NovelToon NovelToon

Aku Dan Kamu Di Bawah Hujan

Yang Dialami

Dari balik jendela kamar, seseorang tengah menaruh seluruh atensinya pada jutaan rintik hujan yang jatuh dengan tidak sabaran. Sejujurnya, ia penasaran dengan tujuan jutaan air itu yang dengan senang hati membasahi bumi. Tak ada imbalan apapun yang didapat awan setelah berhasil menumpahkan. Langit sedang bersedih, namun ia melihat ada banyak anak kecil dengan tawanya menari-nari di bawah hujan. Tidak bisakah mereka memahami betapa sedihnya langit yang hanya bisa menumpahkan air hujan setelah ia menampungnya sekian lama? Paling tidak, hanya dengan bersimpati. Lantas muncul sebuah sunggingan miris akibat pemikirannya tersebut, bersamaan dengan dengusan yang menimbulkan embun di kaca jendela sejemang. Suhu ruangan terasa begitu rendah, kendati terdapat penghangat ruangan juga tak mampu mengalahkan dinginnya yang terasa sampai ke tulang.

"Manusia memang nggak punya simpati," adalah kalimat yang keluar dari mulut Dirga dengan tubuh yang bangkit dari tempatnya duduk. Dia meraih mantel cokelatnya sebelum mematahkan kenop pintu dan membawa diri keluar dari bilik tersebut.

Suhu yang rendah seperti ini bisa membuatnya dimarahi oleh sang ibu jika tak mengenakan pakaian tebal yang hangat. Kedua tungkainya secara sadar dibawa menuju ruang tamu dan tangannya yang menyambar kunci mobil di atas nakas begitu saja. Secara kebetulan, terdapat suara ketukan yang menghadirkan rasa kebingungan dalam benaknya. Di luar hujan, seseorang baru saja mengetuk pintu rumah, bahkan tak mampu ia dengar suara derap langkah lantaran bisingnya suara hujan berserta angin kencang. Tangan berurat miliknya segera membuka dan melihat siapa sosok yang bertamu kala hujan yang bahkan mampu menutupi jarak pandang. Namun, ketika pintu jati berwarna putih itu terbuka, menampilkan sosok perempuan yang mengulurkan sebuah kotak dengan plastik pelindung. Wanita itu terlihat seperti kurir yang mengantar paket.

Ah, Dirga tak memiliki banyak konversasi bersama kurir tersebut, dia hanya menerima paket atas nama ibunya sebelum kurir itu pergi meninggalkan rumahnya. Tangannya yang lain menutup pintu tersebut, membawa masuk paket ibunya. Hanya selang beberapa detik sampai sang ibu kedapatan menuruni tiap anak tangga guna menghampiri putra semata wayangnya yang duduk di sofa seraya menatap paket. Sofa ruang tamu memantul lembut kala wanita paruh baya tersebut meletakkan bantalan duduknya tepat sebelah sang putra dengan senyuman hangat khas seorang ibu. Kedua maniknya turut membawa dirinya untuk melihat objek di depan mata. Pun membuat kedua alis itu terangkat diwaktu yang bersamaan. Iya, sang ibu cukup terkejut dengan kedatangan paketnya yang datang lebih awal dari estimasi. Tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, kedua tangan lembut itu mengambil kotak di depan keduanya guna membuka bungkus.

"Ibu beli mantel buat kamu," ucap sang ibu.

Obsidian Dirga mengikuti pergerakan tangan sang ibu yang tengah membentangkan mantel berwarna abu-abu gelap yang dibeli untuk laki-laki itu. Tak ada satu katapun yang mampu ia ucapkan setelah menerima mantel untuk kesekian kalinya dari sang ibu. Nafasnya terbuang begitu saja, menampilkan senyuman tipis setelahnya. Perlahan ia menurunkan tangan sang ibu yang dengan bangga memamerkan mantel pilihannya. Setiap musim hujan, ibunya pasti akan membelikannya mantel baru, bahkan jika mantel lama masih terlihat bagus sekalipun. Ini sudah terjadi sejak lima tahun lamanya disaat ia kehilangan kekasihnya akibat kecelakaan. Kejadian itu terjadi di musim yang sama seperti saat ini, dimana semua jalanan akan licin saat dilalui. Namun, bukan alasan itu saja yang membuatnya diperlakukan sebaik mungkin oleh sang ibu, ada hal lain yang justru membuatnya merasa melukai harga dirinya. Tak ingin melukai hati ibunya yang begitu tulus, Dirga menganggukkan kepalanya, lantas kedua tangannya turut bergerak menurunkan mantel yang dibentang sebelum membantunya untuk dilipat.

Ia bungkam, kedua tangannya hanya terus bergerak melipat mantel baru itu, hanya saja tepukan lembut pada salah satu pundaknya telah berhasil memecahkan atensinya. Kepalanya menoleh pada sosok sang ibu yang mendadak memasang air muka begitu tegang, seakan bisa membaca apa yang selanjutnya akan terjadi. Dengan sedikit kesulitan menelan ludah serta setengah keberaniannya yang tersisa, pun suara wanita paruh baya itu terlontarkan pada akhirnya, mengajukan sebuah pertanyaan yang bahkan tidak ingin mendengar jawaban putranya—sang ibu memiliki kekhawatiran sendiri.

"Kamu nggak berniat pergi, kan? Di luar hujan deras," tanya sang ibu dengan suara getir.

Gerakan tangan Dirga kontan terhenti begitu saja, lipatan mantelnya belum sempurna, namun suara sang ibu merangsek masuk ke dalam rungunya. Akhirnya Dirga menyadari, kenapa selama lima tahun belakangan ini sang ibu selalu membelikan mantel baru padanya. Itu karena setiap musim hujan, Dirga selalu datang ke lokasi kecelakaan serta makam kekasihnya dan pulang dengan keadaan basah kuyup, yang mana menjadikannya demam untuk beberapa hari.

"Aku tetep bakal pergi. Cuma sebentar, ibu," jawabnya.

Entah bagaimana caranya untuk menghentikan Dirga agar tidak pergi, helaan nafas pasrah keluar begitu saja sebelum membawa diri pergi meninggalkan putranya seorang diri di ruang tamu. Memang tahun-tahun sebelumnya, sang ibu tak pernah mencegah Dirga, tetapi karena Dirga selalu pulang dalam keadaan yang mengerikan, menjadikan sang ibu tak ingin jika putranya melakukan hal yang dilakukannya tiap tahun. Sedangkan Dirga segera bangkit dan pergi meninggalkan rumahnya—seperti tujuannya sejak awal. Tak peduli seberapa derasnya hujan, laki-laki itu tetap akan mendatangi dua tempat itu. Lagipula, hanya itu yang menjadi kenangan untuknya, kendati kenangan buruk yang ia dapati.

Mobil sedan berwarna putih itu memecah jalanan kota, melaju dengan kecepatan sedang guna mengurangi resiko yang akan ditanggungnya. Bahkan disaat-saat seperti ini, bayangan kekasihnya masih terasa kuat, seakan terdapat sosok lain di dalam mobil ini. Diam-diam seluruh jemarinya menggenggam kuat roda setir saat Dirga mencoba untuk menyadarkan diri yang terus terhanyut dalam angan kekasihnya. Hingga detik ini, sulit untuknya melupakan sosok tersebut. Wanita itu adalah yang terlama menjalin hubungan dengan Dirga dibalik sebutan 'laki-laki pembawa sial' yang tersemat pada Dirga. Dia pikir julukan itu telah musnah, tapi ternyata malah membawa kematian untuk seseorang yang tidak bersalah. Dirinya tak akan menampik jika lelah dengan semuanya, lebih memilih untuk menjauh dari lingkungan sosial, membatasi orang-orang yang berinteraksi dengannya, serta menutup hatinya untuk semua wanita. Bukan karena kekasihnya yang telah tiada, tetapi pribadi itu tak ingin ada korban wanita lagi yang disebabkan oleh dirinya.

Lokasi kecelakaan ini menjadi tempat yang setiap hari selalu dia hindari, pun lebih memilih untuk melewati jalur yang lebih jauh untuk sampai di tempatnya bekerja. Dirga menghentikan mobilnya di bahu jalan, dari dalam mobil sorot tatapnya terarah pada jalanan basah dan licin yang menjadi tempat di mana mobil kekasihnya tergelincir hingga berguling. Jalanan memang kosong, tetapi dibalik pupil yang bergetar itu terdapat bayangan yang kembali mereka ulang kejadian berdasarkan informasi dari polisi yang melakukan rekonstruksi. Dirga terpejam dalam beberapa detik, kepalanya sedikit tertunduk bersamaan dengan helaan nafas yang terbuang panjang. Sudah cukup mengandalkan bayangannya untuk mereka ulang kejadian lima tahun lalu, kini dirinya berniat untuk menuju tempat kedua.

Salah satu tangannya telah menggerakkan persneling, kakinya bersiap untuk menginjak pedal gas. Akan tetapi suara benturan baru saja terdengar di rungunya, Dirga menoleh cepat dan mendapati seorang pengendara mengalami kecelakaan di tempat yang sama dengan kejadian kekasihnya. Detik itu juga tangannya melorot dari roda setir saat melihat seorang wanita yang menjadi korban kecelakaan tersebut. Tangannya bergetar hebat, kepalanya mendadak pening, serta tubuh yang terasa begitu lunglai menatap wanita tersebut dari dalam mobil tanpa bisa bergerak cepat guna membantunya. "Kutukan itu masih belum hilang," batinnya.

Tampak Mengenal

Cahaya lampu adalah objek pertama yang tertangkap kedua manik Dirga, pandangannya masih cukup kabur saat dia berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya. Di sisi kanannya terdapat sang ibu yang memasang air muka begitu khawatir, namun juga terdapat senyuman penuh kelegaan ketika pandangan keduanya saling bertemu. Dirga berusaha untuk duduk, dibantu dengan sang ibu yang bangkit dari kursinya. Netra rusanya berpendar ke segala arah saat melihat ada peralatan rumah sakit, pun ia kembali menatap sang ibu dengan kedua alis yang tertekuk. "Ini kenapa, bu? Kenapa aku ada di sini?" tanyanya.

"Orang-orang nemuin kamu nggak sadarkan diri di dalam mobil," jawab sang ibu. Wanita itu melihat putranya yang diam tanpa berniat menimpali kalimatnya. Genggaman tangan sang ibu semakin erat, ada sedikit rasa kesal lantaran Dirga tak mendengarkan kalimatnya sebelum memutuskan untuk meninggalkan rumah. "Ibu udah mencegahmu, tapi kamu nggak dengerin ibu," ucapnya lagi.

Laki-laki itu masih membungkam mulut, mengalihkan pandangannya dari ibunya yang masih memarahinya lantaran tetap nekat untuk mendatangi dua tempat yang menjadi rutinitasnya tiap tahun. Secara tiba-tiba tatapannya begitu lekat saat ia baru menyadari jika dirinya belum mendatangi makam kekasihnya itu. Bola matanya bergerak guna melihat waktu yang ada pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Namun, tanpa menjelaskan secara gamblang, ibunya langsung melarangnya untuk tidak pergi ke makam tersebut. Sang ibu pasti sudah mengerti, Dirga ditemukan di lokasi kecelakaan, yang mana selalu menjadi tempat pertama sebelum tempat pemakaman. Pun dengan hembusan nafas panjang, Dirga mengikuti apa yang dikatakan oleh ibunya—kendati dia tetap ingin pergi.

Beberapa jam berada di rumah sakit, akhirnya ibu dan anak itu memutuskan untuk segera pulang ke rumah. Sedari tadi Dirga hanya diam saat berjalan keluar dengan tangan yang terus digandeng oleh ibunya. Tahun ini adalah yang terparah daripada yang sebelumnya, Dirga pulang bukan dalam keadaan basah kuyup, melainkan kondisi yang baru saja keluar dari rumah sakit. Tentu saja, beberapa hari kedepan, sang ibu tak akan memberikan izin untuk putranya itu meninggalkan rumah lagi. Hal ini juga sudah menjadi rutinitas tahunan ibunya, setiap jamnya harus memastikan keadaan Dirga yang tetap terjaga kehangatannya. Hanya Dirga yang dimiliki wanita paruh baya itu. Pun keduanya telah memasuki taksi, namun sempat mendapat protes dari Dirga jika ia bisa mengendarai mobil. Tetap saja sang ibu memberikan larangan dengan begitu tegas agar sopir sewaan yang akan membawa mobil putranya itu.

Sejujurnya, diusia yang telah menginjak kepala tiga itu cukup membuatnya merasa malu karena semua sikap sang ibu. Bukannya Dirga menyepelekan kasih sayangnya, tetapi semua perlakuan yang ia dapat, justru membuatnya terlihat seperti anak manja, yang apa-apa selalu ada campur tangan ibunya. Walau begitu, hanya ibunya yang menjadi satu-satunya wanita yang tak pernah mendapat kesialan apapun walau setiap hari selalu bersama dia. Setidaknya, ada hal yang bisa dia syukuri dari kehidupan malangnya ini.

"Dokter bilang kalau kamu pingsan karena trauma," ucap sang ibu tiba-tiba, ia menjeda kalimatnya bersamaan dengan Dirga yang menoleh. "Tapi, ibu mau tau dari ceritamu," katanya lagi.

"Aku cuma di lokasi kecelakaan kayak biasanya, tapi saat aku mau pergi dari sana, suara benturan keras bikin aku kaget. Seorang pengendara wanita yang menjadi korbannya, dan saat itu juga aku mulai ngerasain pusing," jelas Dirga.

Keduanya sama-sama terdiam, kembali pada pikiran masing-masing sebelum akhirnya Dirga kembali menatap jalanan luar yang masih tertutup oleh derasnya air hujan. Akan dia akui, jika hujan adalah salah satu hal yang dia benci. Semua kenangan buruk itu terjadi kala hujan turun, bahkan disaat ia ingin mendatangi makam kekasihnya, Dirga harus berurusan dengan hujan—tanggal kematian yang tepat pada musim hujan. Anehnya, kebanyakan orang justru menyukai jutaan tetesan air langit itu. Sebenarnya apa yang membuat hujan begitu istimewa untuk orang-orang yang menyukainya? Dirga masih mempertanyakan akan hal itu.

Hingga akhirnya mereka berdua tiba di rumah, sang ibu segera membawa putranya itu menuju kamar, menutup rungu dari celotehan Dirga yang menolak pertolongannya. Itulah seorang ibu, tetap akan melakukan sekalipun mendapat penolakan dari anaknya. Apalagi wanita paruh baya itu juga sangat mengetahui kondisi anaknya, ditambah cerita yang tadi diceritakan putranya itu juga membuatnya berpikir jika Dirga masih menganggap dirinya pembawa sial untuk wanita—walaupun Dirga tak saling mengenal dengan wanita itu. Sebagai ibu, wanita paruh baya itu juga merasa tak yakin jika apa yang dialami putranya itu adalah sebuah kutukan akan kesalahan masa lalu. Pasalnya, tak ada kesalahan fatal apapun yang membuat Dirga harus menanggung penderitaannya selama beberapa tahun ini. Sang ibu juga tak ingin menganggap ini adalah kutukan untuk anaknya, ia hanya perlu mencari tahu penyebab pasti yang membuat Dirga mengalami hal buruk ini. Kutukan itu tidak ada.

Suara debuman itu terdengar jelas, menandakan jika sang ibu baru saja menutup pintu kamarnya. Tepat setelahnya, helaan nafas panjang terbuang begitu saja, lagi-lagi ia kembali pada kursi cokelat ini, memandang hujan dari balik jendela kamar. Memangnya apa yang bisa dia lakukan di kamar ini? Hanya duduk sembari menatap kendaraan berlalu-lalang. Hal ini terjadi memang terjadi beberapa hari ke depan. Membujuk sang ibu juga tak ada gunanya. Hingga dihari kelima, laki-laki itu baru mendapat izin untuk beraktivitas di luar rumah. Bukankah hidupnya semakin terlihat menyedihkan dibawah tangan sang ibu?

...****************...

Cuaca pagi ini cerah dengan sedikit awan mendung, Dirga berkendara seorang diri guna menuju tempatnya bekerja. Dalam perjalanannya, laki-laki itu menyempatkan diri membeli sedikit makanan untuknya menyarap. Terdengar suara denting dari lonceng yang menempel di pintu minimarket, kedua tungkainya bergerak, membawa diri pada rak yang terdapat banyak makanan pengganjal perut. Tak perlu lama sampai ia berjalan ke kasir, tangannya merogoh dompet di dalam mantel barunya guna mengambil beberapa lembar uang untuk melakukan pembayaran atas makanan yang telah ia ambil. Namun, saat lembaran bernilai itu akan diletakkan, mendadak tubuhnya membeku melihat penjaga kasir itu kerepotan mengurus semua barang yang ada di bawah meja kasir, apalagi hanya dia seorang di minimarket ini. Pun dengan satu tarikan nafas, Dirga meletakkan uangnya tanpa meminta kembalian—akan memakan banyak waktu untuk menunggu penjaga kasir itu memberikan uang kembaliannya.

"Saya lakuin sendiri. Uangnya ada di bawah staples. Mbaknya selesaikan itu dulu," katanya dengan menunjukkan jumlah barang yang dia ambil seraya berjalan keluar minimarket.

Laki-laki itu telah membawa diri masuk ke dalam mobil guna melanjutkan perjalanan menuju showroom mobil sebagai tempat kerjanya yang menjual dan rental mobil. Baru beberapa meter mobilnya melaju, mendadak kedua alisnya mengerut, kepalanya sedikit dimiringkan lantaran sesuatu yang familiar baru saja ia rasakan. "Wajah itu nggak terlihat asing," gumamnya.

Sekelebat Bayangan

Dirga baru saja menyambar kunci mobil yang tergeletak pada meja kaca ruangannya. Kedua tungkai laki-laki bersepatu hitam itu melangkah menuju sebuah mobil yang paling lama berada di tempat ini. Sudah beberapa hari pribadi itu tak memberikan perhatiannya pada mobil dengan seri lawas tersebut. Dan hari inilah yang menjadikannya memberikan atensi pada mobil itu. Dirga akan mengajaknya berjalan-jalan.

Kendati mobil ini sering disentuhnya, tak pernah sekalipun dia memeriksa. Dan sekalinya memeriksa seluruh interior mobil ini, dia menemukan sebuah kantong kecil berwarna hitam. Sejemang berhenti di bahu jalan guna memeriksa isi dari kantong tersebut. Kedua matanya membola, alisnya tertekuk kaget lantaran sepasang cincin yang jatuh di atas telapak tangannya. Pemilik mobil ini meninggalkannya. Pun karena rasa penasaran membuat Dirga menjajal cincin tersebut pada jari manis tangan kirinya, yang mana sesuai dengan ukurannya.

Dia tak akan menampik jika dirinya menginginkan cincin pasangan, sama seperti laki-laki lain pada umumnya. Hanya beberapa detik, sebelum akhirnya rasa kesalnya timbul kembali. Entah siapa yang ingin dia salahkan. Dengan helaan nafas yang berat, dia melepaskan cincin tersebut. Namun sayang, sesuatu terjadi padanya. Cincin itu enggan meninggalkan jari manis Dirga, membuat pria itu panik. Kendati begitu, usahanya masih terus berjalan. Sampai-sampai Dirga membuka salah satu jendela kaca, lantaran pendingin udara pun tak mampu membuat bulir peluh itu hilang.

"Gawat!!"

Belasan menit berlalu juga tak membuahkan hasil apapun. Maniknya berpendar ke segala arah guna mencari kedai. Pun Dirga keluar dari mobil, berjalan seorang diri dengan tenaga yang masih dia kerahkan untuk melepas cincin tersebut. Jari manisnya sangat merah, lantaran terus dipaksa untuk menjauhi logam mulia itu. Pun begitu juga dengan jari-jarinya yang lain, sangat pegal. Namun, ditengah-tengah langkahnya, seseorang baru saja menarik salah satu pundak. Tubuhnya sedikit terhuyung.

"Maaf, tapi bolehkah aku bertanya?" tanya wanita tersebut.

Entah datangnya dari mana, secara mendadak wanita itu mengajaknya berbicara. Laki-laki itu sempat mengamati wanita tersebut secara keseluruhan. Namun, belum dijawab pertanyaan itu, Dirga menyaksikannya secara langsung ketika tatapan wanita tersebut bukanlah untuknya. Secara pandangannya, dia tak bersikap sopan dengan seseorang yang baru saja diserang begitu saja. Bahkan, tak memunculkan rasa bersalah pada wajah wanita itu.

"Siapa anda? Tiba-tiba menarik pundak saya, dan tidak bersikap sopan begini," balas Dirga.

"Maaf," jedanya, tatapan wanita itu masih terfokus ke lain arah. Seakan terdapat kehadiran orang lain di sini. "Tapi, apa ada sesuatu yang aneh terjadi padamu? Aku hanya ingin memastikannya," tanya wanita itu.

Dirga semakin memberikan air muka yang tak mengenakkan, perbuatan wanita itu lebih tidak sopan terhadapnya. Dirinya sangat tak menyukai dengan situasi saat ini, membuatnya ingin segera mengenyahkan diri dari hadapan wanita tersebut. "Minggir! Jangan halangin jalan!" tegasnya yang langsung menghalau pergi.

"Perempuan itu masih terus ngikutin dia," kata wanita bernama Sakura itu seraya menatap kepergian dua sosok berbeda alam tersebut.

...****************...

Usahanya tak membuat cincin ini terlepas, bahkan dengan bantuan pelicin apapun juga tak membantunya. Dirga frustasi, tak menemukan solusi untuk dirinya sendiri. Presensi itu meletakkan kedua tangannya di atas roda setir, diikuti dengan kepalanya yang juga diletakkan di sana. Kala maniknya terpejam dan tak dapat melihat apapun, secara mendadak tangannya tergeser begitu saja hingga menyentuh tombol lampu hazard. Detik itu juga, pejaman matanya membuat Dirga mendapatkan sekelebat bayangan kronologi sebuah kejadian hanya dalam sepersekian detik. Dengan cepat Dirga membuka kedua matanya, terkejut bukan main dengan apa yang ia dapati barusan.

Laki-laki itu menarik tangannya dari tombol lampu hazard itu, menatap telapak tangannya sejenak dengan dahi yang telah dipenuhi oleh keringat. Jantungnya berdebar kencang, berusaha menormalkan keadaan tubuhnya kembali sebelum akhirnya memilih untuk melajukan mobil ini ke dealernya. Dia tak begitu ingat jelas dengan rentetan peristiwa itu, hanya ada sosok pria dan wanita yang dia tangkap. Entahlah, Dirga tak menangkap wajah sosok pria dan wanita itu.

"Apa itu tadi?" tanyanya pada diri sendiri.

Dikala mobilnya melaju beberapa meter, pandangannya menangkap sosok wanita yang tadi bersikap kurang ajar padanya. Iya, Dirga ingat pertanyaan yang diajukan oleh gadis itu. Dengan segera laki-laki itu mensejajarkan mobil ini dengan wanita tersebut. Bahkan, Dirga menurunkan kaca mobilnya, memanggil wanita yang tidak dia ketahui itu namanya. "Hey! Tunggu sebentar," serunya.

Merasa terpanggil, Sakura menoleh ke sisi kanannya, mendapati sosok laki-laki tadi yang berusaha memanggilnya. Wanita tersebut menghentikan langkahnya, sedikit membungkukkan badannya ketika laki-laki itu berbicara dengannya.

"Lo tadi yang—"

Belum saja Dirga menyelesaikan kalimatnya, wanita tersebut langsung memasuki mobil. Namun, dengan tidak sopannya lagi Sakura menduduki kursi belakang, membuat Dirga terlihat seperti seorang sopir.

"Gue nggak nerima tumpangan,"

"Lo pasti mau nanya soal pertanyaan gue, 'kan? Biar gue jelasin di dalem mobil," timpal Sakura.

"Seenggaknya duduk di depan, gue bukan sopir lo,"

Sakura sama sekali tidak menimpali kalimat Dirga barusan, hanya sekilas tatapannya terarah pada bangku yang berada di sebelah laki-laki itu. "Bangku itu udah diisi penumpang lain. Dan soal penumpang ini yang mau gue omongin," tutur Sakura.

Sekeptis laki-laki itu menoleh pada bangku di sebelahnya, tak ada apapun yang dia tangkap. Dia masih menganggap jika ucapan wanita itu hanya ucapan sembarangan tanpa bukti. Namun, Dirga mencoba untuk memasang telinga, mendengar penjelasan yang diberikan oleh wanita tersebut.

"Ada wanita yang menggunakan gaun merah muda, rambut panjang, dan wajahnya pucat duduk di sebelah lo. Kakinya telanjangnya berlumuran darah,"

Sakura langsung mengalihkan pandangannya saat sosok wanita tersebut menolehkan kepalanya ke arahnya. Wanita itu tak berani untuk melihat wajah sosok tersebut dengan jarak sedekat ini. Namun, kedua maniknya melirik ke arah tangan Dirga dan sosok wanita tersebut. "Kalian terhubung benang merah," katanya. Tubuhnya merinding bukan main saat memberanikan diri mengeluarkan semua kalimatnya.

Di dalam mobil tersebut kembali hening, tak ada satupun dari mereka yang berbicara ataupun membuat suara-suara aneh. Sakura tak bisa menahan dirinya lebih lama lagi berada di sini. Penjelasannya tadi juga sudah cukup memberikan informasi pada laki-laki itu. Lantas Sakura bergegas keluar melalui pintu yang berlawanan dengan pintu masuknya tadi.

"Udah jelas, 'kan? Gue pergi," pungkas Sakura.

Usai kepergian wanita itu, Dirga sama sekali tak mampu mengeluarkan sepatah katapun, ia kembali melihat kursi di sebelahnya yang tak menampilkan sosok apapun di sana. Lantas hanya beberapa menit setelahnya, Dirga kembali melajukan mobil tersebut untuk kembali ke tempatnya. Namun, tak ada hentinya isi kepala Dirga hanyalah ciri-ciri wanita yang disebutkan. Secara mendadak, tubuhnya merinding kuat. Entah ada sesuatu yang terjadi, atau hanya karena dirinya yang terbawa takut akan cerita dari wanita yang tak dia kenal.

"Nggak mungkin, aneh-aneh aja cerita perempuan itu," kata Dirga meyakinkan dirinya sendiri. Seakan semua ucapan wanita itu hanyalah angin lewat.

...****************...

Setibanya di rumah dengan tubuh yang lelah, Dirga membawa dirinya masuk ke dalam kamar. Dia ingin melepaskan semua penatnya, membaringkan tubuh di atas kasur empuk setelah tubuhnya segar. Itu semua baru dalam angannya, sampai akhirnya Dirga melangkah menuju sang ibu yang terduduk di ruang tengah seraya menonton acara malam. Senyuman tipisnya tersemat saat pandangan mereka saling bertemu. Laki-laki itu memilih untuk duduk di bawah seraya memeluk kedua kaki sang ibu.

"Kenapa? Kok keluar lagi?" tanya sang ibu.

"Ibu, aku mau tanya,"

"Tanya apa?"

"Arti benang merah itu apa?"

Mendengar pertanyaan putranya, kegiatan menonton acara malam itu terjeda. Atensi sang ibu diletakkan seutuhnya pada Dirga. Wajahnya menampilkan sedikit senyuman, seakan pertanyaan itu menarik untuk dijawab.

"Benang merah itu biasanya dilambangkan sebagai pembawa jodoh," jawab sang ibu. Namun, putranya itu malah terdiam. "Kenapa nanya? Ada perempuan yang lagi kamu deketin?" tanya sang ibu.

"Ey, aku ngga tertarik sama perempuan manapun," jawab Dirga yang langsung bangkit dari posisinya. Laki-laki itu menghela nafas panjang, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya sebelum meninggalkan sang ibu di tempat itu. Ingatannya kembali pada perkataan wanita tadi yang mengatakan perihal dirinya terikat benang merah oleh sosok wanita tak kasat mata itu.

"Apa itu penyebabnya?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!