Kivasta Ekova Lanhamr. Biasanya orang-orang memanggilnya Kivasta. Ia lahir di negeri yang berada di gurun pasir yang bernama Alvia. Kivasta memiliki tiga saudara dan satu saudari, tetapi semua keluarganya telah berpisah dan menjadi keluarga hancur.
Keluarga Kivasta mengalami banyak masalah, seperti masalah ekonomi, pekerjaan, hingga makan saja susah. Suatu hari pada saat Kivasta baru menginjak usia 14 tahun, ayah dan ibunya memutuskan bercerai. Dua saudara dan satu saudarinya mengikuti ibunya, satu saudara lain mengikuti ayahnya. Sementara Kivasta memutuskan untuk tidak mengikuti siapapun dan memilih untuk memulai peruntungan baru di tempat berbeda.
Kivasta mengambil beberapa uang dari lemari sebelum pergi. Kivasta menumpang ke salah satu rombongan kereta kuda pedagang yang akan pergi ke kerajaan Setavia, sebuah kerajaan yang berada di benua Yhokava. Benua dengan suhu yang cukup dingin dan dikenal dengan sihir mereka yang hebat.
Awalnya saat Kivasta ingin menumpangi rombongan kereta kuda pedagangnya ditolak oleh mereka, tetapi setelah mereka melihatku mengeluarkan kekuatan es mereka langsung percaya dan memintKivasta untuk menjadi pelindung mereka selama perjalanan ke Setavia.
Selama perjalanan yang memakan waktu 2 bulan lamanya, Kivasta mempelajari bahasa Setavia dari para pedagang yang pernah ke Setavia. Para pedagang juga mengatakan bahwa walau Setavia adalah negeri yang cukup makmur, tetapi perbudakan masih terjadi di sana dan para pedagang mengingatkannya agar jangan sampai menjadi budak di Setavia.
Singkat cerita, mereka pun sampai di kerajaan Setavia atau lebih tepatnya kami sedang berada di ibukotanya, yaitu kota Letonia yang dikenal dengan tembok beton putih yang sangat kuat mengelilingi sisi kota. Kivasta turun dari kereta kuda para pedagang dan memasuki kota melalui gerbang yang besar. Sebelum itu ada beberapa pedagang yang memberinya perak dan sedikit emas sebagai imbalan karena telah melindungi mereka selama perjalanan, Kivasta mengambil perak dan emas yang mereka berikan.
Kivasta meninggalkan para pedagang dan berjalan di kota yang benar-benar sangat berbeda baik dari desain bangunan dan kondisi sosial di sini. Setelah berjalan selama beberapa saat Kivasta menemukan toko emas dan Kivasta langsung memasuki toko tersebut dan berbicara kepada pemilik toko yang merupakan orang yang sudah agak tua dan berambut putih dengan kulit yang sudah keriput. Kivasta berbicara dengan aksennya yang masih cukup buruk.
Karena ini pertama kalinya diriku berada di tempat yang sangat asing jadi saat Kivasta berbicara dengan pemilik toko membuat Kivasta merasa agak malu, “H-halo pak, a-aku ingin menjual emas dan perak ini...,” ucapku dengan suara yang agak terpotong-potong karena agak malu.
“Baiklah anak muda.” Balas pemilik toko tersebut
Kivasta mengeluarkan emas dan perak lalu memberikannya pada pemilik toko. Pemilik toko memeriksa emas. Namun, saat ia memeriksa perak matanya sedikit membesar seperti orang yang terkejut akan sesuatu.
“Ada apa pak?” tanya Kivasta pada pemilik toko.
“Ini adalah perak vatia, perak yang sangat langka dan hanya ada di wilayah kerajaan Alvia! Dari mana kamu menemukan ini?” tanya balik pemilik toko.
“Aku menemukannya di lemari orang tuaku, kupikir ini adalah perak biasa. Oh ya Kivasta berasal dari Alvia.”
“Kamu dari Alvia? Pantas saja perak ini sangat asli. Apa yang membawamu kemari ke Letonia nak?”
“Masalah keluarga, jadi aku lebih memutuskan untuk merantau ke kerajaan Setavia melalui kereta kuda para pedagang.”
“Begitu ya....”
Karena perak vatia adalah perak yang langka jadi Kivasta hanya menjualnya separuh saja, sementara yang lain ia simpan. Tetapi, semua emas ia padanya.
Setelah melakukan transaksi dan mendapatkan banyak uang, Kivasta memutuskan untuk langsung pergi dari toko emas. Tetapi sesaat Kivasta baru saja berbalik untuk menuju pintu depan, pemilik toko memanggilku.
“Ada apa pak?” tanya Kivasta sambil kembali berbalik ke arahnya.
“Saya hanya ingin mengingatkan saja, bahwa walaupun Setavia dikenal sebagai bangsa yang cukup maju tetapi perbudakan masih terjadi di sini dan kebanyakan dari para budak adalah orang-orang yang berasal dari luar Setavia dan ras Reva, ras yang memiliki ciri fisik mirip hewan. Kamu juga masih baru di sini jadi berhati-hatilah jangan sampai menjadi budak di sini, oh ya bukannya saya ingin menyebarkan keburukan tetapi kau harus berhati-hati jika ingin bertransaksi permata di toko emas lain karena mereka semua adalah penipu dan bahkan saya membuka toko ini untuk memerangi mereka. Jadi lebih berhati-hati jika perlu bawa senjata seperti pedang.” ucap pemilik toko dengan nasihat panjangnya.
“B-Baiklah, aku akan lebih berhati-hati.”
“Baiklah kalau begitu, selamat tinggal! Kapan-kapan berkunjunglah kemari!” ucap pemilik toko dengan suara keras saat Kivasta keluar dari toko emasnya.
Keluar dari toko emas, Kivasta kembali berjalan-jalan di jalanan kota pada siang hari sembari memerhatikan bangunan kota dan penduduk yang berjalan lalu-lalang. Saat Kivasta melihat ke arah kiri Kivasta melihat sebuah kandang yang berisikan manusia dan manusia dengan ciri fisik hewan seperti yang dijelaskan oleh pemilik toko tadi, yaitu ras Reva. Seorang gadis dengan ekor dan telinga berwarna putih tapi agak kotor seperti kucing menatapku dengan tatapan kosong. Namun, seolah ia berkata bahwa ia membutuhkan bantuan. Kivasta sendiri merasa bahwa sepertinya tatapan itu akan menjadi hutang bagiku padanya. Namun, bagaimana bisa ku menyelamatkannya jika Kivasta saja belum punya tempat untuk tidur....
Kivasta meninggalkannya dengan perasaan yang tidak enak, yah mungkin Kivasta terlalu baik? Tapi sepertinya seolah Kivasta sudah membuat janji untuk menyelamatkannya. Yah nanti saja yang penting bagaimana bisa bertahan hidup di sini itu adalah prioritas pertamanya
Berjalan beberapa langkah Kivasta menoleh ke arah kanan dan melihat sebuah bar kecil dengan berisi cukup banyak pelanggan. Berhubung Kivasta sedang lapar jadi Kivasta memasuki bar itu untuk memesan makanan.
Bar kecil ini terlihat bagus dengan beberapa ukiran dan lukisan pajangan di dindingnya. Kivasta berjalan ke tempat untuk memesan makanan, ia hanya memesan sepotong daging, roti, dan air putih saja. Kemudian setelah memesan makanan Kivasta berjalan ke kursi dan meja kosong yang berada di sebelah dinding dan duduk di situ.
Beberapa saat kemudian seorang pelayan wanita dengan baju berwarna putih, rok berwarna hitam, seperti seragam datang membawa makanan pesanannya.
“Ini pesanan Anda,” pelayan wanita meletakkan piring yang berisi sepotong daging panggang dan roti tidak lupa juga ia meletakkan segelas air di mejanya.
Pelayan itu pergi meninggalkan meja Kivasta untuk kembali bekerja. Kivasta mulai melahap daging dengan menggunakan pisau dan garpu yang disediakan. Setelah memakan makanan dan minum yang cukup, Kivasta berdiri dan menuju ke tempat pemesanan makanan untuk membayar makananku tadi.
Makan telah selesai sekarang Kivasta harus mencari tempat agar ia bisa tidur, Kivasta keluar dari bar dan kembali berjalan di jalanan kota dan melihat istana yang begitu megah. Namun....
Setelah berjalan selama beberapa menit di dalam kota, Kivasta menoleh ke kiri dan ke kanan melihat sekitar. Namun, sedari awal pandangannya selalu terpaku pada bangunan pusat pemerintahan kerajaan Setavia atau lebih tepatnya istana Setavia. Istana yang berwarna putih tersebut terletak di dataran tinggi tepat di tengah-tengah kota dan langsung terhubung ke jalanan kota. Istana tersebut dibangun dengan sangat megah, besar, dan kubahnya yang berwarna biru seperti lautan.
Kivasta berjalan tanpa melihat arah karena fokus kepada istana megah itu, dan hal itu membuatnya menabrak seorang pria besar di depannya.... “Aduh..., m-maaf aku menabrak Anda, saya tadi fokus melihat istana kerajaan.”
Pria besar itu berbalik dan melihat ke bawah ke arah Kivasta, dengan tatapan yang menakutkan dan sangar.
“Lain kali lebih hati-hati lagi...,” ucap pria besar itu dengan nada seolah mengancam dan tanpa perasaan.
“I-Iya,” Kivasta langsung berjalan lurus ke depan menjauhi pria besar itu, pria itu sepertinya masih menatap ke arahnya. Tatapannya tadi sangat mengerikan, tapi untung saja ia tidak menyakiti Kivasta atau tiba-tiba memukuliku karena ia tidak sengaja menabraknya.
Kivasta segera berjalan cepat menjauhi pria besar tersebut, berbelok ke arah kanan hingga pria besar menakutkan itu tidak melihatnya lagi. Setelah merasa sedikit aman, Kivasta mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri
Kivasta menunduk sambil menarik napas, “Huft dia tadi sangat menakutkan...,” ucapnya dengan jantung yang berdebar-debar dan sedikit panik.
Saat Kivasta menaikkan kepalanya, Kivasta melihat banyak orang yang berkumpul menggunakan baju zirah dan membawa pedang di sana juga ada wanita. Kivasta pun melihat langsung apa yang ada di depan sana.
Kivasta berjalan menghampiri sekumpulan orang-orang dengan baju zirah, pedang, dan juga busur beserta tas berisi panah. ia menanyai salah satu pria yang membawa pedang besar dan memakai baju zirah.
“H-Halo, ada apa ramai-ramai di sini? Dan tempat apa ini?” tanya Kivasta gugup. Namun, penasaran.
Pria itu berbalik melihat ke arah Kivasta dan berkata, “Ini adalah guild, semua orang sedang berkumpul untuk pemberitahuan tentang naga bawah tanah.”
“Naga bawah tanah?” Tanya Kivasta lagi masih penasaran.
“Guild memberitahukan hadiah untuk orang atau kelompok dari anggota mereka yang dapat mengalahkan naga bawah tanah. hadiahnya juga sangat besar seperti permata dan emas. Bahkan, jika kamu bisa mencabut sisik naga saja itu sudah berharga sangat mahal,” ujar pria itu dengan santainya.
“Begitu ya..., terima kasih ya.”
“Tidak apa-apa,” pria itu kembali berbalik dan melihat pengumuman dari guild.
Kivasta tidak begitu terlalu tertarik dengan guild, menurutnya guild hanya tempat sekumpulan orang-orang penantang atau orang yang suka membantai monster. Tetapi, setidak lebih baik dari pada hanya diam di rumah tidak melakukan apapun.
Kivasta berjalan menjauhi kerumunan, ia berjalan cukup lama di dalam kota. Terlalu asik melihat pemandangan sehingga tidak menyadari bahwa matahari sudah berwarna oranye gelap yang menandakan akan menjelang sore hari.
Saat Kivasta berjalan di jalanan kota ia melihat ke kiri ada sebuah penginapan kecil dua tingkat lantai yang mungkin bisa ia sewa untuk setidaknya bisa tidur dan beristirahat dengan tenang.
Kivasta memasuki penginapan itu. Penginapan itu walaupun dari luar berukuran kecil tapi karena ini penginapan jadi jelas dalamnya akan terlihat besar, dengan banyak ornamen pajangan yang menempel di dinding.
Kivasta menghampiri meja resepsionis dan berbicara dengan wanita resepsionis, “H-Halo, a-aku satu kamar tidur,” ucapnya yang masih gugup.
“Ah baiklah nak, biaya permalamnya adalah 25 selova ya,” tutur wanita resepsionis itu.
“B-Baiklah,” Kivasta memberikan uangnya padanya dan ia segera mengambil kunci kamar lalu menyerahkannya padanya.
Kivasta melihat nomor pada kunci yang tertulis nomor '18'. Kivasta pergi meninggalkan wanita resepsionis, berjalan menaiki tangga lalu mencari kamar yang sesuai dengan nomor kunci.
“15, 16, 17..., 18!” Kivasta membuka pintu kamar yang bertuliskan '18' lalu masuk ke dalam kamar dan langsung berbaring telentang di kasur karena lelah.
“Capek.... Besok harus ngapain ya? Oh ya bagaimana cara aku mendapatkan uang,” Kivasta membalikkan tubuhnya dan membentangkan tangannya di kasur.
“Kira-kira kerja apa yah? Memangnya di sini ada lowongan kerja? Besok tanya orang yang ada di resepsionis aja lah,”
Hari sudah menjelang malam, setelah bergumam sendiri Kivasta merasa sangat mengantuk lalu memutuskan untuk tidur agar bisa melakukan sesuatu di esok hari.
Keesokan harinya Kivasta terbangun pada pagi hari lalu ia beranjak dari kasur lalu berjalan ke jendela membuka tirai dan membuka jendela kamar. Setelah membuka tirai dan jendela sinar matahari langsung masuk dan menerangi seisi kamar. Kivasta melihat orang-orang berjalan lalu-lalang, ada yang membawa barang dagangan, ada yang membawa..., budak dalam kandang..., dan juga ada prajurit yang sepertinya sedang melakukan patroli.
Kivasta memutuskan untuk keluar dari kamar dan menuju ke meja resepsionis dan menanyai mereka apakah mereka memiliki lowongan kerja.
Singkat cerita Kivasta sampai di meja resepsionis dan kembali bertemu dengan wanita yang kemarin melayaninya, “Halo, aku ingin bertanya sesuatu padamu.”
Wanita itu melihat Kivasta dengan santai dan ramah, “Ya, ada bisa saya bantu?”
“Apakah di sekitar sini ada lowongan kerja?” tanya Kivasta pada wanita resepsionis.
“Kalau di penginapan ini sendiri sepertinya tidak membutuhkan karyawan lagi dan jikapun kamu mau menjadi salah satu dari pegawai di sini kamu tidak boleh menginap di sini,” tutur wanita resepsionis sambil menggelengkan kepala.
“Begitu ya..., bagaimana dengan tempat-tempat lain? Apakah kamu tahu?” tanya Kivasta lagi.
“Yah, aku tidak tahu banyak tapi pasti ada yang sedang membuka lowongan kerja. Maaf hanya itu yang bisaku jawab karena sepanjang hari aku harus berada di sini melayani orang yang ingin menginap.”
“Tidak apa-apa terima kasih atas informasinya,” setelah itu Kivasta pergi keluar dari penginapan.
“Berhati-hatilah!” Wanita resepsionis melambaikan tangan di saat Kivasta pergi dari penginapan.
Setelah keluar dari penginapan Kivasta mulai berjalan seperti orang tanpa tujuan yang luntang-lantung mengelilingi kota. Kivasta berjalan sambil memandangi toko-toko yang ada di pinggi jalan, tapi mereka semua masih tutup dan baru akan buka..., sepertinya Kivasta terlalu pagi....
Kivasta merasa sedikit bosan karena tidak ada yang bisa ia lakukan di dalam kota, jadi ia memutuskan untuk keluar kota dan menguji kemampuan elemen es miliknya.
Kivasta berjalan menuju gerbang, walau ia sendiri sempat tersesat karena lupa di mana arah jalan gerbang masuk-keluar kota.
Setelah mencapai gerbang Kivasta menyapa prajurit yang berjaga di sana dengan melambaikan tangannya lalu keluar dari kota dengan santai.
Setelah Kivasta keluar dari gerbang ia memandangi hamparan padang rumput yang hijau dan indah. Kivasta berjalan menuju padang rumput, di sana terdapat pohon yang cukup besar yang dapat ia gunakan sebagai tempat untuk berteduh.
Setelah sampai di bawah pohon Kivasta langsung mencoba untuk menggunakan sihir es miliknya. Awalnya ia membentuk sebuah pedang yang seluruh bagiannya terbuat dari es, pedang itu sangat tajam dan berbentuk melengkung khas seperti kebanyakan pedang yang ada di kerajaan Alvia dan di sekitar bangsa gurun pasir. Kivasta menghilangkan pedang es itu dengan sihir dan membuat pedang es lagi, tapi kali ini pedang es yang ia buat adalah bentuk bilah pedang yang banyak terdapat di benua Yhokava.
Setelah membuat pedang dari sihir es, Kivasta mencoba untuk menciptakan teknik lain dan berniat untuk memperkuat elemen es yang ia miliki. Kivasta berlatih hingga matahari telah berada di atas kepalanya, menandakan bahwa ini sudah tengah hari ia juga sudah merasa lapar, jadi memutuskan untuk kembali ke kota Letonia untuk makan siang.
Berjalan melalui jalan tanah menuju gerbang masuk Letonia, ia kembali ke kota dan pergi ke bar yang kemarin Kivasta kunjungi untuk makan di sana. Kivasta masuk ke kota melalui gerbang depan dan kembali menyapa prajurit yang berjaga lagi. Ia berjalan ke arah tempat yang di mana bar kemarin berada.
Sesampainya di bar yang kemarin ia kunjungi, Kivasta segera masuk ke dalam bar dan ingin duduk di tempat kemarin ia duduk. Tetapi, sayangnya tempat itu sudah diduduki terlebih dahulu oleh seorang pria, yaitu pria besar yang kemarin secara tidak sengaja ia menabraknya.
“Harus ke meja lain...,” Kivasta berjalan ke meja yang kosong, tidak ada senderan dinding apapun karena meja dan kursi berada di tengah-tengah bar.
Sebelum ke meja itu Kivasta pergi ke kasir untuk memesan makanan dan barulah ia berjalan kembali ke meja dan duduk di sana menunggu makanannya siap.
Pelayan datang dengan makanan dan minuman yang tersedia di atas nampan, ia meletakkan makanan dan minuman di atas meja lalu setelah itu ia pergi kembali mengantar makanan milik pelanggan lain.
Makanan yang ia makan hari ini hanya sepotong paha ayam, roti gandum, dan tentu saja segelas air untuk diminum. Kivasta memakan seluruh makanan dengan lahap, setelah menyelesaikan makanannya ia berdiri dan menuju kasir untuk membayar. Keluar dari bar setelah makan Kivasta memutuskan untuk berjalan-jalan di kota lagi dan bertanya apakah ada toko yang membutuhkan karyawan atau yang sedang membuka lowongan kerja.
Setelah berjalan ke sana-sini cukup lama tidak ada satupun toko yang membutuhkan karyawan baru.... “Kota ini cukup luas jadi aku bisa pergi ke sudut lain dan jikapun aku masih tidak mendapatkan pekerjaan berarti keberadaan diriku memang ditolak di sini.” Ucapnya dalam hati.
Karena tidak ada yang bisa Kivasta lakukan lagi, jadi Kivasta memutuskan saja untuk kembali ke pohon di antara padang rumput luas di luar kota Letonia. Setelah sampai di bawah pohon besar itu lagi, ia hanya duduk sambil memeluk kedua kakinya. ia menikmati pemandangan yang tidak pernah ia lihat dan ia rasakan di Alvia, di sini jelas tidak sepanas di Alvia yang merupakan daerah gurun pasir.
Terdapat beberapa anak-anak yang bermain di rerumputan, yah tempat ini memang tidak begitu jauh dari kota Letonia jadi jelas masih aman untuk bermain keluar dari kota.
Kivasta berbaring di bawah rindangnya pohon besar ini, di sini benar-benar sejuk sehingga ia sangat mengantuk dan mulai menutup mata....
Kivasta membuka mata dan saat melihat ke arah langit ternyata hari sudah mulai gelap, ia segera berdiri dan berjalan kembali ke Letonia.... Namun, ia mendengar suara batu yang dilemparkan ke pohon dari belakang pohon lalu mengecek bagian belakang pohon tapi tidak menemukan apapun.
“Suara apa tadi?” Kivasta mengecek sekitar tapi tetap tidak menemukan siapapun atau apapun.
Tiba-tiba dari belakang, Kivasta dibekap oleh seseorang menggunakan kain dan Kivasta langsung kehilangan kesadaran....
Entah sudah berapa jam Kivasta kehilangan kesadaran, saat ini ia terbangun di dalam kandang dan menyadari bahwa kaki dan tangannya diikat menggunakan rantai juga lehernya terdapat semacam seperti kalung besi mulutnya juga ditutup menggunakan kain tebal membuat ia tidak bisa mengatakan apapun.
Kivasta melihat sekitar dan menyadari bahwa tempat ini bukanlah Letonia, sepertinya saat ia kehilangan kesadaran orang yang membekapnya membawanya ke suatu tempat yang tidak ia ketahui.
Kivasta mendengar suara orang yang berbicara, suara itu terdengar tidak asing. Saat Kivasta mengangkat kepalanya untuk melihat ternyata suara itu adalah suara dari pria yang kemarin ia tabrak! Ternyata Kivasta telah bertemu dengan seorang penculik, betapa sialnya ia....
Pria itu berbicara dengan seseorang secara samar-samar. Namun, masih dapat ia dengar....
“Dia bisa menggunakan sihir es, jadi aku tawarkan padamu 1000 Selova.”
“Dia mungkin bisa menggunakan sihir es, tapi dia sendiri masih remaja jadi belum banyak pengalaman dan butuh waktu lebih banyak untuk melatihnya, bagaimana jika 600 Selova?”
“Hmmm..., baiklah lagi pula tidak sulit untuk menangkap bocah ini.”
Mendengar dari percakapan mereka Kivasta tahu bahwa ia masih berada di Setavia. Namun, ia tidak sedang berada di Letonia. Sepertinya pria yang menangkapnya ingin menjualnya sebagai budak kepada seseorang di sini. “Sial! Jika aku bertemu dia lagi akan kubuat dia dirajam dan membeku seumur hidupnya! Tapi bagaimana cara aku keluar dari sini jika aku sendiri diikat dan tidak diberi ruang gerak.” Ucapnya dalam hati
Kivasta melihat ke sekitar dan menemukan bahwa ada banyak orang-orang seumurannya yang menjadi korban, banyak juga dari mereka yang berasal dari ras Reva. “Awas saja pria ini, akan kubuat dia mati dalam keadaan hina.” Ucapnya dalam hati lagi.
Setelah pria itu berbicara ia pergi dan muncul satu pria lagi lalu tangannya meraih kain di mulutnya dan memberikan semacam kain lain dan memaksanya untuk menghirup kain tersebut. Setelah menghirup aroma dari kain itu Kivasta langsung kembali kehilangan kesadaran lagi....
Entah sudah berapa lama Kivasta pingsan, tapi saat ia terbangun ia sudah berada di sebuah penjara dengan kondisi kaki dan tangannya yang dirantai oleh besi termasuk lehernya, ini membuatnya tidak bisa banyak bergerak.
Tempat tersebut sangat gelap dan kotor. Pria yang tadi membuatnya pingsan membukakan penjara dan dan melepaskan ikatan rantai besi ditubuhnya.
Langsung saja Kivasta menggunakan sihir es untuk membuat pedang es dan berencana untuk langsung menghabisinya. Tapi entah bagaimana saat Kivasta akan menusuk tiba-tiba tubuhnya berhenti bergerak dan ia merasakan rasa sakit luar biasa di bagian lehernya yang membuat dirinya tergeletak jatuh meronta-ronta kesakitan dan pria itu kembali membuatnya tidak sadarkan diri dan membawanya ke suatu tempat yang kosong....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!