"Zery. Nanti sore, keluarga teman papa kamu akan datang. Kamu dandan yang cantik yah."
Seketika, gadis dengan nama lengkap Zerina Mukhti itu langsung menghentikan aktifitasnya yang sedang menyiram bunga di taman samping rumah. Nada ucapan sang mama barusan membuat ia merasa ada hal yang tidak beres nanti sore. Yang tidak ia inginkan, pasti akan terjadi.
Sementara itu, seorang gadis yang tak lain adalah sepupu Zery langsung tersenyum. Dia adalah Adinda, keponakan dari mama Zery.
Dinda tinggal di rumah tantenya karena ingin melanjutkan pendidikan yang baik di kota. Sedangkan orang tuanya, kini bertempat tinggal di desa.
Dinda tinggal di rumah tantenya sejak ia duduk di bangku sekolah menengah atas. Sedangkan sekarang, anak itu sudah mengenyam pendidikan di bangku perkuliahan, meskipun baru berjalan beberapa bulan.
Sementara Zery sendiri, dia kini sibuk dengan toko bunga yang ia bangun dengan modal dan usahanya sendiri. Zerina suka akan keindahan. Terutama, tanaman hidup sejenis bunga yang ia anggap bisa memberikan kebahagiaan untuk semua orang. Karena itu, dia menentang keinginan sang papa yang ingin dia mewarisi perusahaan keluarga yang cukup berkembang dengan baik.
Zery tidak ingin menjadi pewaris dari usaha keluarga yang papanya miliki. Karena menurut Zery, dia tidak punya bakat dalam mengurus perusahaan.
...
"Kak Zery. Katanya, teman om Wandy itu punya anak cowok yang ganteng lho," ucap Dinda dengan nada penuh dengan godaan.
Ucapan itu langsung membuat Zery memasang wajah kesal. "Terus, apa hubungannya dengan aku jika teman papa punya anak cowok, Din?"
Dinda yang sebelumnya duduk di atas kursi taman dengan beberapa buku pelajaran itu langsung bangun dari duduknya. Dia tersenyum, lagi-lagi dengan senyuman lebar yang menggoda Zery.
"Ih, kak Zery gak kepikiran apa, kalo om Wendy anak menjodohkan kakak dengan anak temannya itu? Ingat gak dengan apa yang om katakan waktu makan malam beberapa hari yang lalu?"
Ucapan Dinda langsung membuat Zery mengingat apa yang papanya bicarakan ketika mereka makan malam beberapa hari yang lalu. Pembahasan yang sama sekali tidak ingin ia dengar selama ini, akhirnya di bahas juga.
"Zery. Umur kamu berapa tahun sekarang?"
"Dua puluh dua, pah. Kenapa?"
"Oh, sudah dua puluh dua tahun ternyata. Kalo gitu, sudah waktunya kamu menikah Zer."
Sontak saja, ucapan sang papa membuat Zery langsung tersedak. "Uhuk! Uhuk-uhuk."
"Ah, ya Tuhan. Anak ini makan gimana sih? Bisa-bisanya tersedak seperti ini ketika makan." Mama Zery berucap sambil menyodorkan sang putri dengan segelas air.
"Ini bukan aku yang salah makan, Ma. Tapi papa yang sudah salah membahas permasalahan membuat aku langsung tersedak barusan."
"Eh, kok malah nyalahin papa sih, Zer? Orang kamu sendiri yang makan dengan terburu-buru."
Begitulah malam itu, waktu makan malam yang rusak akibat pembahasan soal pernikahan yang sama sekali belum Zery pikirkan. Karena ia masih belum ingin punya suami. Dia ingin mengerjakan apa yang membuat hatinya bahagia tanpa ada beban dan halangan dari orang lain.
"Gimana, kak? Udah ingat sekarang?" Dinda langsung menyentuh pelan bahu Zery karena Zery sudah terdiam beberapa lama.
"Ingat apanya?" Zery pura-pura tidak mengerti. Padahal saat ini, dia cukup paham apa yang Dinda tanyakan.
"Ye ... kak Zery. Bikin kesal aja yah. Diajak ngobrol malah nggak nyambung."
"Mm ... awas aja kalo kamu jatuh cinta dengan cowok yang nanti sore datang. Soalnya, sekarang kamu seperti sangat tidak senang dengan kabar kedatangan tamu dari om Wendy.
"Hush! Ngomong apa kamu, hah? Anak kecil jangan banyak omong. Pergi sana! Jangan ganggu aku. Gak liat sekarang aku lagi sibuk?"
Zery berucap dengan nada kesal. Ia usir Dinda dengan air penyiram tanaman yang kini sedang ada di tangannya. Ya mau tidak mau, Dinda langsung pergi menjauhi Zery.
Setelah kepergian Dinda, Zery merasa sangat tidak tenang dengan apa yang sudah adik sepupunya itu katakan. Pikirannya tidak bisa memikirkan hal lain selain tamu yang akan datang nanti sore. Juga, maksud dari kedatangan para tamu itu.
Benarkah jika papanya sedang berniat untuk menjodohkan dia dengan pria yang tak lain adalah anak dari temannya sendiri? Jika benar, apa yang harus ia lakukan? Akankah dia bisa menolak keputusan yang sudah papanya buat?
Karena selama ini, dia sudah banyak menolak. Jika kali ini menolak lagi, apakah masih papanya terima. Atau, mungkinkah sang papa akan marah besar nantinya.
Pikiran itu terus menghantui Zery. Karena itu, dia tidak bisa menunggu sampai tamu itu datang. Dia putuskan untuk langsung bertemu dengan mamanya sekarang juga.
Kebetulan, saat ini mama Zery sedang berada di dapur. Sepertinya, orang tua itu sibuk dengan persiapan untuk menyambut tamu yang akan datang nanti sore.
"Sibuk banget kayaknya, Ma. Emang, perlu banget ya menyiapkan semua ini?" Zery berucap sambil melihat masakan yang mamanya buat.
"Kamu ngomong apa sih, Zer? Tentunya sangat perlu dong. Tamu itu adalah teman lama papamu. Mereka sudah sangat dekat sejak di bangku sekolah dasar. Hanya saja, terpisah setelah sama-sama menikah."
"Mm ... ini beneran murni untuk pertemuan dua sahabat kan, Ma? Nggak ada yang aneh-aneh kan dari pertemuan ini?"
Pertanyaan Zery membuat sang mama langsung menghentikan aktifitasnya mengaduk masakan yang masih berada di atas wajan. Lalu, dengan wajah sedikit kesal, sang mama mengalihkan pandangan ke arah Zery.
"Kamu mikir soal apa?"
"Ya, gak mikir soal apa-apa sih. Cuman, aku merasa agak gak enak aja ketika mama minta aku dandan yang cantik. Kek yang datang itu seorang pangeran aja gitu. Minta aku dandan yang cantik buat menyambutnya."
"Jika iya bagaimana?"
Spontan, ucapan itu membuat darah Zery mengalir deras. Entah kenapa, jawaban itu sedikit membuat ia merasa tidak nyaman.
"Maksud, mama?"
"Yang datang emang pangeran. Maka dari itu, mama ingin kamu dandan yang cantik. Supaya kamu gak malu-maluin mama nantinya."
"Hah? Mama bikin aku makin bingung aja."
"Zery, satu hal yang harus kamu ingat. Jangan bikin mama dan papa malu nanti. Jangan bikin papa kecewa atas ulah kamu. Turuti saja apa yang papa mau, bisa?"
"Hah? Mama bikin aku makin bingung aja."
"Zery, satu hal yang harus kamu ingat. Jangan bikin mama dan papa malu nanti. Jangan bikin papa kecewa atas ulah kamu. Turuti saja apa yang papa mau, bisa?"
Lagi, ucapan itu membuat jantung Zery berdetak lebih cepat dari yang biasanya. Ada firasat yang tidak baik yang bisa ia rasakan saat ini.
"Mama ... bisa ngomong yang lebih jelas? Aku sungguh sangat tidak mengerti dengan apa yang mama katakan."
"Zery. Papa kamu sudah menemukan menantu pilihan untuk anaknya. Jadi .... "
"Apa!? Menantu pilihan?" Zery yang kaget langsung memotong ucapan sang mama. Tidak ia pikirkan lagi soal dosa dan etika saat melakukan hal tersebut. Karena hal itu tiba-tiba saja terjadi. Akibat, hatinya yang sangat kaget dengan apa yang mamanya katakan.
"Maksud mama, papa ingin menjodohkan aku dengan anak dari temannya, Ma?"
Mama Zery tidak menjawab dengan kata-kata. Tapi, ia hanya menjawab dengan anggukan pelan saja. Jawaban itu tentu membuat Zery naik darah. Mana mungkin dia bersedia di jodohkan. Karena dia belum ingin menikah. Jika pun ingin menikah, tentu bukan dengan pria yang tidak ia kenali sama sekali.
Dan ... terlebih lagi, saat ini dia sudah punya tambatan hati. Dia sudah punya calon suami pilihan hati, yang akan ia jadikan imamnya, menantu buat kedua orang tuanya kelak. Tapi, tidak sekarang. Melainkan, nanti setelah ia merasa dirinya ingin punya keluarga.
"Tidak, Ma! Zery tidak ingin dijodohkan. Tidak akan Zery terima jika papa ingin menikahkan Zery dengan calon menantu pilihan papa."
"Kenapa tidak, Zery? Usai kamu ini sudah layak menikah, bukan? Lagian, calon menantu pilihan papa itu adalah pria yang baik. Jadi, kenapa kamu tidak ingin?"
"Zery sudah punya calon suami sendiri, Ma. Zery akan menikah dengan pria pilihan Zery sendiri. Bukan pria pilihan papa dan mama."
"Zery!"
Suara keras melengking itu langsung membuat perhatian Zery dan sang mama teralihkan. Di sana, papanya sedang berdiri tegak dengan tatapan tajam penuh amarah ke arah Zery.
"Papa." Zery berucap pelan. Sejujurnya, ia kaget dengan kemunculan sang papa. Tapi, mau bagaimana lagi? Semua sudah terjadi.
"Mas. Kapan kamu pulang? Ayo duduk dulu." Mama Zery langsung mengajak suaminya duduk ke sofa ruang keluarga. Sedangkan Zery di minta sang mama untuk ikut bersama.
"Bicara pelan-pelan. Aku yakin jika Zery akan mengikuti apa yang kamu katakan, Mas."
"Nggak, Ma. Zery gak akan mau menikah dengan calon menantu pilihan papa." Zery malah nyelonong dengan cepat.
Hal tersebut semakin membuat hati sang papa menjadi marah. Dia tatapan tajam Zery yang ada di depannya. Niat untuk duduk pun, ia batalkan karena terlalu kesal.
"Kamu ini sudah tidak punya rasa hormat lagi pada orang tuamu ya, Zer. Sudah di besarkan dengan baik, berlimpahan kasih sayang, tapi malah tidak tahu diri. Tidak tahu terima kasih."
"Zerina. Sudah berapa kali papa meminta kamu mengikuti apa yang papa mau? Nggak ada, bukan?"
"Kamu menginginkan sekolah menengah pertama di bagian umum bukan tsanawiyah, papa ikuti. Kamu menginginkan sekolah menengah atas di bagian umum bukan madrasah aliah, papa juga ikuti. Kamu menginginkan mendirikan toko bunga, karena itu adalah kebahagiaan kamu, tidak menuruti niat papa untuk menjadikan kamu penerus perusahaan kita. Papa juga ikuti, Zery."
"Meskipun anak papa hanya ada satu, tapi papa tidak pernah memaksa kamu untuk menjadi penerus perusahaan. Karena papa merasa, itu masih wajah untuk kamu. Bahkan, hampir semua hidup yang kamu jalani selama ini itu adalah pilihan kamu. Tidak ada satu pun pilihan dari kami."
"Tepatnya, tidak ada pilihan dari kami yang kamu terima. Padahal kami ini adalah orang tua kamu. Orang tua yang sudah merawat dan menjaga kamu sejak kamu tidak tahu apa-apa, hingga kamu jadi dewasa seperti saat ini. Apa kami ini tidak ada harganya di mata kamu, Zery?"
Ucapan demi ucapan yang papanya katakan membuat Zery merasa sangat bersalah. Yah, selama ini, dia tidak pernah menerima apa yang orang tuanya sarankan. Karena ia pikir, saran dari kedua orang tuanya itu tidak cocok dengan apa yang ia inginkan.
Tapi sekarang, dia merasa sangat bersalah karena tidak pernah mendengarkan apa yang orang tuanya katakan. Rasa bersalah itu telah mengalahkan rasa ingin menolak. Karena dia sadar, tanpa orang tua, dia tidak akan pernah jadi manusia seperti saat ini.
"Pa-- papa ... maafkan, Zery. Zery sudah sangat mengecewakan papa dan mama. Zery ... sudah menjadi anak yang tidak tahu diri." Zery berucap sambil menjatuhkan air mata.
Sungguh, air mata itu jatuh karena rasa menyesal yang tiba-tiba saja muncul dalam hatinya. Bukan sekedar ia ingin menunjukkan kalau dia sudah sadar akan apa yang sudah ia lalui selama ini.
"Zery salah, Pa. Zery ingin menerima calon menantu pilihan, papa. Tapi .... " Zery langsung menggantungkan kalimatnya karena ia mendadak merasa takut akan hati papanya yang terluka.
"Tapi apa, Zery? Apa lagi yang kamu pikirkan sekarang, hm?"
"Zery sudah punya calon suami pilihan Zery sendiri, Pa. Jika papa benar-benar ingin Zery menikah, maka Zery bisa bawa calon suami pilihan Zery datang untuk bertemu papa sekarang juga. Dengan begitu, papa tidak perlu menjodohkan Zery dengan anak teman papa itu."
Papa Zery tidak langsung menjawab. Hal itu membuat Zery merasa serba salah sekarang.
Beberapa saat berlalu dalam diam. Mata papanya masih menatap Zery dengan tatapan tajam yang membuat Zery merasa agak ngeri. Dan, dia tahu, kalau apa yang ia katakan itu tidak akan papanya terima.
Sang papa langsung melepas napas kasar setelah beberapa saat terdiam. Ia alihkan pandangan dari anaknya sebelum ia bicara.
"Zery. Kamu pikir papa hanya ingin menantu? Kamu pikir, papa hanya ingin kamu menikah secepatnya?"
"Jika iya kamu pikir begitu, kamu salah, Nak. Salah besar. Papa menjodohkan kamu dengan anak teman papa bukan karena papa ingin segera punya menantu. Melainkan, papa tahu kalau calon menantu pilihan papa ini adalah pria yang terbaik untuk anak papa. Pria yang mampu membimbing anak papa dengan baik. Bukan hanya sebatas menjadi suami, juga sebagai menantu dari keluarga ini saja. Tapi, pemimpin dan anggota keluarga yang baik, Zery."
"Jika iya kamu pikir begitu, kamu salah, Nak. Salah besar. Papa menjodohkan kamu dengan anak teman papa bukan karena papa ingin segera punya menantu. Melainkan, papa tahu kalau calon menantu pilihan papa ini adalah pria yang terbaik untuk anak papa. Pria yang mampu membimbing anak papa dengan baik. Bukan hanya sebatas menjadi suami, juga sebagai menantu dari keluarga ini saja. Tapi, pemimpin dan anggota keluarga yang baik, Zery."
Ucapan itu membuat Zery tidak mampu berucap satu patah katapun lagi. Dia juga tidak bisa menolak keinginan sang papa kali ini. Terpaksa, mau tidak mau, dia harus menerima calon menantu pilihan papanya.
Setelah pembicaraan selesai, Zery langsung meninggalkan ruang keluarga. Tentunya, setelah mendapat izin dari papa juga mamanya terlebih dahulu.
Zery berjalan dengan langkah berat menuju kamar. Setelah tiba di dalam kamar, dia lempar tubuhnya ke atas ranjang. Ia benamkan wajahnya di balik guling. Ingin rasanya ia keluar dari permasalahan besar yang sedang ia alami. Tapi sayangnya, dia tidak punya cara untuk melakukan hal itu.
Mendadak, Zery merasa hidup yang ia jalani tiba-tiba menjadi rumit. Hubungannya yang sedang sangat bahagia bersama sang kekasih, entah harus bagaimana ia selesaikan. Mana ia sudah saling mengukir janji untuk melanjutkan kisah cinta sampai ke pelaminan. Eh, tiba-tiba saja, masalah besar datang. Entah harus bagaimana ia menyelesaikan masalah rumitnya ini, dia juga tidak mengerti.
Dalam pikiran panjang itu, tiba-tiba Zery mendengar pintu kamarnya di ketuk oleh seseorang. Dengan malas Zery berucap, "masuk! Pintunya gak aku kunci."
Pintu itupun terbuka. Dari balik pintu muncul Dinda dengan wajah ceria seperti biasa.
Dinda pun langsung ambil posisi duduk di atas ranjang, tepatnya, di samping Zery yang sedang berbaring tengkurap.
"Kak Zery baik-baik aja?"
"Menurut kamu?" Zery malah balik bertanya karena ia kesal dengan pertanyaan Dinda yang menurutnya, itu adalah pertanyaan ejekan. Bukan kepedulian.
"Yaelah, kak. Kok malah kesal sih? Aku itu nanya baik-baik lho."
Zery pun langsung menatap tajam Dinda yang ada di dekatnya. "Kamu bisa pergi jika kamu hanya ingin mengejek aku, Din. Tidak perlu datang ke kamarku seperti sekarang."
"Kak, aku tahu kamu sedang kesal. Tapi, jangan lampiaskan kekesalan mu itu padaku juga dong."
Zery tidak lagi menjawab. Ucapan Dinda langsung dia abaikan begitu saja. Dia tidak ingin menanggapi lagi perkataan Dinda yang semakin menambah rasa kesal dalam hatinya.
"Mm ... sebenarnya kak, aku dengar apa yang kalian bicarakan di ruang kelurga tadi. Jika menurut aku, kak Zery sebaiknya ikuti saja apa yang mama dan papa kak Zery katakan. Orang tua adalah orang yang paling berjasa dalam hidup kita. Pilihannya pasti yang terbaik dari semua pilihan yang ada, kak."
Ucapan itu membuat Zery menoleh ke arah Dinda kembali. "Jangan banyak bicara kamu, Din. Jangan sok tahu. Anak kecil kayak kamu, tahu apa? Lagian, yang ngejalanin hidup ini itu aku, bukan kamu. Kamu mah enak ngomong aja. Orang kamu gak ngerasain apa yang aku rasakan. Coba aja kamu ada di posisi aku, masih bisa ngomong enteng seperti barusan lagi gak kamu ha?"
Dinda langsung mengukir senyum setelah mendengar apa Zery katakan. "Siapa bilang aku nggak ngerasain apa yang kak Zery rasakan? Buktinya aja, aku ada di sini. Tinggal di rumah tante, itu bukan keinginan aku, kak. Semua itu keinginan bunda. Bunda ingin aku bersekolah di kota besar agar bisa jadi anak kebanggan, bunda. Tapi .... " Dinda mendadak menggantungkan kalimatnya.
Dia juga memasang ekspresi sedih sekarang. Hal itu membuat Zery merasa penasaran. Zery pun langsung memberikan tatapan tajam ke arah Dinda.
"Tapi apa? Bisa gak sih, gak ngomong gak pakai di gantung segala? Bikin orang penasaran aja, tau gak?"
Dinda menoleh sesaat. Karena detik berikutnya, dia kembali menatap lurus ke depan. "Aku juga dijodohkan oleh ayah dan bunda dengan pria pilihan mereka."
"Apa!? Jangan main-main kamu, Din." Sontak, Zery berucap dengan nada tinggi karena ia terlalu kaget dan tak percaya dengan apa yang adik sepupunya katakan.
Tinggal serumah, tapi ia tidak tahu banyak tentang adik sepupunya ini. Karena Zery bukan tipe orang yang suka ingin tahu akan kehidupan orang lain. Dia tidak akan ambil pusing urusan orang, jika orang itu sendiri tidak datang padanya.
Lagipula, ia tidak mendengar apapun sebelumnya. Jika benar adik sepupunya ini juga sudah di jodohkan, kenapa raut wajah anak ini tidak pernah memperlihatkan kesedihan? Anak ini tetap terlihat ceria selama bertemu dengannya.
Dan sekarang, ini adalah kali pertama ia melihat wajah sedih itu. Tapi, hatinya masih merasa tidak yakin. Karena Dinda ini adalah tipe orang yang sedikit usil. Dia selalu ingin mengerjai Zery sebelumnya. Karena itu, Zery tidak ingin tertipu lagi.
"Ah, aku yakin kalo kamu sedang menipu aku, Din. Kamu gak akan berhasil. Karena aku gak akan tertipu lagi."
Dinda tidak menjawab apa yang Zery katakan. Hal itu membuat Zery sedikit merasa tidak enak hati. "Dinda, kamu bohong, bukan?"
Dinda langsung menoleh. "Aku gak bohong, Kak Zery. Itu adalah kenyataanya. Ayah dan bunda telah menerima lamaran pria nakal anak juragan tetangga yang ada di sebelah rumah kami."
"Kamu masih jauh lebih beruntung dari pada aku, kak. Karena pria yang akan menikahi kamu itu masih pria sempurna. Bisa berdiri dengan kakinya sendiri. Sedangkan pria yang akan menikahi aku, dia pria cacat. Tidak bisa berjalan tanpa bantuan kursi roda."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!