Hai gaes
Jumpa lagi di karya terbaru Author Chayahuda
Kali ini Author ingin membagikan kisah tentang perjalanan cinta dua anak manusia yang sudah lama berpisah kemudian di pertemukan lagi oleh takdir dalam waktu yang berbeda.
Semoga kalian suka ya
Jangan lupa berikan dukungan kalian agar Author tambah semangat dalam berkarya.
Terima kasih
Salam Chaya
Happy Reading
💜
Prank,,,
Bunyi benda yang pecah akibat di lempar dengan keras terdengar nyaring memenuhi ruangan besar milik keluarga Mahendra. Pertengkaran hebat yang terjadi di antara ibu dan anak itu tidak bisa di hindari lagi.
"Nggak!" Suara lantang dari seorang pemuda terdengar memekakkan telinga.
"Aku nggak mau ma!" Sergah Rafael dengan emosi yang sudah menguasai hatinya.
"Dengerin mama dulu Rafa" Bujuk Bu Linda berusaha menenangkan sang putra.
"Kamu harus mendengarkan penjelasan mama sayang. Kamu harus tahu jika mama melakukan semua ini demi kamu, demi keluarga kita".
"Bulshitt dengan semua omong kosong itu, aku tidak peduli dengan semua ucapan mama, karena sampai kapanpun aku tidak akan pernah mau menerima permintaan mama yang konyol itu".
Sudah berulang kali Bu Linda meminta Rafael untuk menerima permintaannya karena saat ini hanya sang putralah yang dapat menyelamatkan keutuhan keluarga Mahendra dan juga seluruh aset yang mereka miliki, sebelum sang madu dan anak- anaknya mengambil alih semua milik mereka.
"Hanya kamu yang bisa melakukan ini sayang. Kita tidak punya pilihan lain selain dengan cara seperti ini" Bujuk bu Linda lagi.
"Tapi tidak harus dengan menikahi cewe itu juga kan ma!" Sahut Rafael.
"Kita masih bisa menjalankan rencana lain yang pasti tidak akan merugikan siapapun tapi tidak dengan cara menikahkan aku dengan cewe yang sama sekali nggak aku kenal, apalagi cewe itu masih bocil dan aku nggak mau menikah dengan bocil, titik".
Bu Linda mendekati Rafael sambil mengusap pundak putranya perlahan.
"Jika mama mau aku bisa mencari gadis itu sekarang juga dan membawanya ke rumah ini, tapi aku tetap tidak mau menikah dengannya. Mama bisa mengangkatnya sebagai anak jadi kita tetap bisa mengawasinya tanpa harus menikahkan aku dengan dia" Ucap Rafael dengan suara yang lebih pelan dari sebelumnya.
"Itu tidak mungkin Raf, jika kita membawanya kerumah ini sebagai anak angkat itu artinya kita hanya dianggap sebagai anggota keluarga saja, kita tidak bisa menjadi walinya karena tidak ada hubungan darah dan juga tidak ada ikatan perkawinan yang sah".
"Mungkin tidak akan ada masalah selama gadis itu belum menikah tapi cepat atau lambat kita akan kembali kehilangan dia di saat dia sudah dewasa nanti ketika ada seorang pria yang menikahinya. Dan jika itu terjadi maka yang akan menjadi walinya nanti adalah pria yang menikahinya, yaitu suaminya".
"Karena itulah mama memintamu untuk menikahi gadis itu Raf. Dengan menikahinya maka kamu secara resmi menjadi walinya yang sah secara hukum dan dengan menjadi suaminya kamu bisa membuat surat kuasa terhadap Luis jaya grup dan bahkan kamu bisa mengambil alih perusahaan itu atas namamu".
Rafael menatap mamanya seolah tidak percaya jika sang mama rela menggadaikan perasaan putranya hanya demi perusahaan itu.
"Apa sebegitu pentingnyakah perusahaan itu bagi mama hingga mama rela mengorbankan perasaanku".
"Jika bukan kamu yang menikahi gadis itu maka tidak menutup kemungkinan salah satu dari putra tiri papamu yang nantinya akan menikahinya dan jika itu terjadi maka posisi kita akan terancam sayang. Mereka akan semakin berkuasa dan sewaktu- waktu mereka akan dengan mudah mendepak kita dari rumah ini dan dari keluarga Mahendra".
"Memangnya apa hak mereka melakukan itu kepada kita, kita adalah pewaris Harun Mahendra yang sah sedangkan mereka hanya keluarga tiri. Jadi secara hukum kekuasaan keluarga kita lebih kuat dari mereka".
"Apa kamu lupa siapa yang berada di belakang mereka? Keluarga Hutama. Jika mereka tahu keluarga Harun Mahendra bukanlah pemilik sah dari perusahaan luis jaya grup, tidak menutup kemungkinan mereka akan mengambil alih perusahaan itu dengan cara mendekati ahli waris sah dari perusahaan tersebut".
Rafael menghela nafas panjang sambil memijit keningnya yang terasa berdenyut nyeri, kenapa ia harus terlibat dalam masalah ini. Bagaimana caranya menjelaskan tentang semua ini kepada kekasihnya, Laura. Apa ia akan mengerti dan tetap mau menerimanya.
"Karena hanya kamu anak mama yang belum menikah. Tidak mungkin kan mama meminta kakakmu untuk menikahi gadis itu! Bagaimana dengan kakak iparmu? Apa dia mau di madu? Dan apa kamu mengizinkan Ronald mengantikan posisimu untuk menikahi gadis itu?".
Rafael menggelengkan kepalanya, bagaimana mungkin dia rela kakaknya menikah lagi pada saat kakak iparnya sedang mengandung buah cintanya.
Bu Linda tersenyum lega karena setelah sekian lama berdebat dengan Rafael akhirnya sang putra bersedia menerima permintaannya.
"Mama janji setelah surat kuasa tersebut berhasil kita dapatkan, maka kamu dapat menceraikan gadis itu. Dan kamu bisa kembali merajut kasih bersama dengan Laura, bahkan kamu bisa langsung menikah dengan Laura setelah kamu resmi bercerai".
Bukan tanpa alasan bu Linda memaksa Rafael untuk menikah dengan gadis itu, itu semua beliau lakukan untuk melindungi posisinya yang terancam tergeser oleh istri kedua suaminya. Walau bagaimanapun beliau tidak ingin kehilangan semua yang sudah dimilikinya saat ini.
Beberapa hari yang lalu, tanpa sengaja bu Linda mendengar percakapan yang terjadi antara suaminya dengan asistennya, meskipun samar- samar beliau bisa mendengar jika sang suami meminta asistennya untuk mencari anak dari sahabat lamanya yang merupakan pewaris yang sah dari Luis Jaya Grup, perusahaan yang selama ini di kelola dan di pimpin langsung oleh suaminya.
"Cari gadis ini Rud. Temukan dia bagaimanapun caranya" Perintah pak Harun pada asisten sekaligus pengacaranya, Rudi Bachtiar.
"Dimana saya bisa menemukan gadis ini pak, apa bapak memiliki petunjuk dimana gadis ini berada?" Tanya pak Rudi.
Pak Harun menggelengkan kepalanya.
"Entahlah Rud, aku tidak tahu pasti dimana gadis itu tinggal saat ini dan apakah dia masih hidup atau sudah meninggal. Namun menurut kabar terakhir yang aku dengar, nama gadis itu pernah terdaftar sebagai salah satu penerima beasiswa dari yayasan Luis Jaya grup. Kamu bisa menelusuri alamat gadis itu dari daftar penerima beasiswa itu".
"Baik pak saya akan segera mencari keberadaan gadis ini" Ucap Rudi.
Pak Harun mengangguk.
"Apa yang akan bapak lakukan jika gadis ini berhasil kita temukan?" Tanya Rudi lagi.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu Rud, bukankah kamu sendiri sudah tahu jika perusahaan Luis jaya grup adalah milik gadis itu, tentu saja aku akan mengembalikannya kepada pemilik aslinya. Dan aku berharap salah satu putraku dapat menikahi gadis itu sehingga aku akan merasa lebih tenang karena aku masih bisa menjaganya seperti janjiku pada Indra" Ucap pak Harun.
Bu Linda menutup mulutnya saat mengetahui kebenaran itu, beliau tidak pernah menyangka jika perusaha yang di pimpin oleh suaminya itu adalah milik orang lain dan bukan milik keluarga Mahendra. Pantas saja tidak ada nama Harun ataupun nama Mahendra di semua perusahaan milik Luis Jaya Grup, ternyata memang pada kenyataannya keluarga Mahendra memang tidak memiliki hak atas perusahaan itu selain saham dan beberapa aset pribadi milik keluarga Mahendra.
"Sah!" Ucap pak penghulu.
"Sah"
"Sah"
"Sah"
Semua orang berada di dalam ruangan itu saling bersahutan mengumandangkan kata sah, mereka menjadi saksi dimana sepasang anak cucu adam telah resmi menjadi pasangan suami istri. Senyum bahagia merekah di bibir semuanya, memang tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihat sepasang kekasih yang akhirnya bisa hidup bahagia bersama.
Nindy tidak dapat menyembunyikan perasaan bahagianya karena kini statusnya yang sudah berubah menjadi seorang istri dari pria yang ia cintai. Meskipun ia baru beberapa bulan mengenal Rafael dan hubungan mereka menjadi semakin dekat baru beberapa minggu terakhir,
namun ia begitu yakin jika pilihannya sudah tepat karena Rafael mampu memberikan warna batu dalam hidupnya yang sempat kelam setelah kepergian seluruh anggota keluarganya.
Acara pernikahan Rafael dan Nindy berlangsung secara sederhana, pernikahan itu di laksanakan di KUA setempat dan hanya di hadiri oleh beberapa kerabat dekat dari pihak orang tua Nindy sedangkan di pihak Rafael hanya bu Linda sang mama, Ronald sang kakak dan Edgar sahabatnya yang datang.
Setelah acara pernikahan itu selesai Rafael langsung memboyong Nindy untuk tinggal bersamanya di kota, meskipun sedih namun Nindy harus ikhlas untuk meninggalkan keluarga sang bibi yang telah merawatnya selama beberapa tahun terakhir untuk ikut bersama sang suami.
"Jaga diri baik- baik ya sayang, nurut apa kata suami. Sekarang sudah ada orang yang menggantikan bibi dan paman untuk merawatmu. Hormatilah suamimu dan jangan pernah membantahnya" Pesan bibi Ranti.
"Iya bi, Nindy akan mengingat semua pesan bibi" Balas Nindy tersenyum manis.
"Pergilah nak, ikutlah bersama suamimu. Paman dan bibi ikhlas melepasmu untuk tinggal bersama suamimu. Sering- seringlah datang kemari, paman dan bibi akan selalu menyambut kedatanganmu dengan tangan terbuka" Ucap Paman Abu.
Sebenarnya pak Abu tidak rela jika Nindy menikah dengan Rafael, bukan hanya karena usia Nindy yang masih sangat muda yaitu tujuh belas tahun tapi beliau tidak yakin jika Rafael bisa menjaga dan melindungi Nindy dengan baik, terlebih beliau begitu mengenal watak sang keponakan. Nindy adalah gadis tomboy dan sedikit keras kepala, dia memiliki watak yang keras dan teguh dalam pendiriannya. Jika ia sudah mengatakan 'iya' maka harus 'iya' dan begitu pula sebaliknya jika ia mengatakan 'tidak' maka harus 'tidak'.
Jangankan orang lain yang baru mengenalnya, kadang kedua paman dan bibinya saja tidak bisa mengaturnya. Pak Abu khawatir jika nanti bukan Rafael yang mengatur Nindy tapi Nindy yang akan mengatur suaminya itu.
"Iya paman" Sahut Nindy lagi.
Nindy menatap wajah sang paman dan bibinya secara bergantian, ia begitu menyanyangi kedua orang tua angkat yang sudah ia anggap seperti orang tua kandungnya sendiri. Paman dan bibinya itu merupakan sepupu jauh sang mama, dan merekalah yang merawatnya semenjak kedua orang tua dan saudara kandungnya meninggal dunia dalam kecelakaan tragis yang menimpa mereka.
Tujuh tahun yang lalu, seluruh anggota keluarga Nindy yang terdiri dari kedua orang tuanya dan dua kakak laki- lakinya mengalami kecelakaan hebat dan meninggal dunia. Nindy sendiri selamat dari kecelakaan maut itu karena pada hari kejadian kecelakaan ia tidak ikut dalam rombongan keluarganya, iabersikeras menolak untuk pulang kembali ke kota karena masih ingin bermain bersama sepupu- sepupunya.
Meskipun Nindy bukan anak kandung pak Abu dan bu Ranti, tapi keduanya begitu menyanyangi Nindy seperti anak mereka sendiri. Siapapun pasti akan menyanyangi Nindy karena dia adalah anak yang baik, ceria dan juga penurut meski kadang- kadang sedikit bandel dan suka menjaili teman- temannya.
"Terima kasih karena paman dan bibi sudah merawat dan menyanyangi Nindy hingga Nindy sudah sebesar ini. Paman sama bibi tidak perlu khawatir karena Nindy bisa menjaga diri dan Nindy janji akan patuh pada semua ucapan kak Rafael" Ucap Nindy penuh kenyakinan.
Pak Abu dan Ranti tersenyum, mereka tidak dapat menahan rasa harunya ketika melihat keponakan yang mereka rawat selama ini, kini telah besar dan telah menjadi istri orang.
"Paman, bibi kami harus pamit sekarang. Rafa takut nanti kami terlalu malam sampai dirumah" Pamit Rafael dengan hormat.
"Iya nak, pergilah. Jaga Nindy baik- baik ya. Jika dia nakal kamu bisa membawanya kembali pulang biar paman dan bibi yang akan menghukumnya" Ucap pak Abu.
"Ayah!" Sela bu Ranti.
"Hati- hati di jalan ya nak. Semoga kalian berdua hidup bahagia selamanya" Ucap bu Ranti penuh harap.
Setelah berpamitan kepada paman dan bibinya, akhirnya Nindy langsung pergi bersama suaminya untuk memulai yang hidup baru. Meski dengan berat hati, Nindy harus rela melepaskan paman dan bibi yang telah merawatnya sejak kecil dengan sangat baik dan berjanji jika ia akan hidup bahagia bersama keluarga barunya.
Perjalanan dari rumah pak Abu menuju kekota membutuhkan waktu yang panjang, setidaknya delapan jam waktu yang harus mereka tempuh untuk bisa sampai dikota jika tanpa singgah, namun jika mereka berhenti untuk makan atau sekedar kekamar kecil maka waktu yang di butuhkan lebih lama sekita satu atau dua jam lagi.
Dan selama perjalanan itu waktu Nindy di isi dengan lamunan, ia sedang membayangkan bagaimana nasibnya kini setelah menjadi istri dari seorang pria bernama Rafael, apakah ia akan hidup bahagia bersama pria yang sedang duduk di sampingnya sambil menyetir itu. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin Nindy tanyakan kepada suaminya itu, namun ia mengurungkan niatnya tersebut karena ia merasa hawa dingin mulai menyelimuti sekelilingnya.
Rafael yang sebelumnya bersikap hangat kini tiba- tiba berubah menjadi dingin, tatapan matanya fokus kedepan tanpa ingin melirik sedikitpun kearah istrinya dengan tangan yang masih menggenggam erat setir mobil.
"Apakah masih jauh?" Nindy mencoba untuk memulai percakapan dengan sang suami.
"Mmmm!" Balas Rafael.
"Apa kamu tidak lapar?" Tanya Nindy lagi sambil menyentuh perutnya.
"Kamu lapar?" Rafael malah balik bertanya.
"Iya" Sahut Nindy cepat tanpa jaim.
"Aku sudah sangat lapar" Ucapnya lagi.
"Aku yang menyetir mobil, tapi kenapa malah kamu yang kelaparan?" Protes Rafael.
"Aku memang tidak ikut menyetir mobil, tapi akukan ikut mengawasi yang lagi menyetir mobil. Dan sekarang aku sudah lelah dan merasa sedikit lapar" Ucapnya lagi.
"Lagi pula kita sudah melewati perjalanan yang panjang dan semua energiku sudah terkuras habis. Jadi aku butuh pasokan energi yang baru".
"Sabarlah. Sebentar lagi kita akan segera sampai dirumah. Nanti kamu bisa makan sepuasnya" Balas Rafael.
"Aku sudah tidak bisa menunggu terlalu lama lagi kak. Perutku sudah berdemo sejak tadi dan meminta makanan" Sahut Nindy.
Rafael menghela nafas panjang, inilah yang ia benci dari seorang bocil. Mereka tidak akan sanggup menahan apapun dan harus segera mendapatkannya saat itu juga.
"Dasar bocil" Gumam Rafael dengan kesal.
"Kak!" Rajuk Nindy lagi.
"Iya, iya. Nggak sabaran banget sih kamu ini. Sabar! Aku cari tempat makan dulu" Sergah Rafael dengan kesal.
"Orang lagi lapar malah di suruh sabar" Nindy masih mengoceh.
Rafael menghentikan laju mobilnya dan menatap tajam pada sang istri.
"Kamu mau makan sekarang?" Tanya Rafael.
Nindy langsung mengangguk cepat.
"Iya, aku mau!" Sahutnya cepat.
"Disini? Yakin?" Tanya Rafael lagi.
"Yakin!" Sahut Nindy lagi.
"Ya udah sana turun" Perintah Rafael.
"Hah! Turun" Nindy mengedarkan pandangannya menatap keluar mobil namun ia tidak melihat satu warung makan pun yang ada di sana dan hanya perkebunan dan sawah yang ia lihat.
"Kok turun disini?" Tanyanya tidak mengerti.
"Katanya mau makan" Ejek Rafael.
"Mau makan apa? Kan tidak ada warung makan disini" Ucapnya.
Tak
Rafael menjitak kepala sang istri dengan kesal.
"Aww, sakit!" Keluh Nindy sambil mengusap kepalanya.
"Makanya kalau orang bicara itu di dengerin, jangan suka memaksa kehendak sendiri. Kan tadi aku sudah bilang sabar, tapi kamu masih ngeyel" Ucap Rafael.
Nindy masih mengelus kepalanya sambil memikirkan ucapan sang suami dan ia mengaku salah karena telah tidak sabar.
"Mau turun di sini atau lanjut jalan?" Tanya Rafael kemudian.
"Lanjut jalan aja" Sahut Nindy cepat.
"Lagian mau ngapain turun disini, mau bantu tuh kakek- kakek bajak sawah" Nindy masih menggerutu pelan, namun Rafael masih bisa mendengarnya.
Rafael tersenyum karena akhirnya ia bisa mengalahkan si bocil.
"Kita lanjut jalankan?" Tanyanya lagi.
"Iya jalan" Sahut Nindy kesal.
Rafael kembali menyunggingkan senyumnya, rasa bosannya menghilang seketika. Ternyata begini ya rasanya berdebat dengan bocil, pikirnya.
☆
Mobil mewah bewarna hitam memasuki halaman rumah yang besar nan megah secara perlahan hingga berhenti tepat di depan pintu utama. Beberapa pelayan yang sudah lama menanti kedatangan sang tuan muda langsung keluar untuk menyambutnya.
Nindy yang baru saja turun dari dalam mobil, seketika takjub saat melihat bangun yang tampak begitu besar berdiri tegak tepat di depan matanya.
"Wah! Ini rumah apa hotel ya, gede banget. Halamannya juga luas banget, cocok banget kalau di jadiin lapangan bola".
Memang bukan hal yang baru bagi Nindy saat melihat rumah besar dan megah seperti itu karena dulu ia juga pernah tinggal di rumah yang tidak kalah besar dari rumah itu, namun semenjak kepergian kedua orang tua dan saudaranya Nindy tidak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah keluarganya dan bahkan saat ini ia sudah lupa bagaimana wujud dari rumah itu.
"Bawa masuk barang- barangnya kedalam" Perintah Rafael kepada pelayan.
Mereka mengangguk dan langsung mengambil alih semua barang bawaan Nindy dan membawanya masuk kedalam.
"Ayo masuk" Ajak Rafael pada istrinya.
"Ya" Sahut Nindy kemudian langsung mengikuti langkah kaki suaminya dari belakang.
Bu Linda yang mendengar Rafael sudah pulang langsung menghampiri putra sulungnya itu.
"Kemana saja kamu? Kenapa baru sampai?" Tanya bu Linda.
Bu Linda memang turut hadir pada saat prosesi pernikahan Rafael dan Nindy, namun setelah acara pernikahan selesai beliau langsung bergegas pulang bersama Ronald dan juga Edgar dengan mobil yang berbeda sehingga beliau tidak mengetahui apa saja yang dilakukan sang putra.
"Tadi kami mampir sebentar mah untuk makan malam" Jawab Rafael.
"Kenapa musti makan diluar, kan kamu bisa makan malam di rumah" Sela bu Linda.
Bu Linda menatap Nindy yang berdiri di belakang Rafael.
"Bik Nur!" Panggilnya pada seorang pelayan.
Bik Nur yang mendengar namanya disebut langsung bergegas datang.
"Iya nyonya, ada apa?" Tanya bik Nur.
"Antarkan gadis itu kekamarnya" Perintah bu Linda.
"Baik bu!" Bik Nur mengambil barang- barang bawaan Nindy untuk di antarkan ke kamar khusus yang telah di persiapkan jauh- jauh hari.
"Mari non" Ajak bik Nur pada Nindy.
Nindy mengangguk pelan dan tanpa banyak bertanya ia langsung mengikuti langkah bik Nur menuju kekamarnya yang terletak di lantai dua.
"Ini kamar nona" Ucap Bik Nur saat membuka pintu kamar Nindy.
Nindy takjub saat melihat kamarnya telah di persiapkan dengan bersih dan rapi.
"Terima kasih bik" Ucap Nindy tulus.
"Sama- sama non" Balas bik Nur.
"Kalau nona butuh apa- apa panggil bibik saja, nanti bibik akan membantu nona".
"Iya bik, sekali lagi makasi ya".
Bik Nur mengangguk pelan kemudian kembali berjalan keluar.
"Bik!" Nindy memanggil bik Nur hingga membuat bik Nur kembali menatapnya.
"Ada apa non" Tanya Bik Nur.
"Kamar kak Rafael dimana?" Tanya Nindy.
"Di sana non" Tunjuk bik Nur pada sebuah kamar.
"Selang satu kamar setelah kamar nona. Kamar tuan Rafael yang terletak di ujung tangga" Jelas Bik Nur lagi.
"Ooo, di situ ternyata" Gumam Nindy.
"Makasih ya bik" Ucapnya lagi.
Bik Nur kembali mengangguk.
"Ada lagi yang nona inginkan?" Tanya bik Nur ssbelum beliau pergi.
Nindy menggeleng.
"Tidak bik, terima kasih ya. Bik Nur sudah boleh pergi".
Bik Nur mengangguk lalu langsung pergi keluar dari kamar nona muda baru di rumah ini. Beliau sempat kaget saat melihat istri dari tuan muda Rafael yang terlihat masih sangat muda bahkan bisa di bilang masih remaja, terlebih penampilan yang terlihat begitu sederhana dan tampak sedikit tomboy dengan rambut yang di potong pendek sebahu. Penampilan istri tuan mudanya sungguh sangat jauh berbeda dengan penampilan pacar tuan Rafael sendiri yang selalu berpenampilan glamor, feminin dan juga dewasa.
"Sepertinya akan ada masalah baru yang datang kerumah ini, semoga nona Nindy sanggup bertahan" Gumam bik Nur sebelum akhirnya meninggalkan kamar majikannya yang baru.
Sementara itu, Nindy yang memang sudah merasa sangat lelah setelah menempuh perjalanan yang sangat jauh bergegas berganti pakaian dan tanpa menunggu lama langsung naik keatas ranjang besar dan mengambil posisi ternyaman.
"Ah nyamannya" Gumam Nindy saat merasakan tubuhnya yang langsung hangat saat memeluk guling dan selimutnya.
Tak perlu menunggu lama Nindy langsung tertidur tanpa beban sedikitpun, ia langsung terlelap dalam mimpi yang menjadi bunga- bunga tidurnya. Nindy memang beda, dia sungguh berbeda dengan kebanyakan orang lainnya. Biasanya orang akan kesulitan untuk tidur jika ditempat baru, namun ternyata hal itu tidak berlaku untuk seorang Nindy, bahkan saat ini ia mampu tertidur dengan lelap tanpa gangguan sedikitpun.
.
Tok tok tok
Nindy mengetuk pintu kamar sang suami perlahan karena tidak ingin mengundang kegaduhan di pagi hari. Pagi ini ia segaja bangun lebih awal karena semalam ia sudah bertekat untuk menjadi istri yang baik bagi suaminya itu.
Hal pertama yang ia lakukan adalah menyiapkan sarapan pagi untuk pak suami meskipun yang ia lakukan hanya merecoki bik Nur di dapur, dan sekarang ia akan membangunkan sang suami sesuai dengan saran dari bik Nur. Bik Nur mengatakan jika Rafael sangat susah untuk bangun pagi padahal dia harus berangkat kekantor pagi- pagi. Alhasil hampir setiap pagi bik Nur bertugas untuk membangunkan sang tuan muda sekaligus menyiapkan semua keperluannya untuk pergi kekantor.
Berulang kali ia mengetuk pintu itu namun tidak mendapatkan respon apapun dari dalam, sepertinya sang penghuni kamar masih terlelap dalam tidurnya padahal hari sudah menjelang pagi. Karena tidak mendapat jawaban apapun, Nindy berinisiatif untuk langsung menerobos masuk kedalam kamar pak suami karena takut suaminya itu akan terlambat jika ia tidak bergegas untuk membangunkannya.
Cklekk
Nindy dapat dengan mudah membuka pintu tersebut karena memang pintu itu tidak terkunci, Rafael memang tidak pernah mengunci pintu kamarnya karena seseorang harus membangunkannya di pagi hari.
Kegelapan langsung menyambut kedatangan Nindy saat pertama kali ia melangkahkan kaki memasuki kamar suaminya itu. Bulu kuduknya tiba- tiba langsung merinding ketika dinginnya udara mulai menyapu kulit tubuhnya.
"Ini kamar apa kuburan sih, gelap banget. Dingin lagi" Gerutu Nindy sambil mengelus kuduk lehernya.
Kamar Rafael memang gelap, ia memang tidak pernah menyalakan lampu ketika tidur karena ia memang tidak bisa tidur jika lampu masih menyala bahkan lampu tidurpun tidak pernah ia nyalakan. Jika biasanya orang tidur dengan memakai lampu tidur namun tidak dengan Rafael, ia malah tidur tanpa cahaya sedikitpun. Hanya ada sedikit cahaya temaram yang masuk kedalam kamarnya, cahaya yang berasal dari lampu balkon kamarnya.
Dengan bantuan cahaya temaram yang berasal dari balkon kamar Rafael, Nindy melangkahkan kakinya perlahan memasuki kamar suaminya. Dan hal pertama yang ia lakukan adalah membuka gorden tebal yang menjadi biang kegelapan kamar itu.
"Ah, leganya" Ucap Nindy setelah ia berhasil membuka gorden besar itu dan cahaya pagi mulai masuk kedalam kamar.
Nindy menatap keluar sambil menyunggingkan senyum, ia menyambut pagi ini dengan rasa bahagia karena ini adalah hari pertamanya setelah menjadi seorang istri dari pria yang menjadi cinta pertamanya. Nindy tidak pernah menyangka jika pria yang berhasil menaklukkan hatinya itu kini telah resmi menjadi suaminya.
Nindy memutar tubuhnya menatap pak suami yang masih terlelap di bawah selimut hangatnya, dia terlihat begitu damai seolah tidak memiliki beban apapun. Perlahan ia melangkahkan kaki menuju kearah ranjang dan seketika senyum manis kembali terukir di bibirnya saat melihat wajah sang suami yang tampak tenang dalam tidur lelapnya.
"Kak! Kak Rafael" Nindy menepuk lengan Rafael pelan mencoba untuk membangunkan suaminya itu.
Tidak ada respon dari Rafael, ia masih betah berada di alam mimpinya.
"Kak, kak Rafael! Bangun kak, udah pagi" Panggilnya lagi, kini dengan tepukan yang lebih keras.
Dan tetap seperti sebelumnya, Rafael masih tidak bergeming sedikitpun, ia benar- benar seperti orang pingsan.
"Ih, parah banget sih inih orang. Di panggil berkali- kali nggak bangun- bangun juga" Gerutu Nindy yang mulai kesal.
"Aits,,,! Ini orang kayaknya baru bangun kalau di tembaki petasan".
"Ini terakhir kalinya aku bangunin ya, kalau masih nggak bangun juga maka aku siram pake air dingin" Ucap Nindy penuh ancaman.
Nindy mengambil ancang- ancang untuk melancarkan aksinya.
"Ok, siap- siap!" Ucapnya pada diri sendiri.
"Satu, dua, ti,,,!"
Dengan gerakan cepat kedua tangan Nindy menarik selimut tebal yang menutupi tubuh Rafael hingga selimut itu tergeletak di lantai.
"Ga,,,! Aaaa,,,,!"
☆
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!