Di ujung minggu pertama, Yenni masih bertahan dengan segala kondisi. Dengan leluasa orang di rumah akan perlakukan dia sebagai gadis lemah. Segala perbuatannya tentu memiliki dampak bagi pemiliknya. Sitegar batu karang gadis itu, walaupun biduk rumah tangga mamanya sudah berada di ujung tanduk. menerima surat dari ayahnya. Yenni serupa orang kehilangàn pegangan hidup. Ia nyaris ingin mengakhiri hidupnya dengan cara menjatuhkan diri.
"Kali ini kau harus menerima kondisinya. Saya tidak mau dengar lagi keluhan soal keuangan. Karena semuanya sudah diatur." kata Jaka sagarà tegas.
Yenni kaget dengar ayahnya berkata keras sama ibunya. Tidak biasanya beliau bersikap kasar kepada istrinya. Seharusnya bisa berikan perlindungan terhadap pasangannya.
"Tapi saya benar-benar membutuhkan uang itu. Seminggu lalu ada kebutuhan mendadak, jadi saya sulit cari pinjaman sama saudaraku."
"Itu cuma alasanmu."
"Mas harus memyadarinya bahwa keuangan kita sedang sulit. Ya, apa salahnya kau bisa berikan solusi."
Tubuhnya kali ini benar-benar terguncang demikian hebatnya. Naluri ingin mengubur masa jalan dalam keluarganya, bikin jutaan pikirannya makin keras buat menolak permohonan ayahnya. Jari-jarinya perlahan menarik seutas tali pada tiang pintu. Tuas sekali tergerak maka tubuh ramping itu melayang dengan lambaian kematian. Akibat sikap menyendiri Yenni gampang larut berujung dengan deretan penyesalan teramat panjang. Langkah Yenni gontai di turunkan niat buat menjuntaikan temali di tiang pintu. Kali ini ia buka daun jendela. Angin yang basah ternyata tidaklah mampu meluluhkan niatnya. Sekali lagi gerakannya seolah ada perintahkan.
"Mungkin ini merupakan jalan hidupku....." suara Yenni demikian sarat sesal.
Kegentingan pikiran manusia mudah diombang-ombingkan oleh kebimbangan hati. Rasa putus asa sulit berbagi, sewaktu orang terdekat justru menyudutkan. Sedetik saja terlewatkan, maka berakhirnya cerita hidupnya. Jeritan yang benar-benar menyayat hati.
"Tidak hari ini aku harus menutup masa kelam. Kalian tidak boleh melakukan gerakan tipuan. Aku jelas-jelas tidak akan pernah...."
Mamanya bulan kepalang begitu mengetahui putrinya tidak ada di dalam kamarnya. Walau pun demikian Herty masih banyak menyimpan rahasia pribadi. Kamar Yenni di teliti menurut ketika sudut matanya ke sisi jendela. Tirai setengah terbuka oleh angin, perempuan paruh baya itu menjerit histeris. Kalut hatinya melihat putrinya siap melompat.
"Astaga... Ya Tuhan!" suara Herty serupa tercekik.
Kedua tangannya
Hatinya belum pernah sampai separah ini, tiada lagi buat menuangkan impiannya. Ketika hari bahagia itu harus digantikan akan kepedihan. Tangannya mulai menggapai tali sudah menyilang di bagian lehernya. Dia akan melayangkan tubuhnya segera menjuntai. Sisi angin benar adanya berbisik lewat desau. Permohonan maaf atas orang terdekat. Mungkin ini adalah jalan terbaiknya. Karena pendekatan saja tidak cukup dijadikan alasan dia melakukan penolakan.
Giony mulai ragu buat menepuk bahu rekannya. Dia sangat takut ketahuan buat menyatakan sikapnya, diam-diam bersikap adem ayem sewaktu angin berikan kabar. Bahwa dirinya terlalu banyak diselimuti sisi kehidupannya. Satu misal rekannya mau memahami jalan pikiran. Setahun lalu Giony pulang ke kampung halaman, jujur saja letak kampung masih di situ. Tidak banyak yang menunjukkan perubàhan secara geografis.
"Woy...... ajak-ajak lah ngelamun." Wendy tepuk bahu kawannya.
Bikin Giony sampai melonjak setengah kaget. Kayaknya dunia itu terlalu sempit buat sembunyi dari kejaran rekannya. Selama satu bulan terakhir Giony masih banyak problem. Terutama sekali ibunya terus punya pandangan, tentang kelangsungan bagi keturunan Giony purba.
"Kau ini selalu bikin jantungan," sergah Giony.
Wajar kalau dia ingin lemparkan benda di dekatnya. Rasanya akan sulit untuk mengakui dari teman. Karena perhatiannya tidaklah sebanding atas pasangan hidup. Kadang mereka hanya menilai dari sisi luarnya saja. Giony inginkan rasa simpatik itu terlihat nyata. Setidaknya hari ini dia ingin jauh melangkah kesalàh satu tempat. Tanpa banyak tuntutan atas kelakuannya.
"Ya, saya heran begitu lihat kelakuannya belakangan ini? Mungkin tanpa kamu sadari, sikapnya biasa saja."
"Makasih sudah atas motivasinya. Saya heran saja lihat gayamu." jawab Giony datar.
"Trus apa hubungan dengan karirku? Kau terlalu banyak menafsirkan hal yang belum pernah terlintas dari pikiranku. Ya, aku sebenarnya sangat berterima kasih atas dukungan dan semuanya."
"Ya, menurutku ada. Tinggal bagaimana kita ambil sikapnya. Dia itu sudah punya niat buruk kepada kamu."
"Aku takut salah sangka. Kita menuduh orang tanpa alat bukti kuat, itu artinya fitnah."
"Cobalah untuk memikirkan secara jernih. Saya kesadaran itu benar ada, jangan pernah salahkan aku sebagai penyumbang kebenaran atas kelakuannya."
"Rupanya dia cukup licik. Saya tidak pernah menduga dengan ancaman. Kalau itu bisa menjadikan bukti kuat. Baru saya ambil tindakan, karena itu tidak boleh dibiarkan."
Tidak berapa lama pelayan kantin datang, Sambil menyodorkàn buku menu. Percakapan keduanya terhenti beberapa saat lamanya. Sambil mengamati menu hari ini cukup menggodà selera makan Wendy. Ya macam orang belum makan seminggu. Dia sehari-harinya hanya mengandalkan modal uluran tangan kekasihnya. Giony hanya bisa geleng kepala waktu lihat kelakuannya Wendy selalu cari peluang. Mengingat perutnya minta jatah bulanan.
"Selain itu kita tidak berhak untuk memilikinya. Apalagi ingin menguasi milik orang lain. Terus mau ditaruh mukaku. Apa kau sudah siap menerima resikonya?"
"Jangan suka becanda, mustinya kita bisa sampaikan sama bos tentang kebohongan si pecundang.!?" Glory nyaris naik pitam.
Segan saja dia balas senyum kawannya. Justru sebaliknya dia akan jadi gerutuan. Sewaktu di ruang meeting Giony sulit sekali untuk membawakan presentasi. Jantungnya boleh saja berdiam dìri, seluruh urat-suratnya jatuh berguguran layaknya daun kering di halaman kantor. Jujur saja Giony punya tujuan agar nantinya di memiliki peranan penting disalah satu anak perusahaan milik Sandra.
Bukan main. Kalau sudah terbawa sama lamunan membuat lelaki itu berpikiran jelek. Salah satunya meminta seorang kawan. Sebelum dia melangkah terlampau jauh buat mendapatkan peluang khusus. Setumpuk alasan buat menghindari ajakan dari rekannya ke diskotik. Ada kejutan ingin di pamerkan Gilang kepada kawannya. Selepas pulang kantor kemaren Giony lihat gimana ada kemesraan diantara keduanya.
Diam-diam Gilang berulah, dia dengan sengaja ingin mencelakakan atasannya. Sikap buruknya setidaknya punya alasan bagi Giony buat menempatkan Gilang di perusahaan lain. Agar dia tidak langsung menjatuhkan tuduhan atas perbuatannya beberapa minggu lalu.
"Aku nggak akan tinggal diam!"
"Sebaiknya engkau pertimbangkan kembali. Ya aku sebatas kasih saran saja. Lagi pula keputusan itu belum final. Masih ada ulasan dan kajian lebih detail." jelas Yandri.
"Sekali melangkah pantang surut. Dia harus merasakan kepedihan itu. Sedangkan dia sudah permalukan saya."
"Jangan....!"
"Aneh, kau ini selalu berikan pembelaan. Justru dia telah berbuat keliru."
"Tunggu saja pembalasanku!"
Penuh emosi Gilang ingin balas dendam atas perbuatannya. Berani hina dirinya di depan umum.
"
Seminggu sebelumnya Yenni merasa ada kejanggalan di rumahnya. Mungkin saja kejadian luar biasa. Takkan ada harinya diselimut oleh kebahagiaan, karena ibunya kerap berikan wejangan mulia. Salah satunya jangan pernah mengambil barang milik orang lain. Termasuk hari ini ia menemukan sebuah tas berwarna merah. Ketika tangannya hendak meraih ada.satu sentakan aneh, ia kerja sebagai ob di kantor ini sebagai karyawan baru.
Kesibukan pagi itu makin terasa, Alda agustin jam lima bangun siapkan sarapan. Mereka biasakan bareng menyantap hidangan di meja makan. Kebersamaan sulit dipisahkan kehadiran ayahnya. Kerap ungkapan bikin Yenni geleng-geleng. Akibat ada saja usulan agar dia mendapatkan pengawalan. Jujur dia ingin protes usulan gila!
"Yen.... Bangun matahari mulai tinggi. Cepet buka pintunya." ibunya bangunkan. "Kamu ini kalo dibangunkan susahnya minta ampun. Yen.... Yen.... Tuh ada temenmu."
"Siapa sih? Rajin banget kelihatannya..." jawab Yenni sambil lalu.
Kebiasaan buruk rupanya, Yenni segan tiap kali berangkat kerja sering diajak bareng. Ibunya masih saja coba untuk merayunya agar menemui dulu tamunya. Sambil menunjukkan muka cemberut Yenni keluar kamar.
"Ibu kan bisa bilang sama tuh orang...." nada bicara Yenni ketus. "Pasti...."
"Ndak boleh berkata begitu. Semestinya kamu hargai orang lain. Karena dia juga berkorban waktu. Boleh ibu kasih masuk?"
Sindiran ibunya membuat Yenni tambah keki, lekas-lekas menghilang ke kamar. Ia nampak hancur lebur hatinya dikoyakkan oleh kelakuan cowok tengil.
"Sayang kamu jangan berlaku kasar. Apalagi selalu memandang rendah atas martabat orang itu. Sebab tidak mungkin lebih baik."
"Duh, apa yang salah? Ibu belum tentu memilih pendapat yang keliru di mata umum."
"Ibu selalu bikin kesalahan, bikin persoalan baru. Buktinya sekarang saya rela menemui siapa tadi, teman?"
Cemas benar atas sikap putrinya. Di rajuknya Yenni habis-habisan agar luluh hatinya. Biar pun begitu dia masih saja sama pendiriannya. Males untuk menemui temannya atas keterangan ibunya. Mana ada kerja baru beberapa bulan sudah kenal akrab, pikir Yenni.
Berkat rasa hormat sama ibunya, ia akhirnya mau jua menemui tamu. Langkahnya sedikit kurang yakin atas firasatnya. Atau anggapan itu sulit diterka. Dengan hati-hati dibuka tirai jendela pelan-pelan supaya tak ketahuan. Ibunya melihat putrinya mau menemui tamu, ada seguratan senyum. Bahwa Yenni anak berbakti menuruti permintaan kedua orang tuanya.
"Lho si cantik masih ragu...."
Yenni menoleh ke sisi kanan. Ya, Tuhan kiranya ibu masih saja mengikuti semua gerak-geriknya. Ada kecenderungan ingin menguasai langkah putrinya. Atau sejenis ingin menjadi satu moment penting dalam kehidupannya kelak.
"Iya..."
"Lekas tamunya kalau dia mau ajak sarapan."
"Baik bu...." jawabnya lirih.
Dekup jantung serasa hendak copot dari sarangnya. Sebelumnya Yenni tidak merasakan demikian aneh nalurinya. Kenapa ibunya sampai memaksakan agar menemui tamu tak tahu diri!?
"Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu? Maaf anda ingin bertemu siapa ya?" tanyanya formil.
Lagaknya jumawa benar, ditegur halus dan sopan belum juga membalikkan badan. Apalagi cepat berikan respon atas sapaan gadis itu. Siapa pun pastinya menaruhkan dongkol seribu kali lipat. Seandainya bukanlah permohonan ibunya untuk jumpai orang belum dikenal. Resiko pertama dia akan dipermalukan lagi. Belum juga Yenni alihkan pandangan ke sisi lain. Harapan pertama rekannya jam segini pasti tiba.
"Oh, maaf. Saya tidak tahu, barusan terima telpon. Gimana bisa berangkat sama-sama...?" cowok itu menawarkan diri.
"Duh... Gimana ya? Saya ada janji sama temen. Tapi...?"
Minta ampun, pikirnya sambil cari alasan atas ajakan cowok bertampang sok iya! Diam-diam dia mencibir sinis. Tak semudah itu merayu gadis. Tentunya ada yang harus diperjuangkan. Selain mampu menaklukkan oleh materi. So pasti gadis perlu kasih sayang tiada tarà. Bilamana mudah merayunya arti cowok itu harus berpikir sampai tujuh kali lipat.
"Perkenalkan nama saya Bimbim," cowok itu perkenalkan diri.
Cowok bertampang keren mentereng cap goceng. Gadis itu sampai menahan tawa, takutlah kiranya bila sikapnya acuh tak acuh jadi ketahuan. Ia menyodorkan tangan kanannya kearah gadis itu. Semula mukanya masih tertekuk sepuluh. Males saja bila saling berpandangan. Entah kenapa sikap kebenciannya kembali menyeruak. Seminggu lalu ibunya menerima lelaki, dilihat dari penampilan kurang menarik untuk ukuran pria seusianya.
"Hey.... Kau masih ragu sama penampilanku?"
"Tidak juga..." jawabnya gaya formal. "Apa kau punya tujuan baik? Karena aku belum punya keyakinan sepenuhnya."
"Tunggu...."
"Buat apa? Aku jelas nggak banyak waktu. Nanti takut lambat masuk kerja."
Jelas ada segumpalan kedongkolan bercampur kagum. Baru pertama kalinya dipertemukan gadis bertendensi keras. Sukar di taklukkan! Ia ibaratkan disatukan oleh hutan belantara. Tentunya penghuni hutan belantara sangat garang. Beruntung ada ibunya keluar dengan berikan penjelasan tentang putrinya.
"Saya tidak perlu menjelaskan lebih detail. Tapi kami sekeluarga sangat tersanjung....." seru ibunya seolah sanjungkan tamu. "Kamu harusnya persilahkan masuk, setidaknya disuruh makan bareng."
"Iya..."
"Nah, itu jauh lebih baik. Ketika sedang berhadapan sama tamu. Maafkan anak saya mas, maklumlah masih usia muda. Jiwanya masih labil dan tentunya perlu bimbingan."
Lelaki bertampang keren itu hanya tersenyum simpul. Seakan-akan dia sudah dipastikan mendapatkan tempat khusus di mata gadia nan menawan. Ia tentunya punya misi agar nantinya bisa memperoleh peluang atas dirinya.
Terbayang sore harinya jalan sore-sore. Tentunya sepanjang jalan dilewatkan oleh cerita-cerita kecil. Satu misal dia bawakan setangkài, sayangnya bunga itu tidaklah segar. Malahan kedengeran lucu ibunya ikut ambil bagian. Dalam hati sebagai gadis belia takkan mampu untuk menepis seruan. Bahwa keduanya akan disatukan dalam media pacaran. Mungkin itulah kesepakatan sepihak, so pasti kurang disukainya.
"Bu jangan bikin malu saya."
"Ndak apa kan nak siapa namanya? Ibu ini sering bawaannya pelupaan. Mohon dimaklum...."
Tanpa disadari anak gadisnya pelan-pelan beringsut pergi. Tentunya sembari senyum mencibir pada lelaki masih mematung. Keduanya saling berhadapan dengan salah presepsi atas kejadian lucu tersebut.
"Ya ampun anak satu ini bikin malu saja...." suara ibunya lirih. "Yen...."
Cepet banget menghilangnya, belum juga dikasih nasehat. Tidak tahunya audah raib ditelan bumi. Pantesan kebelet kabur dulu, lagi pula buat apa lebih lama lagi nungguin orang tidak jelas kehidupannya. Begitu sampai di depan pintu pagar gadis lebih dulu lambaikan tangan ke arah cowok itu. Di wajahnya serupa di gelayuti amukan emosi. Dengan berat hati dia harus lebih dulu melangkah pergi.
"Da..... Saya berangkat dulu....!" sambil melambaikan tangan. "Nanti pulangnya sore."
"Duh, anak satu ini..." gerutu ibunya.
Kekesalan itu jelas terlihat sewaktu ibu muda menatapnya. Penuh rasa sungkan untuk memohon diri demi menutupi rasa malu. Apa mungkin dirinya tetap mematung dengan harapan ada tanggapan dari gadis tambatan hati.
"Kamu nanti bisa lain kali ke sini. Sekali lagi ibu sangat menghargai atas kesabaran dan keiklasannya. Makluk saja masih anak muda, tentunya sukar dikendalikan pemikirannya.
"Oh, ndak apa-apa. Baiklah kalo begitu sayamohon diri. Karena masih ada kerjaan lain. Ya, nanti mohon disampaikan sama putrinya."
Kiranya harapan kedua orangtua Yenni pupuslah sudah. Pagi ini macam diamukan ombak demikian kerasnya terjangannya. Seumpama dia mampu jelaskan sama suaminya, pastilah ada pertengkaran kecil. Ketika suaminya mengetahui istrinya bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Lumayan menyita waktu pak Jaka untuk berpikir keras.
Pantas saja pak Jaka kelihatan menaruh curiga. Sekali pun dia belum punya keberanian buat menuduh istrinya ingin menjerumuskan putrinya.
"Lho mana sarapan sudah siap, bu. Saya sebentar lagi pasti terlambat."
"Ya sebentar...." jawabnya lumayan keras.
Kiranya bukan waktu yang tepat untuk menyinggung masalah putrinya. Sebagai seorang istri tentu punya hak dan kewajiban. Oleh karena itu posisinya jauh lebih kuat sewaktu dia makin pertanyakan perihal pertanggungan jawab mengenai dapur ngebul. Ia canggung untuk menegur suaminya yang termangu-mangu memikirkan suatu kejadian di kantor. Beruntung hari ini istrinya tidak juga menaruhkan kecurigaan.
Sambil tersenyum simpul Alda agustin persiapkan hidangan pagi. Menu ini pagi tidak ada istimewanya. Cukup sayur kangkung dan tempe goreng, bahkan terkesan sangat biasa. Bukan saja senandungnya bikin tiap lelaki akan terus menggandrungi dari cengkok dangdut.
"Kelihatannya kamu pagi ini tampak bahagia? Tidak seperti biasanya....." cerdiknya memuji.
Pantes kaum Hawa akan bertekuk lutut dihadapannya. Satu saja keinginanya yakni putrinya dapat menemukan jodoh sesuai atas pilihan mereka. Ada kebenaran bisa diterima sama akal sehat. Belum jua jahilnya juga digantikan oleh kejengkelan.
"Bapak ini, apa tidak merasa ada perubahan atas anak kita. Akhir-akhir ini bisa menyimpulkan sikap saya.."
"Sini....!"
Sebagai ayah tentunya punya andil besar terhadap anggota keluarga. Jaman now jauh dari ekspetasi yang dilihat pada kehidupan. Mereka lebih mementingkan kepentingan pribadi. Lupa akan hubungan di keluarga, tiap mengambil keputusan didasarkan atas pribadi. Itulah kejengkelan makin menorehkan sangkaan miring.
"Saya lihat tadi kamu nampak serius? Kenapa kelihatannya ada sengaja kamu sembunyikan dihadapanku." selidiknya penuh hati-hati.
Istrinya hanya sepintas mengulum senyum tipis. Cerdiknya bila mana sembunyikan apa saja sedang dirahasikan dari pengawasan suaminya. Cekatan Alda Agustin alihkan pembicaraan. Lebih sadis lagi ia menuntur suaminya agar bisa memenuhi seluruh permohonannya. Kecil kemungkinan pak Jaka mampu mewujudkan impian istrinya jauh melambung keawang-awang.
"Sejak kapan saya sembunyikan sesuatu. Cobalah untuk di renungkan kembali. Sebelum permasalah kecil saja masih diselidiki. Terus apa untungnya saya tetap pada pandangan pertama."
"Tapi..."
"Tidak usah bersangka buruk! Toh pada gilirannya kamu sadar keluarga masih dikatakan kurang dari cukup. Saya dari dulu tidak pernah meminta macam-macam. Justru sebaliknya kamu jauh meminta saya berpenampilan enjoy...."
"Tunggu...!" emosi juga.
Langkah pertama istrinya ajukan permohonan untuk kesekian kalinya. Ada sejumlah pandangan kosong, sejujurnya dia turut prihatin lihat penampilan istrinya bergaya dasteran. Walau pun begitu pak Jaka masih beruvap syukur pada Tuhan. Selama ini dia masih diberikan keyakinan guna membimbing pucuk pimpinan keluarganya.
Ia menarik nafas dalam-dalam. Dilepaskan perlahan dengan kesempurnaan dambaan tiap insan. Yakni hidup selalu berdampingan tanpa saling menyudutkan satu sama lain. Cukup dengan meletakan nilai-nilai kasih sayang.
"Kamu bisa menerima ini semua. Kurasa jauh lebih baik, daripada terus perdebatkan permasalahan yang belum tentu terselesaikan baik-baik saja."
"Ini saya belum bisa sepenuhnya menerima pemikiranmu. Karena tidak semuanya mengandung kebenaran."
Aroma hidangan cepat hapuskan emosinya. Pak Jaka benar-benar mencinta pasanganya. Untuk menyentuh ujung hatinya sangat peka.
"Makanlah dulu...."
"Kira-kira nanti sore pulang jam berapa?"
"Saya akan pulang lebih cepat dari biasanya. Ya, saya tandaskan, belum tahu...." jawabnya santai.
Kehidupan suami istri terkadang dibumbui oleh sikap cuek. Walau pun tanpa disadari arti.cinta sering muncul bersama berjalannya waktu. Ketika hari makin terasa sepi. Maka dia akan hadir dalam bentuk perhatian. Agaknya Alda sangat menyayangkan tutur kata suaminya bernada merendahkan. Seolah-olah perempuan hanya disamarkan dalam kehidupan semu.
"Saya benar-benar tak habis sama kecurigaanmu."
"Sudahlah! Kapan saya bisa selesai makan. Tentu masuk kerja akan terlambat."
"Baiklah..."
Seyogyanya perempuan menuruti saja perintah suaminya. Tanpa disuruh lagi Alda beringsut berdiri hendak ambilkan tas kerja. Sampai di pintu kamar hatinya macam disentakkan oleh pemandangan tak lazim dalam pandangannya. Ada sehelai sapu tangan, lagi pula sejak kapan suaminya hobi sama sapu tangan. Biarpun dia memiliki tentu warnanya serasi atas pemiliknya sekalipun sedikit berat jemarinya meraih.
"Apa mungkin dugaanku selama ini!? Ngak ada ceritanya saya musti menuruti permintaan konyol." Batinnya berusaha menghindari ajakan untuk mengungkap lebih detail.
Sekuat tenaga Alda berupaya tegar hadapi cobaan hidup. Kalau saja dia masih punya orang terdekat, tentu segala unek-unek dicurahkan tanpa pertimbangkan kemunduran hubungan keduanya. Hingga melepas keberangkatan suaminya ke kantor. Seraya merapikan dasi dan mengecup tangan kanan pak Jaka. Romantis sekali keduanya, layaknya burung-burung terbang rendah di antara bunga.
****
Benar adanya Yenni sebagai gadis lugu. Gayanya tidaklah menjadikan kantor kelihatan lebih rapi. Bukankah itu merupakan tugas si kepala pimpinan di ruang pantry. Dia belum punya keberanian buat melawan sesama rekan kerja. Di hari perama dia masih canggung. Ada saja kesalahan di perbuatnya disengaja atau tidak. Sekembali dari ruangan pak Candra.
"Luar biasa....." suara aneh.
Yo.... Kapan saja boleh melontarkan seruan. Langsung nyemplak Yenni ke sadel motor. Dia tadinya mau berangkat jalan kaki, sebab jarak rumàh ke kantor cukup dekat. Kebiasaan Yenni cuma jalan kaki daripada terjebak macet bila naik angkot. Pilihan kedua dia nebeng sama rekannya kebetulan lewat depan rumah.
"Cepetan tunggu apalagi sih, aku sudah kesiangan nih. Takut terlambat...?"
"Nona cantik. Mana ada kata terlambat?" bantahnya.
Pastinya karyawan lainnya juga tahu persis. Bila mana Yenni terlambat masuk atau melakukan kesalahan atas langsung intruksikan jangan diambil tindakan. Waktu rekannya jadi rewel sok kepo. Akibatnya Yenni diberondong pelbagai pertanyaan bertubi-tubi.
"Cepetan..."
"Sabar apa. Ini lagi berusaha hidupkan motor." sanggah rekannya tak mau kalah. Pasti.... Kalo aku tidak salah tebak mau nemui salah seorang staf baru."
"Jangan banyak cingcong. Turuti saja permohonanku. Nanti saya ganti bensinnya."
Motor melaju makin kencang, kuat-kuat Yenni pegang pinggang pengemudi motor. Hatinya sedikit menarik nafas lega. Biar sesekali dia menoleh kebelakang, tentunya punya harapan lelaki brengsek itu mengurungkan niat jahatnya.
Nyaris tujuh kali telpon itu berdering. Sekali waktu bolehlah dilewatkan, biar pun panggilan dari bos. Mengabaikan artinya sudah tahu resiko. Buntutnya kena skor tidak masuk tiga hari. Bila mau mengenangkan kejadian tempo hari. Sangat menyakitkan hati seumur hidup takkan mudah hilang dari ingatan.
Sekonyong-konyong bagian staf sudah berikan peringatan. Dasar kebandelan keras dilandasi persaingan di kantor. Salah satunya ingin menaikkan reputasi dibidang masing-masing. Benar adanya sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Cepet merambatnya kabar tentang kedekatan bos besar sama salah satu karyawan. Siapa pun yang mendengarnya akan terkaget-kaget, bagaimana mungkin cewek dusun mampu menaklukkan arjuna perkotaan. Segala penampilannya disandingkan gadis suka pakai gaun serba glamour. Itulah kumpulan pilihan hidup sesungguhnya. Bukan sebuah alasan Giony harus alihkan pandangan. Sejujurnya dia punya hak untuk menentukan jalan hidupnya. Intinya tak mau membebani hidup orang lain, apalagi sampai bikin mamanya kalang kabut terima ucapan keras dari bosnya.
"Hey..... Kerja yuk!" celetuk suara manis.
Jantungnya serupa mau melonjak setinggi pandangan mata, belum cukup sampai di situ. Tepukan keras mendarat di pundaknya. Lebih terkejut lagi sosok yang terbilang garang menurur kabar burung. Pucuk pimpinan selain berwibawa juga punya satu keinginan bahagiakan anak buahnya.
"Ah, kau ini selalu bikin orang jantungan. Atau kau ingin aku segera mati ya?" kelihatan sewot.
"Makanya jangan banyak melamun, kemarin ayam tetangga mati. Masak iya, pikiranmu tertuju ke salah satu bidang." ucapnya penuh deplomatis. "Cobalah untuk memahami pribadi masing-masing."
"Kau ini...."
"nggak usah dilamunkan, kalau rejeki kita pasti diraih. Ya, sedikit banyak musti menunjukkan etikat baik."
"Jangan suka asal nuduh. Sorry aku lagi banyak kerjaan. Lihat saja di mejaku berkas menumpuk."
Rekannya sambil berlalu ke kantin rupanya, baru kali pertama dia dapatkan sindiran. Sebelumnya masih enjoy kerja sampai jam lembur. Adakalanya orang tidak merasa iri melihat kemajuan rekan sejawat. Saling sikut kerap terjadi mungkin bukan rahasia umum. Agaknya persaingan bisnis kadang bamyak menjerumuskan salah satu pihak dirugikan secara material.
Nampak keresahan dia untuk menata berkas dan mensortir satu demi satu. Tujuan awal kerja di sini ingin menunjukkan kemampuannya dalam tata kelola perusahaan. Dalam tempo lama perusahaan ini sedikit mengalami penurunan financial. Giony berusaha keras untuk mendekati para investor. Memang pekerjaàn tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Beberapa teman semasa kuliah anak konglongmerat.
Selepas jam makan siang ini ia akan hubungi adiknya di Surabaya. Hubungan keduanya cukup dekat, sehingga sukar sekali untuk dipisahkan. Walau pun direntangkan oleh jarak dan waktu. Keduanya punya ikatan batin sangat kuat. Bilamana satu sama lain mendapatkan cobaan hidup Giony lebih dulu mwnghubungi adiknya.
Sambungan telpon masih menggantung, ada gangguan kali ya. Giony kelihatan makin gugup. Wajahnya semu merah, padahal kulit mukanya tidak terlalu bersih. Tapi tetap saja kelihatan lwbih macho dan tampan. Pikirnya, nggak biasanya si adik akan menolak telponnya?
"Hallo...."
Saluran telpon posisi memanggil, sampai panggilan tak terjawab, kesal dibuatnya. Tidak biasanya Martha sulit dihubungi. Malahan sambungan terputus. Bagaimana mungkin kejadian itu berujung musibah.
"Kawan kau ini kenapa, lagi galau. Emang kerjanya sudah kelar, duduk manis, mirip orang lagi nanggung hutang!"
Dasar tukang nyinyir! Pikir Giony. Sampai detik ini ia punya firasat kurang enak mengenai keadaan adiknya di Surabaya. Seminggu sebelumnya masih berkirim kabar, ketika dia hendak hubungi perihal rasa kangen ibunya. Belum dapat jawaban pasti dari salah seorang pembantunya.
"Kebiasaan banget!" sambil ketuk pena ke meja.
Ada serupa kekhawatiran, ada pula kecemasan tersirat di wajahnya. Setahunya Martha akan lebih terbuka dalam segala hal, termasuk urusan perusahaan di mana ia kerja. Loyalitas di perusahaan sangat di junjung tinggi. Ini bukan hal baru dalam urusan percintaan tertutup.
"Pasti urusan doski ya," brondong rekannya.
"Simpan rasa ingin tahumu!"
"Sabar, aku bukan ingin ikut campur. Sebatas mencari solusi terbaik, menurutku teliti dahulu mengenai kabar adikmu. Siapa tahu dia hari ini sibuk."
"Hahahaha.... " Giony tertawa lepas lihat kelakarnya. "Nggak lucu aja. Aku sudah pikirkan dengan baik."
Dari sisi lain Giony agak terganggu, setidaknya Martha mampu menunda kunjungan ke daerah lain. Seolah dia sulit dihubungi atau halangan pihak ketiga. Di sabtu sore dia pasti duduk santai. Itulah anggapan sementara Giony.
"Sudahlah. Tidak perlu merepotkan diri. Ayo cari hiburan di luaran. Setidaknya kamu mampu melepaskan kepenatan hidup. Buat apa hidup cuma sekali, terus kau larut oleh kepedihan."
"Jangan asal bicara! Saya serius..."
Banyak kejadian kecil sering sebagai pemantik kerinduan. Salah satunya, adiknya selalu ada di sisinya. Kesetiaan untuk menjunjung harkat dan martabat keluarga. Perjuangan Martha kini mulai dirasakan bentuk kepedulian sama perusahaan. Ada sekelumit bayangan manis sukar dilupakan. Baginya adik semata wayang bisa di andalkan dalam kehidupan berbisnis.
"Gimana kabar adikmu? Apa dia baik-baik saja? Ya kita berharap demikian, tapi kau harus ingat kerjaan kita menumpuk."
"Apa tidak ada jalan lainnya? Sudah tentu kita ajukan dulu proposalnya. Selanjutnya cari jalan agar peluangnya bisa diraih."
Giony sempat tertawa lepas. Wajahnya mendadak dibuat seceria mungkin. Ada kalanya dia butuh kesendirian. Masalah sebesar itu sulit dipecahkan dalam waktu singkat. Sekali pun sudah berusaha semaksimal mungkin. Untuk menyingkirkan pesaing di meja lelang atau forum mediasi di ruang meeting.
Selepas jam istirahat Giony masih menyibukkan diri menata berkas-berkas di meja. Hanya ide cemerlang menjadikan dia temukan hasil gemilang.
"Perlu vitamin khusus..."
"Kedengarannya saja gaya bicaramu..." cakapnya sambil lalu. "Kau boleh berkata apa pun tentang saya. Tapi jangan sekali menyinggung perasaanku. Itu sama saja bunuh diri."
"Buat apa saya bohong. Terus apa untungnya? Terpenting kau bisa memenuhi syarat."
Belum genap satu bulan kerja sudah ajukan permohonan. Giony jadi kebingungan buat menanggapi permintaan rekannya. Kalau saja dia tidak kenal baik tentu dibikin celaka. Ancaman itu bukan satu isapan jempol. Giony ingin perlihatkan kekuasaan di kantor. Tujuan utama ingin menunjukkan sikap produktifitas tinggi. Selebihnya mengandalkan insting belaka. Tanpa mengkaji ulang untung dan rugi satu kejadian kecil perihal penjualan produk.
Sampai tergelak tawa Giony dengar penjelasan sopirnya. Enjoy banget dia menuturkan kejdian setiap harinya. Di bilang lumayan menikmati perjalanan ke kantor. Supaya usaha tidak terkesan sebagai sopir, penampilannya perlu dirubah kembali. Pantas saja rekan di kantor semua heran lihat lagak sopir bosnya.
"Apa kita tidak salah lihat? Bukankah esok mau liburan ke Hongkong ya...." suaranya minta perhatian. "Tentunya kita sebentar lagi akan ada peningkatan gaji."
"Siap di up date. Paling tidak tiap malam minggu bisa naktrir pacar," sambung lainnya.
Situasi seperti ini jarang terjadi di kantor, sekali pun ada nada sinis. Bahwa si sopir bos pasti sebatas menggunakan fasilitas kantor. Berkat perkataan barusan dia takkan ambil pusing. Setelah beberapa menit nongol di ruangan Goiny. Seraya membujuk agar semua permintaan segera dikabul tanpa syarat. Ia berbalik arah dengan tatapan mencurigakan.
"Sejak kapan..."
"Kau tahu sendiri, semua demi misi kita."
Cepat Giony berdiri menatap sopirnya. Seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sebuah penampilan konyol, mana ada sopir kenakan jas lengkap berikut dasi. Lelucon dibuat oleh sahabatnya. Semasa SMA keduanya punya hubungan pertemanan cukup erat. Hanya nasib saja memisahkan jarak status sosialnya.
"Apa kau bilang misi kita? Kau ini lihatnya dari mana, apa pantas kulihat semuanya jadi penuh keganjilan."
"Kulakukan ini agar lebih meyakinkan. Selanjutnya kau harus bisa mendukung usahaku..."
"Sebentar...!"
"Kali ini aku mohon perngertiannya. Tahu sendiri sudah lama aku jomblo tulen. Masa kamu tega lihat kawan sendiri hidup sepi. Ayolah, untuk kali ini kumohon dengan segala hormat."
"Duduk dulu....?" suara Giony sedikit parau. "Berapa kali jangan permainkan kerjaanmu. Kapan saja aku bisa cari penggantinya."
Mana tahan Giony selalu dibohongi dengan alasan urusan cewek. Rupanya senjata amat ampuh hadapi bosnya. Tentu bosnya akan meluluskan semua permintaannya. Kembali Giony ambil secarik kertas dan menuliskan catatan pendek. Setelah selesai disodorkan sehelai kertas putih berisikan perjanjian. Ia tidak mau terjerumus pada sikap egois rekannya.
"Justru kesempatan ini langka bisa kudapatkan lagi. Karena itulah aku mohon dengan segala hormat. Kabulkan permohonanku kali ini. Coba kau bisa bayangkan hidupku jadi berantakan."
"Cukup..."
Perdebatan itu terhenti ketika pintu di ketuk dari luar. Giony buka tirai jendela memastikan tamunya. Ada kegusaran bikin jantungnya berhenti mendadak. Akhirnya harus menyerah sebelum misinya jadi berantakan oleh tak diundang masuk ke ruangan.
Lelaki itu ambil langkah seribu, hal inilah pilihan terakhir. Sebelum tamu bosnya benar-benar membuntuti seluruh gerak langkahnya. Atau dia kelihatan mulai kehabisan akal.
Selepas jam istirahat Giony tubuhnya mendadak gemetaran. Jemarinya makin bergetar waktu meraih pena. Nyaris kedua kalinya ia mendapati gerak jarinya tak beraturan. Hati-hati duduk dengan pandangan samar-samar. Lama ke lamaan memudar waktu ekor matanya tertuju kesalah satu foto. Yakni foto kenangan semasa Martha, adiknya masih duduk di bangku SMA. Gadis itu kini tentu sudah tumbuh menjadi perempuan dewasa. Mampu menopang kelangsungan hidup di keluarganya.
"Permisi..." suara lembut di balik pintu.
Siapa takkan mabuk olehnya, baru juga dengar suaranya saja Giony macam diracuni oleh api asmara. Belum sepenuhnya ia duduk pada posisi nyaman. Dengan rasa terpaksa musti bangun. Ketika hendak berdiri untuk bukakan pintu.
"Maaf kalau kedatanganku kurang berkenan? Sekira kau bisa menaruh empati. Sebab itulah kedatangan tidak memberikan kabar terlebih dahulu."
Di jatuhkan gagang telpon tidak pada tempatnya. Ia sekarang lebih fokus sama tamunya. Pandangan màtanya kelihatan kosong, seolah-olah bayangan adiknya tergantikan atas gadis di hadapannya.
"Kamu masih ingat aku kan? Sayang, engkau tuh terlalu sibuk sama kerjaan. Pantas saja. Lupa segalannya."
Matanya jadi terbeliak, kedua bibirnya ikutan menjadi keluh. Untuk mengeluarkan sepatah kata saja terasa tercekik batang lehernya.
"Kau....?" katanya jauh lebih gugup. "Kau .... Ke sini punya kepentingan apa?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!