...Prolog...
..._______...
Kadang-kadang, hidup terasa seperti lukisan hitam putih, sebuah skenario monoton di mana setiap hari tampak sama dan penuh kebosanan.
Cita-cita yang dulunya membara kini tampak memudar, seolah hanya ilusi belaka, seperti bintang yang samar di langit malam.
Namun, meskipun hidup tampak redup, cita-cita itulah yang seringkali menjadi titik terang dalam kegelapan, seberkas harapan kecil seperti korek api yang menyala di tengah badai salju yang menderu dan bebatuan yang tertutup es.
Kadang, harapan kecil ini menjadi satu-satunya hal yang membuat kita terus maju, meskipun segala sesuatunya tampak sulit.
Aku Arsyad, seorang desainer grafis yang menjalani rutinitas sehari-hari di kantor. Pekerjaan ini kuambil karena imajinasiku yang tak tertahan dan fantasi yang terasa nyata, seperti dunia anak-anak yang penuh warna dan keceriaan.
Setiap hari, aku tenggelam dalam dunia desain yang membuatku merasa seolah aku bisa menciptakan sesuatu yang luar biasa dari kehampaan.
Setiap pulang kerja, aku sering menatap foto keluarga yang kusimpan dengan penuh kerinduan dan nostalgia.
Ketika aku masih duduk di bangku SMP, aku menjadi saksi bisu dari pertengkaran yang terus-menerus antara ibu dan ayah.
Suasana rumah kami dipenuhi ketegangan, hingga ibu jatuh sakit. Ibu, dengan jantung lemah dan paru-paru yang hampir tak mampu lagi, harus berjuang untuk menjaga keluarganya. Ia meninggal setelah pertengkaran hebat dengan ayah, yang sering pulang larut malam bersama wanita lain.
Setelah kepergian ibu, ayah meninggalkan keluarga tanpa kata perpisahan. Aku tidak tahu ke mana dia pergi, tetapi aku merasa dibiarkan terombang-ambing dalam ketidakpastian.
Nenekku mengambil alih tanggung jawab untuk membesarkanku hingga aku lulus sekolah. Namun, waktu berlalu dan nenek pun semakin menua. Ia kembali menunjukkan sifat kekanak-kanakan yang membuatku merasa seperti merawat seorang anak lagi.
Nenek akhirnya meninggal di sofa, terakhir kali aku melihatnya menonton acara kesukaanku yang sering kami tonton bersama.
Kini, aku merasa sebatang kara. Segala hal yang dulu ku anggap penting—percintaan, keluarga, kehangatan—seakan hanya ilusi belaka.
Hidupku kini terfokus pada rutinitas kerja yang tidak berujung, berjuang untuk bertahan hidup, dan hanya imajinasi yang bisa sedikit memberikan warna dalam hari-hariku yang suram.
Saat malam tiba, tubuhku terasa lelah dan tatapanku kosong. Dengan setetes keringat yang menetes dari dahi, aku melangkah di bawah sinar rembulan yang redup dan suara
jangkrik yang mengisi keheningan malam.
Malam hari terasa sangat hening, seolah dunia tidur dan meninggalkanku sendirian dengan pikiran-pikiran yang melayang.
Tiba-tiba, notifikasi muncul di smartphone yang kupegang. Dengan rasa penasaran, aku membuka ponsel dan menemukan update terbaru dari komik fantasi favoritku.
Karakter dalam komik itu tampak membawa pedang dengan gagah, seolah ia memiliki kekuatan untuk menyelamatkan dunia dan mengalahkan kegelapan. Senyuman yang terukir di wajahku membuat semua masalah hidup tampak menjauh sejenak.
Aku membayangkan bagaimana rasanya memiliki kekuatan seperti itu, untuk mengubah dunia menjadi lebih berwarna dan penuh keajaiban.
Dengan semangat yang baru namun tubuh yang kelelahan, aku melanjutkan langkahku di malam yang sunyi. Namun, setelah beberapa saat berimajinasi, aku menyadari bahwa dunia nyata tidak akan berubah hanya dengan angan-angan.
Aku masih terjebak dalam rutinitas yang monoton dan tak berujung. Aku terus berjalan dengan perasaan kosong, menyadari bahwa semua ini hanyalah bagian dari kehidupanku yang nyata.
Suara langkah kaki dan seruan jangkrik malam membuat keheningan semakin mendalam. Ketika aku melanjutkan perjalanan, aku melihat sebuah rumah tua dengan desain arsitektur medieval yang memukau.
Pagar elegan dan jalan bebatuan yang indah mengarah ke rumah ini seolah menarikku untuk menjelajahinya. Rumah ini tampak seperti sesuatu dari cerita dongeng, seolah memiliki rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Aku mendekati rumah itu dan melihat papan bertuliskan
“Toko Buku”
Ada sesuatu yang membuatku penasaran. Dengan perasaan bingung dan kelelahan, aku mendorong pintu yang berderit pelan dan memasuki toko buku tersebut.
Lonceng di pintu berbunyi lembut, menandakan kedatanganku.
Di dalam, cahaya lilin menerangi rak-rak buku yang menjulang tinggi. Suasana yang elegan dan misterius mengundang rasa ingin tahuku untuk menjelajahi setiap sudut toko ini.
Buku-buku yang tersusun rapi di rak tampak seperti memiliki cerita dan rahasia tersendiri. Aku merasa seolah telah memasuki dunia yang sama sekali baru, penuh dengan kemungkinan yang tak terduga.
Dalam hening malam, aku melangkah lebih dalam ke dalam toko, berharap menemukan sesuatu yang bisa mengubah jalanku, atau setidaknya memberikan jawaban atas kebingunganku.
...(IMAJINER DUNIA LAIN)...
Di tengah perpustakaan yang luas dan megah ini, aku terpesona melihat betapa besar dan megahnya tempat ini. Mata ku berkilau penuh rasa ingin tahu saat aku meneliti setiap sudut ruangan yang dipenuhi buku-buku yang tersusun rapi.
Namun, ada sesuatu yang janggal. Mengapa tempat ini begitu sepi? Tidak ada satu pun orang yang tampak hadir di sini, seolah-olah tempat ini telah lama ditinggalkan. Lobi perpustakaan ini sangat besar, lantainya dilapisi karpet mewah yang tampak seperti harta karun yang berkilau di bawah cahaya lembut.
Fokusku teralih pada sebuah buku besar yang terletak di depan. Buku tersebut dilindungi oleh lapisan kaca tebal berbentuk persegi, yang membuatku semakin penasaran. Aku mulai melangkah pelan di atas karpet merah menuju buku tersebut, rasa ingin tahuku memuncak.
Saat aku mendekat, buku itu tampak seperti permata langka yang bersinar di bawah laut. Kaca tebal yang melindunginya memantulkan cahaya dengan cara yang hampir magis. Permukaan buku dipenuhi dengan berlian emerald dan sebongkah berlian lainnya yang warnanya sulit dikenali. Perasaan campur aduk antara keingintahuan dan kekaguman mengisi pikiranku, seolah aku telah menemukan harta karun yang tersembunyi.
"Bagaimana cara membuka kaca ini?" tanyaku dalam hati. Dengan rasa kecewa karena tidak tahu cara membuka kaca tersebut, aku memutuskan untuk berbalik badan. Namun, saat aku melangkah mundur, mataku tertarik pada tulisan di bawah kaca.
"Kenapa ada tulisan aneh di sini?" gumamku. Tulisan-tulisan tersebut tampak seperti garis-garis dan simbol-simbol asing yang membingungkan. Aku mengamatinya dengan seksama, mencoba memahami maknanya.
Mata ku mulai terasa berat, seolah-olah kantuk mulai menyerang. Meskipun begitu, aku berusaha tetap terjaga, ingin memahami tulisan tersebut. Namun, saat aku berkedip, aku melihat sesuatu yang mengejutkan. Tulisan itu tampak bergerak, seolah-olah menggeliat dan berubah bentuk, mirip dengan cacing yang bergerak atau belatung yang menjijikkan.
"Apa ini?" terkejutku. Tulisan tersebut mulai membentuk huruf-huruf yang aku kenali. Perasaan heran dan cemas menguasai diriku saat aku melihat tulisan itu menjadi bisa dibaca. Dengan panik, aku membaca kata-kata tersebut, yang ternyata hanya terdiri dari dua kata: "BOLA API."
“Hmmm, apa maksudnya?” pikirku, dengan berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalaku. Di samping tulisan itu, aku melihat pola bergambar bola dengan sidik jari yang mengelilinginya.
“Apakah ini ada hubungannya dengan tulisan ‘BOLA API’?”
Tanpa ragu, aku mulai mengikuti pola bola tersebut dengan jariku. Tanpa aku sadari, percikan api panas muncul, membakar jariku seperti microwave yang sangat panas. Aku segera menarik tanganku kembali, tetapi percikan api itu terus menyala dan memutari pola bola api di kaca, semakin besar dan membesar.
Seolah-olah monster lapar yang sedang mencari makan, percikan api itu mengamuk, membakar pola tersebut dan membentuk bola api yang berkobar dengan intensitas yang luar biasa. Api biru yang menyala terasa seperti api dari dimensi lain—panasnya mirip dengan lautan es yang sangat dingin, namun membakar dengan kehangatan yang luar biasa.
“Aduh, panas sekali! Tapi kenapa apinya berwarna biru dan bukan merah?” teriakku dalam hati, merasakan kepanasan yang tidak biasa dan membingungkan.
Saat pola api membakar, cahaya biru tiba-tiba menyebar dari bawah kakiku. Buku yang dilindungi oleh kaca persegi itu mulai retak, dan suara pecahannya menggema di seluruh ruangan perpustakaan, mengisi suasana dengan kekacauan dan keheranan. Kaca itu akhirnya hancur, melepaskan energi dan rahasia yang selama ini tersembunyi di dalamnya.
“Rupanya kaca ini bisa pecah, haha!” teriakku, penuh kemenangan.
Saat ini, aku merasa seperti seorang pencuri haus harta karun. Dengan bangga, aku meraih buku besar itu. Debu-debu dari buku yang sudah lama tidak tersentuh menempel di tangan ku saat aku berusaha mengangkat buku berat tersebut, memerlukan tenaga ekstra untuk mengangkatnya.
Cover buku itu, berwarna biru gelap polos tanpa satu gambar pun, tampak seperti artefak kuno yang menyimpan rahasia tersembunyi. Dengan tangan bergetar, aku membuka buku tersebut, namun tiba-tiba terdengar hentakan kaki yang keras, menggema di seluruh perpustakaan dan menyebabkan gempa kecil yang menggetarkan lantai.
Terkejut, aku memegang buku erat-erat, berseru, “Sial! Apa yang terjadi? Bukankah perpustakaan ini kosong?”
Hentakan itu semakin keras, seolah-olah sesuatu atau seseorang mendekat dengan kekuatan yang mengerikan. “Benar-benar hari sial, apapun yang terjadi aku harus bersembunyi!” aku berbisik ketakutan.
Di tengah perpustakaan yang luas, aku mencari tempat untuk bersembunyi di antara rak-rak buku besar yang terdiam seperti patung. Dengan gemetar, aku berlari menuju lemari, berusaha menutup pintu lemari perlahan sambil menahan napas, memantau melalui celah sempit untuk melihat apa yang sedang terjadi.
Hentakan kaki itu semakin dekat, dan keringat dingin mulai menetes di dahiku. Dari celah lemari, aku melihat kuku-kuku runcing penuh darah dan bulu coklat kotor perlahan menghampiri tempat di mana buku yang pecah berada.
Makhluk besar, setinggi 13 meter dengan dua tanduk menyerupai rusa, muncul di depan mata ku. Matanya yang gelap dan tak terlihat jelas menatap singgahan buku yang rusak, dan bentuk mukanya yang menakutkan tidak dapat ku lihat dengan jelas.
Ketakutan menyelimuti tubuhku. “Aku belum pernah melihat makhluk yang mengerikan ini,” aku berbisik dalam hati, tubuhku bergetar.
Makhluk itu menggeram, teriakan bisingnya memenuhi ruangan, seperti suara dua laki-laki yang berteriak bersamaan. Suara itu menembus langit-langit perpustakaan, dan aku dapat melihat rupa wajah makhluk tersebut. Ternyata, wajahnya tidak ada—hanya mulut besar dengan taring panjang yang bisa menghancurkan segalanya.
Ketika makhluk itu mengamuk, menghancurkan segala sesuatu di sekelilingnya, bulu kudukku berdiri dan napasku terengah-engah. Aku berusaha menutup mulutku untuk menghindari membuat suara, namun ketakutanku tidak bisa ku sembunyikan.
Makhluk itu mulai mendekati lemari tempat aku bersembunyi. Dalam pikiranku, hanya satu yang terpikir—aku akan mati. Makhluk itu perlahan mendekat, dan aku berdoa agar aku selamat.
Namun, tiba-tiba angin kencang memasuki perpustakaan, mengibaskan pintu awal dengan keras. Suara gebrakan pintu membuatku terkejut, dan monster itu mulai tertarik pada pintu terbuka.
Sangat lega rasanya saat monster itu beralih ke arah pintu. Aku bersandar pada kayu lemari, perlahan-lahan merasakan kelegaan. Aku menatap buku yang masih ku genggam, penuh pertanyaan. “Mengapa monster itu begitu marah? Apa buku ini menyimpan rahasia?”
Aku memutuskan untuk membuka buku itu, berharap menemukan sesuatu. Dengan jari-jari yang basah oleh keringat, aku membalik halaman demi halaman, namun hanya mendapati kekosongan. “Apa ini? Kosong?” aku terkejut dan bingung.
Sementara aku mencari jawaban, suara dentuman besar menggema ketika lemari yang aku sembunyikan terguling. Kepalaku terbentur lantai kayu, dan pintu lemari perlahan terbuka. Keheningan mencekam menyelimuti, dan aku melihat monster itu mengintip melalui celah, nafsu nafsu jahatnya terasa begitu dekat.
Aku merasakan napas busuk monster itu, wajahku bergetar ketakutan. “Semoga dia tidak menyadari aku,” aku berdoa dalam hati, tidak berani bergerak.
Monster itu akhirnya menjauh, tetapi keheningan kembali terpecah dengan teriakan mengerikan dari makhluk itu. Aku hanya bisa berbaring di sana, menggenggam buku yang kini tidak berarti apa-apa.
Tiba-tiba, suara keras dari balokan kayu menghantam kepalaku. Lemari yang hancur menunjukkan amarah monster yang semakin membara. Dengan injakan yang membabi buta, monster itu mengamuk, dan salah satu injakannya hampir mengenai kepalaku.
“Sial! Aku ketahuan!” teriakku dalam hati dan tanpa pikir panjang, aku melompat keluar dari tempat persembunyian untuk menyelamatkan diri.
...(Ilustrasi monster)...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!