NovelToon NovelToon

Pernikahan Semalam

Kayesa

Part 1

"Ahghhh." Suara lenguhan itu terdengar seirama dengan tarikan nafas, menadakan bahwa laki-laki itu sudah mendaki sampai kepuncak dan dia terkapar ke sebelah kiri Kayesa.

"Terima kasih. Kau telah memuaskanku," setengah berbisik laki-laki itu memeluk Kayesa dan mencium puncak kepalanya, lalu turun dari tempat tidur, memasang kembali pakaian yang tadi berserakan di lantai.

Sementara Kayesa hanya diam di tempat tidur sambil memejamkan matanya, menahan perih dan nyeri di hatinya. Dua bulir kristal meluncur di sudut netranya. Dalam semalam dia menikah dan menjadi istri, sekaligus menyandang gelar janda.

Setelah meletakkan sebuah sobekan kertas dan kotak merah berbentuk hati di atas nakas. Laki-laki itu mengucapkan kata talak dan dia pun pergi.

*****

Kayesa terbangun, setelah matahari menembus lewat kaca jendela yang hanya tertutup gorden tranparan.

"Semua tubuhku terasa sakit." Kayesa menggeliat sempurna. Dia bangun dan menatap bercak merah di spray. Matanya berkaca-kaca, Kayesa menggigit bibir bawahnya menahan rasa perih di selangkangannya.

"Dia telah merenggutnya." Kayesa membatin seraya mendekap tubuhnya sendiri. Buliran kristal meluncur menganak sungai di sudut netranya.

Laki-laki itu pergi tanpa bekas. Bahkan Kayesa tidak tahu bagaimana wajah laki-laki yang telah menjadi suami dalam hitungan jam. Memang sudah menjadi kesepakatan kalau dia dan laki-laki itu, bertemu di kamar pengantin mereka dalam keadaan gelap gulita, sehingga satu sama lain tak saling kenal.

"Lupakan Kayesa. Anggap saja tak ada yang terjadi." Kayesa menguatkan dirinya sendiri, lalu menyesap air mata.

Sambil menjulurkan kaki jenjangnya, Kayesa berusaha turun dari tempat tidur, dengan tertatih dia menyeret kaki ke kamar mandi. Kaseya menghidupkan kran shower, dibiarkannya air hangat menyirim tubuhnya agak lama. Kayesa menyabuni setiap sudut tubuhnya, berharap jejak laki-laki yang telah menidurinya segera hilang.

Sepuluh menit Kayesa di kamar mandi. Saat tubuhnya sudah terasa dingin, Kayesa mengambil handuk dan membalut tubuhnya, lalu keluar dari kamar mandi. Kayesa mengeringkan rambut dengan handuk, matanya terbelalak saat tertuju pada kaca yang memantulkan dirinya.

Beberapa bekas kepemilikan laki-laki yang tadi malam menidurunya, masih terlihat jelas di leher dan dada. Dengan tangan gemetar, Kayesa meraba tanda merah kecoklatan itu. Tanpa terasa air matanya kembali mengalir menganak sungai. Kali ini dia menangis terisak.

"Kenapa ini harus terjadi padaku," batinnya pilu.

Masih jelas dalam ingatan Kayesa, percakapan Rizwan dan dia semalam, yang telah merubah status dan kehidupannya.

"Kamu harus menikah hari ini," ujar Ridwa kala Kayesa sampai ke ruang ICU tempat ibunya dirawat.

Kayesa terkejut, saat Rizwan memintanya menikah. pada hal hari itu dia ingin menyampaikan berita bahagia kalau dia baru diterima di universitas ternama di kotanya sebagai mahasiswa undangan.

"Menikah. Kayesa tidak mau. Bang!" Kayesa tidak pernah membayangkan, kalau dia harus menikah secepat ini. Baru dua hari dia menamatkan sekolah menengah, masa sudah harus menikah.

"Hanya kamu yang bisa menolong nyawa ibu. Jadi abang mohon menikahlah." Rizwan membujuk Kayesa untuk menikah dengan laki-laki kaya pewaris perusahaan raksasa di kotanya.

"Bagaimana dengan kuliah Kayesa. Kayesa ingin kuliah Bang?"

"Kau akan tetap kuliah. Pernikahan ini hanya untuk semalam."

"Semalam! Maksud abang."

"Laki-laki itu hanya butuh malam pertama, setelah itu dia akan menceraikanmu. Kau bisa bebas kembali," ujar Rizwan seraya merengkuh bahu adiknya, lalu membawanya masuk ke ruang rawat ibunya.

Dreet... Dreet... Dreet, suara getaran ponsel, membuyarkan lamunan Kayesa. Segera dia menyesap air matanya, lalu menatap ke layar ponsel yang bercahaya.

"Bang Rizwan." Kayesa menggesser gagang telepon berwarna hijau.

"Kay! Operasi ibu sudah berhasil."

"Syukurlah."

"Kamu kapan ke sini lihat ibu?"

"Secepatnya."

"Abang tunggu."

Panggilan telepon terputus tanpa ada ucapan salam. Kayesa bergegas mengenakan baju, saat dia ingin mengambil sisir dilihatnya ada secarik kertas di tindih dengan kotak merah berbentuk hati, Kayesa meraih sobekan kertas itu, lalu membaca goresan yang tertulis dengan tinta hitam.

(Di dalam kartu ini ada uang seratus juta, pin 123456. Pakai untung kebutuhanmu dan dalam kotak ini ada cincin berlian, jika mendesak butuh uang, kamu boleh menjualnya. Dan saat menjual bawalah sobekan kertas yang aku selipkan di dalam kotak itu. Lupakan yang pernah terjadi di antara kita)

"Peduli setan. Aku juga tak mau tahu siapa kamu." Kayesa meraih kartu ATM dan kotak merah berbentuk hati itu, memasukkan ke dalam tas tanngannya.

Setelah memastikan pakaiannya rapi. Kayesa bercermin, mengambil sisir dan menyisir rambutnya yang masih basah. Kayesa menatap lehernya dari pantulan cermin. Bekas kepemilikan laki-laki itu masih terlihat jelas.

"Sial! Kenapa tidak mau hilang." Gerutu Kayesa kesal, sambil mengosok-gosok dengan tangannya. Bukannya hilang, malah tambah memerah.

Dreet... Dreet... Dreet, Ponsel Kayesa bergetar lagi, dari layar ponsel yang menyala tertera nama Shaga. Sejenak Kayesa menatap dan membiarkan ponsel itu berhenti bergetar. Kayesa meraih ponsel dan mematikannya, kemudian memasukkan ke dalam tas tangannya.

"Maafkan aku Shaga. Semoga kamu mendapat wanita yang lebih baik dari aku," batin Kayesa. Dia akan berusaha melupakan kisah cintanya dengan Shaga laki-laki masa putih abu-abu itu.

Sekali lagi Kayesa menatap cermin, lalu mengambil masker dan kacamata di dalam tas dan memakainya. Kayesa berharap dengan merubah penampilannya, tidak ada yang bisa mengenalinya.

Sambil memperbaiki cantolan tas di bahu, Kayesa melangkah ke depan pintu, menarik handle pintu dan keluar dari kamar, menyusuri koridor hotel, masuk lift turun ke lantai dasar. Kayesa berjalan keluar pintu utama, tanpa memperdulikan sekitarnya, dia masuk ke mobil online yang sudah menunggu.

"Ke rumah sakit," ujar Kayesa saat sudah berada di dalam mobil.

Mobil meluncur meninggalkan hotel, melaju ke jalan raya. Sepuluh menit kemudian, mobil berhenti. Kayesa turun setelah membayar ongkosnya.

Sejenak Kayesa menatap gedung rumah sakit, sambil menghela nafas, dia memperbaiki letak kaca matanya, lalu melangkah memasuki pintu utama rumah sakit. Kayesa menyusuri koridor rumah sakit menuju ruang ICU.

"Terima kasih ya dik. Kamu sudah mau berkorban demi ibu." Rizwan memeluk adiknya, mencium puncak kepala Kayesa, mengurai pelukan, membuka masker dan kacamata Kayesa.

Melihat mata Kayesa berkaca-kaca, Rizwan kembali menarik tubuh Kayesa. Dalam pelukan Rizwan, Kayesa menangis terisak. Rizwan mengusap pelan punggung adik satu-satunya itu, dia merasa telah menjadi abang yang tak berguna, karena mengorbankan adik perempuan satu-satunya demi mendapatkan uang untuk operasi ibunya.

"Maafkan abang." Rizwan mengurai pelukannya, lalu membingkai wajah Kayesa dengan kedua tangannya.

Mata Rizwan melotot menatap tanda merah di leher adiknya. Terbayang di mata Rizwan bagaimana penderitaan adiknya tadi malam, saat melayani keganasan laki-laki itu. Rizwan melepaskan sal di leher yang tadi malam digunakannya untuk mengusir dingin. Sal itu dililitkan ke leher Kayesa.

"Terima kasih. Bang."

"Jangan sedih lagi. Abang akan menjagamu." Rizwan menyeka sisa air mata di pipi adiknya.

"Yuk kita masuk. Ibu sudah menunggumu dari tadi." Rizwan meraih tangan Kayesa mengajaknya masuk.

"Ibu," Kayesa meraih tangan Farhana, wanita setangah baya yang telah melahirkannya itu, terlihat sangat pucat dan kurus. Kayesa menciumi punggung tangan ibunya.

"Kamu terlihat sangat cantik hari ini," puji Farhana yang baru dua jam selesai operasi.

"Sama cantiknya dengan ibu," Rizwan menyela ucapan Farhana, lalu meraih tangan kedua wanita itu, menyatu dalam genggamannya.

"Hari ini Kayesa sangat bahagia, karena bisa melihat lagi senyuman ibu," ucap Kayesa dengan mata berkaca-kaca.

Farhana menatap wajah putrinya, dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan Kayesa. Mata Kayesa yang bisanya terlihat indah, kini ada mendung yang begayut itu situ.

"Kamu habis menangis. Nak?"

"Tidak bu." Kayesa cepat mengusap matanya, agar kristal itu tak jadi meluncur.

"Kamu lagi tidak berbohongkan?"

Hamil

Part 2

Dua bulan kemudian

Uek... Uek... Uek, Kayesa berlari ke kamar mandi, dia memuntahkan semua isi perutnya. Kayesa mengeluarkan tespek dari saku celananya. Dia berinisiatif membeli benda pendeteksi kehamilan itu, karena sudah sebelum dia telat haid.

Sejenak ditatapnya benda sebesar jari kelingkingnya itu, dengan tangan gemetar Kayesa membuka bungkusnya. Kayesa mencelupkan ke urin yang telah disiapkannya. Dia memejamkan mata, setelah lima menit belum berani melihatnya. Kayesa sangat gugup dan cemas.

"Kayesa kamu kenapa?"

Mendengar suara Farhana ibunya, Kayesa terkejut, tespek yang dipegangnya terjatuh. Kayesa berjongkok ingin memungut benda itu. Tapi terlambat, Kayesa menunduk kala melihat Farhana sudah berada di dalam kamar mandi, dan sedang menggapai tespek yang terjatuh.

"Apa ini?"

Mata Farhana melotot saat melihat tespek bergaris dua di tangannya. Tatapan Farhana beralih ke putrinya, lalu dengan gematar dia menunjukkan tespek itu ke arah Kayesa.

"Apa ini milikmu?" Tanya Farhana suaranya bergetar. Kayesa tidak berani mengangkat wajahnya.

Plak... Satu tamparan mendarat di pipi Kayesa. Farhana merasa gagal menjadi seorang ibu, bagaimana bisa putri kesayangannya itu, mencoreng wajahnya dengan hamil diluar nikah.

"Pergi dari sini! Ibu tak mau punya anak sepertimu. Kamu bikin malu ibu." Farhana mengurut dadanya yang tiba-tiba sesak.

"Ibu! Aku..."

"Pergi!" Farhana tidak memberi kesempatan pada Kayesa untuk menjelaskan.

"Ibu..."

"Aku lebih baik kehilangan kamu dari pada harus menanggung malu. Pergi dari kota ini dan jangan pernah muncul di hadapanku."

"Ibu! Dengarkan aku dulu."

"Aku tak butuh penjelasanmu! Ku beri kau waktu sepuluh menit untuk mengemasi barangmu." Farhana lalu pergi meninggalkan Kayesa.

Air mata Kayesa menganak sungai. Ditatapnya punggung ibunya hingga menghilang di balik pintu. Kayesa membuka lemari, mengambil tiga stel baju, berkas penting, kartu ATM dan cincin pemberian laki-laki yang menikahinya dua bulan lalu.

Seraya memanggul ranselnya. Kayesa keluar dari kamar, saat dia melewati kamar ibunya, sempat berhenti sejenak dan menatap daun pintu kamar yang tertutup rapat. Seperlima detik kemudian memutar tubuhnya keluar pintu utama menuju pintu pakar.

Berdiri beberapa menit di samping pagar rumahnya, saat ojek yang dipesannya datang, sekali lagi Kayesa menatap rumah yang ditinggalinya sejak lahir. Kayesa naik keboncengan ojek dengan mata berkaca-kaca.

"Maafkan Kayesa. Bu," batinnya seraya meminta tukang ojek meluncur.

Farhana tidak pernah tahu apa yang terjadi pada Kayesa, karena Kayesa dan Rizwan sepakat untuk menyimpan rahasia pernikahan semalam yang telah menyelamatkan nyawa ibunya.

Ojek membawa Kayesa ke terminal, Kayesa akan pergi jauh meninggalkan kota kelahirannya sesuai dengan permintaan ibunya. Berhari-hari Kayesa berapa di bus yang membawanya ke sebuah kota, dia menemui teman masa kecil.

"Kayesa." Hanin memeluk Kayesa yang baru turun dari bus.

Lama kedua wanita itu, tenggelam dalam pelukan, melepas rindu karena sudah lama tidak bertemu. Kemudian Hanin mengajak Kayesa masuk ke mobilnya. Hanin membawa Kayesa ke rumahnya.

Dua hari Kayesa berada di rumah Hanin, seorang ibu komplek yang suka usil dengan urusan orang lain, bernama Julia, mulai mencari tahu keberadaan Kayesa. Dia menyambangi Hanin saat mau berangkat kerja.

"Pagi. Non Hanin." Julia menyapa.

"Pagi juga ibu Julia." Hanin membalas sapaan Julia, seraya memakai helm.

"Siapa wanita yang ada di rumahmu?"

"Teman saya."

"Oh. Sekali-kali ajaklah temannya silaturrahmi dengan tetangga sini."

Julia menjulurkan kepala, melihat ke arah dalam dari pintu rumah Hanin yang terbuka setengah lebar. Hanin yang sudah tahu dengan tabiat dan kelakuan Julia hanya tersenyum saja. Hanin menarik handle pintu dan menutupnya.

"Maaf kak Julia. Saya berangkat kerja dulu." Hanin memakai helm dan naik ke motor metic. Julia menepi memberi jalan.

Sepeninggalan Hanin, Julia melangkah mendekati jendela rumah Hanin, dia berusaha mengintip ke dalam. Namun, tak melihat siapa pun. Julia menjadi kesal, karena rasa penasarannya belum terobati.

Tok.. Tok.. Tok, Julia mengetuk pintu rumah Hanin, sepi tak terdengar siapa-siapa. Julia mengetuk daun pintu lebih kencang, beberapa menit kemudian terdengar seseorang menyeret kakinya ke arah pintu. Suaranya semakin jelas.

Klik, pintu terkuak, muncul wajah cantik Kayesa.

"Hay. Kenalkan aku Julia. Ibu-ibu sosialita tercantik di komplek ini." Julia menyodorkan tangannya.

Siapa yang tidak tahu dengan Julia di komplek ini. Wanita setengah baya yang memiliki sinyal tinggi, selalu kepo dengan hal orang lain, pembawa berita kabar burung. Pokoknya wanita paket lengkap. Banyak para tetangga menutup diri, agar tidak terlibat urusan dengan Julia.

"Kayesa!" Menyambut uluran tangan Julia dengan ramah dan tersenyum.

"Cantik," gumam Julia memandang Kayesa dari kepala ke ujung kaki. Dia merasa tersaingi, Julia tak pernah membiarkan, orang yang menurutnya lebih cantik betah tinggal di komplek ini, ada saja lakunya untuk mengusir orang yang tak disukainya.

"Maaf. Kakak mau mencari Hanin ya?" Kayesa mengajukan pertanyaan, dia merasa risih saat tahu wanita di depannya sedang memperhatikan dirinya.

"I-iya," jawab Julia gagap, dia kaget dengan pertanyaan Kayesa, karena tadi lagi serius memandangi tubuh seksi Kayesa.

"Hanin. Sudah berangkat kerja."

"Oh. Tak biasanya Hanin pergi kerja sepagi ini." Julia mengarang cerita bohong, Julia tahu kalau Hanin setiap hari pergi bekerja sebelum jam tujuh.

"Kayesa! Siapanya Hanin? Saudara?" Julia memberondong Kayesa dengan beberapa pertanyaan.

"Aku teman Hanin."

"Oh." Hanya itu yang keluar dari mulut Julia, dia kembali memperhatikan Kayesa.

"Boleh aku masuk? Agar bincang-bincangnya lebih santai."

"Maaf! Saya tak berani mengijinkan kakak masuk tanpa ijin dari Hanin." Kayesa mencoba menghindar, karena dia tidak tahu persis siapa Julia sebenarnya.

"Apa maksudmu?"

"Ini rumah Hanin. Saya harus ijin Hanin dulu, untuk mengijinkan orang lain masuk."

Dengan sopan Kayesa berusaha menjelaskan posisinya ke Julia, bahwa dia hanya tamu dan tidak berhak menerima tamu.

"Hay! Apa maksudmu dengan orang lain. Aku sudah puluhan tahun bertetangga dengan Hanin. Kamu baru dua hari di sini, sudah berani mengatai aku orang lain."

Jari telunjuk Julia menohok ke dada Kayesa, hingga Kayesa terdorong mentok ke duan pintu. Julia melotot marah pada Kayesa. Baru kali ini dia merasa ada orang di komplek ini berani padanya. Kayesa kaget dengan perlakuan Julia, dia tak menduga kalau Julia semarah itu.

"Ini tidak bisa dibiarkan," batin Julia. Dia berpikir mencari cara agar Kayesa pergi dari komplek ini.

" Bukan begitu maksud sa..."

"Kamu itu orang baru. Tahu apa!" Belum sempat Kayesa menjelaskan. Julia sudah memotong ucapannya.

"Ini komplek daerah kekuasaanku." Lagi-lagi Julia mendorong tubuh Kayesa.

Tiba-tiba kepala Kayesa pusing, perutnya kembali mual, kayesa berusaha menutup mulutnya agar tidak muntah di depan Julia. Namun, tak kuasa.

Uek.. uek.. uek, Kayesa berlari masuk dan terus ke kamar mandi. Julia yang merasa penasaran diam-diam masuk mengikuti Kayesa dan berdiri di depan pintu kamar mandi menunggu Kayesa keluar.

Kayesa terkejut saat keluar, melihat Julia berdiri di depan pintu. Julia menarik tangan Kayesa dan menintrogasinya.

"Kamu pasti hamil di luar nikah. Jawab!" Bentak Julia.

"Aku..."

"Pergi dari komplek ini. Aku kasih waktu tiga puluh menit, jika tidak aku akan membawa scurity, pak RT dan seluruh warga komplek ini untuk mengusirmu." Sela Julia dia tak memberikan kesempatan Kayesa untuk menjelaskan.

"Baiklah. Saya akan pergi," ujar Kayesa, masuk ke kamar mengambil barang-barangnya. Percuma juga dia menjelaskan kalau dia hamil anak suaminya, karena dia tak punya bukti kalau dia pernah menikah.

"Pergi yang jauh. Dasar wanita tak benar," teriak Julia, saat Kayesa keluar dari rumah Hanin.

Kembali

Part 3

Lima tahun kemudian.

Dua orang wanita turun dari kareta yang berhenti di stasiun. Wanita itu Kayesa dan seorang gadis remaja yang menjadi pengasuh anak laki-laki yang pintar dan agresif bernama Maeka.

"Kita sudah sampai di kota kelahiran bunda."

Kayesa meraih tangan putra kecilnya yang baru berusia empat tahun. Berada di kereta berhari-hari membuat cukup melelahkan.

"Bunda! Kiano lapal (lapar)," ucap anak laki-laki ganteng dengan mata coklat itu dengan suara cedel.

Sejenak Kayesa memindai di sekelilingnya. Lima tahun dia meninggalkan kota kelahirannya, tidak terlalu banyak perubahan, mamang dari dulu pembangunan di kota ini terlihat sangat lamban.

"Biar aku yang gendong tuan muda. Nyinya," ujar Maeka seraya meraih tubuh mungil Kiano.

"Tidak mau. Kiano mau jalan sendili (sendiri) saja." Anak laki-laki itu menarik tangannnya agar terlepas dari tangan pengasuhnya.

Kiano kecil memang keras kepala, apapun kemauannya susah sekali di larang. Baru empat tahun dia sudah sangat mandiri, mandi sudah tidak mau ditemani, makan sudah tidak mau disuapi. Bahkan baju pun pakai sendiri.

Laki-laki kecil itu berlari mendahului Kayesa dan pengasuhnya. Kalau sudah begitu Maeka akan kerepotan mengejarnya. Kayesa hanya geleng kepala melihat tingkah laku putranya dan Maeka yang saling mendahului.

"Hay! Hati-hati! Jangan lari-lari," teriak Kayesa memperingati.

Mana perduli dengan teriakan khawatir Kayesa. Kiano kecil terus saja berlari sampai ke sebuah warung makan sederhana.

"Kia. Mau mam apa?" Tanya Maeka seraya mengangkat tubuh majikan kecilnya ke atas kursi.

"Ayam goleng (goreng) cripy," ujar Kiano dengan mimik sangat lucu.

"Wah! Si adek ganteng banget," sapa penjaga warung saraya mencuit kecil pipi Kiano. Semua orang yang melihatnya selalu melakukan hal yang sama, karena gemas dengan pipi gembulnya Kiano.

"Kakak duga tantik (juga cantik)," ujar Kiano membuat semua yang ada tertawa.

Tiga puluh menit kemudian, Kayesa, Maeka dan Kiano sudah selesai makan. Setelah ke kasir dan membayar makannya, Kayesa memesan mobil online untuk menuju home stay yang sudah dipesannya.

Sepuluh menit berlalu mobil online yang dipesannya belum juga sampai, Kayesa, Maeka dan Kiano berdiri di pinggir jalan raya.

Byaarr.. Tiba-tiba sehuah mobil melaju dari arah sebelah kiri, melindas kubangan air sisa hujan tadi malam, hingga air kotor itu memercik ke wajah Kayesa yang berdiri paling depan.

"Hay! Kalau nyetir yang benar dong. Apa kamu tak punya mata," teriak Maeka memaki, dia tak senang melihat wajah majikannya kotor.

Mobil itu berhenti lima meter dari tempat Kayesa berdiri, saat pintu mobil terbuka, kaluar seorang laki-laki berkaca mata hitam, menggunakan jas hitam.

"Bicara apa kamu! Apa kamu tidak siapa yang punya mobil ini," ujar laki-laki itu dengan suara tinggi.

"Dasar minim akhlak. Sudah tahu bersalah, bukannya minta maaf, tapi malah marah-marah." Maeka tidak mau kalah, dia pun ikut memaki laki-laki itu.

Mendengar perdebatan Maeka dengan laki-laki itu Kayesa mencoba menengahi. Dia tidak ingin bermasalah dengan orang kaya yang angkuh dan sombong. Percuma melawan mereka, di mana-mana mereka akan tetap benar dan banyak pembelanya.

"Maaf Tuan! Atas kelancangan pengasuh putra saya," ujar Kayesa seraya menangkupkan tangan ke arah laki-laki asing itu.

Setelah mendengar permintaan maaf dari Kayesa, laki-laki itu berjalan kembali ke mobilnya, lalu kembali lagi dengan membawa sapu tangan.

"Maaf! di mobil bos saya kehabisan tisu. Ini bos saya memberika sapu tangan, agar bisa mengelap wajah nyonya dari percikan air itu," ujar laki-laki itu menyerahkan sapu tangan abu-abu ke Kayesa, kemudian dia kembali ke mobil.

Sepeninggal laki-laki itu, sebuah mobil meluncur dan berhenti di depan Kayesa.

"Nyanya Esa?" Tanya driver menurunkan kaca mobil. Kayesa mengangguk.

"Maaf sedikit terlambat, tadi sempat terjebak macet," driver itu menjelaskan tanpa diminta.

Driver itu turun dari mobil, membuka pintu untuk tiga penumpangnya, kemudian membuka bagasi, memasukkan travelbag milik Kayesa. Mobil meluncur membawa Kayesa, Maeka dan Kiano. Mobil itu berhenti di depan sebuah rumah dengan pagar berwarna coklat dan di depan rumah itu tertulis home stay Anggrek dua.

"Terima kasih. Bang," ucap Kayesa setelah turun dari mobil dan membayar ongkosnya.

Seorang wanita setengah baya dengan ramah menyambut kedatangan Kayesa. Wanita itu menyalami Kayesa.

"Saya Ratna penjaga home stay ini. Bisa dipanggil kak Irat."

"Saya Kayesa, ini Maeka pengasuh anak saya dan yang ganteng ini Kiano putra saya."

"Mau nginap di sini berapa malam. Bu Kay?"

"Jangan panggil ibu, saya jadi merasa tua. Panggil Kay saja."

"Baiklah, kalau begitu. Kay!"

"Dua malam," jawab Kayesa.

Setelah membayar administrasinya. Ratna mengajak Kayesa masuk dan menyuruh Kayesa memilih kamar mana yang mau ditempati.

"Kamar yang ini saja." Kayesa memilih kamar paling belakang, karena pintunya berhadap dengan taman kecil. Di taman itu Kiano bisa bermain bebas.

"Semua fasilitas di sini boleh digunakan. Kalau mau memasak dapur ada disebelah kiri," ujar Ratna, kemudian dia pamit.

Sementara Maeka mengajak Kiano bermain. Kayesa merebahkan dirinya di atas kasur, seraya mengeser-geser layar ponselnya. Kayesa mencari rumah kontrakan secara online. Dia harus mendapatkan rumah kontrakan, agar dia bisa berhemat, dan meneruskan bisnis online jualan kue nastar yang selama ini dilakoninya.

Kayesa akan kembali membuka orderan kue nastar menjelang dia mendapatkan pekerjaan yang layak. Karena uang pemberian dari suami semalamnya tinggal lima belas juta, dia telah menghabis puluhan juta saat hamil dan melahirkan Kiano. Karena pada waktu itu Kayesa belum bisa bekerja. Setelah Kiano berumur satu tahun, Kayesa mencoba bisnis kue nastar secara online, hasilnya lumayan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya bertiga.

Hari ini Kayesa memutuskan kembali ke kotanya. Rindu pada Farhana sang ibu membawanya kembali ke kota ini. Dia memutuskan untuk menemui Farhana dengan identitas baru. Agar Farhana tak mengenalinya.

"Aku harus bergerak cepat. Agar segera mendapatkan rumah kontrak," batin Kayesa, lalu dia beranjak dari tempat tidur, menyambar handuk dan masuk ke kamar mandi.

Sepuluh menit kemudian Kayesa sudah berpakaian rapi, seraya mencantolkan tali tas dibahu, Kayesa keluar kamar, mencari Maeka dan Kiano yang sedang bermain dengan kelinci pemilik home stay.

"Mae! Aku pergi dulu, titip Kia ya." Maeka hanya mengangguk, tanpa dipesani Kayesa pun, Maeka pasti menjaga Kiano.

"Bunda! Kia ndak ikut." Kiano mengangkat kedua tangan ke arah Kayesa minta digendong.

"Kalau Kia ikut. Kelincinya nggak ada teman, ntar kelincinya mangis." Maeka membujuk Kiano. Anak laki-laki itu memutar tubuhnya kembali menghadap kelinci dan mengabaikan Kayesa. Maeka berusaha mengalihkan perhatian Kiano, hingga Kayesa menghilang di balik dinding pembatas.

Ojek yang Kayesa pesan sudah menunggu di depan pintu pagar home stay. Setelah memakai helm Kayesa naik ke boncengan, motor motic itu pun meluncur mengantar Kayesa sampai ketujuan.

"Bang! Bisa saya carter abang seharian hari ini?" Tanya Kayesa, setelah membuka helm dan turun dari boncengan. Jika abang ojeknya mau Kayesa tidak perlu lagi order ojek lain.

Setelah nego dan mengadakan kesepakatan, si abang ojek pun menyetujui seratus ribu sampai urusan Kayesa selesai.

"Bang! Tunggu di sini ya," ujar Kayesa.

Sambil memindai di sekitarnya, Kayesa melangkah masuk ke halam rumah, untuk memastikan kalau benar ini rumah yang ditujunya, Kayesa kembali membuka whatsapp, melihat foto rumah yang dikirim si pemilik.

"Iya benar ini rumahnya," batin Kayesa melangkah mendekat ke arah pintu masuk.

"Kak Kayesa ya?" Tiba-tiba seorang gadis belia muncul dari jalan samping.

"Iya benar. Saya yang mau menyewa rumah ini," ujar Kayesa memperkenalkan diri.

"Rumah ini sebenarnya dua hari lagi baru habis kontraknya. Hanya saja yang ngontrak tadi pulang kampung mendadak karena orang tuanya meninggal dunia. Mereka minta waktu satu minggu baru bisa mengosongkan rumah ini," gadis itu menjelaskan.

"Satu minggu." Kayesa berpikir sejenak.

"Gini saja dik. Saya akan cari yang lain dulu. Jika tak dapat dalam satu minggu ini. Saya akan kembali ke sini," ujar Kayesa.

Keadaan rumah sangat strategis, halaman cukup luas, dan rumahnya pun tidak terlalu besar. Pas buat mereka bertiga. Namun, jika menunggu satu minggu lagi, kelamaan dia nginap di home stay. Bisa habis duit cadangannya.

Kayesa berpamitan pada gadis itu, melangkah ke luar pagar, menemui ojek yang masih menunggunya. Kayesa memakai helm dan naik keboncengan motor metic itu.

"Ke mana dek?" Tanya driver ojak, saat Kayesa sudah berada di boncengan.

"Daerah sini jauh nggak. Bang." Kayesa menunjukkan layar ponselnya. Driver ojek menoleh kebelakang.

Driver ojek itu memperhatikan layar ponsel Kayesa. Dia merasa tidak asing dengan gambar rumah yang Kayesa tunjukkan.

"Ini rumah kos-kosan milik kakak sepupu aku, tidak jauh dari sini, paling lima menit. Adek mau ke sana?"

"Bolehlah. Antar saya ke sana."

"Lagi cari kosan ya. Dek?"

"Iya. Bang!"

Motor kembali meluncur ke jalan raya, setelah belok ke kiri, lurus ke depan hingga perepatan simpang tiga. Lima menit kemudian motor memasuki kawasan perumahan. Driver memarkir motor di sebuah rumah yang cukup besar.

"Ayok. Masuk!" Driver itu mendorong pintu yang tak terkunci, masuk ke rumah sambil memgucapkan salam. Dia meminta Kayesa duduk di ruang tamu. Sang driver masuk ke dalam.

Sementara Kayesa yang duduk di sofa, memindai ruang tamu yang interiornya terlihat sangat elegan. Mata Kayesa tertuju pada foto keluarga yang tergantung di dinding.

"Foto ini sangat mirip dengan bang Rizwan." Kayesa mendekat dan memperjelas kalau apa yang dilihatnya tidak salah. Lama ditatapnya foto itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!