NovelToon NovelToon

Ketulusan Hati Syifabella

Episode 01

"Syifa.....di mana kamu?" Seorang pria menuruni anak tangga sambil membawa kemeja warna putih. Suaranya terdengar nyaring di pagi hari. Sejak tadi ia memanggil nama itu sudah hampir tiga kali. Entah kenapa sang pemilik nama tak kunjung menampakkan batang hidungnya "Syifaa......" Lantangnya lagi.

Dari dapur seorang wanita berlarian ke arah sumber suara " Iya mas sebentar" Sebelum keluar lebih dulu mematikan kompor.

"Syifa....." Lagi lagi teriakan itu membuat gendang telinga berdengung kencang. Bukan hal baru baginya mendengar suara keras seperti itu, bahkan sudah menjadi makanan sehari hari.

"Ada apa, mas? Kenapa berteriak kencang sekali sampai getar seisi rumah ini" Tegurnya sembari menatap wajah Pria tersebut. Dari raut wajah sang pria jelas terlihat bahwa dia tidak dalam kondisi baik baik saja. Guratan kasar pada dahi sang pria menandakan kemarahan besar.

"Punya telinga tidak, sih?" Bentaknya lagi.

Mengusap dada "Astagfirullah, mas. Bisa tidak kalau bicara itu jangan teriak, malu kalau di dengar tetangga"

"Kamu itu tuli atau pura pura tuli sih? Dari tadi di panggil tidak nyahut sama sekali, tidak punya telinga, ya?" Kesalnya sambil menyodorkan kemeja putih "Lihat ini kenapa kemejaku belum kamu setrika? Bukankah kemarin aku sudah bilang kalau kemaja ini akan aku pakai kerja hari ini?" dengan mata melotot ia menghardik sang istri.

"Astaga....maaf mas aku lupa" Sambil menepuk kening.

Melemparkan kemaja tepat di wajah sang wanita "Lupa? Lupa kamu bilang? Seharian kamu di rumah ongkang ongkang kaki sedangkan suamimu harus kerja banting tulang di luar sana tanpa kenal lelah, lalu untuk menyetrika satu kemaja saja kamu bisa lupa? Apa sih yang kamu kerjakan selama di rumah, ha?"

Melihat sang suami murka hanya bisa terdiam, semua kerena ia tidak mau berdebat lebih jauh lagi. Percuma saja membela diri pada akhirnya sang suami tidak akan percaya sedikit pun.

Syifabella, seorang wanita muda berusia sekitar dua puluh lima tahun, berkulit putih bersih, mata sendu nan indah. Hampir setiap hari ia harus mendengar suaminya marah atas kelalaiannya. Bukan lalai tapi belum sempat, sebab ia begitu sibuk dengan tugas rumah tangga. Di tambah lagi harus menghadapi sikap ibu mertua yang agoran dan semena mena. Setiap hari kedua orang itu membuat Syifa harus belerja sepanjang waktu sampai tidak ada sedikit pun waktu luang untuk istirahat. Mereka memperlakukan Syifa seperti seorang pembantu bukan sebagai istri dan menantu pada umumnya. Syifa juga harus mengurus semua kebutuhan rumah tangga, dari masak, mencuci, dan membersihkan rumah. Bahkan tidak hanya sampai di situ Syifa harus membersihkan kebun setiap harinya sampai orang lain iba melihatnya. Menjadi istri orang kaya tidaklah seenak kelihatnya, dia di perlakukan tidak manusiawi. Sesekali ingin mengakhiri penderitannya tapi ia memikirkan satu hal, pandangan orang terhadapnya. Menjadi seorang janda sungguh tidaklah mudah apa lagi harus sampai menjanda dua kali. Orang akan berpikir bahwa si wanitalah yang salah karena telah gagal dua kali. Maka dari itu ia memilih untuk diam dengan semua yang terjadi.

"Begitulah istrimu tidak becus dalam segala hal...." Celetuk seorang wanita paruh baya, yang kala itu tengah duduk berpangku tangan sambil menikmati secangkir teh manis. Beliau adalah ibu mertua Syifa. Sedari dulu beliau suka menyudutkannya dalam berbagai masalah.

"Dia itu memang pembawa masalah di rumah kita ini" Tanpa rasa belas kasihan sang ibu mertua mampu melontarkan kalimat menyakitkan, sampai beliau lupa menantunya adalah calon ibu bagi cucu cucunya kelak.

Sejak tinggal bersama kehidupan Syifa begitu menderita. Setiap saat air matanya menetes atas tekanan dan penderitaan. Bukankah seorang istri berhak mendapat kebahagiaan? Namun, berbeda dengan Syifa, justru dia hanya mendapat derita dari pernikahan keduanya itu. Ya, Syifa adalah seorang janda muda. Enam bulan lalu ia bercerai dari suaminya karena suatu masalah. Setelah enam bulan menjanda akhirnya seorang pria datang padanya untuk mempersunting dirinya sebagai pendamping hidup. Awalnya Syifa menolak, akan tetapi kedua orang tuanya memaksanya untuk menerima lamaran itu. Kedua orang tuanya tergoda dengan sejumlah mahar pernikahan yang di tawarkan oleh keluarga pria tersebut. Dengan paksaan kedua orang tua maka Syifa setuju menikah lagi.

"Sudah ibu bilang wanita ini hanya menjadi beban untuk kita saja, seharusnya dulu ibu tidak melamarnya untukmu. Sungguh ibu menyesal telah menikahkan putra kesayangan ibu ini dengan seorang janda sepertinya" Menaikkan salah satu sudut bibirnya sambil memutar bola mata "Beruntung sekali dia mendapatkan suami kaya sepertimu, nak. Justru kita kena sial karena sudah membiarkan dia masuk dalam keluarga kita"

"Kenapa tega sekali ibu berkata begitu padaku, apa salahku, bu? Hidup sebagai janda bukan pilihanku tapi keadaan memaksaku menjadi seperti itu" Mendengar ibu mertua selalu menyalahkannya dalam setiap hal, sehingga statusnya dulu sebagai seorang janda terus menerus di ungkit sampai sekarang.

"Heh....berani sekali kamu meninggikan suara di depanku" Menjambak kerudung yang di kenakan Syifa, sampai rambutnya terlihat.

"Tega sekali ibu melakukan itu padaku" Memungut kembali kerudungnya. Bukan sekali dua kali sang mertua membuatnya harus terhina di hadapan Tuhan. Kerudung yang selama ini selalu menjaga fitrahnya sebagai wanita muslim, kerap kali menjadi sasaran kemaran. Ingin rasa mengeluh tapi pada siapa Ia harus mengeluh? Kedua orang tuanya tidak lagi perduli tentang kehidupan sang putri, karena bagi mereka uang adalah segalanya. Setiap bulan mereka menerima senumlah uang dari menantunya sebagai tanda kasih sayang, itu menurut mereka.

"Ibu bisa menghinaku di depan semua orang, bahkan di depan suamiku sekali pun. Tapi, aku tidak akan membiarkan ibu menghinaku di hadapan Tuhanku" Dengan berderai air mata Syifa berusaha kuat menghadapi mereka berdua. Mereka adalah iblis bertopeng manusia.

Sambil memakai kembali kerudung Syifa kembali bangkit dan menatap sang ibu mertua "Sampai kapan ibu membenciku? Membenci latar belakang masa laluku? Sungguh, sekali pun tidak pernah terpikir olehku untuk menjadi seorang janda. Ini bukan mauku, bu" Tangisnya semakin pecah saat hatinya tak mampu menahan rasa sakit.

"Cukup, sudah cukup. Sekarang juga kamu harus setrika kemajaku, dalam lima menit semua harus selesai" Menarik paksa tangan sang istri, menyeretnya menaiki anak tangga.

Sang ibu tersenyum puas, karena selama ini sang putra selalu berpihak padanya "Tau rasa kamu...."

"Mas lepaskan tanganku, sakit mas" Desis Syifa saat tangan suaminya mencengkeram kuat pada pergelangan tangan kirinya "Kamu menyakitiku, mas. Tolong lepaskan tangaku, sakit"

Damar Sasongko, seorang pria arogan, bekerja pada sebuah perusahaan terkemuka di sebuah perusahaan. Ia menjabat sebagai manager kantor pusat dengan bayaran tinggi, ia juga adalah tangan kanan bos besar ketika sedang meninggalkan tempat. Sejatinya Damar adalah pekerja keras, ulet dan tekun. Sudah lama ia bekerja pada perusahaan tersebut dan mengabdikan sepuluh tahun hidupnya untuk bekerja di sana.

Episode 02

Dalam kesedihan manusia hanya mampu berserah diri akan takdir hidupnya. Hidup adalah jalan, ujian adalah proses pendewasaan diri, sedang bersabar adalah waktu. Di mana ketiga hal tersebut tidak lepas dari kerasnya kehidupan. Bila seseorang merasakan sedih bahkan hampir menyerah satu satunya jalan hanyalah bersabar, karena semua tinggal terserah pada waktu. Biarkan Waktu mencari jalannya sendiri. Sekuat apa kita menolak takdir jika ketentuan Tuhan telah menetapkan bahu kita sebagai penerima ujian, maka kita tidaklah mampu mengelak dari semua itu. Menerima adalah satu jalan terbaik selebihnya serahkan semua urusan dunia hanya pada Sang Maha Pencipta. Ketahuilah di balik semua derita, akan banyak pelajaran hidup.

Manusia hanya sebatas tokoh utama dalam sebuah drama kehidupan, di mana para menusia harus berperan sesuai skenario Sang Pencipta. Dalam sebuah problem kehidupan kita di perbolahkan menangis dan mengeluh, tapi tidak untuk menyerah. Sesungguhnya manusia tercipta untuk belajar, bersabar, berusaha, dan yakin. Setiap orang memiliki masalah masing masing, hanya saja kita tidak di posisi mereka. Kita terlalu sibuk mengeluhkan pendetitaan kita sendiri tanpa melihat bagaimana orang lain berjuang melawan masalahnya. Begitulah manusia, ketika sedang menerima ujian seolah hanya dia satu satunya orang yang menderita, padahal di saat kita di uji di sanalah Tuhan memberikan kepercayaan kepada kita untuk mampu melewati segala cobaan, dan ketika itu perasan tidak adil terselip di benak kita.

"Di mana wanita itu, sedari tadi tidak terluhat batang hidungnya?" Lirih ibu mertua. Sejak pertengkaran pagi tadi Syifa memilih berdiam diri dalam kamar, air matanya terus menetes tanpa henti. Setiap hari akan ada air mata membasuh wajahnya, semua karena perlakuan suami dan mertuanya. Sejak ia tinggal di rumah suaminya seolah dunia menjadi gelap, tidak ada sedikit pun bahagia menyentuh dirinya. Sinar mentari saja ikut bersedih melihat nasibnya.

"Emang dasar janda murahan sampai kapan pun tidak akan pernah berguna...." Sang mertua terus ngedumal dengan apa pun yabg Syifa lakukan. Semua hal terlihat salah di matanya, tidak pernah sekali saja tidak meyalahkan Syifa.

"Ya Allah, hamba mohon bukalah pintu hati suami dan mertua hamba, sejujurnya hamba ingin mengabdikan sisa hidup ini kepada mereka. Ya Allah....kuatkan hati hamba menerima semua perlakuan buruk mereka, jika sudah menjadi takdirku maka perkuat hati ini untuk menerima takdir yang telah Engkau gariskan. Sesungguhnya maha benar Enagkau dalam segala galanya. Hamba serahkan seluruh jiwa raga ini hanya pada-Mu, kokohkan kakiku, kuatkan langkahku, serta ikhlaskan hatiku menerima semua ini." Menengadahkan tangan memohon pertolongan kepada zat paling sempurna di alam semesta. Setiap kali dalam kesedihan Syifa akan berkeluh kesah kepada tuhannya selaku pemilik hidup manusia. Debagai manusia hanya bisa menjalani tanpa bisa merubah ketentuan sang Maha Esa.

"Cih....sok suci" Ketika ibu mertua lewat depan kamarnya, beliau melihat Syifa tengah tersedu memohon kepada Tuhan Semesta Alam. Melihat Syifa bersimpuh di hadapan Tuhan tidak akan membuat hati beliau melunak, justru semakin membencinya. "Sampai nangis darah pun dia tidlk akan pernah mendapatkan haknya di rumah putraku" Sebagai ibu mertua beliau lupa bahwa seorang menantu memiliki kedudukan setara dengan anaknya, biar bagaimana seorang menantu rela meninggalkan keluarga hanya demi mengikuti fitranya sebagai seorang istri dan menantu. Namun, kebanyakan dari mertua justru memperlakukan menantunya dengan tidak manusiawi. Jarang ada ibu mertua menyayangi menantunya, hanya satu di banding seratus.

"Heh.....menantu tidak tau diri, jangan bermalas malasan saja, sekarang kamu angkat jemuran di luar, dari tadi asik duduk saja. Enak sekali hidupmu, Nyonya" Celetuk beliau sambil melipat kedua tangan menatap ke arah Syifa dengan tatapan tidak menyenangkan.

Setelah salam Syifa melepas mukena lalu melipatnya "Iya, bu" Segera keluar kamar melakukan perintah sang ibu mertua. Sekarang ini ia sedang tidak mau berdebat lagi.

"Eh mbak Syifa ngankat jemuran, mbak?" Sapa tetangga sebelah rumah.

"Iya, bu. Jemuran kemarin sudah kering. Hari ini begitu terik sekali kalau pakaian do biarkan terus di luar maka kainnya akan mudah rusak" Sambil mengusap keringat bercucuran.

"Astaga....mbak itu tangannya kenapa sampai mereh begitu?" melihat pergelangan tangan Syifa. Semua akibat suaminya tadi pagi hingga pergrlangan tangannya memerah dan tergores kuku sang suami.

"Ah...ini bukan apa apa, bu. Tadi nggak sengaja jatuh jadi agak merah" Berusaha menutupi semua kenyataan yang ada. Biar bagaimana masalah rumah tangga jangan sampai orang luar tau.

"Jatuh? Tapi mbak Syifa tidak bohong, kan? Kalau ada kekerasan dalam runah tangga saya siap membantu kok. Kita sebagai wanita punya hak bersuara, kita hidup di negara hukum, mbak. Setiap perbuatan ada hukumannya" Para tetangga sudah tau semua penderitaan Sfiya selama ini. Namun, apalah daya mereka hanya sebagai tetangga tak mampu berbuat banyak untuk ikut campur dalam urusan runah tangga orang lain.

"Heh....tetangga kepo nggak usah ikut campur urusan orang lain deh, urusa saja urusan kamu sendiri" Sambil berkacak tangan ibu mertia Syifa menatap tajam ke arah tetangga samping rumah.

"Syifa, masuk kamu"

Syifa pun segera beegegas masuk ke dalam rumah "Maaf bu saya masuk dulu, ya" Ucapnya pada tetangga selebah rumah.

"Mbak Syifa yang sabar ya mengadapi nenek lampir ini, kalau tidak kuat mbak lempar saja pake kemenyan biar setannya minggat" Sengaja menyindir dengan kata kata kurang baik, sebab selama ini ibu mertua Syifa terkenal galak dan jahat. Tidak hanya mulutnya yang pedas tapi dia juga suka mengadu domba para tetangga supaya saling berselisih paham.

"Berani sekali kamu ngomong begitu sama saya....." Memgambil salah satu sandal lalu melempar ke arah tetangga tersebut "Berani bacot tak robek mulutmu"

Menjulurkan lidah sambil memukul pantatnya sendiri "Nih kentut, makan tuh biar kenyang" mengejak adalah hal biasa baginya demi meuaskan hati telah bisa membalas kemarahan beliau.

Dari balik tirai Syifa terkiki melihat aksi ibu mertua dan tetangga sebelah rumah, mereka seperti kucing dan tikus tidak pernah akur.

"Semoga ibu mertuaku lekas di berikan hidayah..." Lirihnya sambil kembali menutup tirai jendela.

Tak lama kemudian ibu mertua masuk "Kamu pasti sudah mengadu yang bukan bukan kepada tetangga kepo itu, kan?" Dengan kasar beliau mencubit lengan Syifa.

"Aw......sakit, bu. Sumpah demi Allah aku tidak mengadu apa pun kepada siapa pun. Aw....sakit bu lepaskan"

Semakin mengencangkan cubitan "Kalau kamu tidak mengadu mana mungkin mereka mengejek ibu, dasar kamu mantu tidak tau di untung" Mendorong badan sampai terbentur bahu sofa. "Kalau bukan karena anakku, sekarang ini kamu masih bergelar janda" Setiap saat beliau terus mengungkir masalah status masa lakunya.

Sambil berderai air mata Syifa menjawab "Astagfirullah....Ya Allah, kenapa ibu selalu menyalahkan aku dalam berbagai hal? Kalau ibu tidak percaya ibu bisa tanya sama tetangga kita tadi, kalau memang aku tidak mengadu apa pun padanya." Beusaha membela diri saling tidak kuat menahan sakit atas segala tuduhan.

"Halah bulsit, emang dasar janda jaman sekarang kalau nikah lagi udah kaya naik tahta, sok jadi putri padahal gembel" Dengan teganya ibu mertua sampai meludah di depan Syifa.

"Ya Allah kuatkan hati hamba" Harga diri sudah di injak berulang kali oleh ibu mertaunya, namun ia berusaha kuat demi mempertahankan rumah tangganya.

Episode 03

Beberaap hari kemudian, jam telah menunjukkan pukul sebelas malam. Di saat semua orang sudah tertidur pulas, akan tetapi tidak dengan Syifa, ia masih duduk di luar rumah menunggu kepulangan suaminya. Saat itu hujan turun sejak pukul tujuh malam sampai sekarang hujan masih tak kunjung reda. Gelegar guntur kerap kali membuatnya ketakutan, beberapa kali pula ia menutup telinga. Beberapa kali ia melihat ponsel berharap Damar memberi kabar, namun semua hanya harapan saja. Sebagai pasangan suami istri mereka jarang sekali berkomunikasi, kalau pun bisa orang pertama adalah Syifa, meski begitu Damar tidak pernah meresponnya lebih dari satu kata atau bahkan kerap mengabaikan perhatian kecil dari sang istri. "Hujan semakin deras di sertai petir yang mengerikan. Semoga mas Damar tidak kenapa napa. Ya Allah lindungilah suami hamba dari mara bahaya, limpahkan keselamatan padanya di mana pun dia berada sekarang" Bagaimana Syifa tidak cemas malam ini turun hujan lebat di sertai petir, namun suaminya belum juga pulang. Tentu ia merasa cemas atas keselamatan sang suami.

"Mas Damar kenapa belum pulang juga sih ini sudah larut malam" melihat ke arah jalan raya berharap suaminya pulang dengan selamat. Sambil menggenggam ponsel Syifa terus menerus melihat jalanan "Ponsel mas Damar juga susah di hubungi, semoga mas Damar baik baim saja" mondar mandir depan rumah sampai beberapa kali.

Tidak lama setelah itu terlihat sebuah mobil sedan melintas di ujung jalan "Itu dia mobil mas Damar" Mengambil payung samping kursi lalu bersiap menyambut kepulangan suaminya.

Benar saja mobil tersebut masuk ke halaman rumah "Pulang kerja begini palinh enak di sambut sama istri cantik, pakaian rapi, bau wangi, bukan malah sama istri dekil begitu. Mana pake daster kumuh, kerudung lusuh, bau apek lagi, udah nggak ada menarik menariknya jadi bini" Melihat penampilan snag istri membaut Damar semakin kesal. Di tambah lagi hari ini dia harus lembur sampai malam, jadi bawaannya marah terus.

"Beruntung sekali teman temanku ketika pulang di sambut sama istri mereka yang cantik, menarik, dan wangi, sedangkan aku...." melepas sabuk pengaman sambil memukul stir kemudi

"Sungguh sial nasibku menikah dengan wanita kumal sepertinya. Memang dia itu tidak ingin berdandan cantik depan suaminya, memperlihatkan keindahan rambutnya, kemulusan tubuhnya, atau memperlihatkan kecantikan ketika memakai make up? Setiap hari pake kerudung dan daster seperti emak emak saja, membuat mataku sakit" Damar ingin melihat istri seperti istri teman temannya, selalu bersolek dan terlihat cantik di pandang mata. Namun, Damar tidak sadar apa yang ia inginkan justru adalah sebuah dosa. Seharusnya suami menjaga aurat istrinya dari pandangan orang lain bukan malah ingin membuka auratnya demi kesenangan semata.

Tidak lama kemudian Syifa menghampiri suaminya dengan membawa payung "Mas...mas Damar ayo cepat keluar hujannya semakin lebat" Mengetuk kaca mobil meminta sang suami lekas keluar. Hampir lima menit Syifa menunggu di luar tapi Damar tak kunjung keluar juga.

Mengkerjapkan mata "Huf....menyebalkan sekali setiap hari bertemu dengan istri kumal seperti itu" Membuka pintu mobil lalu mengambil alih payung Syifa "Minggir kamu" Terpaksa Syifa terkena air hujan karena Damar sedikit mendorongnya.

"Mas tunggu....." Berlarian menuju teras dengan pakaian basah kuyup "Kenapa kamu meninggalkan aku, mas? Jadi basah kuyup begini bajuku" Air hujan terasa begitu dingin membuat Syifa menggigil.

Tanpa perduli Damar masuk ke dalam rumah, di ikuti oleh Syifa. "Sebentar ya mas aku ganti baju dulu baru nanti aku buatkan teh" Ucapnya sembari membuka lemari pakaian.

Melempar tas kerja lalu menghempaskan diri tanpa perduli sepatu kerja masih melekat di kakinya.

Usai berganti pakaian Syifa lalu menghampiri suaminya "Mas mau sekalian makan atau...." Melihat suaminya telah tertidur pulas membuatnya membungkam mulut "Pasti mas Damar sangat lelah hari ini sampai tidur tanpa makan apa pun" Menunduk sembari melepas tali sepatu.

Syifa begitu menghormatinya sebagaimana seorang istri kepadas suami, meski kerap kali hatinya terluka dengan sikap dan ucapan. Ia berharap suatu saat nanti suaminya berubah dan akan memperlakukannya dengan baik. "Mas.....ganti baju dulu" Menghuyung pelan lengan suaminya.

"Apa sih ganggu saja...." Mendorong badan Syifa sampai hampir terjerembab "Kamu tidak tau aku tuh capek seharian kerja sampe malam, mau ganti baju atau tidak suka suka aku dong. Harusnya jadi bini kamu itu paham suami mau istirahat .alah di ganggu terus, dasar tidak berguna" Kecam Damar sembari melotot.

"Maaf, mas. Aku tidak bermaksud menggangu isturahat mas Damar, hanya saja...."

"Diam kamu" Bentak Damar "Pergi sana, malam ini jangan tidur di kamar ini atau aku tidur di luar."

Syifa sudah terbiasa dengan perilaku suaminya, ketika marah ia akan terusir dari kamarnya. "Baiklah, mas. Kalau begitu biar aku tidur di luar saja" Mengambil bantal juga selimut membawanya menuju ruang tengah.

Krukkkkkk....

Perut Syifa berbunyi sebab sedari tadi belum makan sebutir nasi pun. Niat hati ingin menunggu suami pulang kerja lalu makan bersama, justru malam ini dia harus kembali menelan kekecewaan. Babarapa hari ini Damar sering kerja lembur, jadi Syifa harus menahan lapar sampai Damar pulang.

"Lebih baik aku makan sedikit saja, toh mas Damar tidak akan makan malam ini. Sejak berbuka puasa Syifa hanya minum segelas air putih saja. Bergegas menuju dapur lalu menghangatkan sayur.

"Bau apa ini...." Sang mertua mencium bau masakan "Tengah malam begini siapa yang mau makan?" Segera terbangun lalu melihat siapa gerangan tengah malam berada di dapur.

"Astaga.....enak sekali kamu malam begini makan. Tiap hari makan terus, makan terus, harga beras mahal tau nggak. Di tambah lagi harga minyak goreng naik, belum lagi sayur mayurnya, terus harga gas lpg juga naik. Bukan berhemat malah boros banget. Suami sibuk cari duit eh istrinya malah suka makan" Cibir ibu mertua. Padahal beliau tau menatunya seharian penuh melaksanakan puasa sunnah senin kamis, tapi masih bisanya beliau berkata demikian. Beliau juga tau Syifa belum makan sebutir nasi pun hanya segelas air putih saja untuk membatalkan puasa.

Mendengar cibiran itu tentu hati Syifa terluka, air matanya mulai berjatuhan. Ia yang baru menghangatkan sayur seketika kembali mematikan kompor. Tanpa kata ia melewati ibu mertuanya tanpa makan sedikit pun.

Memutar bola mata tak perduli dengan air mata Syifa. Sambil mematikan lampu dapur beluau terus ngedumal sampai telinga panas di buatnya.

"Oh kamu di usir juga toh sama Damar, bagus deh anakku udah sadar bahwa istrinya tidak pantas satu kamar dengannya" Tanpa perasaan iba sedikit pun beliau terus melontarkan kata menyakitkan.

Syifa hanya bisa meringkuk sambil menahan rasa sakit "Tuhan, kuatkan hatiku"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!