NovelToon NovelToon

Antagonis Girl

Hera si antagonis

"Gue ngga mau punya pacar gendut. Biarpun lo kaya, ngga ada untung buat gue. Papa gue juga kaya. Gue ngga butuh uang lo," tolak Hera cuek sambil pergi meninggalkan laki laki culun, berkaca mata dan bertubuh gendut yang hanya bisa terdiam di tempatnya.

Untung saja saat itu hanya ada mereka berdua saja di lorong lab. Biarpun kejam, Hera masih punya hati untuk ngga mempermalukannya lebih dari ini.

Biasanya yang dia tolak adalah laki laki tampan dan atletis yang terus saja mengejar ngejarnya.

Tapi si culun ini terlalu pede mengungkapkan perasaannya.

Kenapa dia ngga memendam perasaannya saja. Buang buang energi saja, gerutu Hera dalam hati

Masa abu abu yang sangat menyebalkan bagi Hera.

*

*

*

Hampir saja Hera membanting ponselnya saat panggilan papanya berbunyi lagi.

Kenapa dia yang harus bertanggung jawab membantu papanya.

Bukannya selama ini papanya sudah lama mengacuhkannya. Ngga menganggapnya ada sejak mamanya meninggal, gedeknya dalam hati

Bukannya ada nyonya baru dan putrinya yang sudah menggantikannya dan mamanya.

Anak penurut, bukan pembangkang, gedeknya lagi dalam hati.

Hera menggeram kesal dalan hati.

Akhirnya dia terpaksa juga pergi ke perusahaan papanya.

Dia pun berpapasan dengan adik tirinya. Lana, yang bekerja di perusahaan papanya. Hera sudah menolak permintaan papanya agar dia bergabung di perusahaan keluarga.

"Datang juga lo," sinis Lana.

"Kalo lo berguna, ngga mungkin gue di sini," sarkas Hera nyelekit.

Wajah Lana memerah seakan ditampar keras mendengar kata kata kakak tirinya.

Hampir saja dia ingin menjambak rambut kakak tirinya karena mulut pedasnya jika ngga ingat mereka sedang berada di kantor.

"Papa nunggu lo di ruangannya," sentak Lana dengan tatapan horornya.

"Ngga perlu lo kasih tau. Ini perusahaan papa gue. Gue sudah hapal. Pasti dia di ruangannya lah," ejek Hera sambil melenggang pergi meninggalkan Lana yang hanya bisa menghentakkan kakinya dengan kesal, melampiaskan kemarahannya.

Hera menatap datar papanya yang menyambut hangat kedatangannya.

“Kenapa harus Hera, pa? Kenapa bukan si anak manja itu!" Hera menatap papanya kesal.

Pagi menjelang siang ini  Hera diminta papanya untuk datang ke perusahaan beliau. Mereka berada di ruang kerja papanya sekarang. Hanya berdua. Ngga ada Lana si pengganggu.

Papanya menghela nafas panjang.

“Adikmu sudah mencobanya. Tapi dia gagal.”

“Adik tiri,” dengus Hera kesal.

Papanya kembali menghela nafas panjang.

“Hera, kali ini papa sangat membutuhkan bantuanmu. Rayu dia agar mau membantu perusahaan kita,” pintanya papanya setengah memohon.

Hera terkejut mendengarnya.

“Si manja itu dan mamanya lebih pintar merayu,” sindirnya tajam. Gara gara rayuan mereka, Hera kehilangan segalanya. Mamanya meninggal dengan minum belasan pil tidur karena ngga kuat menghadapi kenyataan kalo papanya sudah menikah lagi, bahkan punya anak perempuan yang lebih muda dua tahun darinya.

Begitu mamanya meninggal, wanita itu dan anaknya menancapkan kekuasaannya di rumah mewah mereka. Dan mengambil semua perhatian papanya.

Hera yang masih kelas tiga SMA menjadi labil. Dia menjadi sosok pembully untuk melampiaskan kemarahannya.

Dia suka ke clubbing, mencoba alkohol dan mulai menjadi pemarah. Kepribadiannya sudah jauh berubah.

Hera yang cantik, kaya raya, kapten cheerleader, otaknya yang brilian. Semuanya menjadi daya tarik untuknya. Ngga sedikit laki laki yang berlutut padanya dan bersedia berbuat apa saja untuknya.

Tapi Hera hanya mempermainkannya. Dia benci laki laki. Nggak  pernah setia. Seperti papanya.

“Beberapa anak perusahaan kita mengalami kemunduran. Papa butuh suntikan dana yang sangat banyak, sayang,” kata papamya mencoba membujuknya.

“Bukan aku saja yang menghabiskan kekayaan papa,” masih sinis Hera menyahut. Dia benci pada papanya. Selama ini membiarkan istri muda dan anaknya ikut menghambur hamburkan kekayaan yang harusnya hanya miliknya.

Kenapa saat susah dia yang harus jadi tumbal?

“Lana sudah berusaha merayunya. Tapi ngga berhasil," kata papanya agak membela putri keduanya yang lebih penurut.

“Hemm… dia memang ngga bisa diharapkan.”

Papanya membuang kasar nafasnya.

“Hera, akhir bulan ini kita akan kehilanggan semuanya. Rumah mewah, vila dan semua perusahaan papa,” kata papanya jujur sambil melonggarkan dasinya yang serasa sudah mencekiknya.

“Kenapa papa baru memberitaunya sekarang,” kaget Hera. Ngga nyangka kalo.masalah papnya sangat berat. Dan mereka akan jatuh miskin.

Yang membuat Hera kesal, kenapa dia harus tau di saat saat akhir. Akhir bulan, ngga nyampe sepuluh hari lagi.

“Papa ngga mau merepotkanmu, sayang. Tapi papa gagal," ucap papanya putus asa.

“Apa nanti papa juga akan minum pil seperti mama?” cetus Hera datar.

Papanya terdiam dan menatap putrinya lama. Beliau tau, sudah menyakiti hati putrinya sangat dalam.

“Apa.itu yang kamu mau?”

Hera diam ngga menjawab. Tanpa kata Hera pun pergi meninggalkan perusahaan papanya yang akan bangkrut.

Dia akan jadi gadis  miskin dan ganti akan dibully.

*

*

*

“Come.on girl. What are you thinking?” tanya Elisa, sahabatnya aejak SMA.

Hera ngga menjawab. Dia menggoyangkan gelas yang berisi minuman alkohol dan es batu.  Sudah dua gelas dia habiskan. Tapi dia belum juga mabok. Ini gelas ketiga. Di harap bisa segera mabok, kemudian tidur dan melupakan kalo nantinya akan jadi orang miskin.

“Lo bisa cerita sama gue,” kata Elisa lagi.

“Nothing,” jawabnya malas.

Dan tadi ponselnya terus bergetar. Tapi Hera mengabaikannya. Saat melihat nama yang memanggil membuatnya alergi dan benci. Mama tirinya.

Lagi butuh gue ya lo, sarkasnya dalam hati.

“Ponsel lo ngga berhenti getar tuh ” kata Elisa mengingatkan. Karena ponselnya diletakkan di atas meja bar. Di samping botol minumannya.

“Biar saja.”

“Ibu tiri lo?”

“Hemm.”

“Siapa tau penting.”

“Bodoh amat." Hera sudah ngga peduli mau sepenting apa hal yang akan disampaikan oleh wanita yang sudah membuat mamanya mengakhiri hidupnya secara tragis.

“Aku pulang dulu,” ujarnya sambil turun dari stoolnya.

“Oke oke,” sahut Elisa mengerti.

Elsa, sahabatnya sejak SMA sangat tau kesedihan gadis itu hanya bisa menatap kepergiannya dengan tatap iba.

Hera yang mandiri. Padahal papanya kaya raya.

Hera yang tercerabut dalam dunia putri disneynya saat mamanya meninggal. Berubah jadi siluman kejam.

 

 

 

Ketemu Roh?

Setelah pulang ke rumah, Hera ngga mempedulikan suasana rumah yang sangat sepi. Sudah terbiasa karena dia kalo pulang pasti lewat jam dua belas malam. Orang orang rumahnya juga sudah tidur dan ngga ada yang menyambutnya kecuali satpam.

“Baru pulang, sayang?" 

Hera menoleh. Ternyata papanya yang menyapanya dengan masih mengenakan piyamanya. Wajah papanya terlihat pucat.

“Tumben papa belum tidur," jawab Hera acuh ngga acuh. Bahkan dia melewati papanya begitu saja.

Terdengar helaan nafas berat.

“Ya udah. Kamu tidur, ya. Jangan sampai sakit.”

“Hemm….”  Hera terus menjalankan kakinya. Sama sekali ngga mempedulikan papanya, apa masih berada di situ atau sudah kembali ke kamar istri mudanya.

Hera berjalan ke arah dapur. Dia merasa haus.

“Nona, kok, masih di sini?” seru pembantunya yang sudah tua, mbok Sumiati kaget dan bingung.

“Kenapa, mbok? Reseh banget,” sarkas Hera sambil membuka kulkas.

Mbok Sumiati terdiam.

“Non Hera belum tau?” 

Hera meneguk minumnya sambil melihat cuek pada pembantunya yang nampak gelisah.

“Tau apa?” tanya Hera sambil meletakkan gelasnya di atas meja.

“Tuan besar, Non. Papa non Hera….” Ucap Mbok Sumiati panik.

“Hemm…..," gumam Hera ngga minat. 

Drama banget, batinnya. 

Baru aja tadi ketemu, batinnya lagi.

“Tuan besar dibawa ke rumah sakit, non. Kata nyonya mau ngabari non. Apa belum, non?” tanya Mbok Sumiati dalam satu nafas. Jelas sangat panik dan bingung melihat nonanya tenang tenang saja.

Hera tertawa kecil.

“Becandanya jangan kelewatan, mbok,” ucapmya sambil berbalik pergi. Sementara tawanya masih terdengar renyah.

Lumayan hiburan tengah malam, batinnya geli.

“Non Hera, mbok serius,” kejar Mbok Sumiati sambil menghadang Hera.

“Mbok, tadi aku barusan ketemu papa di sini,”  tunjuk Hera pada tempat papanya tadi berdiri saat menyapanya.

Mbok Sumiati ternganga, menatap nonanya ngga percaya. Dia menatap nonanya lekat.

“Ngga mungkin, non. Tuan tadi pingsan di kamar, non. Seperti nyonya dulu,” kata Mbok Sumiati bersikeras.

DEG

Hera  terdiam. Ingatannya melayang saat melihat mamanya terkulai lemas ngga berdaya dengan pil pil yang berserakan di sekitar tubuhnya. Mamanya ngga tertolong lagi.

“Ayo, non. Tuan katanya kritis,” seru Mbok Sumiati membuyarkan lamunannya. Bahkan berani mendorong pelan punggungnya.

Hera menatap Mbok Sumiati tajam. Pembantu tuanya terlihat sangat serius. Ngga ada tanda tanda dia bohong. Tapi dia juga barusan ketemu papanya. Mana yang benar.

Hera teringat kata kata papanya saat mereka berada di ruangan papanya.

Dengan jantung berdebar keras bertalu talu, Hera berjalan cepat ke arah kamar papa dan mama tirinya. Dia ngga mempedulikan teriakan keras Mbok Sumiati memangil manggil namanya tiada henti.

“Non! Non!”

Dengan ngga sabar Hera membuka pintu kamar yang dia yakini papanya pasti berada di sana.

CEKLEK

“Papa!” serunya sambil masuk ke dalam kamar. Tapi kamar itu kosong. Hera pun sampai membuka pintu kamar mandi buat memastikan.

“Non Hera ngapain?” tanya Mbok Sumiati ngga ngerti. Bahkan karena suara teriakan Mbok Sumiati, beberapa pembantu mereka yang lain juga kini sudah berada di dalam kamar papanya juga.

“Papa!” seru Hera kesal dan mulai cemas. Dia pun sampai jongkok,  ingin memeriksa di bawah kolong tempat tidur. Apalagi mata tajam Hera melihat sebuah pil yang tergeletak di bawah tempat tidur.

DEG

Hera memegang pil itu dengan tangan gemetar.

De ja vu.

Hera seakan berada di sepuluh tahun yang lalu saat dia menemukan mamanya yang pingsan dengan pil pil yang berserakan di dekat tubuhnya.

“Non Hera,” panggil Mbok Sumiati lembut sambil memegang lengan Hera yang terlihat gemetar. Mbok Sumiati tentu saja ingat kejadian pilu sepuluh tahun yang lalu. Matanya berkaca kaca. Si mbok tau kalo sejak itulah nonanya yang lembut dan baik hati mulai berubah jad kasar dan ngga bisa di atur. Karena papanya membawa nyonya baru dan anak perempuan yang lebih muda beberapa tahun dari nonanya.

“Ayo, non, lihat tuan,” kata mbok Sumiati agak terisak. Begitu juga pembantunya yang lain. Jadi ikutan menangis.

“Kenapa pada nangis, sih. Tadi Hera barusan ketemu papa. Mungkin papa lagi di luar,” sergah Hera bersikeras.

Masa ketemu Roh, sangkalnya dalam hati dengan perasaan ngga enak.

Tangisan terdengar semakin kencang dari para pembantunya.

“Non, saya dari tadi di luar. Ngga lihat tuan. Tuan di rumah sakit, non,” suara tegas Pak Jon membuat Hera tertegun.

“Mungkin tuan kangen sama non, pengen ketemu dulu sebentar,” isak Mbok Sumiati membuat jantung Hera berdegup keras dan dadanya terasa sangat sakit.

“Papa.....,” gumamnya sambil berdiri. Dia masih nampak bengong. Seperti orang bingung.

“Ayo, non, saya anterin ke rumah sakit,” ujar Pak Jon lembut.

Hera ngga menyahut. Dia masih diam sambil berjalan mengikuti langkah Pak Jon ke garasi mobil. 

Dia beneran ketemu roh?

*

*

*

Sekarang baru Hera percaya kalo papanya memang berada di rumah sakit. Papanya koma dengan tubuh dipenuhi alat alat rumah sakit. Termasuk monitor denyut jantung. Dan garis jantung papnya terlihat lemah.

“Katakan, siapa yang harus aku temui,” potong Hera saat mama tirinya merepet mengomelinya karena ngga bisa dihubungi saat papanya dilarikan ke rumah sakit.

“Ashlan Indra Wijaya.  Dia pengusaha tajir dan sangat kaya raya. Tapi aku ngga yakin kamu bisa. Aku aja ditolaknya,” sinis adiknya dengan tatapan meremehkannya.

“Ashlan?” gumam Hera pelan. Rasanya dia pernah dengar nama itu.

“Orang yang menipu papa dan menjual semua aset kita padanya,” sambungnya lagi.

Hera balas menatap meremehkan adik tirinya yang menurutnya sok cantik dan sok seksi. Tapi merayu laki laki aja ngga becus.

Tanpa mempedulikan keduanya, Hera pun melangkah pergi.

Mama tiri dan adik tirinya menatapnya marah karena sikap ngga pedulinya. Padahal yang terbaring koma adalah papanya juga.

*

*

*

Hera merenung sambil menatap foto mamanya di dalam kamarnya. Dia ngga mempedulikan tatapan dan pertanyaan Pak Jon, Bik Sumiati yang heran karena dia sudah kembali lagi ke rumah.

Tadi sebelum masuk ke kamar, dia berdiri persis sama posisinya seperti saat bertemu papanya. Sebentar saja, kemudian melangkah pergi.

Ma, apa papa menuruti permintaan Hera? batinnya getir.

Sudah terlambat juga kalo mau nyusul mama, tanggapmya lagi. Berusaha mengeraskan hati.

Menghilangkan sedikit rasa bersalahnya karena sudah memberikan saran gila pada papanya.

 

Niat membantu papa

Hera mendatangi kantor pengacara papanya, Om Halim. Om Halim bukan pengacara sembarangan. Kantornya sangat mewah.

“Silakan, nona,” ucap Mbak Dela, Resepsionis yang memberi ijin pada Hera untuk masuk menemui bosnya.

“Apa kabar?” tanya Om Halim sambil menyambut kedatangannya dengan sangat ramah.

“Baik, Om,” balas Hera saat membalas uluran tangan Om Halim, sahabat papanya sejak mamanya masih ada.

Om Halim tersenyum melihat keadaan putri pertama sahabatnya yang nampak baik baik saja.

“Sekarang kegiatan kamu apa?” tanyanya sambil mengajak Hera duduk. Setaunya putri sahabatnya merintis bisnis sediri bersama teman temannya. Dia pun sudah lulus kuliah. Tapi Hera ngga mau bekerja di perusahaan papanya.

“Biasa Om, kerja kecil kecilan," jawabnya santai.

Om Halim manggut manggut.

“Ada yang aku mau tanya sama Om,” ucap  Hera  to the point.

Om Halim diam, menunggu apa yang akan dikatakan Hera.

“Apa benar papa akan bangkrut?”

“Begitulah,” jawab Om Halim cepat.

“Kenapa bisa?” tanya Hera gusar.

“Papamu melakukan perjanjian bisnis tanpa setahu Om.”

Wajah Om Halim tampak agak menyesal.  Beberapa bulan ini Om Halim sedang ada urusan di luar negeri, jadi dia kurang mengontrol aktivitas sahabatnya, papa Hera.

Ternyata sahabatnya tertipu relasi baru yang merupakan teman istrinya. Mengakibatkan seluruh aset mereka terancam.

“Wanita itu dan anaknya memang sialan!” Geram Hera marah mendengar cerita Om Halim. Hera yakin, ibu tirinya bersekongkol dengan temannya untuk menguras harta papanya untuk dijadikan miliknya.

“Om rasa mungkin mama tirimu hanya ingin membantu papamu, tapi dia salah langkah. Temannya malah menipunya," jelas Om Halim agar Hera ngga salah paham.

“Huuh,” dengus Hera ngga percaya. Sejak wanita itu masuk menjadi bagian keluarganya, mamanya meninggal. Perhatian papanya pun teralihkan pada momster genit turunan mereka.

Sekarang malah membuatnya jatuh miskin. Dan malah menyusahkannya. Benar benar sangat kurang ajar!

“Adikmu sudah berusaha berbicara dengannya. Tapi ngga berhasil.” Om Halim sengaja memberikan tekanan saat menyebutkan kata berbicara. Dia sudah tau apa yang Lana lakukan sampai membuat pengusaha mudah itu marah dan mengusirnya mentah mentah.

“Dia cuma tau menghabiskan uang saja. Merayu aja ngga becus,” sinis Hera.

Om Halim berusaha memaklumi kekesalan Hera. Menurut putranya yang  satu SMA dengan Hera, gadis itu sudah sangat berbeda sejak mama kandungnya meninggal dunia.

Beberapa kali bahkan papanya harus ke sekolah karena tindakannya. Membully,  selalu terlambat, membangkang guru, semua hal yang buruk dia lakukan.

Tapi kepintaran otaknya tetap ngga ada yang bisa menyaingi. Karena attitudenya saja dia ngga ngeraih juara umum waktu SMA. Hera remaja sudah kenal alkohol dan sudah suka pulang larut malam. 

Om Halim tau, Hera sudah ngga bisa lagi menahan rasa kecewa pada papanya. Skandal papanya sangat menyakiti hatinya. Papanya ternyata sudah lama menduakan mamanya, bahkan juga sudah punya anak.

Salahnya Hera malah menceburkan dirinya menjadi sosok antagonis. Untungnya masa depannya ngga hancur karena dia memiliki otak yang sangat encer. 

Walau suka berfoya foya seperti adik tirinya, dia masih bisa menghasilkan banyak uang lewat kepintarannya membuat game, konten berbobot, desain web, animasi, selain di bidang kuliahnya di teknik sipil yang tentu aja sudah tokcer sekali.

Beberapa kenalannya pernah dibuatkan desain rumah mewah tapi berkelas oleh Hera, padahal tanpa referensinya dan papanya.

Karenanya papanya menyayangkannya yang menolak mentah mentah untuk bekerja di perusahaannya.

Om Halim akui, keenceran otaknya sama persis dengan sahabatnya dulu.

Andai saja sahabatnya ngga berulah, anaknya pasti akan lebih gemilang tanpa cacat.

“Apa menurut Om, aku harus membantu papa?” tanya Hera setelah terdiam cukup lama. Dia sudah bisa menghasilkan uang sendiri, hanya saja belum sebanyak yang selalu dia habiskan dari kekayaan papanya. Juga pengobatan papanya pasti akan membutuhkan biaya yang sangat besar.

Kepala Hera jadi berdenyut. Adik tirinya yang berprofesi sebagai model itu pun ngga mau jadi miskin. Pasti dia sudah menwarkan tubuhnya pada pemgusaha yang Hera merasa ngga asing dengan namanya.

Apa maksud papanya, merayu laki laki itu dengan menawarkan tubuhnya juga?

NO!

Dia ngga akan melakukannya. Walau setampan apa pun dia.

“Sebaiknya iya Hera. Om pasti juga akan membantu pengobatan papa kamu.”

Hera menghembuskan nafas kesal.

“Katanya laki laki itu pernah satu SMA dengan kamu dan putra Om, Daru.”

“Apa Daru mengenalnya?”

“Daru lupa," kekeh Om Halim. Putranya terlalu cuek untuk mengenal sekelilingnya.

“Aku seperti pernah dengar namanya. Om. Tapi entahlah. Aku beneran lupa,” kata Hera masih sambil berpikir.

Apa korban bullynya, ya? batinnya menebak. Jadi ngeri juga membayangkan jika korban bulliyingnya lebih berkuasa dari dirinya.

“Daru masih ada urusan di luar kota. Kalo dia pulang, dia akan membantumu. Sepertinya minggu depan,” ujar Om Halim dengan senyum di bibir saat melihat wajah manyun Hera yang mendengar kata katanya.

“Lebih baik aku ngga ketemu dia, Om,” cepat Hera menjawab membuat Om Halim ngga dapat menahan tawanya. Jawaban Hera sama seperti Daru. Keduanya ngga pernah saling menyukai, dari dulu hingga sekarang.

Bagi Hera, lebih baik dia ngga mengenal laki laki yang selalu saja menatap sinis padanya. Dan Hera pun juga ngga kalah sinis padanya saat mereka bertatapan.

 

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!