Aku Zoya Deana Beaufort, seorang wanita karir dan tidak pernah berpacaran, hingga di umurku yang menginjak 30 tahun belum juga menikah.
Entahlah....
Aku sulit sekali jatuh cinta bukan berarti aku tidak normal. Aku sangat normal namun aku belum ingin menjalin hubungan dengan lawan jenis. Intinya aku belum menemukan seseorang yang tepat untuk ku.
Mungkin faktor utamanya disebabkan oleh masalah perceraian orang tuaku dulu. Hingga membuatku berpikiran tak ingin mempercayai cinta.
Ayahku Ryan Osvaldo Beaufort. Dia keturunan bangsawan eropa yang mengharuskan anaknya untuk menikah dengan para bangsawan pula. Padahal era sudah modern namun tradisi tetap dilakukan di keluarga kami. Aku pun dijodohkan dengan seorang pria yang tidak ku kenal
Tinggal lama di Jepang lalu kembali ke Perancis untuk membicarakan pernikahanku. Begitu keluarga pria yang ingin dijodohkan denganku datang, Aku langsung menyambutnya dengan hangat. Tersenyum ramah dan berbicara semanis mungkin.
Terlihat basa-basi memang, yang sebenarnya ku rasakan adalah ada rasa gugup karena mereka akan menjadi keluarga baru ku
Sosok Pria yang ingin di jodohkan denganku sangat tampan, namun tatapannya begitu dingin. Bidangnya berotot. Sangat sempurna secara fisik.
Awal pertemuan dia tidak pernah menunjukkan senyumnya saat di sapa Ayahku, dia tetap memasang wajah kaku menunjukkan pemberontakan dalam jiwanya. Meski sedikit membungkuk memberikan rasa hormat tetapi wajah tak pernah berbohong. Terlihat dengan jelas dan tegas ia menolak perjodohan.
Siapa sih yang ingin di jodohkan? Aku juga menolak namun apa daya Aku hanya pasrah, sebagai seorang anak yang ingin berbakti kepada orang tuanya. Menerima perjodohan, meski belum merasakan cinta didalamnya
Menatap calon prianya saja sudah membuatku bergidik, mana bisa mencintai pria dingin kaku dan terlihat kejam seperti itu.
Aku berharap pernikahan ku nanti berjalan dengan indah dan sempurna, lalu cinta akan tumbuh perlahan.
Selama pertemuan itu hanya Ayahku dan Orang tuanya yang saling berbincang, sementara aku, dia dan juga adik laki-laki ku hanya diam kaku dan hanya menjadi pendengar.
Aku tak mengerti dengan urusan pernikahan, apa yang harus dilakukan. Bagaimana dan seperti apa acaranya, aku tidak peduli semua ku serahkan pada Ayahku.
Ibuku tak ada di rumah itu, ia memilih pergi dengan selingkuhannya, seorang pria yang jauh lebih muda dari Ayah. Kabarnya pria itu adalah karyawan Ayah. Dan sudah 15 tahun ini aku tinggal dengan Ayahku
"Zoya...Apakah kau setuju jika pernikahan dilakukan di Jepang?" tanya Arnold, Ayah pria itu
"Ya, aku setuju. Apapun keputusan Ayah adalah keputusan ku juga," ucapku kemudian terdengar suara kekehan kecil dengan senyum dikulum seakan mencibir diriku
Siapa lagi kalau bukan pria itu. Siapa namanya aku bahkan tidak tahu.
Dia menatapku sinis dan berbicara tanpa mengeluarkan suara, bisa ku lihat dari gerakan bibirnya, jelas dia mengatakan "Tidak punya pendirian,"
Sangat kasar, kalau bukan karena Ayah mana mau aku menikahi dirinya.
"Baiklah karena semuanya setuju maka pernikahan Zoya dan Edgar akan dilakukan di Jepang. Saat bunga Sakura bermekaran," ucap Ayahku
Oh jadi namanya Edgar, dari sinilah baru ku ketahui namanya
Kedua keluarga telah sepakat, pernikahan akan dilakukan di negeri tempatku bekerja, Jepang. Rupanya Edgar juga memiliki bisnis baru disana dan itulah yang menjadi alasan mengapa pernikahan di lakukan di Jepang.
.
.
.
Waktu yang ditunggu akhirnya tiba. Hari yang akan menjadi hari bersejarah untukku. Bunga Sakura bermekaran, beberapa bunga berjatuhan karena sang angin menggoda dirinya. Di musim inilah aku akan menikah, sebentar lagi.
Ya...hanya menunggu beberapa detik lagi.
Semua keluarga telah hadir di gedung pernikahanku, juga beberapa teman kerjaku. Menunggu pendeta memanggil kami ke altar pernikahan.
"Aku gugup," ucapku pada Ayah yang baru saja menghampiri ku
"Ambil napas panjang, jangan gugup sayang. Itu wajar tapi tersenyumlah untuk menghilangkan kegugupan itu. Ayah akan mengantarmu ke altar, ayo," ajak Ayah
"Sekarang?" tanyaku, kemudian di angguki olehnya tanda mengiyakan.
Rasanya tak percaya jika sebentar lagi aku akan melepas masa gadisku haha, senang namun sedih.
Ku hirup panjang udara sekitar dan menghembuskannya perlahan
Hahh... menikah dengan orang yang tidak ku kenal. Aku tidak yakin akan tumbuh dicinta di antara kita. Tetapi pernikahan ini harus terjadi karena sudah menjadi tradisi keluarga ku.
Langkah kakiku bergerak menuju altar suci untuk mengucapkan janji dan sumpah setia sehidup semati. Didampingi Ayah, mengantarku dengan tangannya yang terasa kasar, kulitnya semakin menua ku berharap ia selalu sehat.
Aku tidak peduli Ibu kandungku datang di hari pernikahan ku atau tidak, karena aku membencinya. Aku benci penghianatan yang dilakukan wanita itu. Yang terpenting Ayah selalu ada untukku.
Setibanya aku di samping Edgar, pernikahan mulai dilakukan. Hatiku bergetar ketika tiba saat dimana Edgar membuka suara, mengatakan sumpah setianya. Dan kemudian berganti giliranku. Aku gugup. Bingung harus berkata apa
"Bodoh, jangan diam saja. Ucapkan janjimu," ketus Edgar berbicara dengan mulut yang terkatup. Ia melirikku dengan tajam
Tiba-tiba kepalaku pusing, rasanya semua berputar tetapi aku menahannya agar tidak jatuh dan mempermalukan keluarga ku.
Ku pejamkan mata dan menarik napas panjang kemudian mengucapkan janji suci untuk setia mendampingi Edgar hingga maut memisahkan. Seketika setelah mengucapkan sumpah janji, hatiku memberontak. Kenapa aku menerimanya. Tidak seharusnya aku menerimanya.
Setelah itu, sesi pemakaian cincin pernikahan. Edgar menyematkan cincin itu dengan wajah ketus dan tanpa senyum. Tidak bisakah dia tersenyum.
Setelah pemakaian cincin, tiba saat pemberkatan nikah dan doa. Kami berdua berlutut, pendeta memberkati kami dan menutup dengan doa. Setelah doa usai, veil boleh dibuka oleh mempelai pria. Pendeta mempersilahkan kami untuk melakukan wedding kiss.
Oh tidak, jangan sekarang. Aku belum siap. Pikirku, aku semakin gugup. Tapi Edgar rupanya menolak langkah itu. Ia meminta pendeta untuk melanjutkan sesi berikutnya. Yaitu tanda tangan janji pernikahan.
Edgar berbisik di telingaku saat giliran ku untuk tanda tangan.
"Jangan harap aku memperlakukanmu sebagai seorang istri," ucapnya
Aku menoleh, menatapnya dengan ketakutan. Pikiran negatif langsung membayangi diriku. Kemudian ia menyeringai lebar, senyum khas seorang devil.
Semoga saja yang ku takutkan tak akan terjadi. Ayah pasti menjodohkan ku dengan orang yang baik. Meski Edgar tak pernah terlihat ramah ataupun tersenyum.
Lega....
Itulah yang terjadi setelah beberapa menit berdiri di depan altar, membuat kaki ku sedikit sakit. Karena aku menggunakan high heels yang sempit. Aku meminjamnya dari temanku. Karena milikku patah disaat datang ke gedung, dan tidak ada waktu lagi untuk mencari penggantinya.
"Zoya, Ayah mengantarmu sampai sini. Semua barang mu, koper mu sudah di masukkan kedalam bagasi mobil Edgar. Kau pulang bersamanya menuju rumah kalian," ucap Ayahku
"Ayah tidak mengantarku ke rumah Edgar?" tanyaku
"Tidak Zoya, Ayah harus bergegas sekarang. Ayah sudah seminggu di sini, apa masih kurang puas hemm? Pesawat Ayah menunggu. Maaf ya," ucap Ayah
"Baiklah, hati-hati dijalan. Maaf tidak bisa mengantar Ayah ke bandara," sahut ku
"Kak, selamat ya, semoga kau bahagia dan segeralah buat keponakan untukku hehe," ucap Oscar sedikit bercanda
"Ya terimakasih. Jaga Ayah, jangan nakal ya," ucap ku pada Oscar, adikku satu-satunya itu sangat tengil, usianya 25 tahun. Dialah yang melanjutkan bisnis Ayah. Sementara aku, memilih berkarir di bidang fashion.
Mereka melambaikan tangan di tengah para tamu undangan dan keluarga yang masih berada disana menikmati hidangan di dekat taman.
Setengah jam kemudian, para tamu undangan dari pihak laki-laki mulai berpamitan. Begitu juga dengan rekan kerjaku.
"Mana suami mu, mau foto nih," tanya Sandra, investor di tempatku bekerja. Dia dan temanku yang lain meminta foto ku dan Edgar sebelum pulang.
Sandra berasal dari New York, dia salah satu investor yang sangat akrab denganku. Kami sudah seperti sahabat.
Aku sendiri celingukan, mencari keberadaan Edgar. Ku lihat ke kiri, ke kanan tetapi tak juga melihatnya di dalam gedung.
"Hemm mungkin dia ada di taman. Sudahlah tidak usah foto dirinya, cukup aku saja," ucap Ku
Namun mereka semua menolak, rasanya sudah cukup fotoku memenuhi galeri mereka, saatnya pengantin pria. Mereka memaksaku dan akhirnya aku mengalah.
"Baiklah, aku panggilkan sebentar ya," ucap ku
Aku bergegas dengan langkah cepat mencarinya, pertama aku menuju taman belakang. Tetapi dia tak disana.
Ku berjalan di pinggir teras gedung dan berbelok menuju samping gedung. Aku menemukannya. Dia sedang berdiri di bawah pohon sakura.
"Edgar!" panggilku dari teras samping gedung
Namun suaraku terbawa angin, terpaksa aku mendekatinya. Aku tidak yakin jika dia sendirian karena tertutup Bunga-bunga disekitar.
Begitu langkahku mendekat, aku berhenti menyaksikan panorama yang membuatku bergidik. Sekujur tubuhku meremang, hatiku menangis.
Edgar pria yang baru saja menikahiku sedang bercumbu mesra dengan seorang wanita berparas cantik. Lebih cantik dariku, pakaiannya terlihat seksi dan anggun.
Ini bukan saatnya membandingkan siapa yang layak, siapa yang terbaik tapi ini hari pernikahan ku. Tak pernah terpikirkan olehku dikhianati di hari pernikahan ku sendiri.
Lalu janjinya.... Sumpahnya... semudah itukah dia melupakannya. Seketika air mataku terjatuh, merasa dipermainkan. Belum saja ku merasakan cinta dengannya tetapi hubungan ini telah dikhianati.
"Edgar," panggilku dengan lirih.
Edgar menoleh melihatku dengan tatapan khasnya dingin dan arogan kemudian tangan wanita itu terus menyentuh rahang Edgar, bergelayut manja dan meminta Edgar untuk tidak menoleh ke arah ku
Mereka melanjutkan cumbuannya, dihadapanku. Statusku sebagai istri sahnya bagai tak di anggap.
Aku teringat ucapannya saat sesi tanda tangan, ia mengatakan dengan jelas dia mengatakan jika dirinya tidak akan menganggapku sebagai istrinya.
Jadi inikah yang dimaksud? Aku hanya sebagai istri pajangan.
"Ada apa?" tanya Edgar masih tetap mencumbu wanita itu
Aku tak kenal siapa wanita itu. Ku palingkan wajahku seraya menyisir air mata yang membasahi pipiku.
Aku tidak boleh menangis.
"Temanku ingin meminta foto. Foto kita," ucap ku setelah berusaha tegar
"Suruh pulang saja, aku malas meladeninya," ucap Edgar masih mengecupi wanita itu.
Meski aku menghadapi ke arah samping namun aku masih bisa melihat samar jika Edgar mengecupi leher jenjang wanita itu. Bahkan suara kecupannya terdengar di telingaku.
Untung saja di sana sepi. Jika tidak, aku sudah pasti akan dipermalukan di depan kerabat dan rekan kerjaku.
"Hemm mereka memaksa," ucap ku seakan aku juga memaksa dirinya.
Ya aku tidak suka jika pria ku, suami sah ku malah bermanja dengan wanita lain.
"Ck... kau wanita yang menyebalkan. Ahh perusak moodku saja!" Edgar berdecak kesal
Aku tau dia marah, tetapi aku senang dengan begitu ia melepaskan wanita yang bersamanya tadi.
Edgar berjalan melewati ku menuju gedung pernikahan. Meninggalkan aku dan wanita penggoda itu berdua di taman itu.
"Sebaiknya kau pergi," ucap ku mengusir wanita itu
Wanita itu berjalan mendekatiku, kini kami saling berhadapan, saling melihat dengan dengki dan benci
"Kau sangat sombong. Kau pikir dia milikmu hah? Dia kekasih ku sebelum menikah denganmu! Kau lah wanita perebut itu," desisnya kemudian mendorong tubuhku dengan kasar hingga aku terjungkal ke belakang.
Aku tak dapat menyeimbangkan tubuhku karena Highheels dan gaun panjang yang membuat pergerakanku tidak leluasa.
Aku terjatuh, Edgar masih belum jauh. Aku juga tahu dia berbalik menoleh kebelakang sebelum masuk ke gedung. Aku tahu dia melihatku terjatuh tetapi dia acuh dan tidak membantuku berdiri
Aku berusaha berdiri sendiri tetapi wanita itu berjongkok dan menyentuh rambutku yang terhias rapi dengan sanggul yang cantik.
Ia menarik rambutku hingga kepalaku mengikuti tarikan nya
Sakit.... sangat sakit tapi aku tidak berteriak. Aku menahannya. Aku tak ingin membuat semua orang tahu jika diriku sedang disiksa
"Wanita perebut sepantasnya kau berada di dalam sampah!" ucapnya dengan menarik rambutku kuat lalu mendorongnya dengan kasar
Tubuhku tak bisa menahannya dan ikut ambruk ke tanah. Sikutku menahan tubuhku agar tidak jatuh.
"Aku istri sahnya sekarang, dan kaulah yang seharusnya berada di dalam sampah!" sarkas ku menantang dirinya
Dengan segera aku beranjak secepat mungkin dan berbalik mendorong tubuhnya yang masih berjongkok.
Gaun putihku sedikit kotor, untunglah ada rumput disana sehingga aku tidak jatuh langsung ke tanah.
Dengan cepat aku melangkah ke dalam gedung memperbaiki sanggul ku yang sudah tidak rapi lagi. Lalu sepanjang perjalanan menuju gedung, ku buka sanggul dan veil serta hiasan bunga itu dan membuat rambutku tergerai panjang. Ku sisir dengan jari jemari ku. Mencoba tersenyum meski hatiku perih.
Edgar terlihat bercengkrama dengan tamunya, aku menyusulnya dan memintanya untuk menemui teman kerjaku. Edgar pun menyetujui permintaanku, dia melihat penampilanku yang kacau tetapi dia tidak berkomentar apapun
"Astaga Zoya... ada apa dengan rambutmu?" tanya Douglas salah satu temanku
"Oh... Edgar tadi menciumku di taman dan merusak rambutku," ucap ku dengan alasan yang spontan
Apa barusan yang tadi ku bilang. Kebohongan ku malah membuat Edgar semakin menertawai ku. Disamping itu para temanku terus menggodaku.
Tapi pemandangan menakjubkan terjadi. Edgar benar-benar menertawai kesedihanku. Dia tertawa untuk pertama kalinya dengan teman-temanku.
Senyum yang sangat menawan, mampu membuatku terakhir dengan pesonanya.
Tunggu jangan bilang kalau aku mulai terpesona. Ah tapi memang kenyataannya makhluk tampan itu telah memikatku.
Edgar aku pastikan dirimu akan menjadi milikku.
"Zoya jujur saja aku lebih menyukai penampilanmu yang seperti ini," puji Misty teman wanita ku yang usianya paling muda.
Ucapan Misty mendapat respon dari semuanya, dan mereka beranggapan yang sama.
"Hemm ayo kita langsung saja ambil fotonya, Aku sudah ditunggu suamiku," ucap Kim Sora, rekanku yang asli orang Jepang
Setelah itu kami berswa foto, dan setelah itu pula Edgar tidak tersenyum lagi. Wajah dinginnya mulai terpasang. Lebih kasar lagi sikapnya saat semua temanku pergi meninggalkan gedung.
"Lihatlah di cermin, mereka menertawai dirimu. Penampilanmu sangat menyedihkan... kau bilang apa? Aku menciummu. Hah kasihan sekali,"ucap Edgar setelah puas mengatai diriku dia pergi dan berpamitan dengan keluarganya.
"Hei tunggu kau mau kemana," tanya ku saat tahu dia pamit pulang
"Pulang, kau mau menginal disini? Silahkan,"
"Aku ikut," ucap ku
Edgar tidak menjawab doa sunggu acuh dan terus berjalan keluar. Setelah aku berpamitan dengan keluarganya, aku mengangkat gaun panjangku agar bisa melangkah bebas dan mengejar ketinggalan ku.
Sialnya lagi, mobil Edgar sudah pergi melewati gedung
"Edgar!!" Teriakku berlari mengejar mobilnya
Tak lama setelah itu mobilnya berhenti.
Aku masuk kedalam mobil dengan jantung yang berdebar hebat. Sungguh aku tak mengenal dirinya. Pria yang ku nikahi ini adalah pria terdingin yang pernah ku kenal.
Di dalam mobil itu, kami tak saling bicara. Diam membisu enggan bicara atau malas bicara atau bahkan bingung. Alasanku diam karena ketiganya
Dia menatap lurus ke depan. Tangan kiri memegang setir kemudi dan tangan kanan bersandar pada pintu.
Jepang berbeda dengan Perancis. Jika di Perancis menggunakan lajur kanan sehingga setir kemudi berada di sebelah kiri, sedangkan di Jepang menggunakan lajur kiri untuk berkendara dan setir kemudi berada di sebelah kanan.
Tak ada musik di mobil itu, hanya ada suara benda mungil berbentuk kucing emas dengan tangan bergerak ke depan berada di atas dashboard.
Aku ingin mulai berbicara dengannya tetapi aku kesulitan harus memulai percakapan dari mana. Apakah aku langsung bertanya mengenai siapa wanita itu, atau aku berbasa-basi dahulu?
"Edgar-,"
"Diamlah! Berisik!" Edgar langsung memutus ucapanku.
Jantungku berdetak kencang, tersentak saat suara besarnya menggema, seakan mengibaskan belati ke arahku.
Aku tak mampu lagi bersuara dan mengatupkan bibirku serapat mungkin. Jadi.... aku mengeluarkan benda pipih di dalam tas kecilku dan mulai membuka media sosial ku.
Line
Line adalah aplikasi chating seperti whatsapp. Di kalangan Jepang, Line sangat populer.
Banyak pesan masuk dari teman kantor yang memberikan ucapan selamat menikah untukku. Ucapan selamat berbahagia. Nyatanya baru awal menikah saja aku sudah tersakiti, apakah aku bisa bahagia jika hidup dengannya yang dimulai tanpa cinta ini.
Aku kesal.
Ku tutup ponselku, lalu memasukkannya ke dalam tas. Ku keluarkan sisir kecil dan mulai menyisir rambutku yang terlihat berantakan. Aku sibuk sendiri dalam mobil itu. Sementara dirinya diam dan tenang mengamati jalanan sekitar.
Dia menganggapku sebuah pajangan.
Setelah rambutku tersisir rapi, aku kembali memasukkan sisir kecil yang menemaniku setiap saat. Aku bekerja di bidang Fashion, tapi aku bukanlah designer atau perancang busana.
Aku seorang manager store sekarang. Sebelumnya pekerjaanku lumayan sulit. Yaitu Fashion Forecaster, memprediksi tren mode atau meramal tren mode yang akan datang. Cukup sulit tapi tidak sesulit saat menjadi Manager Store.
Rasanya semua beban dilimpahkan pada ku. Aku harus memimpin, melatih, memotivasi, membimbing dan memberi feedback kepada staff toko. Memastikan pelayanan toko sebaik mungkin untuk menciptakan kepuasan pelanggan yang tinggi. Mengatur layout/penempatan barang dan mengatur lokasi produk yang tepat untuk menciptakan customer experience yang baik.
Tak terasa waktu berjalan, aku bahkan tidak melihat ke arah mana mobil ini berjalan. Tiba-tiba saja kami sudah memasuki gerbang mansion miliknya.
Sangat mewah. Gerbang itu bertuliskan Aldrich Clan.
Rasanya aku ingin tertawa, klan Aldrich. Entah ide siapa ini, keluarganya ataukah pria di sampingku ini.
Edgar Leonard Aldrich, Arti namanya sendiri sangat bagus. Aldrich adalah nama keluarganya yang artinya Penguasa bijaksana. Sedangkan Edgar artinya kaya raya, bernasib baik. Ku akui karena dia terlahir dari bangsawan.
Leonard sendiri memiliki arti Kuat, Berani, Jujur.. Ya dia jujur dari awal denganku tidak akan menganggapku sebagai istrinya. Tapi dia berbohong dihadapan Tuhan yang mengatakan akan setia dan tulus mencintai ku sebagai istrinya.
Arghhh jika mengingat hal itu rasanya aku ingin mencekik dirinya.
Braaak.
Edgar membanting pintu mobilnya, membuyarkan lamunanku hingga tersadar.
Kulihat dia masuk kedalam rumah tanpa mengajakku. Dia juga tidak menurunkan barang-barang milikku.
Teganya!!
Aku turun dengan malas, mengeluarkan koper besarku dari bagasi mobilnya. Mataku terus melihatnya masuk menuju mansion besar miliknya. Dia bagai raja yang disambut para pelayan.
Aku berjalan masuk dengan membawa koperku. Sangat berat, Ayah memasukkan semua pakaian dan perlengkapan kerjaku. Padahal niatku hanya membawanya beberapa saja. Dan sisanya bisa dibawa dengan cara mencicil.
Luar biasa acuhnya suamiku itu. Termasuk pelayannya. Tak ada satupun yang menghampiri ku.
Aku terdiam ditengah mansion yang luas. Tak ada yang menyapa ku, atau menegurku atau bahkan bertanya siapa aku. Heyy... Hello apakah aku benar-benar panjangan di sini???
Aku pun menurunkan ego dan bertanya pada salah satu pelayang disana.
"Permisi, apakah ada kamar untuk saya?" tanya ku dengan senyum ramah.
Pelayan itu meneliti penampilanku. Gaun pengantinku yang sedikit kotor dan riasan ku yang rambutnya sudah tidak tertata dengan cantik.
"Maaf, mungkin bisa Anda tanyakan sendiri pada tuan. Biasanya tuan membawa para tamu wanitanya dan tidak pernah memerintahkan kepada kami untuk menyiapkan kamar," ucap Pelayan itu sedikit mengagetkanku
Dalam tanda kutip, 'Biasanya membawa para tamu wanita?' Itu artinya bisa dalam arti 'Sering?' Sedangkan kata 'Para?' Tak hanya satu, bisa berarti banyak.
"Dasar player," gumamku pelan
Pelayan itu mengerutkan dahi mungkin dia mendengarkan celetukan ku.
"Lalu dimana kamar Tuan?" tanyaku
Aku istrinya, sebagai istri aku harus satu kamar dengannya. Meski aku berharap ada kamar lain selain kamarnya.
"Kamar tuan si lantai dua sebelah kanan," jawab pelayan pria itu
"Lalu dimana kamar tamunya," tanya ku lagi
"Ada di bawah dekat ruang tengah," ucap pelayan itu sembari menunjukkan letak kamar dengan mengarahkan tangannya.
"Oh baiklah terimakasih," ucapku dengan tersenyum
Aku meninggalkan pelayan itu dan mendorong koperku sendirian menuju kamar tamu. Berat soalnya kalau harus ke lantai dua mengangkut koper ini.
Kamar yang nyaman....
Model ranjangnya memiliki dipan kayu yang klasik dengan kelambu yang terikat.
Aku menutup pintu, merebahkan tubuhku di ranjang super king, sangat empuk.
"Terimakasih Tuhan, kau masih memberiku nikmat untuk merebahkan diri," ucapku sembari memejamkan mata.
Tak terasa aku terlelap....
.
.
.
Byuur
Aku terperanjat kaget dan langsung beranjak duduk.
Segelas air tersiram ke wajahku dan beberapa air terhirup masuk ke dalam hidungku. Sungguh perih, membuat hidung dan mataku memerah.
Aku sadar pria yang sudah menjadi suamiku itu sedang menatapku tajam. Ia tak memakai atasan, hanya memakai celana panjang. Ruangan pun gelap, satu-satunya sinar adalah sinar lampu yang masuk dari jendela kamar.
Baru ku sadari hari sudah berganti malam.
Edgar duduk di sofa dekat ranjang itu. Ku akui dia sangat seksi, otot di tubuhnya sangat menonjol membuat bulu kuduk ku meremang. Tergelitik dan ingin menyentuhnya.
Ada apa dengan ku? Baru saja aku tergoda dengannya.
"Kau... tak bisa kah membangunkanku dengan lembut?" tanyaku pada Edgar dengan memasang ekspresi marah
"Siapa yang mengijinkanmu tidur disini?" tanya Edgar padaku
Kemudian dia merebahkan tubuhnya di sofa.
"A-Aku tidak tahu dimana kamar ku, katamu kau tidak akan pernah menganggapku sebagai istrimu, jadi aku rasa inilah kamarku," ucapku
Dia tersenyum miring,
"Kau sungguh pintar, jadi kau tahu dimana posisimu sekarang kan?" tanya Edgar.
Aku diam, karena tiba-tiba pria itu bersiul seperti memanggil seseorang.
Ceklek.
Seorang wanita dengan pakaian terbuka masuk ke dalam kamarku. Wajahnya tidak terlihat jelas karena ia memakai topeng pesta dengan hiasan bulu angsa di tepinya.
Wanita itu memberikan sebuah tali pada Edgar. Dengan cepat Edgar berdiri seraya mengambil tali tersebut dari tangan si wanita lalu berjalan ke arahku.
Pikiranku berkecamuk, untuk apa tali itu?
Edgar mengambil lengan tangan kiri ku dan mengikatnya di sisi ranjang. Aku menepisnya, aku tidak ingin diikat. Ku coba membukanya dengan satu tanganku tetapi wanita tadi meraih lenganku dan membantu Edgar mengikat tanganku yang sebelah kanan.
Kini kedua tanganku terikat. Ku gerakkan kedua tanganku agar ikatan itu terlepas tetapi malah membuat Edgar tertawa.
"Diamlah Zoya...kau berisik sekali. Kalau kau berisik aku akan menyumpal bibirmu dengan lem tikus yang perekatnya tak bisa kau buka lagi kecuali jika kau ingin merusak bibirmu sendiri," ucap Edgar dengan sadis.
Aku menurut saja, diam tak banyak bicara berharap dia melepaskan tanganku yang mulai terasa pegal.
"Ini malam pertama kita Zoya, tapi aku tak ingin melakukannya denganmu. Aku akan melakukannya dengan Julia Ghumaisya, kekasihku," ucap Edgar seraya menghampiri wanita itu
Aku terkejut mendengarnya. Gila, dia ingin melakukannya dengan Wanita itu didepan ku?
Edgar mulai membuka penutup wajah kekasihnya itu. Julia Ghumaisya, aku baru mengetahui namanya. Tunggu arti nama Ghumaisya dalam Persia adalah penggoda. Wajar saja dia tumbuh menjadi penggoda.
Ku akui wanita itu cantik, berambut hitam, matanya coklat, kulitnya sedikit gelap. Dada dan bokongnya berukuran besar. Persis seperti Jennifer Lopez. Ahhh tidak sepertiku, Mungkin saja Edgar penyuka ukuran besar, I Don't Care.
Aku bersyukur dia tidak menggauliku. Tapi menyuruhku disini dan melihatnya bercinta dengan wanita lain sama sekali tidak beretika. Yang terpenting sekarang adalah Bagaimana agar diriku bisa terlepas malam ini.
Ahh tidak, kain penutup wanita itu mulai berjatuhan satu persatu, aku lebih baik menutup mataku.
"Jika kau menutup matamu, maka malam ini ku pastikan. Akan ku robek dirimu dengan kasar. Buka matamu dan lihatlah," ucap Edgar kemudian ia tertawa puas.
Apa maksudnya merobek diriku dengan kasar, tidak akan ku biarkan dia menyentuhku dengan cara tidak wajar. Dan lagi aku belum siap.
Tingkah Edgar benar-benar menjijikan, dia tidak memperbolehkan aku menutup mata. Melihatnya melakukan hubungan itu di atas sofa kamar, sementara aku berada di ranjang, terikat tak berdaya....Aku terus mengumpat dan semakin Aku mengumpat dia semakin tertawa puas.
Aku terpaksa membuka mataku, meski pandanganku menatap kearah lain tetap saja membuatku jengah. Dan rasa sakit hati yang luar biasa. Aku menangis dalam hati namun tak mampu kutahan. Air mata itu pun jatuh. Aku harus kuat melihat awal pernikahanku yang ternoda.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!