Tampak dua orang pria berumur 25 tahun membawa Raja yang tidak sadarkan diri ke sebuah daerah perkampungan. Mereka meletakkan tubuh Raja yang babak belur ke depan teras salah satu rumah warga.
Di sisi lain, Adifa terbangun dari dunia mimpi dan menggaruk-garuk kulit tangannya yang menjadi sasaran empuk para nyamuk nakal.
Gadis berusia 20 tahun itu melirik ke arah jam dinding yang ada di kamarnya. Melihat jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 10 malam—membuat Adifa menghela napasnya dengan berat karena ia harus pergi ke warung untuk membeli obat nyamuk.
Dia berharap warung yang tidak jauh dari rumahnya masih buka. Jika tidak, maka tubuh kurusnya akan menjadi santapan para nyamuk serakah yang tidak henti-hentinya menancapkan mulut mereka dan kemudian menimbulkan efek samping berupa gatal.
"Huh ... udah larut malam, semoga aman. Ayah dan Ibu juga sedang tidak ada di rumah," keluh gadis itu.
Adifa berjalan ke ruang TV yang tidak jauh dari kamarnya karena memang ukuran rumah mereka yang tidak terlalu besar atau bisa dikatakan mini malis.
Gadis berambut panjang itu menjinjitkan kakinya demi bisa menggapai kunci rumah yang ia gantungkan di paku yang menancap di dinding.
Ia memasukkan kunci itu ke lubang handle pintunya, lalu memutarnya dengan perlahan.
Cklek!
Terdengar bunyi yang mendandakan jika pintu rumahnya tidak lagi terkunci, kini tangan Adifa mulai memegang handle pintu dan menariknya.
"Astaga! Ada mayat?!" pekik Adifa dengan wajah panik.
Ia menunduk— menatap pria tampan dengan kondisi babak belur yang terkapar di teras rumahnya.
Adifa menggeleng-gelengkan kepalanya sembari memejamkan mata, gadis itu berpikir jika apa yang terjadi sekarang adalah sebuah mimpi. Saat ia membuka matanya kembali, pria yang ada di teras rumahnya masih terbaring di tempat yang sama. Itu artinya apa yang Adifa lihat adalah sebuah kenyataan.
Gadis itu mengacak surai panjangnya karena panik, ibu dan ayahnya sedang berada di rumah sang nenek—sebab neneknya baru pulang dari rumah sakit pasca operasi usus buntu.
"Ibu, Ayah bagaimana ini? Aha! Apa aku panggil warga saja untuk membantu?" gadis itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Sitss, " rintih pria itu.
Tubuh Adifa tersentak saat pria yang terkapar itu mengeluarkan suara rintihan. Ia pikir pria tampan yang babak belur ini sudah tewas. "M-masih hidup?" tanyanya pada diri sendiri.
Adifa berjongkok untuk melihat wajah pria itu lebih dekat. "Babak belur begini saja masih terlihat tampan," gumam Adifa.
"Ihh! Bau apa ini?" Adifa mengibas-ngibaskan tangan di depan hidungnya
Ia memberi jarak dengan pria itu, aroma tidak menyenangkan begitu menyengat hingga menusuk indra penciumannya.
Kepala pria yang babak belur itu terangkat, dengan mata menyipit ia melihat Adifa dengan pandangan berbayang.
"Badut Ancol!" tunjuk pria itu ke arah Adifa.
"Badut Ancol? Enak aja, kurang ajar ini orang. Cantik begini dikatain Badut Ancol!" rutuk Adifa dengan berkacak pinggang.
"B-ba ... dut A-ancol, banyak kutu," rancau pria itu semakin tidak jelas.
Satu kata terbesit di pikiran Adifa 'orang gila'. Adifa merasa kasihan dan menatap iba ke arah pria yang kembali tidak sadarkan diri itu.
Akhirnya Adifa memilih untuk membawa pria yang babak belur itu masuk ke dalam rumahnya, gadis bersurai panjang nan indah berusaha mengangkat dan memapah tubuh pria yang lumayan berat.
Tanpa disadari oleh Adifa, ada salah satu orang warga yang melihat dirinya membawa seorang pria masuk ke dalam rumah. Orang itu mengeluarkan ponsel pintarnya dan memotret Adifa bersama dengan pria itu.
`
`
`
Bersambung ....
Selamat datang di novel baru Kacan yang berjudul TERJERAT CINTA PRIA NAKAL. Jangan lupa klik tombol suka dan komen.
Jika bunda-bunda suka cerita ini, bisa klik tombol subscribe ❤(+) agar mendapatkan notifikasi ketika cerita ini update.
Klik vote juga boleh hehehe. Selamat membaca bab selanjutnya.
♡Semoga suka♡
Adifa mengucek matanya saat terdengar suara kericuhan yang berasal dari depan rumah. Gadis itu membuka kunci kamarnya, saat ia berada di ruang TV terlihat pria yang semalam ia tolong masih menutup mata.
"Ada apa ini ramai-ramai, Pak, Buk?" tanya Adifa dengan wajah bingung.
"Kamu kelihatannya saja polos, ternyata oh ternyata suka main dengan sembarang pria saat Ibu dan Ayahmu sedang tidak ada di rumah," hardik Ibu berdaster merah.
Ibu berdaster merah mirip sekali dengan hantu legendaris dari negara A, yaitu kuntilanak merah. Wajah dan ucapannya sangat mengerikan. Alias sama menyeramkannya.
Wajah Adifa menujukkan kebingungan, dan ia semakin heran saat melihat pak
Lurah turut hadir di hadapannya.
"Jadi begini, Dek Ad—"
"Ada apa ini? Kok pada ngumpul di depan rumah saya?" tanya bu Ratna, ibunya Adifa.
"Iya, ada apa ya Pak Lurah?" Anto selaku ayahnya Adifa terlihat bingung, pagi-pagi begini sudah ramai saja rumahnya dengan para warga.
"Nah, kebetulan sekali ada Ibu dan Ayahnya Adifa," lanjut pak Lurah yang ucapannya tadi sempat terpotong karena kehadiran kedua orang tua Adifa. "Jadi begini, Pak Anto dan Bu Ratna. Salah satu warga kita melihat Adifa memasukkan seorang pria ke dalam rumah tadi malam," ujar pak Lurah.
"Apa? Tidak mungkin, Pak Lurah. Anak sematawayang saya ini baik, tidak mungkin melakukan hal itu," bela ayah Adifa.
Adifa menganggukkan kepalanya, setuju dengan apa yang diucapkan oleh sang ayah. Namun, sedetik kemudian wajahnya berubah pias mengingat ia memang membawa pria asing masuk ke dalam rumah semalam.
"Tapi, Pak Anto ... sudah ada bukti berupa foto," tambah pak Lurah.
"Sekarang sudah zaman modern, Pak Lurah. Semua serba canggih. Apa-apa bisa diedit, istri saya yang kuning langsat saja bisa jadi putih pucat di poto profil Facebook-nya."
Plak!
Satu tepukan mendarat mulus di lengan pak Anto, Bu Ratna beralih ke pada Lurah kampungnya.
"Benar juga apa yang dikatakan oleh suami saya, Pak. Bisa saja itu poto editan," ucap bu Ratna mendukung suaminya.
Pak Lurah menganggukkan kepalanya. "Begini saja, biar lebih jelas—kita masuk saja ke dalam rumah Bapak dan Ibu. Bagaimana?" tawar pak Lurah.
Kedua orang tua Adifa mengangguk setuju, mereka berdua yakin jika putrinya tidak mungkin melakukan apa yang tuduhkan warga desa terhadap Adifa.
Wajah gadis itu berubah pucat, ketika ibu dan ayahnya mempersilahkan warga itu masuk. Adifa yang masih berdiri di ambang pintu tersentak kaget saat suara ibunya menyadarkannya.
"Difa! Minggir! Biar semuanya masuk dan lihat kalau kamu itu tidak melakukan apa yang mereka tuduhkan," ucap bu Ratna.
"I-iya, Bu." Adifa menggeser tubuhnya dengan enggan.
Baru saja para warga ingin melangkah masuk. Namun, semua urung karena pria yang dimaksud oleh warga muncul dari balik pintu.
"Tuh! Benarkan," ucap salah satu warga.
Lalu suara bisik-bisik mulai terdengar dari para warga yang hadir. Bahkan pak Lurah menggelengkan kepala tidak percaya.
"Kalian siapa ya?" tanya pria itu.
"Hei, harusnya saya yang tanya ke kamu, kamu itu siapa? Ngapai masuk ke dalam rumah kami? Atau jangan-jangan kau penjahat yang mencoba melukai putriku!" Bu Ratna masih mencoba berpikir positif di tengah suara sumbang para warga.
"Jelas-jelas anak dia tidak baik, masihhh aja dibela," sindir ibu berdaster merah.
"Bu, Pak ini tidak seperti yang kalian pikirkan. Dia adalah orang gila yang saya selamatkan, semalam pria ini terkapar di teras rumah Adifa," jelas Adifa.
"WHAT!? ORANG GILA? Enak saja! Aku ini waras," tangkis pria tampan berusia 25 tahun itu.
"Nah dengar sendirikan Pak Lurah? Pria ini waras, mana ada orang gila seganteng anak muda ini!" sambar ibu berdaster merah yang tidak henti menjadi kompor.
"Tidak, Bu! Dia memang orang gila. Semalam ucapannya tidak jelas," ucap Adifa dengan wajah panik.
Kedua orang tua Adifa hanya bisa diam, mereka menatap putrinya dengan tatapan kecewa. Adifa yang melihat itu menggelengkan kepalanya saat air mata ibunya terjatuh.
"Sudah kita nikahkan saja mereka, Pak! Jangan sampai menjadi aib di kampung ini," ucap teman ibu berdaster merah.
"Tidak mau! Dia itu orang gila, Adifa tidak mau menikah dengannya," tolak Adifa mentah-mentah dengan lelehan air mata.
Pria yang jengah terus disebut sebagai orang gila itu ikut angkat bicara.
"Jadi begini bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian," ucap pria itu mengangantung.
`
`
`
Bersambung ....
Warga yang berkumpul di teras rumah Adifa menunggu kelanjutan apa yang akan diucapkan oleh pria yang wajahnya penuh dengan luka memar. Bahkan, kedua orang tua Adifa ikut menunggu.
"Saya dan pacar saya memang bermalam di sini, kami menghabiskan malam romantis berdua. Dan lebam-lebam ini ... merupakan tanda keganasannya," ucap pria itu dengan santai.
Adifa yang mendengar ucapan pria itu langsung menyangkalnya. "Bohong! Dia bohong. Adifa bahkan tidak kenal sama dia!" Adifa menunjuk wajah pria itu dengan ekspresi marah.
Wajah kedua orang tua Adifa semakin terlihat sendu, mereka tidak lagi memiliki muka di hadapan para warga desa.
"Kamu jangan gitu dong, tahu gitu kubiarkan saja kau!" desis Adifa.
Dengan tidak tahu malu, pria itu menarik pinggang ramping Adifa di hadapan semua orang. "Jangan gitu dong sayang, semalam katanya kamu tidak bisa jauh-jauh dari aku. Sampai aku harus menginap di sini," ucap pria itu dengan romantis.
Adifa menggerakkan tubuhnya agar terlepas dari pria gila yang merangkul pinggangnya.
"Sudah Pak Lurah nikahkan saja kedua orang ini!" ucap salah satu warga.
"Setuju!"
"Setuju!"
"Setuju!"
Para warga menyuarakan pendapatnya. Adifa tidak tahu harus melakukan apa, ibu Adifa meninggalkan kerumunan itu dan masuk ke dalam rumah tanpa mau menatap putrinya.
Dalam hati, pria itu bersorak senang melihat ekspresi Adifa. "Enak saja aku dikatai orang gila, sekarang kamu masuk ke dalam jeratku." batin pria itu.
"Sekarang kita lakukan pernikahannya, bagaimana Pak Anto?" tanya Pak Lurah.
"Baiklah, Pak." Pak Anto hanya bisa pasrah, semua bukti sudah jelas.
Ayah Adifa menyetujui ucapan Pak Lurah untuk menikahkan putrinya dengan pria yang diduga sebagai pacar Adifa.
"Hiks, Ayah ... Adifa tidak kenal dengan pria ini, dia bohong Ayah ...." Adifa mendekati ayahnya, gadis itu mengguncang lengan pak Anto.
"Ayo Pak, kita lakukan segera," ucap Ayah Adifa yang tidak memperdulikan rengekkan putrinya.
Seluruh warga menyaksikan pernikahan dadakan itu. Tidak ada gaun pengantin ataupun acara pesta sederhana. Bahkan Adifa hanya memakai baju tidur. Miris sekali nasibnya harus terjerat dalam perangkap pria yang kini sudah sah menjadi suaminya.
"Apa kau puas? Kenapa kau berbohong di hadapan mereka semua, di hadapan orang tuaku!" Adifa terisak pilu.
Kedua orang tuanya sudah masuk ke dalam rumah, para warga sudah kembali ke rumahnya masing-masing begitu pernikahan mereka sudah terlaksanakan.
"Ya, sekarang kau sudah menjadi istriku." Pria itu menyeringai.
"Ceraikan aku sekarang!" desis Adifa.
Terlihat pria yang bernama Raja Shaga Salim itu tersenyum nakal. "Kau tau? Apa yang sudah masuk ke dalam genggaman tanganku tidak akan bisa lepas, kau istriku sekarang dan selamanya akan begitu."
Deg!
Adifa terdiam saat wajah Raja begitu dengan wajahnya. Ia dapat melihat kesungguhan dalam ucapan pria yang dianggapnya orang gila.
"Kamu cepatlah berberes, dan tinggalah bersama suamimu," ucap bu Ratna yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.
Adifa tersentak kaget, ia langsung berdiri dari duduknya. Kepala gadis itu menggeleng kuat.
"Tidak, Bu. Jangan usir Adifa," pinta Adifa dengan wajah yang banjir dengan air mata.
"Sudah jangan memohon, kau istriku sekarang. Kau harus ikut ke mana pun aku pergi," ucap Raja.
"Kau bisa diam tidak? Semua ini karena ulahmu!" Adifa mengusap air matanya dengan lengan baju yang ia kenakan.
Bu Ratna tidak mengihiraukan ucapan putrinya, dan memilih untuk kembali masuk ke dalam rumah.
"Hah ... jadi tidak sabar mau malam pertama," gumam Raja.
`
`
`
Bersambung ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!