NovelToon NovelToon

Hanifa Untuk Devan

Prolog

15 Mei 2020 ...

"Fa, menikahlah denganku."

Kalimat yang baru saja diucapkan laki-laki itu sukses membuatnya diam seribu bahasa. Demi apa dia akan mendengar hal ini.

Sungguh, selama hidupnya ia tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Pertemuan, bantuan, kebersamaan, semuanya dijalani oleh mereka tanpa ada niat untuk memulainya. Semua takdir ini terlalu tiba-tiba.

"Hanifa, menikahlah denganku. Kamu mau kan?" tanya laki-laki itu lagi.

Hanifa yang sedari tadi sibuk mencerna ucapan laki-laki itu masih terdiam. Matanya masih fokus mencari maksud dari kalimat yang baru saja ia ucapkan lewat cahaya matanya. Sorot mata yang sekarang masih menampakkan luka sekaligus harapan untuk bertahan.

"Kamu belum menerima lamaran itu, kan?"

Hanifa mengangguk. "Jadi, terimalah lamaranku."

Matanya berkaca-kaca. Apa yang diucapkan laki-laki di sampingnya itu tulus? Atau hanya gurauan semata? Bagaimana ia akan menjawabnya? Mengingat kalau laki-laki itu sangat tidak menyukainya dulu.

Hanifa benar-benar dilema. Di satu sisi, seorang yang ia kenal baik dan sholeh telah datang ke rumahnya untuk meminta restu umminya. Di sisi lain, laki-laki yang akhir-akhir ini sering membuatnya cemas dan khawatir pun mengutarakan hal yang sama. Bahkan pernah mengutarakan maksudnya kepada ayahnya.

Siapa yang akan dia pilih? Entah dicintai atau mencintai ia tidak tahu kunci mana yang harus ia pegang untuk dapat mengetuk Ridho Tuhannya. Memilih pilihan ummi atau ayahnya pun ia tidak tahu.

Seandainya takdir memegang tangannya kemudian menyatukan dengan laki-laki di depannya ini, mungkin ia akan memilih untuk mengatakan tidak jika pada akhirnya ia harus kehilangannya juga.

Namun, jika memilih untuk mengatakan tidak, mungkin ia akan menjadi wanita paling jahat karena telah menyia-nyiakan permintaan terakhir dari seorang insan yang tak tahu akan bertahan sampai kapan.

Ya, di sinilah Hanifa sekarang. Berada di tengah samudra cinta dan iba. Hingga pada akhirnya, pilihan Tuhanlah yang akan menuntunnya. Memberikan teman terbaik dalam sisa hidupnya.

“Fa, untuk terakhirnya gue tanya. Keputusan Lo apa?"

Gadis itu masih diam. Kepalanya mencoba menilik ulang setiap memori yang pernah dilewatinya. Sejak pertama kali bertemu laki-laki itu, sampai dia mengatakan semuanya saat ini.

.....

Mendung tak selalu hujan. Hitam tak selamanya gelap tanpa keindahan.

Semuanya akan terlihat sempurna di waktu yang tepat dan mata yang melihat.

Layaknya malam, adakalanya dia akan menjadi background indah saat jajaran bintang menghiasinya.

Seperti kamu, yang mungkin di pandangan orang lain hanyalah malam yang gelap dan dingin tanpa cahaya. Hingga perlahan aku tersadar satu hal, aku terlalu cepat berasumsi tentang dirimu.

Dahulu, aku terlalu mudah menilai tanpa tahu yang sebenarnya. Dan ku sadari itu semua setelah bersamamu.

Darimu aku belajar, bahwa tak perlu banyak cahaya untuk dapat bersinar dan dilihat orang lain. Cukup terangi malammu dengan cahayamu sendiri, maka kamu akan men emukan sinar yang sebenarnya. Dan jikalau pun sinarmu meredup, kamu akan tetap menemukan mata yang bisa melihatnya.

......-Hanifa-......

...--------------...

Lo tau? Gue sama sekali tidak pernah bermimpi akan bertemu gadis terbawel seperti lo.

Gadis yang setiap hari menginginkan senyum untuk mencerahkan hari. Sosok yang selalu peduli bagaimana pun dinginnya sikap gue.

Kamu. Gadis berjilbab panjang di SMA.

Terimakasih sudah peduli dengan hidup yang sangat berantakan ini. Berteman dan membuatkan roti sederhana untuk sekedar menambah energi gue

Gue rasa, tidak ada satu kata pun yang bisa mendeskripsikan bagaimana pentingnya lo dalam hidup gue, Fa.

...-Devan-...

...----------------...

Si Mata Biru

08 Agustus 2019 ..

"Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari keburukan yang akan menimpa hamba hari ini, terutama dari si mata biru. Aamiin," doa seorang gadis sebelum keluar gerbang rumahnya.

Pagi yang amat cerah untuk seorang Hanifa Salma Khadijah. Siswa SMA yang selalu mengawali harinya dengan tersenyum dan bersyukur. Seakan-akan syukur adalah obat terampuh yang dapat menyembuhkan luka pada dirinya. Kebahagiaannya sungguh selalu tampakkan. Seperti saat ini. Berjalan riang dengan membawa tentengan plastik di kedua tangannya.

Gadis 18 tahun itu terbiasa berjalan kaki ke sekolah. Kesederhanaan dan pelajaran yang diajarkan di panti tumbuh subur dalam kehidupannya. Di dalam hatinya tertanam cita-cita dan impian yang tinggi, sehingga menjadi semangat tersendiri untuknya setiap hari.

Ia memiliki banyak impian dalam doanya, salah satu impiannya adalah bisa mendapat beasiswa ke luar negeri, kalau perlu ke tempat ayahnya berkuliah dulu.

“Ah, jadi rindu ayah. Semoga aku bisa cepat bertemu dengan ayah," gumamnya tersenyum.

Saat sedang asyik dengan lamunannya, plastik yang ada di tangannya tiba-tiba terjatuh akibat seorang pengendara sepeda motor yang lewat di sampinya dan berhasil menyerempetnya.

“Astagfirullah!"

Beberapa kali Hanifa mengucap kalimat itu sembari memunguti kue-kue yang terjatuh akibat terserempet tadi. Sedangkan pesepeda motor itu berhenti dan langsung menghampirinya. Dia langsung membantu Hanifa memungut beberapa kue yang terjatuh itu.

“Makanya, kalau jalan itu pakai kaki jangan pakai mata! Teledor banget si," omel seorang laki-laki yang kini menatap Hanifa dengan wajah kesal.

Hanifa masih terdiam. Dia tidak ingin mencari masalah dengan laki-laki sekeras batu itu. Namun memilih menggerutu dalam hatinya.

Ya Allah, ini orang udah salah ngomong, nabrak orang, nggak minta maaf lagi. Rupanya doaku belum sampai langit.

Tanpa babibu lagi, laki-laki yang merupakan teman satu sekolah dengannya langsung pergi. Hanifa menarik nafas panjang dan langsung melangkahkan kakinya juga ke sekolah.

***

Baru akan masuk kelas, langkah Hanifa terhenti. Kini matanya fokus pada sosok yang menabraknya tadi yang dia tahu namanya adalah Devanno Ibrahim John.

Menurut cerita yang berkembang di sekolahnya, nama belakangnya ia hilangkan sejak ikut agama papanya di usia 7 tahun. Dari namanya saja, sudah menjelaskan kalau dia bukan asli Indonesia. Lihat saja dari rambutnya yang sedikit hitam ikal kecoklatan dan matanya yang biru gelap, setiap orang yang pernah menatap matanya pasti sudah dapat menebak asalnya.

Devan, si siswa misterius yang selalu menghabiskan waktu lenggangnya di lapangan basket. Entah kenapa kadang Hanifa merasa kasihan terhadap dirinya yang selalu terlihat kesepian.

"Ekhem. Ciee.. yang lagi lirik-lirik. Hati-hati, ntar ketarik." Suara seseorang tepat di telinganya.

Hanifa yang terkejut segera memegang dadanya. "Astagfirullahaladziim. Ayyan. Ngagetin aja."

"Hehe, maaf Fa. Lagian kamu khusuk banget liatin tu cowok. timpalnya. Kayaknya ada yang mau jadi saingannya si Manda nih."

“Apa sih Ayy, jangan ngawur deh. Masuk yuk!"

“Bentar Fa, aku mau kasih tahu, nanti kita kumpul anggota setelah istirahat. Itu kata kak Wafi."

“Kak Wafi? tanya Hanifa masih bingung.

Ayyan mendengus. “Iya Fa, kak Wafi. Mantan ketua OSIS plus ketua PMI itu. Masa kamu sudah lupa sih? Yang jadi pembina Pramuka di sekolah kita."

Hanifa mengangguk pelan. Ia tidak tahu karena memang ia jarang memperhatikan organisasi tunas kelapa itu.

“Oooo. Kumpul apa Ayy?"

“Itu, untuk membahas acara tahunan sekolah kita."

"Acara tahunan yang mana?"

"Lebih tepatnya, acara harlah sekolah kita yang ke-40."

Hanifa mengangguk. Rupanya dia sudah paham.

“Makanya kak Wafi minta kita dan anggota yang lain kumpul untuk membahas acara ini lebih lanjut," jelas Ayyan lagi.

“Oke, nanti kita pergi sama-sama ya," ucap Hanifa dan mendapat acungan jempol dari sahabatnya. Setelah itu mereka pun masuk kelas.

Semua pelajaran pagi ini berjalan lancar. Hanifa dan Ayyan segera bergegas ke aula untuk kumpul. Mereka adalah anggota salah satu organisasi favorit di sekolah, yaitu PMI.

Bukan tanpa alasan Hanifa ikut organisasi ini, melainkan cita-citanya yang ingin menjadi seorang dokter. Sehingga dia bisa melatih dirinya di PMI sebelum menginjak bangku perkuliahan.

“Ayy, aku mau ke kantin bentar ya, mau beli minum. Kamu mau nitip apa? Ntar aku beliin."

Ayyan berpikir sebentar.

“Kamu pergi saja deh Fa, aku nggak ingin nitip apa-apa. Tapi cepetan ya baliknya, takutnya ntar kamu telat."

Hanifa mengangguk dan langsung pergi. Saat sedang mengambil uang kembalian, matanya menangkap sosok Devan yang sedang ikut latihan Pramuka.

“Aku baru tahu kalau dia ikut Pramuka," bisiknya dalam hati.

“Hanifa, kamu nggak ikut kumpul?" Suara seseorang tiba-tiba mengagetkannya, yakni seorang laki-laki yang Hanifa tau adalah kakak Pembina salah satu organisasi yang diikutinya.

“Eh, iya kak. Aku cuman mau beli minum bentar. Kakak lagi apa di sini?"

Laki-laki itu tersenyum. "Aku juga mau beli minum Fa. Nama kamu Hanifa, kan?"

Hanifa mengangguk.

"Syukurlah nggak salah orang. ujarnya. Bi, air minumnya satu ya."

Wanita paruh baya yang menjaga kantin itu tersenyum dan mengangguk. “Dek Wafi kapan ke sini?"

“Tadi pagi Bi."

"Wah, setelah kuliah makin tambah tampan aja Dek Wafi ini."

Yang dipuji hanya tersenyum kikuk.

“Bibi ada-ada saja. Wajah saya masih sama kok, nggak ada yang berubah."

“Iya, terserah Dek Wafi sajalah."

“Oh ya, kamu mau ke aula, kan?" Kini laki-laki yang dipanggil Wafi itu bertanya perempuan yang ada di sampingnya. Dan lagi-lagi Hanifa hanya mengangguk.

“Ya sudah kalau begitu, arah dan tujuan kita sama. Ayo kita pergi! Pasti yang lain sudah menunggu," sarannya.

“Iya kak, jawab Hanifa.

Di tempat yang berbeda, Ayyan yang sedari tadi menunggu Hanifa di bangku depan kelas memicingkan matanya saat melihat Hanifa berjalan dengan laki-laki yang sangat dominan di sekolahnya. Setelah laki-laki itu pergi, Ayyan langsung menghampiri sahabatnya itu sebelum terjadi masalah besar.

Dipandangnya Hanifa dengan tatapan amat serius. “Fa, kok kamu bisa sama kak Wafi sih?" Ayyan menatap sahabatnya serius.

"Ooo, jadi itu namanya kak Wafi?"

"Iya Fa, yang aku ceritain tadi itu. Kamu tahu kan kalau pacarnya kak Wafi itu garang banget, kayak srigala. Kalau dia lihat kamu jalan sama kak Wafi, aduuhh nggak kebayang deh nasib kamu Fa," celotehnya.

Hanifa tersenyum. "Tu, kan suudzon sama orang."

"Aku bukannya suudzon Hanifa, tapi kenyataannya memang begitu."

“Iyaaa, Rahma Narayyan ku yang baik dan perhatian. Tadi aku ketemu kak Wafi juga nggak sengaja kok di kantin. Lagian kak Wafi itu kan mahasiswa, masa sih pacarnya bisa tahu tentang kegiatannya di sekolah?”

"Aku sih kurang tau ya Fa. Tapi kata anak-anak sebelah, pernah ada yang dilabrak sama perempuan yang ngaku pacarnya kak Wafi."

Hanifa geleng-geleng mendengar ucapan sahabatnya itu. "Mungkin itu cuma fansnya kak Wafi Ayy. Kalau dari tampangnya, kak Wafi bukan tipe cowok yang mau pacaran deh."

Ayyan mengangkat bahunya. "Entahlah. Mungkin iya. Tapi apa salahnya sedia gayung sebelum basah."

"Sedia payung sebelum hujan Ayy," tegur Hanifa.

"Iya iya, lidahku keseleo dikit tadi. Hehehe."

"Udah, kamu tenang aja. Aku nggak bakal nyari masalah kok. Tapi bener deh, tadi aku nggak sengaja ketemu kak Wafi."

“Oke baiklah, alasanmu kali ini aku terima. Tapi awas ya kalau aku lihat kamu tercyduk jalan bareng lagi sama kak Wafi."

Bukannya takut dengan apa yang diucapkan Ayyan tadi, Hanifa malah tertawa kecil.

“Kok ketawa sih Fa? Ini aku serius tahu," ucap Ayyan sedikit bingung.

“Kamu itu sudah kayak pacarnya kak Wafi tau gak. Galak. Hahaha."

Ayyan memanyunkan bibirnya kesal.

“Iiiiihhh kok tega sih bilang aku kayak pacarnya kak Wafi yang galak itu?"

“Sudah lah Ayy, itu orang sudah pada kumpul. Yuk!"

Mereka pun mempercepat langkah kakinya. Setelah semua agenda di bahas dengan detail, bel masuk berbunyi. Bagi mereka yang mempunyai pelajaran saat itu diizinkan kembali. Tak terkecuali Hanifa dan Ayyan yang langsung meminta izin untuk ke kelas.

Begitu Hanifa pergi, mata yang sedari tadi memperhatikannya tersadar akan sesuatu. Sudut bibirnya tertarik ke ujung membentuk lengkungan yang indah.

Ternyata kamu masih belum mengenalku Fa, meskipun aku sudah lama menunggu untuk bertemu kembali dengan kamu. Ucapnya dalam hati kemudian melanjutkan diskusinya yang belum selesai.

***

Idaman Bibi Kantin

"Bi, cepetan! Dah telat nih!" teriak Devan di depan pintu.

"Bentar atuh Aden," balas seseorang yang kini tengah berjalan tergopoh-gopoh ke arahnya. Mungkin karena berat badannya yang belum kunjung turun, makanya ia terlihat sedikit kelelahan padahal jaraknya hanya beberapa meter.

"Ini obatnya." Wanita paruh baya yang baru keluar dari dapur itu menyerahkan sebuah tas plastik pada laki-laki di depannya.

"Ya udah, aku berangkat dulu Bi. Assalamualaikum," ucapnya sebelum memakai helm.

"Waalaikumsalam. Hati-hati Aden, jangan ngebut! Nanti nabrak orang.”

Dengan jadwal masuk yang tinggal beberapa menit lagi, membuat Devan tak mengindahkan nasehat wanita tadi. Dia terus saja melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Akibatnya, motor ninja hitam miliknya berhasil menyerempet lengan seseorang.

"Astaga. Malah pakai kena lengan orang lagi ni motor, ah!" Ia mengomeli dirinya sendiri. Tak lama setelah itu, ia pun segera turun dari motornya tanpa membuka helm terlebih dahulu.

"Mbak gak papa, kan?" tanya Devan membantu korbannya memungut beberapa plastik yang berserakan karenanya.

Gue jamin nih orang pasti minta ganti rugi. Gumam Devan dalam hatinya.

"Saya nggak apa-apa kok. Lain kali, kalau bawa motor liat jalan, Mas," timpal gadis berjilbab panjang itu.

"Lagian, Mbak juga kalau jalan itu pakai kaki, jangan pakai mata," balas Devan tanpa tahu susunan kata yang baru saja ia ucapkan.

Aduh, gue ngomong apaan sih? Tau ah, gue udah telat banget. Ia bermonolog dalam hati.

Setelah mengumpulkan plastik yang berserakan tadi, Devan langsung menyerahkannya kepada pemiliknya. Tanpa babibu lagi, Devan segera menaiiki motornya kembali dan meninggalkan gadis yang baru saja menjadi korban kecerobohannya pagi ini.

Ia membutuhkan waktu lima belas menit untuk bisa sampai sekolahnya. Begitu motor kesayangannya sudah terparkir rapi, ia langsung berlari ke lapangan.

"Syukurlah pelajaran olahraganya belum mulai," gumam Devan dengan napas yang masih terengah-ngah.

"Terlambat lagi lo?" tanya seseorang yang menepuk pundaknya.

Ia menoleh dan menaikkan kedua alisnya. "Hampir," jawabnya.

"Ya udah. Langsung ke lapangan yok!" ajak laki-laki seusianya itu.

"Oke."

***

Setengah jam berkutat di lapangan, akhirnya semua siswa dibolehkan istirahat dan mengganti pakaian. Arjun dan Devan memilih kantin sebagai tempat istirahatnya, setelah berpindah dari tempat ganti baju.

"Bi, air minumnya dua ya," pesan Arjun kepada si penjaga kantin. Tapi yang datang malah seorang wanita muda yang baru pertama kali mereka melihat wanita itu.

"Ini, Mas," kata wanita itu menyerahkan dua botol air mineral. "Masya Allah."

"Kenapa Mbak?" tanya Arjun heran melihat perubahan ekspresi di wajah wanita tadi.

Wanita yang lebih tua dua tahun dari mereka tidak menjawab. Mulutnya masih menganga sembari memegang pipinya.

"Van, itu si mbak-mbak kenapa?" Sosok yang di tanya hanya menaikkan bahunya.

"Hellow. Mbak?" Arjun mengibaskan tangannya di depan wajah wanita itu.

"Astaga, maafkan saya. Saya sering salfok kalau liat mas-mas cakep. Hehe," balas wanita itu cengengesan. Hal itu membuat Arjun dan teman di sampingnya geleng-geleng kepala.

"Ya Allah mbak, kirain kesurupan tadi."

Wanita itu tersenyum, kemudian beralih pandangan ke arah Devan. "Mas Devan baru selesai olahraga ya?" tanyanya tiba-tiba.

Mendengar namanya disebut, Devan terkejut. "Mbak tau nama saya?"

Wanita itu tersenyum semakin lebar. Ralat. Nyaris tertawa. "Ya tau lah Mas. Itu namanya jelas banget di nametag-nya."

Devan hanya tersenyum kikuk. "Oh, iya. Iya. Saya lupa.”

"Aduh Mas Devan ini, ganteng-ganteng kok pelupa sih?" ucapnya wanita itu menyodorkan tangannya.

"Kenalin Mas Devan. Nama saya Siti Zubaedah. Panggil saja Zu, atau neng Zu atau apalah terserah. Panggil istri juga boleh kok," lanjutnya tertawa kecil.

Arjun dan Devan yang sempat kaget dengan tangan wanita itu yang terulur, kompak menaikkan alisnya.

"I-iya Mbak, salam kenal," jawab Arjun mengatupkan kedua tangannya di depan dada. "Maaf Mbak, sebelum halal laki-laki dan perempuan tidak diperbolehkan saling bersentuhan." Arjun mengingatkan.

"Oh, maaf," tutur wanita itu segera menarik kembali tangannya. "Btw, saya baru berumur 20 tahun lho Mas Devan. Alamat rumah saya di jalan Mekarsari no.03, RT 01, RW 02, kampong Kembang Dua. Pagar rumah warna coklat, dan pintu warna biru."

Arjun yang mendengar hal itu hanya menaikkan alisnya. Ni mbak-mbak udah kayak warga mau nerima bansos aja. Gumamnya.

“Bulan depan saya mau ujian masuk kursus memasak, bulan depannya lagi saya rencananya mau ngelamar jadi istrinya mas Devan. Boleh ndak?"

Devan yang masih bingung hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Jujur, saat ini ia tidak tahu mau berkata apa.

"Astaga mas Devan ini gemesh banget, ya. Nggak usah seperti itu wajahnya Mas. Saya cuma bercanda."

"Oh, saya kira Mbak serius tadi."

"Inginnya seperti itu juga Mas Devan." Ujarnya lagi.

Hal itu membuat Devan sedikit tak nyaman. Untung saja, Bi Iyah sang penjaga kantin segera datang menyelamatkannya.

"Zubedah, di sini kamu rupanya?! Sana gantiin jagain kantin. Emak mau keluar membeli beberapa keperluan sebentar."

Wanita itu langsung mengangguk mendengar ucapan ibunya.

"Ni anak, bukannya bantuin emak malah sibuk gombalin orang. Haduh, piye iki?" omel Bi Iyah lagi.

Wanita itu hanya mendengus. "Iya, Mak."

Setelah Bi Iyah pergi, wanita yang bernama Zubedah itu masih berdiri di depan meja laki-laki yang baru saja masuk daftar idolanya. Setelah minuman mereka habis, barulah wanita itu beranjak dari tempatnya.

"Eh, Mas Devan mau ke kelas to?"

Devan mengangguk dan sedikit tersenyum. "Iya, Mbak Zu. Sebentar lagi bel masuk.

"Subhanallah ... Udah ganteng, soleh, disiplin lagi." Zubaedah berdecak kagum. Sebelum dua remaja tadi benar-benar pergi, ia kembali memanggil salah satu dari mereka sampai gerakan mereka terhenti akibat panggilannya.

"Mas Devan, Zu punya teka teki buat Mas Devan."

"Teka teki apa Mbak?"

"Micin, micin apa yang banyak saingannya?"

Devan menggeleng, menandakan dia tak tau jawabannya.

"Micintai kamu. Eaaaa ..." kata wanita itu tertawa kecil.

Arjun yang mendengar hal itu ingin sekali tertawa ngakak. Buset dah, gue jamin abis ini si Devan bakal diare seminggu, haha. Arjun memilih tertawa dalam hati saja.

"Zubedaah!" panggil Bi Iyah dari luar.

"Iya, iya, Mak! Mas Devan, Zu pamit dulu ya."

Devan langsung mengangguk tanpa ekspresi. Kemudian segera berjalan meninggalkan kantin.

"Keren dah lo Van. Jadi incaran mbak-mbak. Hahaha ...," ledek Ajun tertawa terpingkal-pingkal.

"Heh, lucu ya?" kata Devan kesal.

Entah kesialan apa lagi yang akan dialaminya hari ini. Setelah menabrak orang, kini dia harus berhadapan sama mbak-mbak kantin. Semua itu membuat kepalanya terasa sakit.

Tunggu. Itu cewek bukannya yang tadi ya? Batin Devan langsung menghentikan langkah setelah melihat seseorang. Arjun yang masih tertawa pun langsung menabrak punggung Devan yang berhenti tiba-tiba. Tawanya terhenti saat itu juga.

Bruk!

"Aduh!" Arjun mengusap jidatnya. "Liat apa sih sampai berhenti mendadak?"

Devan tak menjawab, matanya masih fokus memperhatikan siswa yang sedang berjalan bersama seorang temannya.

"Lo lagi liat si ketua Rohis ya?" tanya Arjun yang melihat ke objek yang sama.

"Ketua Rohis?"

"Lo pasti heran, kan, kenapa tu cewek bisa jadi ketua rohis?" Tanya Arjun dan langsung mendapat anggukan dari sohibnya. "Tuh cewek ditunjuk langsung sama kepala Sekolah."

Devan cukup kaget mendengar jawaban Arjun tadi. Ia tidak percaya jika gadis yang menjadi korban kecerobohannya tadi adalah seorang ketua rohis.

Astaga, nambah masalah lagi ni gue.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!