Apa itu takdir?
Sedari kecil, Agus hampir selalu disibukkan dengan pertanyaan sederhana ini.
Sudah banyak cara ia lakukan untuk mencari jawaban dari pertanyaan ini. Ia baca buku-buku teori tentang takdir, ia baca buku-buku agama soal takdir. Ia tanyakan pada guru di sekolah, ia tanyakan pada temannya yang dianggap tahu banyak soal takdir. Semua jawabannya selalu sama dan senada: takdir adalah ketentuan mutlak dari Tuhan kepada makhlukNya. Sesingkat dan sesederhana itu.
Tetapi bagi Agus, untuk benar-benar memahami hal sederhana, dibutuhkan effort lebih kuat dan energi lebih besar.
Apalagi soal nasib dan takdir. Jika nasib adalah hal yang fleksibel, masih bergantung pada kehendak bebas yang dikaruniakan Tuhan pada makhlukNya, sehingga seringkali dikatakan bahwa nasib seseorang masih dapat diubah sesuai ketekunannya. Sedangkan takdir ada di level yang lain. Ia mutlak, hak prerogatif Tuhan. Tidak bisa diganggu gugat.
Di sinilah muncul pertanyaan lanjutan di kepala Agus, lalu jika konsekuensi dari konsep takdir ini akan melahirkan apa yang disebut agama islam sebagai qada' dan qadar. Takdir baik dan buruk. Berarti jika takdir Tuhan menuliskan seseorang untuk mati bunuh diri, maka orang tersebut tidak mungkin mati karena vonis penyakit jantung atau covid, misalnya. Dia mestinya mati karena terjun dari puncak apartemen, atau gantung diri, atau meminum racun, dan sebagainya.
Lalu, jika seseorang ditakdirkan mati bunuh diri, buat apa Tuhan memasukkan jiwanya ke neraka? Bukankah itu salah? Bukankah jahat bagi Tuhan melanggar sifat Maha PemurahNya sendiri, dengan menuliskan takdir sekaligus menghukumnya?
Agus telah menghabiskan hampir delapan jam di perpustakaan kampus hari ini. Ia telah membaca berbagai buku untuk menemukan jawaban, yang baginya masih tetap belum memuaskan.
Hingga akhirnya, ia mengambil kamus besar bahasa Indonesia. Buku tebal itu selalu menjadi menu terakhir setelah ia merasa cukup untuk mencari tahu apapun yang sedang ingin ia cari tahu.
Takdir, tak·dir n 1 ketetapan Tuhan; ketentuan Tuhan; nasib: dengan -- , akhirnya kutemukan anak yang hilang itu; 2 jika; seandainya: -- nya terjadi apa-apa dengan diri abang kepada siapa kami akan beruntung; 3 kalau ... pun: -- pun harus menghadapi risiko yang berbahaya, akan diteruskan juga niatnya;
-- Ilahi takdir Allah;
Agus menutup kamus besar bahasa Indonesia di hadapannya dan bergegas mengembalikannya ke rak buku. Ia harus berjingkat sedikit karena letak kamus berada di rak teratas. Ia melirik arlojinya; pukul empat sore.
Perpustakaan kampus buka sampai magrib. Bahkan kalau malam Minggu, bisa sampai jam sembilan malam. Hari itu Senin, dan suasana perpustakaan saat sore hari tak begitu ramai. Hanya ada tiga atau empat pengunjung lain selain dirinya di meja lain.
Jemari Agus menyapu buku-buku lainnya pada rak itu, seperti sedang mencoba menemukan judul lain yang mungkin menarik. Lebih menarik daripada kamus, tentunya.
Iya. Jarang ada orang yang mengunjungi perpustakaan untuk sekadar membaca kamus bahasa Indonesia seperti Agus. Entah sejak kapan ia memiliki kebiasaan itu. Rasanya seperti keharusan, melirik ke dalam kamus bahasa Indonesia untuk mencoba memahami sepatah kata yang sebenarnya sudah ia pahami, atau mungkin masih ingin ia selidiki lebih jauh. Walau kata tersebut lumrah terdengar, seolah menenangkan bagi Agus jika mengetahui arti kata tersebut lebih banyak. Seolah ada energi baru yang dipacu menuju amigdala yang memberinya wawasan baru.
Suara petir di kejauhan.
Agus menghela nafas. Rupanya tak ada satupun judul buku yang menarik perhatiannya.
"Sudah mau pulang?" sapa suara wanita tak jauh di belakangnya.
Agus membalikkan badannya, mencari sumber suara. Kini ia berhadapan dengan pemilik suara itu; seorang wanita sebayanya. Mata Agus seperti radar yang bereaksi cepat menscan sosok di hadapannya: gadis berusia kira-kira 23 tahunan. Tinggi sekitar 165 centimeter, berkulit sawo matang. Rambutnya terurai sebahu, dan mengenakan kaos casual berwarna hitam yang dipadukan dengan rok a line skirt warna putih selutut sebagai bawahan. Sepasang kaki jenjang gadis itu terlihat mengenakan sepatu kets putih.
Agus tak dapat menyembunyikan kekagumannya pada gadis yang tiba-tiba muncul ini. Namun beruntung dia masih dapat mengendalikan situasi.
"Ah, ya. Sepertinya begitu. Tetapi sepertinya di luar sedang hujan deras," mata Agus berpindah dari sosok di depannya ke sekeliling, mencoba mendengarkan lebih seksama suara hujan di luar.
Gemuruh kembali terdengar pelan sekali dari arah luar.
Agus menaikkan jari telunjuknya ke samping telinga kiri, seperti menyuruh si gadis mendengarkan suara hujan.
Gadis itu tak banyak bereaksi. Ia konsisten dengan raut datarnya yang penuh misteri. Matanya indah dengan dua bola mata bulat hitam, saat menatap Agus dengan lurus dan tajam seperti sekarang. Ia seperti sebuah humanoid yang Agus lihat di film sci-fi. Terlihat seperti manusia nyata namun ternyata hanya sebentuk robot Android yang digerakkan oleh sistem artificial intelligence. Namun, siapapun yang melihatnya akan sepakat dengan Agus bahwa gadis ini sangat cantik. Ada kharisma tersendiri yang membuat gadis ini menarik perhatian, tetapi di sisi lain juga menghadirkan banyak pertanyaan di benak Agus yang belum ia pahami.
Agus menyadari bahwa ia tidak mendapatkan respon yang cukup baik. Jadi ia buru-buru menurunkan kembali telunjuknya.
"Jadi? Kamu sendiri gimana? Udah mau pulang juga atau lagi nunggu seseorang?" Agus mencoba berbasa-basi untuk memulai pembicaraan.
Gadis itu untuk pertama kalinya terlihat menyunggingkan senyum kepada Agus. Sebuah senyum kecil yang cukup manis bagi Agus. Tetapi tentu saja, seperti khasnya sejak awal, tetap menyimpan misteri di dalamnya.
"Ow, okay. Saya akan mengambil kartu member dan menunggu hujan reda di lobi bawah."
Agus merasa sedikit kecewa mengetahui fakta bahwa si gadis anonim ini sedang menunggu seseorang yang langsung ia simpulkan sebagai kekasihnya.
"bye," Agus melempar senyum sembari meninggalkan gadis itu. Langkahnya santai namun agak terburu-buru. Di dalam hatinya Agus tahu sang gadis anonim idola barunya itu masih terpaku di tempatnya sambil mengawasi langkah Agus.
Namun, Agus akhirnya berhenti tak lama kemudian. Ia seperti teringat akan sesuatu dan memutuskan untuk kembali berbalik ke tempat ia bertemu gadis tadi. Ia melihat sang gadis masih berdiri memperhatikannya.
Agus mendekatinya kembali, dan pada kesempatan kedua ini Agus seolah semakin tersihir dengan tatapan gadis itu. Dan, seakan ia melangkah dalam gerakan lambat, ia dapat mendengar jelas derap kakinya di lantai perpustakaan sementara matanya terus terjaga dari pengawasan sepasang mata gadis itu.
Lalu, entah darimana datangnya dalam sepersekian detik ada sedikit tiupan angin menerpa wajah gadis tadi yang membuat rambut di bahunya sedikit bergerak lambat. Agus terkesima menikmati momen itu. Sedangkan sang gadis--seolah ingin memberi kesan dramatis pada Agus, kembali memberikan senyumannya tepat dengan momen rambutnya yang tergerak oleh angin tadi.
Hal pertama yang Agus lakukan saat sampai di hadapan gadis itu adalah mengulurkan tangannya, mengajak bersalaman.
"Saya Agus, alumni kampus ini," Agus masih tidak melewatkan sedetikpun dari pengawasannya pada gadis di depannya.
Gadis tadi menyambut jabatan tangan dari Agus. Mereka bersalaman.
Agus menelan ludah, seperti ingin menelan perasaan kikuk dan gugup sekaligus.
Gadis ini memiliki tekstur tangan yang lembut sebagaimana gadis pada umumnya yang pernah berjabat tangan dengannya. Tetapi, tentu saja, selalu ada kesan berbeda yang dirasakan pada pertemuan dengan seseorang yang menarik perhatian.
"Maya," jawab gadis itu akhirnya.
"Maya?" mata Agus berbinar-binar. Ia tak sadar menjabat tangan Maya cukup lama.
Maya, tampak tidak terganggu dengan hal itu. Ia membiarkan Agus larut dalam pikirannya sendiri dan menggenggam tangannya cukup lama.
"Oh," Agus akhirnya tersadarkan.
Ia langsung melepaskan jabatannya sambil mengangkat kedua tangannya memberi isyarat meminta maaf.
"Namaku, Agus. Eh, terdengar pasaran banget, kan?" Agus bercanda ringan.
Maya kembali dengan senyum kecilnya yang misterius itu.
"Tetapi sangat Indonesia," Agus melanjutkan.
"Tentu saja. Kamu selalu bilang begitu setiap berkenalan, kan?" Maya berbicara pelan. Nada suaranya tenang, kalem, tetapi penuh penekanan.
Agus tertawa kecil. Ia lega karena Mata rupanya juga bisa mencairkan suasana.
"Aku nggak tau, ya. Orangtua aku--mungkin juga orangtua zaman dulu kali, ya. Mereka tuh kayak udah punya semacam template buat nama anak. Ya kalo nggak Agus, Budi, Wati. Semacam itu lah." Agus terlihat mulai bisa berbicara dengan lancar dan tenang.
"Nama kamu bagus, kok. Agus Wirajaya." Maya menyebut nama lengkap Agus.
Kedua bola mata Agus terbelalak, "hei. kok kamu bisa tahu nama panjangku?"
Maya tidak memberi tanggapan lanjutan. Ia kembali diam. Memandangi Agus yang kebingungan.
Agus mencoba menerka jawaban pertanyaannya sendiri.
"Kamu menguntit, ya?" Agus sedikit membungkuk di hadapan Maya sambil memicingkan matanya untuk Maya. Penuh selidik.
Dan, seperti biasanya, Maya cuma tersenyum simpul, memancing tanya.
"Sangat mudah mengenali kamu, Agus. Saya selalu mengenali setiap orang." Jawab Mata akhirnya.
Agus semakin curiga. Tampak sekali di wajahnya rasa penasaran yang kian memuncak.
Tetapi kemudian Agus malah terkekeh pelan. Ia seakan menyadari sesuatu yang tampak masuk akal.
"Oh, kamu sering lihat aku di sini, kan? Karena aku suka ke sini. Kadang di sini bersama teman-teman aku, kadang sendirian. Lebih sering sendirian, sih." Agus mencoba menjabarkan analisanya.
"Apalagi waktu garap skripsi, hampir tiap hari aku ke sini. Mengabiskan waktu di sini. Kadang sampai perpustakaan ini mau tutup. Bisa jadi di antara moment-moment itu, kamu, aku tebak kamu suka ke sini juga. Dan diam-diam mengawasi aku," Agus terdengar berhati-hati ketika mengucapkan kalimat terakhir, sesekali ia mengawasi pandangan Maya. Tentu ia kuatir karena percaya dirinya barusan bisa membuat situasi menjadi sulit.
"Kenapa saya harus mengawasi kamu?" Mata Maya seolah ingin menelanjangi Agus saat menanyakan itu.
Berhasil. Agus kini terlihat berusaha menemukan jawaban yang pas.
"Mm, bisa alasan apapun. Siapa juga yang bisa menebak isi kepala gadis cantik dan misterius kayak kamu?" Mata mereka kembali beradu.
"Baik," Agus mencoba sedikit mengalihkan topik.
"Aku anggap kamu nyari tau soal aku di database perpus, dengan alasan yang hanya kamu yang tahu kenapa. Aku nggak mau menebak-nebak lagi, takut kamu anggap aku kegeeran atau apalah." Kelakar Agus.
Ia terlihat menunggu reaksi Maya.
"Sebenarnya, saya memang mengawasi kamu," tukas Maya. Nadanya selalu sama. Pelan, datar, lembut, meyakinkan.
Agus mengangkat kedua bahu.
"Sudah kuduga," sembari memberikan senyum kemenangan.
"Belum pernah ada perempuan yang mengawasi saya sampai mencari tahu nama lengkap saya, di database." Agus tampak tersanjung. Kali ini, ia tidak menyebut diri dengan 'aku' melainkan 'saya'. Sebagaimana Maya.
Kali ini Agus terlihat mencoba lebih formal. Dari tadi, gadis bernama Maya ini selalu menjaga sikap. Tidak pernah memberi reaksi berlebihan dan cenderung angkuh. Bukan, bukan angkuh. Lebih ke misterius. Nada bicaranya sangat terjaga, ekspresinya pun ditata sedemikian rupa untuk tidak terlalu terpengaruh suasana. Bahkan, menyebut dirinya dengan 'saya' dan bukan 'aku' adalah bagian-bagian penting yang menunjukkan rahasia Maya.
"Jadi, mau menunggu hujan reda di coffee shop? " Agus menemukan cara untuk memperlama percakapan mereka.
Maya tak langsung menjawab. Ia berbalik badan, melihat ke arah jendela besar perpustakaan. Hujan belum reda. Kaca jendela besar perpustakaan terlihat berembun. Maya melangkah maju ke arah jendela.
Agus kini mengawasi Maya dari belakang. Gadis itu kini tampak sebagai siluet di antara frame jendela kaca yang berembun.
Maya melihat keluar. Hujan deras membasahi taman di area perpustakaan. Beberapa mobil berlalu lalang di jalan aspal kampus. Seakan berlomba memunculkan percikan air hujan yang menggenang di beberapa titik di jalanan kampus.
Beberapa pejalan kaki terlihat berkeras melawan hujan, ada yang mengenakan payung, ada pula yang berlari kecil sambil menjadikan kedua tangannya untuk menutupi kepalanya.
Seorang pria paruh baya berusia sekitar 45 tahunan tampak menggigil kedinginan di bawah sebuah pohon besar di taman perpustakaan. Ia memeluk dagangannya, sekotak berisi aneka minuman ringan.
"Kalau Maya mau, hujan seperti ini sangat cocok dengan segelas kopi hangat. Kamu bisa memilih menu kopi yang cocok. Kalau saya boleh saran, mungkin latte atau Americano. Agak pahit tetapi pas di lidah. View dari coffee shop lebih baik daripada di sini. Juga lebih ramai. Nggak kalah penting, ada musik." Agus berbicara sambil mendekati Maya yang tengah sibuk memperhatikan suasana di luar jendela. Bapak pedagang minuman tadi terlihat pucat. Tubuhnya gemetar.
Namun tak satupun orang menyadarinya di bawah sana, hujan deras menyita perhatian orang-orang pada pedagang malang itu.
"Kamu percaya takdir, Gus?" Tiba-tiba Maya melontarkan pertanyaan yang sebelumnya memang selalu mengganggu pikiran Agus.
"Ha? Kok? Apa hubungannya sama kopi?"
Agus tak mengerti apa yang sedang dipikirkan Maya.
"Jadi, kamu nggak percaya takdir?" Desak Maya.
Agus berdehem pelan. Mengatur topik pembicaraan di dalam kepalanya sebelum dikeluarkan.
"A, aku. Ehmm, saya...saya ingin bilang saya percaya." Agus berbicara dari balik punggung Maya. Dari jarak sedekat itu Agus dapat mencium aroma parfum yang digunakan Maya. Entah parfum apa, tetapi wanginya sangat khas dan menyenangkan.
"Kamu tidak yakin?" Suara khas Maya kembali terdengar dari sela bibirnya yang mungil. Nadanya pelan dan nyaris seperti berbisik.
"Maaf, kita bisa simpan obrolan ini sampai ke coffee shop nanti. Biar bahan obrolan kita tidak sampai habis." Agus tampaknya belum puas karena Maya belum memberikan tanggapan apapun terhadap ajakannya.
"Orang-orang yang datang ke coffee shop, mereka bebas memilih apapun yang mereka ingin," tiba-tiba Maya membahas soal coffee shop dengan gayanya yang khas itu.
Agus menjadi pendengar setia di belakangnya, matanya fokus menyimak kata demi kata dari Maya.
"kamu menyukai Americano. Tetapi yang lain mungkin datang untuk segelas kopi pahit biasa, atau mungkin segelas susu. Atau mungkin juga teh panas."
"kamu suka yang mana?" Agus menimpali. Makin penasaran dengan arah pembicaraan Maya.
"Orang-orang bebas memilih menu yang mereka sukai. Pemilik cafe menyediakan semua kopi yang mereka mau. Pelayan-pelayan coffee shop membuatkan semua pesanan," pandangan Maya masih melayang jauh ke taman perpustakaan di luar jendela yang tertutup kabut hujan.
"Saya nggak paham. Kamu mau bicara apa? Saya hanya menawarkan kamu untuk menemani saya ke coffee shop untuk ngopi dan mengobrol. " Agus penasaran.
"pelayan tidak bisa membuat menu di luar pesanan, mereka tidak memiliki hak untuk itu. Mereka hanya pelayan." Mata Maya menatap lekat ke luar jendela. Butir-butir hujan menetes di kaca jendela.
"Jadi? Mari kita buat pesanan biar mereka buatkan dua gelas kopi untuk kita, kalau nggak keberatan?" Sekali lagi Agus mencoba.
Maya akhirnya berbalik badan menghadapi Agus yang masih penasaran itu.
Kali ini, Agus kembali dapat melihat wajah cantik Maya yang penuh misteri itu. Rasa-rasanya Agus ingin menyelam ke dalam dua bola mata perempuan di depannya.
"Kamu yang tentukan kopinya, mau rasa apa?" Maya seolah memberi tawaran.
"Baiklah, saya akan memilihkan--tadi udah ditawarin sih. Mungkin kamu... baiklah, sepertinya untuk perkenalan kamu harus mencoba..." Agus belum sempat meneruskan kata-katanya.
"Setiap kopi yang kamu pilih, selalu ada harga harganya." Mata menyela.
Agus sedikit terkejut, tetapi lalu ia tersenyum penuh arti.
"Baik, aku yang traktir," jawab Agus simpel.
"Semua orang menikmati apa yang ia pilih, mendapatkan sesuai yang mereka bayar." Maya rupanya melanjutkan perkataannya yang sebelumnya.
Agus merasa terkecoh. Wajahnya memerah menahan malu. Sementara dia tetap mengawasi gadis di depannya itu, ia melihat Maya tersenyum sekali lagi.
Sambil berbalik kembali menghadap jendela, Mata berkata pada Agus yang terpaku diam di balik punggungnya:
"Kamu lihat bapak pedagang minuman di bawah sana itu?" Mata Maya terpaku pada pedagang minuman yang kedinginan tadi.
Agus mengintip dari balik punggung Maya, mencoba melihat apa yang dilihat Maya. Agus tampak iba namun tak dapat berbuat apapun.
"Kasihan, tak ada satupun orang sekitarnya yang peduli," pungkas Agus, terdengar lirih.
"Seandainya ini semua adalah sebuah coffee shop, Gus. Siapa kira-kira yang membeli kopi paling murah? " Maya bertanya pada Agus tanpa melihat ke wajahnya. Pandangan mereka berdua masih tertuju pada pedagang tua yang kehujanan itu.
Agus memikirkan pertanyaan dari Maya barusan. Ia rasanya mulai menangkap maksud pembicaraan Maya yang seolah-olah menanggapi ajakannya ke coffee shop.
Dari jendela itu pun mereka melihat situasi sekitar taman perpustakaan yang tak banyak berubah dari sebelumnya. Hujan sepertinya pun turun semakin deras.
Bapak-bapak penjual minuman tadi seolah pasrah pada keadaan. Kedua tangannya memeluk kotak dagangannya semakin erat saja. Gemuruh petir di langit sesekali terus terdengar, meninggalkan kilatan cahaya di bumi.
Sementara itu tiba-tiba, secara samar di kejauhan di luar jendela. Tak jauh dari bawah pohon tempat pak tua pedagang itu berteduh, di seberang jalan sana, berdiri sesosok pria berpakaian hitam-hitam. Juga kacamata hitam. Wajahnya tak terlihat jelas dari jendela perpustakaan. Karena di samping hujan yang turun mengaburkan pandangan, pria di seberang jalan yang berdiri mematung itu juga memakai payung berwarna hitam yang menyembunyikan wajahnya.
"Pria di sebelah sana, dia berdiri seperti manekin. Nggak bergerak sama sekali," Agus berkomentar setelah menyadari kehadiran pria itu. Belum sempat Maya menjawabnya tiba-tiba terdengar suara ponsel berdering.
Rupanya suara ponsel Maya. Agus mundur sedikit untuk memberi ruang pada Maya untuk menjawab teleponnya.
"Halo?" Hening. Tak terdengar suara lawan bicara Maya.
"Sekarang? Baiklah," Maya masih berbicara di telepon. Setelah menyelesaikan kalimat terakhirnya telepon ditutup.
Maya terlihat serius kembali. Ia membalik badannya lagi untuk menghadapi Agus yang kian menunjukkan minatnya terhadap misteri sikap Maya sedari awal itu.
Maya lalu berjalan pelan mendekati Agus yang tetap lekat memandangnya. Ia berhenti cukup dekat untuk berbicara di hadapan wajah Agus.
"Di saat seperti ini, semua orang sibuk dengan kopi yang telah mereka pesan sendiri. Menikmati harga yang mereka bayarkan dan tak lagi peduli pada apa yang orang lain bisa nikmati," kali ini, justru Agus yang merasa kalau Maya seolah ingin menerobos masuk ke kedua matanya. Agus hanya diam menyimak apa yang dibicarakan Maya.
"Saya harus pergi sekarang." Kata Maya menutup pembicaraan.
Ia pun berlalu meninggalkan tempat itu. Meninggalkan Agus dengan segudang pertanyaan di kepalanya. Suara hujan dan gemuruh suara petir tumpang tindih di luar sana. Mengiringi langkah kaki Maya yang terdengar kian menjauh di lantai perpustakaan. Agus sempat termenung beberapa saat sepeninggal Maya. Ia terkejut saat menyadari Maya telah benar-benar tak ada lagi di ruangan itu dan kini benar-benar tak ada siapapun lagi di sana.
Agus menyadari dirinya kini sendirian saja. Saat ia hendak memutuskan untuk pergi juga dari situ, dari ekor matanya ia sempat menangkap hal yang mencurigakan di luar jendela. Agus pun kembali menoleh ke arah luar.
Keramaian. Ya. Ada keramaian.
Di bawah sana kini mendadak ramai. Orang-orang seperti mengerumuni sesuatu di bawah pohon tempat pedagang minuman tadi duduk memeluk kotak dagangannya. Agus menjadi semakin penasaran ada apa di sana namun ia memutuskan untuk menunggu saja dari tempatnya untuk melihat apa yang telah terjadi.
Pada saat itulah Agus terkejut.
Matanya tertanam pada sosok Maya yang berdiri tak jauh dari kerumunan orang-orang itu. Maya hanya diam mematung sambil dipayungi pria bersetelan hitam yang tadi terlihat seperti manekin berpayung. Tingkah Maya membuat Agus bertanya siapa Maya sebenarnya dan siapa pria yang memegang payung untuknya itu? Apakah selama ini mereka saling kenal?
Sayang sekali Agus tak bisa melihat dengan jelas wajah pria tersebut. Agus hanya melihat keduanya tampak berdiri terpisah dari kerumunan yang lambat laun memperlihatkan apa yang terjadi: dua orang petugas medis keluar dari kerumunan itu menggotong tubuh pak tua pedagang minuman tadi dengan sebuah tandu. Tubuh pak tua itu tampak kaku tak bergerak lagi. Mereka membawanya ke ambulans yang telah siaga tak jauh dari lokasi itu. Deru sirenenya mencoba mengalahkan suara deras hujan.
Kembali pandangan Agus mengawasi Maya dan pria yang memayunginya. Kedua orang itu tampak serasi dalam setelan hitam. Di bawah hujan, mereka ibarat sepasang kekasih serasi yang tengah berduka. Keduanya tak lepas memandangi petugas medis yang sibuk memasukkan jenazah pedagang asongan malang itu ke ambulans. Pintu ambulans ditutup. Seorang polisi dengan jas hujan transparan sibuk mengatur keramaian yang mendadak tumpah setelah pedagang tadi menjadi mayat.
Dalam hati Agus mengutuk mereka semua yang tak satupun datang menawarkan pertolongan lebih awal. Tetapi kemudian ia tersadar bahwa dirinya sendiripun sedari tadi tidak memutuskan apapun untuk menyelamatkan bapak pedagang itu. Tampak raut penyesalan mengalir di wajah Agus.
Hujan sepertinya mulai mereda .
Agus tersadar dari lamunannya. Ia melihat keramaian yang mulai terurai kembali di bawah sana. Tak lama berselang, Agus menyadari Maya dan teman lelakinya kini tak lagi berada di sana.
Dari balik kaca jendela perpustakaan ia menempelkan wajah dan kedua telapak tangannya. Seolah dengan begitu ia bisa meneliti lebih jelas kemana Maya dan teman misteriusnya tadi pergi. Pandangan Agus menyapu area yang bisa ia jelajahi dari balik jendela perpustakaan itu. Namun usahanya sia-sia. Dua orang yang ia cari benar-benar tak lagi ada di sana. Agus terlihat kecewa dan memukul kaca dengan pelan.
Agus bergegas meninggalkan tempat itu. Ia berlari menuruni tangga menuju lobi.
Suasana di lobi perpustakaan masih cukup ramai dan agak berisik. Memang karena lobi merupakan ruang yang tidak dikhususkan untuk membaca buku seperti lantai atas tadi.
Agus menghampiri resepsionis. Seorang ibu bertubuh gemuk pendek, berwajah ramah duduk di balik meja. Tampaknya ia sedang sibuk menginput data-data pengunjung perpustakaan.
"Bu, saya mau ambil kartu member saya," Agus tampak terengah-engah sehabis berlari menuruni tangga.
Ibu resepsionis tadi hanya melirik ke Agus sebentar tanpa berkomentar apapun, langsung memeriksa ke sebuah laci untuk menemukan kartu member Agus. Butuh waktu kurang semenit untuk menemukannya. Ibu itu mengembalikan kartu member Agus.
"Bu, apa tadi Ibu tidak melihat ada gadis cantik, kira-kira hampir setinggi saya. Memakai kaos hitam casual, rok selutut, rambut sebahu?" Agus mengemukakan ciri-ciri gadis incarannya pada si ibu.
Kali ini rupanya ibu resepsionis menunjukkan sedikit minatnya. Ia makin terlihat ramah ketika melayani pengunjung perpustakaan.
"Ada banyak cewek yang datang ke sini hari ini. Hampir tiap hari begitu, kayaknya banyak yang ciri-cirinya kayak yang Mas bilang." Jawab ibu itu dengan tatapan polos.
Agus menggelengkan kepala. Seperti kebingungan.
Ibu tadi menangkap gelagat Agus tersebut sehingga ia mencoba menawarkan solusi, "Mas tinggal sebutin nama lengkapnya siapa, pasti ada di daftar pengunjung." Kata si ibu.
Wajah Agus berbinar kembali dengan saran si ibu itu. Ia benar-benar sulit untuk berpikir jernih saat itu.
"Ah, saya belum tau nama lengkapnya. Yang saya tahu, panggilannya Maya," jawab Agus sedikit bersemangat.
"Sik sebentar, agak susah kalau cuma nama panggilan aja. Lah wong nama panjang aja akeh sing sama. Apalagi hanya nama panggilan," terang si ibu itu dengan wajah menahan tawa. Tetapi meski begitu dirinya tetap mencoba memasukkan keyword "Maya" di layar komputer pada sistem database pengunjung.
Suara jari mengetik terdengar cukup keras. Agus menunggu dengan sabar.
"Ada sekitar...sepuluh, sebelas, tiga belas orang bernama Maya hari ini." Si ibu memutar sedikit layar monitornya agar Agus dapat melihat sendiri.
Agus memperbaiki posisinya untuk dapat melihat dengan jelas ke arah monitor. Ia membaca nama-nama yang ditemukan dengan cepat, lalu ia terlihat kecewa.
Agus berterimakasih atas bantuan ibu resepsionis. Matanya melirik sekeliling ruangan itu, berharap masih menemukan Maya. Nihil.
...****************...
"Harta yang paling berharga, adalah keluarga "
tagline populer dalam sebuah serial keluarga.
Harusnya benar. Iya. Idealnya benar seperti itu.
Tetapi di dunia yang kita tinggali ini, ideal adalah sebuah teori, atau mungkin dongeng. Nyaris tidak pernah ada garis linier antara harapan dan kenyataan, usaha dan hasil. Jadi, jargon-jargon tentang hidup ideal, sesungguhnya hanyalah delusi. Omong kosong politisi lewat corong demokrasi yang basi.
Keluargaku, adalah contoh teori tentang ideal yang sebatas delusi.
Dulu, sewaktu aku kecil, aku tak pernah mendengar dongeng lain selain dongeng nabi Ibrahim. Tidak tentang kancil dan buaya, atau persahabatan kura-kura dan seekor rusa. Cerita-cerita fabel seperti itu adalah kebohongan yang membodohi anak-anak, kata ibuku.
Jadi, saat anak-anak lain membaca dongeng Pinokio, kata seorang teman sekelas ku itu dongeng terbaik yang pernah ia baca. Boneka kayu yang disihir peri biru menjadi hidup, agar menghibur tukang kayu yang menciptakannya.
Atau dongeng tentang sinterklas yang mengendarai kereta kencana dengan sekumpulan rusa yang menyeret keretanya di setiap malam natal, menghampiri cerobong asap setiap rumah umat Nasrani. Lalu diam-diam memasukkan hadiah di sana untuk anak-anak kecil yang sudah berbuat baik sepanjang tahun.
Juga dongeng tentang Maling Kundang yang lupa diri ketika sukses meminang anak bangsawan negeri seberang. Ia lupa pada ibunya maka sambil mengiba, sang ibu memanjatkan doa agar Tuhan menghukum Malin Kundang. Terkutuk lah ia menjadi batu.
Demikianlah, dongeng-dongeng itu sangat menginspirasi. Menanamkan nilai-nilai moral kebajikan. Tapi kata ibuku, itu semua pembodohan. Apa pelajaran yang bisa dipetik dari sebuah kebohongan?
Jadi, bercerita lah ibu tentang nabi Ibrahim. Konon, dia membangkang pada ayahnya yang menyembah berhala. Dia menghancurkan patung-patung sesembahan raja dan pengikutnya. Maka ia pun tertangkap, dan divonis hukuman mati dengan dibakar hidup-hidup. Tetapi Tuhan menolong Ibrahim dengan menjadikan api yang membakarnya dingin, sedingin es. Kata guru agamaku di sekolah, "Ibrahim pun menggigil dalam kobaran api itu. "
Dahsyat!
Di sekolah, guru-guru bosan mendengar ocehan tentang kisah nabi Ibrahim ku. Meski ku debat mereka dengan argumen bahwa kisah Ibrahim punya banyak bagian, mereka menganggap itu sama saja.
Mereka menginginkan aku menceritakan hal lainnya, dongeng lainnya yang penuh kebohongan itu.
Teman-tenan sekelas, ketika acara pementasan drama tahunan mulai berkumpul berkelompok untuk berdiskusi mengenai cerita dongeng apa yang akan kami mainkan sebagai pertunjukan panggung kami.
Usulan pun beragam; dongeng Cinderella, dongeng Tangkuban Perahu, dongeng Putri Salju, dongeng Timun Mas. Nama-nama itu terasa asing di kupingku karena aku belum pernah sekalipun mendengarnya. Tak satupun di antara temanku yang mau meminta usulanku mengenai dongeng apa yang akan dimainkan. Karena mereka sudah menduga jawabannya, "Kisah Ibrahim menghadapi Raja Namrud," lalu mereka semua akan menertawakan.
"Kenapa semua orang menganggap ini lucu? padahal, ini adalah kisah teladan terbaik yang pernah terjadi. Beneran kejadian. Ada ditulis di kitab suci yang tak terbantahkan kebenarannya," debatku, sengit.
"Tapi nggak semua orang di sini tau tentang cerita itu," sahut seorang teman.
"Jadi kalian ada yang belum pernah dengar tentang cerita nabi Ibrahim?" Tukasku. Ada perasaan bangga yang perlahan menyeruak ketika merasa memiliki hal yang tidak diketahui oleh orang lain.
Teman-temanku terdiam memandangiku dengan tatapan aneh.
"Biar aku ceritakan," aku mulai hendak bercerita.
"Maria nggak akan paham, percuma kamu cerita juga." Seorang temanku buru-buru memotong. Kini semua orang memandangi Maria, temanku yang duduk di bagian paling belakang di sudut ruangan.
Maria terkejut, ia terlihat tak siap dengan situasi canggung karena diperhatikan teman sekelas. Makanya, Maria hanya nyengir aja memamerkan deretan giginya yang ompong. Di lehernya, melingkar kalung Rosario.
Jam istirahat hari itu memang sengaja kami gunakan untuk berdiskusi mengenai rencana pentas drama kami bulan depan. Suara riuh anak-anak kelas lain di luar sana sayup terdengar. Kami, kelas 3A mengadakan rapat tertutup.
Aku baru saja mengambilalih rapat setelah sedari tadi terpinggirkan. Aku merasa memiliki kesempatan untuk unjuk diri ke yang lainnya.
"Maria pasti tahu raja Nimrod, kan? Di Alkitab, Namrud disebut dengan Nimrod. Pemburu perkasa di mata Tuhan, dia menjadi raja di Mesopotamia.." Aku tak mau memberi kendali ke anak lain yang memotong pembicaraanku.
Maria menggeleng dengan cepat, seolah tak ingin menjadi pusat perhatian terlalu lama.
Anak-anak lain kini balik menatapku. Seolah menantang.
"Kalau Abraham, kamu pasti tahu, dong?" Aku belum menyerah.
Maria kali ini mengangguk. Aku lega.
"Abraham adalah Bapa segala bangsa. Bapa orang-orang beriman, ada perbedaan antara penulisan nama di kitab-kitab samawi..."
seorang temanku, anak laki-laki lain mengacungkan jari menginterupsi. "Kitab samawi itu kayak apa?"
Aku terkekeh pelan. Momen inilah yang aku tunggu. Menjadi sumber informasi, pusat perhatian. Merasa dibutuhkan dan diakui sebagai mahluk sosial.
"Em, pertanyaan bagus. Jadi kitab-kitab samawi adalah kitab-kitab dari Tuhan yang diturunkan kepada para nabi.." Lagi-lagi seorang teman yang lain menginterupsi.
"Kita di sini mau rapat pentas drama, atau mau dengerin ceramah, sih?" si anak bertubuh gendut yang barusan menginterupsi terdengar memprotes.
Beberapa anak tampak berbisik-bisik menahan tawa sembari mencuri pandang ke arahku. Semua anak terlihat setuju dengan protes si gendut. Aku mulai kuatir.
"Kalau mau pentas cerita nabi-nabi, pas bulan puasa saja. Atau di acara maulid nabi, itu baru pas," tambah anak perempuan yang lain. Kali ini diiringi gumaman anak lain yang setuju. Aku semakin kuatir.
"Aku Minggu kemaren di gerejaku baru saja ada acara pentas drama kisah Alkitab. Aku bermain peran sebagai bunda Maria, sesuai namaku. Nanti, untuk next nya aku bakal ajak kamu, ya Gus." Tambah Maria di tengah protes itu.
Jawaban Maria barusan sontak mengundang lebih banyak tawa lagi dari anak yang lain. Membuatku semakin terpojok.
"Kita putuskan saja cerita yang akan kita bawakan, yaitu dongeng legenda danau Toba." Si gendut songong akhirnya mengambil alih rapat. Aku sungguh tak senang.
"Jelasin dulu dong ke Agus sinopsisnya, jangan-jangan dia belum tau lagi cerita danau Toba seperti apa," saran dari seorang teman yang lain lagi. Terdengar lebih seperti ejekan ketimbang saran.
Sepertinya memang sebuah ejekan. Karena kudengar yang lainnya tertawa.
"Tenang aja. Khusus untuk Agus, aku udah menyiapkan peran khusus yang paling pas buat dia." Pancing si gendut lagi.
Anak-anak lain tampak begitu antusias.
Aku sebenarnya ingin marah, namun kutahan. Penasaran juga peran apa yang disiapkan untuk aku?
Si gendut sengaja memasang tampang mengesalkan, "jadi pohon deket danau Toba," lanjutnya kemudian.
Tawa yang lain pecah. Aku tersudut, hampir menangis rasanya. Tetapi aku tak bisa menangis. Jadi sebagai gantinya, aku memaksakan diri untuk tertawa. Meskipun pahit.
Usulanku kembali ditolak. Aku kembali tidak diterima oleh teman-temanku. Demokrasi selalu berpihak pada kelompok terbesar, pada suara terbanyak, bukan kepada yang benar.
......................
Di rumah, aku tampak murung. Tak ada yang menanyakan kabarku hari ini di sekolah dan apa yang terjadi di sekolah. Ayah belum pulang, ia pasti berjudi lagi bersama teman-temannya. Padahal, uang yang didapat ayah hasil dari menjadi petugas parkir liar dan tukang ojek pengkolan hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Tetapi kebiasaan buruknya sulit dihilangkan.
Ibu sibuk menyelesaikan urusannya di dapur dan aku berdiam diri di kamar. Ibu sesekali memanggilku hanya untuk makan atau menanyakan apakah sudah sholat atau belum. Ibu tidak peduli pada kehidupan sosialku. Memang tak ada yang peduli. Ibu, mungkin satu-satunya orang yang masih memperhatikan aku, walau hanya sebatas "sudah shalat? Sudah mengaji? Sudah mandi?"
Tidak ada obrolan lain selain pertanyaan-pertanyaan sejenis itu. Kadang, kalau ibu memiliki sedikit waktu luang, ia berbaik hati menceritakan dongeng. Dongeng yang sama dan nyaris berulang, iya. Kisah nabi Ibrahim.
Aku pernah menanyakan mengapa ibu senang mengulang-ulang kisah itu. Jawab ibu adalah karena Ibrahim benar-benar karakter panutannya sebagai perempuan, sebagai seorang ibu.
Ibrahim itu cerdas dan logis. Ia juga pelindung yang baik bagi istrinya. Sabar ketika Sarah, istrinya belum juga dikaruniai anak yang mereka dambakan. Bahkan ketika akhirnya ia harus menikahi budaknya, Hajar atas desakan Sarah yang menginginkan Ibrahim agar memiliki seorang anak, Ibrahim tetap berusaha memperlakukan Sarah dengan sangat baik.
Ia juga teladan bagi para ayah. Ia menghargai sangat menjunjung tinggi rasa hormat pada anaknya. Hal yang jarang dimiliki para ayah kebanyakan, apalagi ayahku. Saat Tuhan memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih putranya Ismail sebagai ujian baginya, Ibrahim tak egois. Ia tetap meminta pendapat sang anak. Ibrahim mengajarkan nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya.
Aku mengerti sekarang mengapa ibu mencintai kisah Ibrahim ini. Sebenarnya itu didorong perasaan rindunya pada sosok suami yang mengayomi dan penuh perlindungan seperti Ibrahim, yang tak pernah ibu dapatkan dari ayah.
Ayahku adalah sosok raja Namrud. Jika jodoh adalah cerminan diri, maka harus dipahami bahwa ayah dan ibu adalah sebuah cermin cekung; nyata, terbalik, diperkecil. Jika ibu adalah wanita lemah lembut yang menyerahkan sepenuh hidupnya untuk mengabdi pada suami, maka ayah ada di sisi sebaliknya.
Ayah pemarah dan temperamental. Sifatnya itu sedikit banyak menurun kepadaku. Ia bisa marah besar pada hal-hal kecil. Ia bisa memukulku seperti samsak, dan pergi meninggalkan rumah seharian penuh meskipun wajahku biru lebam.
Ibu merawat lukaku tanpa banyak bicara. Ia lebih banyak diam meskipun dari wajahnya jelas terlihat ia sangat terpukul. Aku menyadari ia sepertinya mencoba menghindari kontak mata terlalu sering denganku. Apa mungkin ia hanya tidak tega saja?
Ia menempelkan kompres ke luka di wajahku, sesekali aku meringis kesakitan.
Saat ibu mulai mengobati luka di bagian punggungku, barulah kudengar ibu bicara:
"Dulu," itu terdengar sangat khas ibuku sekali. Dan sepertinya aku sudah hafal apa yang ingin ia sampaikan.
"Nabi Ibrahim," sudah jelas, kan?
Nada bicara ibu terdengar setengah terisak. Jelas ia berusaha menahan tangis.
"Ketika ia akhirnya memiliki anak dari Sarah. Tuhan mengutus dua malaikat tak dikenal yang menyaru sebagai manusia. Mereka datang bertamu ke rumah Ibrahim untuk memberitahu Sarah dan Ibrahim kabar gembira itu,"
Ibu berusaha mengalihkan fokusku agar tidak terlalu merasakan sakit saat ibu membersihkan luka lebam ditubuhku. Dan jujur, metode dari ibu seperti ini seringkali manjur. Alih-alih merasa kesakitan, aku terbawa oleh kisah yang diceritakan ibu sehingga tidak terlalu merasa kesakitan lagi.
Ibu lihai dalam bercerita. Ia pintar menggambarkan suasana dalam kisahnya sehingga seolah aku hadir menyaksikan langsung peristiwa itu.
"...tetapi kedua malaikat itu nggak hanya datang untuk membawa kabar gembira. Mereka juga diutus untuk memberi kabar buruk, untuk menghancurkan kota kaum Sodom dan Gomora yang durhaka pada Tuhan."
Ibu memeras handuk kecil terakhir, dan sembari mengobati luka terakhir, ia menutup kisahnya dengan konklusi yang menarik:
"Begitulah. Kegembiraan dan kesedihan selalu datang berpasangan. Takdir baik dan buruk dari Tuhan, tidak pernah terpisahkan dan tidak dapat ditolak."
Ibu menyudahi pekerjaannya.
"Kamu harus kuat dan selalu siap menerima itu semua. Saat kamu merasa baik-baik saja, itu juga berarti semuanya sedang tidak baik-baik saja."
...----------------...
Malam itu pintu rumah diketuk keras dari luar. Ayahku pulang.
Sepertinya mabuk berat. Seperti biasa.
Ibu buru-buru menyuruhku masuk ke kamar. Ia tampak kuatir padaku. Aku langsung menuruti ibu dengan bersembunyi di balik pintu kamar.
Ibu membukakan pintu untuk ayah. Ayah yang mabuk langsung jatuh ke pelukan ibu. Bau alkohol menyeruak menyasar ke seluruh ruangan rumah, tetapi ibuku adalah perempuan penurut yang bodoh--aku tidak lagi menyebutnya polos. Ia keukeuh dalam kesabarannya mengurus dan merawat ayah.
Dengan kekuatan yang seadanya, ibu coba membopong tubuh berat ayah ke kamar. Sepanjang langkah menuju kamar ayah terus bernyanyi tak keruan.
Aku mengintip dari balik tirai kamar, ibu tak lagi terlihat menangis. Ia kini benar-benar tegar. Kedua tubuh orangtuaku menghilang di balik tirai kamar mereka. Kudengar suara pintu kamar tertutup.
Keheningan menyeruak di rumahku beberapa saat setelah ibu meletakkan tubuh ayah di atas ranjangnya. Tetapi itu tak berlangsung lama.
Aku mendengar suara benda terbanting keras dari arah kamar orangtuaku. Disusul suara jerit tertahan ibuku, juga erangan ayah yang mirip erangan binatang buas.
Rasa keingintahuanku mendorongku untuk mengintip dari lubang kunci pintu kamar orangtuaku.
Seketika darahku berdesir. Aku melihat tubuh ibuku telentang--dan kini telanjang--berada di bawah tubuh ayahku yang juga telanjang. Ayah menahan kedua pergelangan tangan ibu di kedua sisi tubuhnya, entah bagaimana ayah yang kulihat saat datang tadi dalam kondisi mabuk berat dan terlihat lemah, kini memperoleh kekuatannya kembali.
Ibuku terlihat tak nyaman. Namun ia tak melakukan perlawanan apapun kepada ayah. Termasuk saat ayah mulai memaksa kedua paha ibu agar direntangkan. Dari lubang kecil di pintu, aku melihat ayah terlihat sangat buas.
Ayah tampak berkali-kali mendorong pinggulnya menekan bagian bawah perut ibu, seolah memaksakan sesuatu dari dirinya menghujam masuk ke pangkal paha ibuku. Ayah mengeluarkan erangan mirip serigala lapar. Sedang ibuku terlihat pasrah. Setitik air matanya mengalir di pipi ibu, yang akhirnya menangis sedari tadi.
Samar-samar kulihat beberapa luka memar di tubuh ibu, seperti bekas pukulan, seperti lebam di tubuhku. Hatiku teriris menahan geram.
Tepat ketika momen ayah mengejan, lalu menekan tubuh ibu semakin kuat. Ibuku terlihat seperti menahan nafas. Kepala ayah terangkat ke atas, disusul kemudian teriakan melenguh, tarikan nafas panjang seolah-olah ayah telah melepaskan sebuah beban. Suara yang ia keluarkan mirip lengkingan serigala di bawah bulan purnama.
Lalu semuanya berhenti. Kepala ayah jatuh lunglai di atas kedua payudara ibu. Keduanya terlihat berkeringat, berkilap diterpa cahaya remang lampu kamar.
Tak lama kemudian ayahku tertidur. Suara dengkurannya terdengar jelas. Di atas ranjang reyot itu, dua tubuh orangtuaku yang telanjang, tergeletak kelelahan
...****************...
"Selamat datang di pesta!"
Begitu bunyi sambutan Wongso Abdinegara. Eks menteri yang sekarang lebih dikenal sebagai seorang pengusaha kaya.
"Hari ini, adalah perayaan ulang tahun saya. Tanpa menyebut umur, saya kira sudah jelas ya," kelakar lelaki itu. Para tamu yang hadir tertawa renyah.
"Umur kata orang, cuma angka. Dan saya, orang yang sangat dekat dengan angka-angka,"
"Seumur hidup saya. Saya habiskan dengan berhitung, berhitung, dan berhitung. Kuncinya adalah membuat perhitungan yang tepat. Seperti seniman, feeling seseorang dalam berhitung haruslah matang dan tepat sasaran. Sebab, karya seni yang tidak tepat sasaran tidak akan dapat dinikmati sebagai sebuah karya seni."
Para hadirin bertepuk tangan riuh. Orang seperti Wongso adalah pembicara publik yang handal.
Tak jauh dari tempat Wongso berdiri memberikan sambutan, tampak Agus bersama teman-temannya di sebuah dinner table yang sudah dipesan untuk mereka. Rupanya mereka termasuk tamu undangan Wongso. Mereka turut bertepuk tangan bersama tamu yang lain.
"Kamu keren bisa punya relasi dengan mantan menteri," Agus setengah berbisik pada Zidan, sahabat masa kecilnya.
"Kau tahu, kan? Dia orang yang tidak begitu aku sukai. A mafia." Jawab Zidan sembari melirik sekilas ke Agus.
Pesta ulangtahun yang ke 50. Belum tua untuk ukuran orang seperti Wongso. Pengusaha kaya pemilik lahan kelapa sawit dan berbagai bisnis real estate. Malam itu ia mengadakan pesta di rumahnya yang sangat besar. Orang-orang penting banyak yang datang; beberapa pejabat polisi, rekan-rekan politisi, pebisnis hingga sahabat-sahabat masa sekolah dan kuliahnya dulu. Zidan, pengusaha muda sekaligus seorang kader partai Pembaruan Nasional yang ayahnya dulu adalah rekan bisnis Wongso, turut diundang. Dalam undangannya, Wongso membolehkan Zidan mengajak teman-teman terbaiknya. Maka ia sudah pasti mengajak Agus, Joe, Angel dan sang istri yang baru tiga tahun dinikahinya, Tantri.
Tantri sendiri merupakan salah satu sahabatnya bersama Agus, semasa SMA dulu. Ia dan Agus sendiri sudah saling kenal sejak di bangku SMP. Sedangkan Joe dan Angel adalah sahabat mereka saat kuliah. Kebetulan, Agus, Zidan, dan Tantri berkuliah di satu universitas yang sama walau berbeda fakultas.
Malam itu seluruh tamu pria mengenakan setelan tuxedo. Sedangkan para wanitanya menggunakan aneka gaun mewah. Alunan musik instrumen klasik yang dimainkan kelompok musik mengalun syahdu mengiringi acara malam itu.
"Gue belum pernah ke acara kalangan jetset seperti ini. Benar-benar gila!" Puji Joe, saat mereka sedang menikmati segelas anggur sambil berdiri.
"Pujian yang sudah lebih dulu Gue ungkapkan ke Zidan. Kalian mau tahu apa yang dia bilang?" Agus seperti ingin menguji teman-temannya, "He's a Mafia. Zidan teman kita sepertinya kurang begitu suka," Agus menambahkan.
"Wow. Zidan. Bukannya kamu bilang Wongso salah satu rekan ayahmu?" Angel, seorang model penakluk para pria terlihat tidak percaya.
"Rekan ayah, bukan rekanku. Aku mengenal orang ini seperti kebanyakan orang mengenalnya; dan feeling aku bilang dia punya rencana besar yang belum aku tahu." Zidan tampak memikirkan sesuatu.
"Kamu sekarang bagian dari ini. Mau tidak mau, cepat atau lambat kamu harus mengakui itu; dia adalah rekan bisnismu. Siapa tahu?" Agus seolah ingin mengingatkan Zidan.
"Politikus muda kita satu ini rupanya mulai belajar menggunakan intuisinya," sindir Joe.
"Everyone has a plan, Zidan. And he's politican like you." Angel berusaha menegaskan.
"That's the point. Terutama kalau dia politikus," balas Zidan.
"So what's your plan, then?" Joe menengahi.
Zidan mengambil sebutir anggur merah dan menyuapkannya ke Tantri yang berdiri di sebelahnya. Wanita itu sedari tadi hanya diam menyimak pembicaraan itu.
"So His plan is being a good man for his woman." Canda Agus, disambut tawa oleh yang lain.
Tantri tampak tersipu malu.
Zidan melirik Tantri di sebelahnya dengan tatapan sayang, lalu mengecup pipinya.
"Sure. There's a great woman behind the succes of men." Zidan menimpali. Wajahnya tampak berbinar bahagia.
"Kuncinya ada di berhitung, seperti Wongso bilang tadi. Jadi, ya. Anggap aja sebagai orang muda yang baru belajar. Aku sedang mempelajari situasi. Apa yang orang tahu soal Wongso adalah apa yang orang lihat di media. Mungkin benar, mungkin tidak. Kita lihat nanti," Zidan mencoba diplomatis.
"Zidan nyatanya hadir di ulang tahun orang ini. Mengajak kita, lagi. Artinya? Ada sedikit respek yang coba dia tunjukan pada tuan rumah," Joe berpendapat.
Zidan hanya mengangkat bahunya, terkekeh.
"Mari kita dengarkan pendapat Ibu Tantri, seharusnya dia bisa menengahi ini semua sebagai istri sah kader partai termuda yang lagi naik daun," Agus menyenggol Tantri yang sedari tadi hanya diam menyimak saja.
Tantri hampir kesedak minumannya sendiri akibat menahan tawa.
"Sebagai istri sah tuan muda Zidan Wibawa yang penuh wibawa ini, Gue sedang belajar untuk tidak terlalu banyak berkomentar," jawab Tantri meledek balik Agus.
"Berhitung. Menurut Gue. Apa yang Lo semua dengar dari Wongso tadi itu Gue setuju. Gue dan Zidan tidak mau jadi orang yang terlalu cepat menyimpulkan. Semua baru sebatas perasaan," Tantri menyentuh dada Zidan sambil melirik suaminya itu.
"Ouch. It's so sweet. Dear honorable Mr. and Mrs. Wibawa, please give a short speech to the audiences," Angel berkata begitu sambil mengangkat gelasnya, diikuti yang lainnya.
Mereka semua tertawa lalu bersulang.
"Untuk teman kita yang sedang di masa jaya," Agus menimpali.
Selagi mereka asyik bercengkerama, Wongso muncul mengejutkan mereka semua.
"Maaf mengganggu reuninya." Suara berat Wongso terdengar dari belakang mereka. Menyita perhatian. Wongso mengacungkan gelas pada kelompok pemuda itu yang disambut anggukan kepala dari Zidan.
"Zidan Wibawa. Putra sahabat saya, almarhum H. Imam Wibawa. Bapak kamu adalah seorang paling sabar dan paling pengertian yang pernah saya kenal."
"Tetapi beliau juga orang yang keras dan berprinsip. Kalau iya, iya. Tidak maka tidak. Saya sering terlibat perdebatan hal apapun dengan bapak kamu. Saya sulit untuk tidak mengakui kalau dia adalah pria paling cerdas yang saya kenal," Wongso panjang lebar.
"Terimakasih," Zidan menjaga sikap.
"Sebuah kehormatan bisa menjadi penerus seseorang yang sangat Anda hargai."
Wongso tersenyum. Dia mengajak Zidan bersulang.
"Tetapi saya harap kamu adalah pebisnis yang lebih baik dari bapakmu," Wongso tipikal orang yang bisa tetap terlihat santai walaupun sedang membicarakan hal serius.
"Untuk yang satu itu, saya tidak bilang bapak Anda kurang cakap. Saya kira sulit menemukan kekurangan dia. Hanya saja," Zidan mengamati Wongso dekat-dekat, "bapakmu belum menyadari saja keuntungannya," Lanjut Wongso. Wajah Zidan merah padam.
Teman-temannya menyadari situasi itu. Agus menyenggol lengan Joe, memberi isyarat mata. Joe maju hendak mencairkan suasana tetapi Tantri mencegah.
"Soal itu, bapak bilang dia tidak tertarik dengan bisnis haram. Anda mungkin menganggap sepele, tetapi Anda tahu kalau bapak saya.." Wongso mencegah Zidan untuk melanjutkan.
"Saya paham. Maka tadi saya bilang, dia sangat memegang prinsip." Wongso mendekatkan wajahnya ke telinga Zidan, ia tak ingin pembicaraannya terdengar yang lain.
"Saya rasa kamu tidak ingin terlalu mengumbar ini di depan teman-teman kamu, kan?" Wongso memberi peringatan.
Zidan tidak terlihat panik. Ia merapikan jasnya sambil berbisik pelan di hadapan wajah Wongso.
"Mereka teman-teman yang baik, kok. Semuanya bisa dikendalikan. Saya harap Anda juga bisa bersikap profesional," balas Zidan, dingin.
Wongso terlihat acuh.
Ia lalu menyapa teman-teman Zidan yang dari tadi hanya menonton.
"Malam semua! Gimana, enjoy the night?" Nada suaranya ramah. Wongso mengendalikan situasi.
Agus, Joe, Tantri dan Angel hanya balas tersenyum sembari mengangkat gelas.
"Hai. selamat, ya." Wongso berkata pada Tantri sembari memberinya pelukan. Tantri agak tidak siap, tetapi ia pun menyambut Wongso dengan hangat.
Zidan yang memperhatikan hal itu tampak mengernyitkan dahi, "selamat untuk apa?"
Wongso melepas pelukannya dari Tantri. Memperhatikan sekeliling, wajah-wajah bingung ada di sana. Wongso melirik Tantri di sebelahnya yang hanya menatapnya saja.
"Ah, maaf." Kata Wongso lagi, "sepertinya saya merusak pesta kejutannya."
Sekarang semua orang menunggu Wongso menjelaskan apa yang terjadi. Zidan, Agus, Angel, dan Joe bergantian melirik Wongso dan Tantri. Menyelidiki.
Wongso mengangguk ke arah Tantri, memintanya agar bicara. Tantri mengambil nafas, menatap Zidan yang balas menatapnya dengan penuh ingin tahu.
"I'm pregnant," Tantri berterus terang. Bola matanya membulat penuh.
Zidan --juga yang lainnya, terkejut. Terutama Zidan. Ia nyaris tak percaya.
"Kamu akan jadi ayah..." lirih Tantri. Zidan meraba perut Tantri.
"Baru 2 minggu," katanya lagi. Zidan tak dapat menyembunyikan bahagianya.
"Wow. Congrats! It's official!," Wongso memberi kecupan hangat di pipi Tantri, beralih memeluk Zidan. Menepuk pundaknya.
Zidan mulai terlihat menangis haru dan memeluk istrinya. Lalu menyusul Agus, Joe dan Angel bergantian memberi selamat.
"Tidak sia-sia pengobatan alternatif yang kalian lakukan selama 2 tahun ini. Obat-obatan Cina itu manjur, kan?" Wongso merusak suasana. Seperti disengaja. Zidan terlihat tidak senang. Wajah Zidan berubah merah lagi.
Ia memandangi Tantri, matanya seperti hendak menerkam istrinya. Zidan seperti: darimana Wongso tahu soal itu? Ia merahasiakan kemandulannya pada siapapun, termasuk teman-temannya. Ia gak menyangka Tantri malah membongkar rahasia mereka ke orang lain, ke Wongso pula.
Tantri menatap Wongso, memohon.
Wongso memasang gelagat tidak enak hati.
"Eh, aku sempat cerita ke pak Wongso, minta saran. Maaf nggak ngomong ke kamu lebih dulu. Takutnya kamu tersinggung, pak Wongso memberi masukan yang sangat manjur." Setelah beberapa saat Tantri berusaha membuat suasana hati Zidan membaik.
Ia membelai pipi Zidan, meminta pengertian. Zidan perlahan mereda. Ia menghela nafas. Lalu mengangguk.
"Ehem. Thanks a lot ", kata Zidan ke Wongso. Sedikit kikuk.
Wongso datang bergabung dengan mereka, merangkul keduanya dengan mesra.
"Okay. Tidak perlu kuatir soal kemandulan. Itu bukan lagi aib, sekarang." Katanya kepada Zidan, bermaksud menenangkan.
"Yang penting," Wongso meminta tambahan minuman kepada pelayan yang lewat. Pelayan itu menuangkan lagi minuman ke gelas Wongso, ia lalu mengangkat gelasnya di depan Zidan dan teman-temannya.
"Mari kita rayakan sekali lagi untuk kedua pasangan muda yang berbahagia ini," serunya.
"Untuk Zidan dan Tantri!" Jawab yang lainnya.
Suasana pesta kembali normal. Berjalan seiring detak jam. Setiap orang larut dalam obrolan masing-masing.
Wongso telah pamit untuk menyapa koleganya yang lain. Kekakuan antara dirinya dan Zidan sudah terlihat mendingan. Mungkin Zidan mulai merasa Wongso memiliki sisi empati yang baru diketahuinya.
Dalam kehangatan itu, pandangan Agus menangkap sosok Maya di antara para tamu. Gadis cantik misterius yang ia temui di perpustakaan tempo hari.
Gadis itu kian mempesona dalam balutan gaun hitam panjang dan rambut tergerainya. Ia berdiri sendirian di dekat tangga yang menuju ke lantai dua rumah Wongso.
"Kesempatan!" Pikir Agus.
Ia berpamitan pada teman-temannya yang sedang sibuk membicarakan kandungan Tantri. Ia beralasan ingin melihat-lihat sekitar. Agus buru-buru menuju ke tempat Maya. Menerobos kerumunan tamu yang hadir, beberapa kali ia nyaris menumpahkan minuman tamu yang tak sengaja bersenggolan.
"Maaf," katanya berkali-kali.
Saat ia sampai ke dekat tangga, Maya tak lagi berada di sana. Raut wajah Agus menunjukkan kekecewaan.
"Apa kabar?" Suara seorang wanita mengejutkan Agus.
Agus menoleh dengan cepat dan terkesima.
Maya yang anggun sudah berdiri di hadapannya. Di antara anak tangga. Ia melempar senyum misterius khasnya sejak di perpustakaan, sambil melangkah perlahan menaiki tangga. Tatapannya kepada Agus seolah mengajaknya agar menyusul ke atas.
Seperti terhipnotis, kaki Agus melangkah menapaki anak-anak tangga, menyusul gadis itu.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!