NovelToon NovelToon

Jakarta Di Hari Ini

Jakarta

Coba kita bayangkan seperti apa wajah Jakarta itu. Banjir, itu sudah biasa. Macet, itu cerita lama. Koruptor, semua orang sudah bosan mendengarnya. Atau ibu kota Republik Indonesia, jangan ditanya lagi karena itu adalah hal yang umum bahkan sudah ada di dalam buku pelajaran anak kelas dua SD. Ada gambarnya pula.

Pada dasarnya, Jakarta hanya sebuah tempat yang terpilih sebagai wilayah khusus Ibu kota pemerintahan. Tapi hal terpenting adalah di dalamnya menjadi tujuan berkumpulnya seluruh umat manusia dari berbagai belahan nusantara. Bahkan tidak hanya sebatas manusia, begitu pula mahluk gaib yang kepalanya hilang dan mencarinya melalui pesan SMS pun ada di Ibu kota ini. Tidak perlu heran atau pun takjub, karena semua kejadian itu sangatlah wajar, sewajarnya manusia bernafas untuk hidup.

Wajah dari Jakarta adalah para penduduk yang hidup di dalamnya, bermacam manusia dengan sifat dan karakter masing-masing, menjadi hal unik yang selalu ada di setiap sudut kota Jakarta.

Jika kita lihat di sekitar. contohnya saja seperti seorang anak keturunan dari Nusa tenggara hidup di Jakarta dengan membuka warung makan tegal atau cukup tenar dikenal sebagai warteg. Itu sudah menjadi hal unik untuk di ceritakan, tentang mereka yang memulai sebuah bisnis karena terinspirasi dengan tempe orek nya.

Itu semua hanya sedikit kisah dari para perantau sebagai dongeng untuk anak-anak mereka agar lelap tidur, dan membuat mereka tidak memiliki niat menjadi perantau hanya karena tergiur melihat penampilan dari orang lain.

Sebab, ketika melihat tetangga mereka baru mudik dengan menggunakan lusinan pakaian serba minim, sobek kiri kanan, kurang bahan, pamer aurat. Lebel harganya pun belum di copot, 10.000 untuk kaos tipis sobek di bahu, wajah-wajah mereka penuh bedak, gincu merah merona, dan mengkilap seperti kena minyak solar, mana kala dia katakan.

"Ini fashion anak kota zaman sekarang, kau tidak akan pernah tahu apa itu Fashion... Sana cepat kau beri makan kambing mu saja."

"Jangan salah, kambingku juga tahu fashion, kemarin dia minta di pakein Skin care dan salep kalpanak katanya supaya kulitnya mulus." Balasnya.

Jika di usut tentang kehidupan mereka di Jakarta sana. Berlagak sok kaya, sok trendy, sok cantik padahal orang-orang seperti itu hanya sebatas tukang jual rokok keliling yang menawarkan barang dengan rayuan mesra.

Ada juga bujang norak yang bergaya seperti penyanyi rock, celana sobek-sobek, bertindik, tato sepanjang lengan, dan gaya rambut model Elvis Presley Sukaesih.

Dia berkata.... "Mana tahu kau soal musik, di kota Jakarta sana, tidak ada itu namanya rebana, khosidah atau apalah, gua kumpulnya sama anak-anak Rock, metal, pop, gambus, orkes dan paling top itu Tan Dji Door." Spektakuler benar apa yang dia katakan.

Pada kenyataannya dia hanya juru gitar antar bus Kopaja dan angkot-angkot kalideres-senen, alias pengamen. Menggunakan stater pack kaus oblong kusam, murahan dan dekil. Tanpa orang lain tahu dia membeli pakaian baru murah dari pasar pagi sebelum mudik ke kampung, agar bisa disombongkan.

Dan satu orang lagi bergaya layaknya pegawai kantoran yang menggunakan jas dan dasi. Dia hanya seles untuk menawarkan sebuah produk makanan dari hasil biji bunga matahari yang di sebut kuaci.

Penuh wibawa, bergaya tegas ibarat capres naik podium disambut tepuk tangan para pendukung...."Jangan salah ibu, bapak, kakak-kakak, adik-adik om-om dan tante-tante. Ini adalah produk makanan paling fantastis yang pernah ada di muka bumi. Lihat komposisinya Air, Energi, Protein, Lemak, Karbohidrat, Serat, Kalsium, Zat besi....kalian tahu zat besi itu apa ?."

Mereka hanya menggeleng karena memang tidak tahu dan lainnya merasa takjub akan komposisi kandungan nutrisi di bungkus kuaci.

Dia pun menjawab...."Lima karung kalian makan, bisa jadi iron man."

Merayu pelanggan dari supermarket hingga warung pinggir jalan, tapi karena produknya tidak laku yang membuat karir mereka berakhir, dari selesman kuwaci menjadi kenek kopaja.

*******

Di tempat lain yang jauh....

Askar Alfarizi, lahir disebuah desa kecil jauh dari perkotaan, wilayah antah berantah di tanah orang-orang pecinta teh poci dan tahu Aci yang bernama desa Pakulaut kabupaten Tegal.

Rumah-rumah sederhana berdiri sejajar samping jalan yang hanya berlapis aspal dan batu kerikil. Tidak ada hal istimewa dari desa pakulaut ini. Semuanya tampak sama dengan desa pelosok lainnya. Jalanan yang hanya di lewati kerbau, kambing atau barisan pawai bebek seperti model di atas Catwalk.

Jarang sekali terlihat ada kendaraan melintas. Walau pun ada, itu hanya sebatas mobil pick up butut yang datang berkunjung untuk membawa hasil panen atau ternak dari desa pakulaut untuk di jual ke kota setiap sebulan sekali.

Udara yang segar tanpa terkontaminasi karbon monoksida atau pun kebisingan kelakson motor yang berebut jalan, membuat masyarakat desa pakulaut tidak pernah mengeluh tentang polusi udara dan pencemaran lingkungan.

Masyarakat desa hanya mempermasalahkan hal kecil, seperti kerbau mereka kawin dengan kerbau tetangga, yang dimana akan jadi masalah adalah sengketa kepemilikan hak asuh dari peranakan kerbau itu.

Sang pemilik kerbau jantan akan berargumen.... " Jika kerbau kau tidak kecentilan, tidak mungkin kerbauku akan selingkuh dengan kerbau punyamu ."

Balas pemilik kerbau betina.... "Tapi kerbau kau itu kegatelan, masa setiap malam menyelinap masuk tanpa permisi ke kandang kerbauku, dasar tidak tahu adat ."

Pak RT menjawab... "Mana ada kerbau yang punya adat, kalau punya, mereka pasti pakai celana dan antri di depan toilet saat buang hajat." dengan bergumam dan memalingkan wajahnya.

Walau kejadian itu begitu kacau, saling mengatakan argumen satu persatu, saling menjelekkan kerbau dan saling mengejek nama bapak mereka, tapi itu adalah hal wajar, seperti halnya orang buang hajat di pagi hari.

Tidak ada yang adu pukul, tidak ada kericuhan, apa lagi tawuran antar tetangga. Semua akan berakhir dengan kesepakatan bersama, memang tidak terlalu menegangkan, apa lagi mengharukan. Hanya saja itu tidak membuat kehidupan Askar di desa pakulaut menyenangkan.

Apa yang diharapkan ?, Desa Pakulaut tidak memiliki fasilitas mewah seperti halnya perkotaan, tidak ada gedung tinggi atau pun menara pemancar sinyal. Untuk Askar menjalani kehidupan sebagai anak kampung berbekal ilmu agama islam dari ustad Tonali yang tidak pernah lepas mengaji sehari sekali, hanya bisa termenung membayangkan seperti apa tinggal di kota.

Sejak kecil matang dirinya persiapkan masa depan, dia berkhayal kalau suatu hari nanti pergi ke kota dan berkerja di sebuah perusahaan besar dengan gaji yang cukup untuk membeli mobil. Itu yang Askar bayangkan. Sebuah mimpi sederhana saat usianya baru 12 tahun, masa dimana keinginan hati mulai tumbuh dan ingin segera beranjak dewasa.

Bangun jam 4 subuh untuk mandi dan solat, mempersiapkan segala keperluan yang akan Askar bawa ke sekolah. Sebelum sarapan dia pula menyempatkan diri untuk memberi makan kambing peliharaan keluarga.

Tidak terlalu berat bagi Askar, jika dibandingkan dengan beberapa teman lain yang harus membantu ibu mereka untuk berjualan dan mengangkut barang bawaan 5 kilometer dari pasar. Bahkan Narmo salah satu temannya sejak kecil, dia selalu datang terlambat. Bukan karena malas atau pun tidak bisa bangun pagi, tapi karena Narmo harus berkeliling desa untuk menitipkan jualan kripik ke pedagang lain.

Itu Narmo lakukan sewaktu subuh dan belum berakhir saat bel masuk pelajaran sekolah. Setiap guru memaklumi, mana kala dagangan terlambat dia kirim, mengharuskan Narmo bawa ke kelas selagi jam pelajaran sudah di mulai. Tanpa perlu merasa repot, terkadang pula semua kripiknya habis dibeli oleh teman-teman lain.

Meski rutinitas seperti itu bukan hal aneh bagi anak desa, Askar tidak berani membayangkan jika harus berada di posisi Narmo. Tak jarang pula beberapa teman yang harus putus sekolah sebelum menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Berkerja sebagai tukang kebun di kota, mereka lakukan demi membantu orang tua dan menyekolahkan adik-adiknya.

Askar menaruh hormat kepada mereka yang masih berjuang untuk terus bersekolah sebagai tekad mengubah hidup dari garis miskin tujuh turunan yang mengalir di urat nadi keluarga.

paguyuban

Banyak cerita terjadi di dalam kota Jakarta, tentang para pejabat, pengusaha, pedagang, supir, pengacara, seles, pemulung, gelandangan, pengamen, preman, calo, tukang tipu, tukang jahit, tukang sol, tukang cuci, cuci tanpa setrika, tukang setrika tanpa cuci. Tidak lupa kuli tinta, kuli bangunan, kuli angkut, angkut sembako, hingga angkut barang orang dan kuli-kuli lainnya. Mereka selalu memiliki kisah yang menggmbarkan betapa uniknya ibu kota Jakarta.

Bercerita tentang orang kaya yang mengambil uang dari rakyat miskin, atau pun rakyat miskin yang menggibah orang kaya yang dengan sengaja mengambil uang mereka. Mungkin juga tentang orang udik dari kampung yang mengadu nasib di Ibu kota untuk mencari pekerjaan, hingga pada akhirnya berakhir sebagai supir bus kopaja.

Warju bin Suherman, nama yang cukup terkenal di Desa pakulaut, lantaran dia berkontribusi besar dalam memajukan perekonomian desa, dengan membawa pemuda-pemuda pengangguran untuk bekerja di kota.

Bekerja di bidang transportasi, pulang pergi antar Terminal, terima sewa pariwisata, dan antar jemput barang, ya Warju adalah supir Kopaja itu.

Dan saat ini, diantara penatnya jalanan kota yang macet, aspal panas meluap-luap, klakson kendaraan saling bersautan, kenalpot-kenalpot mengumbar karbon monksida dengan sombong, atau pertengkaran dua pengemudi baku hantam karena saling senggol kaca spion.

Bagi Warju semua itu hanya sebuah episode kecil karena di dalam hidupnya sendiri sudah terlalu banyak Drama. Dia menggenggam erat stir bulat kemudi bus Kopaja yang mulai berkelak-kelok melewati sempitnya kemacetan di persimpangan lampu merah jalan Daan Mogot.

"Bang kiri bang." Saut penumpang hendak turun.

"Siap." Banting stir Supir Kopaja itu menepi dengan lihai.

Warju Bin Suherman, lahir di desa kecil nun jauh di belahan bumi antah berantah bernama Pakulaut, seorang supir Kopaja kawakan. Usia yang menginjak 38 tahun dan sudah menghabiskan separuh kehidupannya untuk coba bekerja di Jakarta.

Menitih karir mulai dari berkerja sebagai penjual asongan, tukang semir sepatu, pengamen, pedagang gorengan, tukang cukur dan profesi terbarunya adalah seorang supir kopaja yang telah digelutinya selama 10 tahun terakhir.

Asam garam kehidupan kota Jakarta dan pahit manis pengalaman, itu menjadikan Warju sebagai orang yang dihormati dari kalangan perantau muda, atau lebih tepatnya, dia adalah seorang perantau senior yang sering memberikan petuah bijak sesama orang jawa. Termasuk Warju Bin Suherman juga menjadi salah satu staff tinggi di paguyuban perantau jawa yang disingkat menjadi PAPERJA.

Malam yang telah larut membawa bus Kopaja bertulisan kalideres - Grogol, ditambah keterangan-keterangan dari stiker tempel 'Ra kerjo ya Rekoso...', 'Doa Ibu sepanjang masa.' dan 'Wani Sengsoro'... terparkir di rumah tipe S3 (selonjor saja susah) pinggiran desa Semanan.

Warju yang baru turun sudah disambut oleh sosok wanita dengan senyum penuh kebahagiaan, dialah sang istri, Siti Maemunah, dan biasa dipanggil oleh Warju, Mae.

Melihat senyum menawan Mae itu, Warju kembali tegak berdiri seakan rasa lelah sirna tertiup angin, atau pantat panas setelah duduk berjam-jam di kursi, hilang tanpa memberi kabar. Merasa lebih mulia dari seorang presiden yang disambut tabuhan Drum band, parade militer, dan karnaval siswa SD dalam acara tujuh belas agustusan, Warju tersenyum sumringah.

Sedikit kebahagiaan setelah Warju seharian membanting tulang diantara kerasnya aspal jalanan kota Jakarta, ada di dalam rumah sederhana yang dia miliki ini. Semua yang dia dapatkan sekarang bukanlah berasal dari kantong ajaib, bukan pula hadiah dalam bungkus kopi. Tapi perjuangan nyata puluhan tahun, keringat, darah, air mata, waktu dan harga diri.

Kisah hidup Warju, berawal dari tekad kuat untuk menjadi orang kaya dan memperbaiki keekonomian keluarga yang miskin tujuh turunan. Warju datang ke Jakarta tanpa kenal siapa pun, tidak ada sanak saudara, tidak ada pula kawan seperjuangan.

Menumpang truk barang yang berangkat dari kampung untuk mengirimkan berbagai macam barang kerajinan dari desanya. Tapi kenyataan selalu berbeda dari ekspetasi, berbekal ijazah SD negeri pakulaut 05 dan surat tanda khatam Al Qur'an dari Madrasah Al Muttaqin.

Semua itu tidak berarti apa pun untuk mencari kerja di kota, dimana kekuatan orang dalam dan uang sogokan jauh lebih efektif.

Pada akhirnya Warju hidup di Jakarta yang keras dan harus menggelandang ke sana kemari sebatas mencari tempat tidur dan kerja serabutan untuk mencukupi biaya makan.

Sesekali pun Warju harus mengambil makanan sisa dari warung-warung dan saling berebut dengan anjing borokan yang melihat dia mencari di tong sampah dalam wilayah kekuasaannya, tekad kuat demi keluarga masih digenggam erat.

Tidak lama setelah Warju datang ke Jakarta, itu adalah jaman reformasi di tahun 1998, demo, kerusuhan, penjarahan, pembunuhan atau pun segala macam tindakan anarkis yang ingin melengserkan takhta Presiden. Warju melihat berbagai macam peristiwa buruk dan membuatnya sadar kalau wajah dari Jakarta adalah rakyat itu sendiri.

Wajah-wajah yang rakus, wajah yang kecewa, wajah kelaparan, wajah marah, wajah bersedih, wajah tertawa, wajah polos tanpa tahu apa pun, dan wajah yang ingin tahu makna perkataan di spanduk para pendemo. Itu semua adalah wajah Jakarta yang di lihat Warju selama berada di tanah perantauan.

Wajah polos yang bicara dengan preman sangar penuh luka codet, menipu mereka untuk diiming-imingi cara cepat menjadi kaya seperti penggandaan uang, itu pun sering dia lihat. Atau juga wajah-wajah penuh wibawa yang berpidato di atas podium kehormatan, memberi janji-janji, menggenggam cita-cita, dan pada akhirnya lupa alasan mereka.

Tentang kemerosotan ekonomi di Indonesia di tahun itu, sebenarnya tidak begitu di pikirkan oleh Warju. Hanya saja cukup berdampak kepada dagangan yang dia jual. Menjadikan permasalahan ekonomi sebagai alasan untuk menawar minuman limun dingin, padahal dia pun tidak tahu menahu soal ilmu keekonomian, karena lulus SD pun sudah bersyukur.

Tapi dengan sedikit senyum meringis menunjukan gigi kuning yang satu minggu tidak tersentuh Odol, Warju berkata... "Lah pak, saya mah nggak tahu persoalan ekonomi, terserah negara mau ambruk atau pun nyungsep sekalian yang penting saya masih bisa makan, ya nggak apa-apa."

Masih dengan campuran logat Tegal yang medok, si pembeli sendiri hanya tersenyum kecut mendengar perkataan dari Warju dan menyodorkan uang seratus perak.

Dari perkataan Warju itu dijadikan pedoman hidup untuk para perantau, hingga melekat menjadi semboyan.

'Seburuk apa pun masalah tentang keekonomian negara, tidak jadi masalah untuk kami, para perantau miskin. Karena memikirkan makan apa esok hari, sudah menjadi masalah di hari ini.'

Tertulis di bawah bendera dengan simbol topi sawah, cangkul, padi dan singkong yang menyilang, seperti gambar bendera bajak laut david jones, berkibar tertiup angin di samping kontrakan 4 x 6 meter sebagai tempat paguyuban perantau jawa saat melakukan kegiatan.

Nomor Wahid

Di kota Jakarta, segala hal pasti diributkan. Mulai dari hal besar, seperti hilangnya uang bansos, saling tuduh, saling suap dan pada akhirnya masuk ke dalam penjara dengan fasilitas apartemen. Atau pun tentang hal kecil, seperti orang bermain gundu, kehilangan satu biji, saling tuduh, saling ejek, adu jotos dan pada akhirnya lapor polisi, masuk penjara.

Tidak ada hari damai untuk sekedar hidup di kota penuh dengan orang-orang bermasalah. Sebuah gambaran yang Askar lihat di berita TV setiap sore setelah acara satwa air.

Tapi itu tidak hanya akan menjadi gambaran di dalam pikirannya saja. Karena sekarang Askar akan pergi menuju kota Jakarta untuk mengadu nasib sebagai seorang perantau.

Bersama dengan satu teman yang dekat sejak lahir, seperti terikat oleh takdir, satu desa, satu SD hingga SMP, tetanggan pula. Berbagi nasib sebagai orang kampungan yang tidak tahu apa pun tentang persoalan percintaan.

Askar dan Narmo, mereka berdua hanya memiliki satu niatan suci untuk pergi merantau yaitu demi mengubah nasib keluarga yang miskin berturun-temurun sampai ke dasar dan tersungkur.

Askar ingat di hari itu...

Saat Narmo sedang asik memandikan ayamnya. Mak Kijah datang dengan perasaan kesal dan tanpa intro terlebih dahulu, langsung masuk Reff untuk memberikan ceramah panjang kepada anak semata wayang.

Suara orang jawa, khususnya logat Tegal yang terkenal medok dan memiliki kalimat akhir cukup panjang, mak kijah mulai berbicara kencang tanpa ada titik, koma, tanda seru, apa lagi tanda tanya.

Lantang suara itu bisa terdengar hingga lima rumah tetangga sebelah. Padahal jarak antar rumah sampai sepuluh meter.

Usut punya usut, suasana buruk ini terjadi setelah Mak Kijah berbincang di warung sayur pinggir pos kamling, sebelah kanan toko sembako milik kang Mail. Walau tidak membeli sayur, Mak Kijah datang untuk hanya sekedar browsing dan Update berita terbaru sekitar kampung.

Tapi perbincangan kala itu, memberikan dampak hebat untuk cara pandang Mak Kijah. Beberapa tetangga yang berkumpul menceritakan tentang mirisnya perekonomian indonesia.

Semakin merosot, semakin jatuh dan semakin kritis untuk persaingan global. Itu karena para pemuda bangsa, generasi penerus yang memikul tanggung jawab negara, lebih terlena tentang kenyamanan menganggur. Tentu setelah mendengar berita itu, Mak kijah semakin kesal, karena salah satu subjek yang menjadi faktor utama permasalahan keekonomian Negara adalah anaknya sendiri.

Narmo sujatmiko, seorang pengangguran 3 tahun, lulusan SMP, hampir gila karena ayam betina.

"Narmo... Kamu anak lelaki jangan sembarangan, kamu akan menjadi kepala keluarga, imam, pemimpin. Kalau sekarang hanya menjadi pengangguran, akan jadi apa masa depan bangsa indonesia ini, bisa rusak, rusak !!!."

Ditariknya sapu lidi, diacungkan ke atas seperti jendral Sudirman menyerukan penyerangan terhadap Belanda.

"Apa kau ingat, mendiang bapak mu itu, pekerja keras, setiap hari mencangkul sawah, setiap hari mencangkul sawah, setiap hari mencangkul sawah, bahkan saat tidak sawah untuk di cangkul, dia mencangkul sawah yang sudah dia cangkul sawahnya."

"Memang gak ada kerjaan lain selain mencangkul Mak."

"Mau gimana lagi, bapakmu itu buruh tani."

"Oooooohhh."

"Tapi kau, setiap hari hanya ayam, ayam, ayam, ayam dan ayam, apa kau bercita-cita hidup menjadi ayam, menikah dengan ayam, jika memang benar, jangan panggil aku ibumu. Apa kau dengar !!!."

Tidak ada sanggahan dari Narmo, perkataan dari Mak kijah berbekas di lelaki sederhana itu, dan siapa sangka Mak Yati, selaku ibu dari Askar mendengar ceramah Mak Kijah yang menjadi promotor penggerak ibu-ibu yang anaknya menganggur. Mereka segera bertindak sebelum masa depan penerus bangsa semakin rusak.

Tentu Askar bukan pengangguran yang bertahun-tahun lamanya seperti Narmo, karena baru dua bulan lalu dia lulus dari SMK negeri satu Tonjong. Tapi Mak Yati langsung terkompori dengan perkataan Mak Kijah, maka mulailah ikut memberikan petuah.

Askar dipanggil, wajah ditekuk penuh kerumitan, tangan kuat yang menghaluskan bumbu dengan ulekan, seakan emosi ibunya ditumpahkan penuh emosi.

"Kar, kamu itu anak berpendidikan, SMK Negeri satu tonjong, berarti nomor wahid, nomor satu, tidak ada duanya ."

Benar perkataan Mak Yati, karena di daerah Brebes tempat Askar sekolah hanya ada satu sekolah SMK, memang tidak ada duanya lagi.

"Ingat ini Kar, kamu itu di sekolahkan tinggi sama bapakmu, biar nanti kamu itu nggak jadi kuli, biar bisa ngetik di TV."

Maksud ibunya adalah komputer, karena saat melihat monitor komputer seperti TV tabung, Mak Yati hanya tahu kalau itu adalah TV yang bisa digunakan orang untuk berkerja di kantor.

"Ibu tidak suka kalau kamu hanya bisa benerin kabel kusut saja, ibu tidak suka itu, tidak suka !!!." Dibantingnya ulekan dan hampir pecah.

Bahkan ketika bapaknya yang datang dari arah depan karena ingin membuat kopi, harus putar balik saat melihat mata Mak Yati melotot.

Meski dibilang ibunya tidak suka pun Askar tidak bisa membantah, karena itu memang jurusan pendidikan kelistrikan yang dia pilih.

"Itu sama saja jadi kuli, tengoklah semua kakakmu, ada yang hebat dan bisa bawa mobil."

Karena memang salah satu saudara Askar adalah supir, dan dia hanya bisa tertunduk merenungi semua perkataan ibunya.

Kemudian menjawab seluruh perkataan panjang lebar yang diucapkan Mak Yati.."Iya Ibu."

Karena Askar adalah anak yang berbakti dengan kedua orang tua, taat beribadah, umat Nabi Muhamad dan rajin menabung. Sehingga Askar tidak ingin melihat Ayah dan Ibunya naik pitam, hanya karena menunggu datangnya rejeki dari surat lamaran kerja yang dia kirim.

Hingga bosan menunggu datangnya surat balasan. Berhari-hari selanjutnya Askar dan Namro merencanakan untuk pergi ke Jakarta dengan alasan masing-masing.

Askar yang memiliki alasan untuk tidak membuat ibunya kecewa, sedangkan untuk Narmo karena sudah bosan mendengar ceramah panjang Mak Kijah hingga berjam-jam. Bahkan Askar sebagai tetangganya tidak bisa melakukan apa pun selain menonton, mendengarkan yang kemudian mengaminkan segala petuah dari Mak kijah.

Di hari sebelum Askar dan Narmo pergi berkelana ke tempat yang tidak pernah di jelajahi oleh kaki mereka, truk bapak Tarmad sudah siap berangkat setelah semua kambing terangkut di bak belakang.

"Ayo coy, siap meluncur ."

Teriak Bapak Tarmad dengan satu keneknya yang stand by di satu kursi samping supir. Narmo terdiam membisu dengan memeluk Namira, membelainya seperti akan menyanyikan lagu 'malam terakhir' dan ternyata memang benar Narmo menyanyikan lagu dari Bang Haji Roma Irama dengan tersedu-sedu.

Setelah selesai bernyanyi tiga menit dari intro hingga Reff, Narmo pun menyerahkan Namira kepada ibunya. Menunduk sedih dengan tangan mak Kijah mengusap lembut punggung anak semata wayang pergi. Terlihat jelas wajah Mak kijah seperti berat melepaskan Narmo merantau.

Askar sendiri hanya terdiam di depan ibu dan ayahnya, sama seperti mak kijah, tangan lembut ibu mengusap rambut dan menangis di pelukan.

"Kar ingat, Jakarta itu kejam, tapi gusti Allah selalu ada untuk menolong hambanya saat kesusahan. Jadi jangan lupa Allah, sholat, mengaji dan sedekah kalau susah atau pun sukses."

Perkataan dari Ibunya selalu membekas di hati Askar, dia sendiri bisa melihat betapa rumit wajah sang Ayah saat hendak memeluk Askar. dan memberikan sebuah kotak kecil yang kemudian mengatakan.

"Kalau kau nanti kesusahan di sana, ini ....."

"Boleh di jual pak ."

"Bukan ....di dalamnya ada hal yang bisa membuat segala kesusahan menjadi damai, kau harus ingat itu."

"Surat warisan ?."

"Sembarangan."

Ayahnya selalu tegas dalam berbagai macam hal, bahkan saat mengatakan A, ayahnya tidak akan memikirkan apa pun alasan lain untuk berubah menjadi B.

Tapi ketegasan wajah Ayah seperti luluh, saat melepaskan Askar untuk merantau ke tanah jahat yang mengiming-imingi kejayaan bagi para perantau.

"Oi, cepat coy, sudah Date line ini ."

Teriak Bapak Tarmad yang sudah mengklakson truk tercintanya Munawaroh, melambai haru kepada keluarga saat kepergian mereka berdua dengan truk muatan kambing.

Ekspresi wajah Askar seperti berkata...

"Tunjukan taring mu Jakarta, aku tidak akan takut oleh sosok mu."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!