalam ruangan. Kemudian, duduk di kursi yang telah disediakan dengan posisi saling berhadapan dengan Bu Murti.
''Akhir-akhir ini saya sering melihat kamu bermain ponsel ketika menemani anak di luar jam kegiatan belajar mengajar, saya tidak mau melihat kamu mengulangi perbuatan itu.'' Seru Bu Murti sambil menatap ke Amavista.
Sanggah Amavista karena tidak terima dengan ucapan Bu Murti sesungguhnya Ia memiliki alasan untuk melakukan itu.
Dengan membalas menatapnya. ''Maaf bu, saya bukan bermain ponsel untuk kepentingan saya pribadi akan tetapi salah satu orangtua walimurid anak didik saya menanyakan kondisi anaknya setelah 2 minggu tidak masuk sekolah dikarenakan sakit. Lagi pula, ketika wawancara ibu hanya melarang tidak boleh membuka ponsel ketika jam belajar saja.''
''Saya tidak mau tau, apa yang sedang kamu lakukan ketika bermain ponsel. Intinya saya melarang.'' Kata Bu Murti dengan tegas.
''Baik bu,'' Kata Amavista yang sedang duduk beranjak untuk berdiri.
Amavista pun langsung meninggalkan Bu Murti, keluar dari ruangan kepala sekolah. Tidak lupa Amavista berjalan sebaik mungkin badan tegap sambil mencetak senyum sedikit ke arah wanita tua itu untuk menutupi diri yang sedang kesal karena tuduhan yang menimpanya.
***
Kring … Kring ....
Terdengar bunyi bel tepat pukul 5 sore.
Bunyi bel pulang kedua. Asyikk aku bisa cepat beristirahat dirumah, Ungkap Amavista dengan senang hati.
Diperjalanan menuju rumah, Amavista yang fokus mengendarai motor beat berwarna hitam. Tiba-tiba suara gadget berbunyi yang tersembunyi di saku baju.
Amavista berhenti sejenak dan mengeluarkan gadget itu dan melihat panggilan masuk group ke Whatsapp miliknya, ternyata adalah Bu Murti yang menelpon semua guru. Amavista enggan sekali menerima telepon darinya...
Tepat di depan gerbang rumah, Amavista memasukan motor untuk di parkir ke garasi. Amavista mengakhiri dengan mematikan mesin motor beat dan mencabut kunci yang menempel di lubang ujung pojok kanan.
Grekk...
Pintu masuk utama di buka, Amavista menelusuri ruang keluarga menuju kamar favorit di lantai atas. Raut wajah Amavista tampak sedih, tak menyapa satu pun seseorang yang berada di sekitarnya.
Tidak mengerti dengan kondisi Amavista. Sang Ibu berusaha menanyakan kabar anaknya yang sudah lama menunggu kedatangannya.
''Nak, kamu kenapa? ada masalah kah di sekolah?'' Tanya Ibu dengan cemas.
Amavista tidak menggubris suara itu, Ia tetap melangkah ke depan. Sesampai di kamar, dilepasnya tas putih yang digendong kemudian dicantolkan di penyangga rak khusus tas.
Badan Amavista dengan sengaja dia banting kan di atas kasur. Melihat langit-langit atap kamar dengan posisi badan telentang, Amavista menangis sejadi-jadinya.
Huaa... Hua....
''Aku ingin segera keluar dari tempat neraka ini!'' Teriak Amavista sambil menghapus air mata di wajahnya.
''Tuhan, aku memohon berikan aku pekerjaan yang lebih baik dari ini.'' Pinta Amavista kepada Sang Tuhan.
Selama berjam-jam Amavista menangis, mata membengkak hidung merah. Ia segera membersihkan badan dan mengganti pakaian.
Sejak Amavista bekerja di sekolah Amanah, Ia menjadi pemurung dan kondisi tubuh yang mudah sakit.
Hari itu juga, Amavista bertekad untuk mengirim berkas lamaran kerja ke perusahaan yang membuka lowongan karyawan baru.
Setiap hari Amavista lakukan di malam hari, berharap ada perusahaan yang mau menerimanya. Ia ingin ada perubahan yang baik untuk kehidupan yang akan mendatang.
Raut wajah kesal Amavista menghampiri area gerombolan guru-guru lainnya yang sedang istirahat, di teras sekolah. Semua guru duduk melingkar di teras pintu luar sekolah.
''Kebiasaan Bu Murti, hobinya marah-marah.'' Celoteh Amavista sambil membenarkan posisi duduknya.
''Emang kenapa, Bu Murti?'' Tanya salah satu guru senior.
Amavista menjelaskan kejadian yang menimpanya, ''Anu bu, saya tidak tau jika token listrik habis. Kemudian saya dibentak-bentak oleh Bu Murti, padahal saya sedang mengajar.''
''Apalagi kalau Bu Murti nyuruh tidak tau waktu. Kemarin, saya sedang mengganti pampers salah satu anak, tiba-tiba dia datang dan menyuruh saya untuk mengerjakan laporan keuangan kelas harus selesai pada hari itu, sedangkan posisinya saya belum makan siang pada saat itu.'' Tambah Amavista dengan kesal.
Salah satu guru berusaha menenangkan Amavista yang sedang kesal dengan tingkah laku Bu Murti, ''Sabar, Bu Amavista. Kalau mengajar di sini, harus lebih kuat mental dengan kediktatoran kepala sekolah kita.''
Ketika sedang asyik mengobrol,
Krek... Krek.... Semua guru serentak menengok sumber bunyi.
Keluar dari dalam kantor sosok kepala sekolah dengan dengan menjinjing tas hijau di sebelah tangan kiri.
Perlahan-lahan Bu Murti menutup pintu. Sosok kepala sekolah itu bergegas menghampiri gerombolan guru-guru yang sedang istirahat, mencari sosok untuk dimintai tolong.
''Amavista,'' Teriak kepala sekolah,
Dalam hati Amavista, " Amavista lagi, Amavista lagi.''
Amavista langsung berdiri ketika namanya dipanggil, ''Iya Bu, ada apa?'' Tanya Amavista.
Sambil merogoh isi dalam tas, Bu Murti mencari sesuatu. Didapatnya selembar kertas dan koin berharga. '' Amavista, dispenser di kantor airnya sudah habis. Saya minta kamu yang beli galon air kemudian ganti galon lama yang di kantor saya dengan galon baru.'' Ungkap Bu Murti dengan nada sewot.
''Seharusnya kamu harus lebih peka, jangan saya yang nyuruh kamu,'' Ketus Bu Murti.
''Siap, Bu.'' Jawab Amavista dengan senyum getir.
Amavista ingin berteriak sekencang-kencangnya, Bu Murti terus menyuruh Amavista tanpa memberikan istirahat untuknya. Bukankah Bu Murti memang sudah mengetahui padatnya kegiatan mengajar.
***
Satu pesan masuk ke whatsapp, kemudian Amavista langsung membukanya. Ternyata pesan tersebut dari seorang HRD.
Kesekian banyak perusahaan yang Amavista kirim berkas untuk melamar kerja. Berjuang selama enam bulan, tidak sia-sia.
Isi whatsapp HRD dengan Amavista
Undangan interview
Yth. Amavista
Terimakasih atas kesediaan anda mengikuti tahapan rekrutmen untuk posisi di perusahaan ini. Berikut diinformasikan terkait proses tahapan rekrutmen selanjutnya yaitu User Interview yang diadakan offline diadakan esok hari. Mohon untuk membalas pesan berikut untuk konfirmasinya. Terimakasih
Amavista hanya melihat dan bingung untuk membalas, dikarenakan sulitnya kepala sekolah memberikan perizinan semua guru untuk tidak masuk kerja.
Lima jam kemudian,
HRD menelfon.
Drett... Drett....
Bunyi nada masuk dan getaran gadget di tangan. Ia hanya melihat sekilas dari atas layar. Amavista membiarkan nada dering berbunyi sampai berhenti. Tak berani untuk mengangkat gadget karena bekal untuk memberi keputusan kepada HRD belum ada.
Langkah mondar mandir, isi kepala yang ruwet, Amavista tetap berusaha mencari alasan untuk izin esok hari.
***
Flashback
Amavista pernah berdiskusi dengan ayah dan ibu tentang alasan izin ketika dipanggil tes interview. Kedua orang tua memberi Amavista semangat.
Perkataan mereka yang akan selalu teringat di benaknya adalah "setiap kesempatan adalah peluang, setiap peluang harus berani mengambil resiko.''
***
Amavista teringat sekilas di memori ingatannya dengan perkataan kedua orang tua. Sebelum memberi jawaban kepada isi pesan HRD, Amavista memberanikan diri bergegas untuk menemui kepala sekolah meminta izin tidak masuk kerja esok hari.
Kaki kanan dan kiri bergetar saat memasuki area ruangan kantor Bu Murti, kedua tangannya mengepal kuat, Amavista menegakkan badan sambil terus melangkah mendekati meja Bu Murti. Jantungnya berdegup kencang.
Tiba di depan kantor, hanya ada kepala sekolah dan ditemani salah satu guru senior, keadaan pintu kantor kepala sekolah sedang tidak tertutup.
''Selamat siang, bu''. Salam Amavista di depan pintu dengan penuh semangat.
''Silahkan masuk.'' Bu Murti membalas salam dari Amavista.
''Ada perlu apa kamu kesini? Tidak seperti biasanya kamu kemari''. Tanya Bu Murti.
''Saya kemari untuk meminta izin bu. Besok saya tidak masuk kerja dikarenakan akan pergi ke Jakarta.'' Ungkap Amavista.
''Ada keperluan apa kamu pergi ke Jakarta?'' Tanya Bu Murti lebih detail.
''Keperluan untuk tes wawancara di salah satu perusahaan, bu.'' Ungkap Amavista dengan berani. Karena tak suka jawaban Amavista, Bu Murti menggebrak meja.
Brak…
''Apa? Beraninya kamu pergi ke Jakarta dan meninggalkan anak-anak di sekolah sendiri. Siapa yang akan menggantikan mu?
Kamu manusia tidak tau di untung, sudah saya berikan lapangan pekerjaan malah berkhianat!
Oke, Berarti kamu tidak lanjut untuk mengajar di sini?''
Amavista di cerca berbagai pertanyaan, belum sempat dijawab pertanyaan dari kepala sekolah, tiba-tiba Bu Murti menyeru guru senior itu untuk memanggil semua guru datang ke kantor.
Amavista akan disidangkan di hadapan oleh semua guru waktu itu juga.
''Bu, tolong panggil semua guru untuk datang ke ruangan saya.'' Seru Bu Murti.
Balas guru senior itu dengan penuh tidak semangat. ''Baik bu.''
Lima menit kemudian semua guru berkumpul, satu sama lain saling bertanya. Mereka tidak ada yang tau alasan mereka dikumpulkan secara mendadak.
''Selamat siang, Bu Guru semua. Maaf, saya mengumpulkan anda semua tanpa pemberitahuan sebelumnya. Begini, Amavista besok izin untuk mengikuti serangkaian proses dari perekrutan di salah satu perusahaan yang ada di Jakarta. Menurut kalian semua apakah Amavista setelah izin ditindak lanjuti untuk meninggalkan sekolah ini?'' Tanya Bu Murti kepada guru lain.
Salah satu guru junior menanggapi pertanyaan Bu Murti, ''Karena Bu Murti disini sebagai kepala sekolah yang kekuasaannya lebih tinggi daripada kami, semua kebijakan ada di tangan ibu.'' Tuturnya dengan jelas.
''Saya tidak menyukai guru yang tidak satu linear dengan jurusan. Seperti ini kasus Amavista, mencoba melamar pekerjaan yang baru artinya jiwa dan hati tidak sungguh-sungguh bekerja di sekolah ini. Saya ingin semua guru disini mengabdi lima sampai sepuluh tahun tidak mencoba-coba untuk melamar pekerjaan lainnya.'' Tegas Bu Murti dengan wajah seperti orang sedang dalam masalah besar.
Dua jam lamanya, akhirnya semua guru meninggalkan kepala sekolah. Mereka keluar dari kantor, mencari tempat untuk berkumpul bersama kecuali kepala sekolah.
Mereka ingin mengucapkan kata perpisahan untuk Amavista, satu persatu mereka saling berpelukan saling erat satu dengan air mata tak terbendung mengalir di pipi.
Mereka tidak percaya perpisahan dengan Amavista, hari ini adalah hari terakhir esok sudah tidak lagi bersama begitu mendadak.
Seusai berkumpul dengan guru-guru, Amavista segera mengambil gadget dari loker untuk membalas pesan dari HRD untuk ikut serta proses interview offline.
Mereka segera membuat postingan poster lowongan guru baru, sesuai perintah Bu Murti. Hanya guru yang terlibat dalam pertemuan itu mengetahui jika poster tersebut sebagai tanda berakhirnya Amavista bekerja di sekolah Amanah.
''Kertas? Kertas apa ini?'' Gumam Amavista.
Ada dua lembar kertas yang di staples, Kertas paling depan bergambar 3 rumah berderet beserta nama perumahan itu.
Sedangkan kertas di belakangnya adalah price list dan persyaratan permohonan KPR Bank.
***
Flashback on
Sang mentari menyapa pagi hari dengan memancarkan kehangatan teriknya kala pagi hari yang sangat dingin. Amavista beranjak dari ranjang tidur, diraihnya gagang pintu kamar dengan lembut.
Grek...
Pintu kamar terbuka, kaki Amavista melangkah ke luar kamar. Ia ingin bersantai sambil memanfaatkan waktu luangnya dengan mendengarkan musik sambil membaca buku online yang berbentuk PDF di kamar lantai atas.
Di mulai dari satu tangga paling bawah hingga akhir ujung tangga bagian atas. Langkahnya hendak melangkah untuk tangga paling akhir, Amavista tidak sengaja menginjak lembaran brosur.
''Ibuuu,'' Panggil Amavista sambil berteriak dari lantai atas.
Kaki Amavista membelok berlawanan arah untuk turun dari tangga, tangan sebelah kanan tetap memegang dua lembar kertas tersebut.
''Iyaa Nak, ada apa? Tidak usah teriak-teriak seperti itu Nak,'' Sang Ibu menasehati Amavista.
Amavista menghampiri Sang Ibu, ''Bu perumahan ini terletak di mana?'' Tangan Amavista menunjuk ke arah gambar yang ada di halaman pertama kertas yang dibawanya.
''Perumahan itu dekat dengan sekolah tempat kamu mengajar dulu, Nak.'' Ujar Sang Ibu.
Mata Amavista masih memperhatikan tulisan di kertas itu, ''Ibu untuk sistem pembayarannya bagaimana? saya tidak paham, Bu.'' Tanya Amavista lagi.
Sang Ibu menjelaskan, tangan dan matanya terfokus pada lembar halaman kedua, ''Ini loh, Nak harga satu rumah 150 juta dicicil boleh selama 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun, dan 20 tahun.''
''Oalah, Terimakasih Ibuku yang cantik atas penjelasannya.'' Puji Amavista.
''Iya Nak, sama-sama.'' Balas Sang Ibu.
Setelah berbincang dengan Sang Ibu mengenai selebaran penjualan perumahan baru, Amavista kembali ke kamar atas sambil memegang kertas di tangan kanannya. Sesampai di kamar atas, Ia mencari info mengenai perumahan tersebut melalui informasi di internet.
***
Perlahan-lahan Amavista membuka laptop warna abu-abu miliknya di atas meja coklat, cahaya laptop menyinari layar sebagai tanda, laptop sudah bisa di mulai untuk digunakan.
Terlintas di fikiran Amavista, ''Apa aku datangi saja ke kantor pemasaran yaa?'' Gumam dalam hati.
Tanpa berpikir panjang, Amavista mematikan laptop dan mengambil kunci motor yang terletak di atas meja kamar atas. Kemudian, turun menuju garasi.
Ngeng... Ngeng....
Amavista mengemudi dengan kecepatan di atas 40 km/jam, jarak rumah yang ditempuh menuju perumahan baru hanya membutuhkan waktu 6 menit.
Sesampai di gerbang kantor pemasaran perumahan baru, terlihat jelas ada rumah yang berukuran sedang di dalam gerbang. Amavista langsung menghampirinya, Ia yakin rumah itu adalah kantor pemasaran perumahan itu.
Kaki kanan dan kaki kiri saling mengiringi langkah menuju pintu kantor pemasaran. Tiba di depan pintu, ada dua orang laki-laki berbadan tegap dengan pakaian mengenakan jas dan dasi, rambut lurus dengan gaya potongan cepak.
Mereka adalah penjaga pintu yang bertugas menyapa setiap tamu yang hendak memasuki pintu kantor.
''Selamat sore bu, ada yang bisa kami bantu?'' Sapa mereka dengan ramah.
''Begini pak, saya ingin mencari informasi tentang metode bayar jika belum memiliki uang yang cukup untuk membeli salah satu rumah di perumahan ini.'' Ungkap Amavista dengan jelas.
''Baik bu, akan kami antar untuk bertemu dengan salah satu staff kami guna memberikan penjelasan terkait pertanyaan Ibu.'' Jawab salah satu dari mereka.
Amavista diantar menuju ke ruangan oleh salah satu penjaga tersebut. Tiba di depan pintu ruangan. Sang Penjaga menggeser pintu, ''Ibu Silahkan duduk di sofa itu yaa,'' sambil menunjuk ke arah sofa yang terletak di tengah ruangan.
''Nanti akan saya panggilkan staff kami, tunggu sekitar dua menit ia akan datang.'' Tambahnya.
''Baik, Pak.'' Tutur Amavista.
Penjaga itu meninggalkan Amavista sendirian di ruangan nan sejuk.
Sofa yang diduduki Amavista tertata rapi melingkari meja bundar. Lirikan mata Kanziya melihat area ruangan. Terdapat beberapa lukisan yang terpajang di dinding.
Sebuah pemandangan pegunungan yang sangat cantik, membuatnya jatuh cinta pada lukisan itu. Amavista menghampiri lukisan itu, memulai berdiri melepas posisi duduk di atas sofa itu.
Belum sampai menghampiri lukisan itu,
Grek...
Terdengar suara orang menggeser pintu. Tepat dalam waktu dua menit, sosok yang ditunggu-tunggu akhirnya datang.
Terdengar suara sepatu yang menapak lantai dengan wajah yang cantik mengarah kepada Amavista.
Sosok itu saling berhadapan dengan Amavista, Tangannya menyodorkan ke tangan Amavista untuk mengajak berjabat tangan, ''Ada yang bisa kami bantu, Bu?'' Tanyanya.
Ia langsung menjawab pertanyaan dari staff tersebut. ''Saya ingin mencari informasi tentang metode bayar jika belum memiliki uang yang cukup untuk membeli salah satu rumah di perumahan ini.''
Jawab Amavista dengan jawaban yang sama dengan pertanyaan sebelumnya oleh pihak penjaga pintu.
Staff sales memberikan penjelasan sangat rinci, ''Perusahaan kami menjual satu rumah dengan harga 150 juta, memberikan keringanan untuk konsumen biaya DP dengan 0 rupiah, dapat diangsur sesuai kesanggupan dari para konsumen. Jika angsuran ingin 5 tahun, maka biaya perbulan 2 juta 8 ratus ribu. Jika ingin 15 tahun, maka 1 juta 2 ratus ribu setiap bulan, sedangkan untuk angsuran dibawah 500 rb selama 25 tahun, Bu.'' Jelas Sang Staff Sales.
Seusai berbincang-bincang, Amavista pamit untuk meninggalkan staff.
''Baik mba, terimakasih atas informasinya. Semoga saya segera memiliki rumah di perumahan ini,'' Ucap Amavista.
''Aminn, ditunggu kabar baiknya yaa, Bu.'' Sahut Staff Sales.
Amavista menuju parkiran motor, mencari motor vario abu-abu. Setelah menemui motor miliknya, Amavista segera mengendarai motor itu. Melihat ke atas langit sangat gelap.
Amavista mempercepat volume jarak kecepatan kendaraan motor, menghindari akan hujan diperjalanan.
***
''Nak hasil interviewmu, bagaimana?'' Tanya Ayah kepada Amavista.
''Belum Ayah, kata HRD harus nunggu dua minggu setelah interview. Nanti akan dihubungi langsung oleh pihak perusahaan.'' Amavista beri penjelasan kepada Ayah.
Sudah dua minggu lebih Amavista menunggu pengumuman tahap rekrutmen untuk berkerja di Jakarta.
Amavista Galau menunggu, harap-harap cemas membayangkan apa bila tak diterima. Padahal keinginannya sangat besar untuk bekerja di perusahaan itu.
Tik... Tik....
Ketikan keyboard di layar gadget, beberapa huruf membentuk kalimat pertanyaan. Apa arti dari HRD tidak memberi kabar setelah interview? Amavista mencari artikel online yang sesuai dengan pertanyaannya.
Memulai men-scroll satu persatu ke bawah, akhirnya menemukan sebuah artikel yang sesuai.
Bacaan artikel tertulis, jika rekrutmen tidak memberikan kabar hingga lebih dua minggu artinya tidak diterima untuk bekerja di perusahaan yang dilamar.
Deg…
Amavista menangis sekencang-kencangnya, membaca isi artikel itu. Ia sangat kecewa karena belum bisa bergabung dengan perusahaan yang diinginkan.
Kegagalan bertubi-tubi menimpa Amavista. Dikeluarkan dari sekolah dan tidak lolos kerja di Jakarta.
Sambil menangis Amavista mengambil secarik kertas, sebuah tinta hitam menggores di atasnya yang membentuk tulisan pendek, Tuhan jadikan aku sebagai pemilik perusahaan sebelum usia 30 tahun.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!