NovelToon NovelToon

Ketakutan Aida

Pertemuan

Aku adalah seorang dokter muda yang mengabdikan diriku disebuah klinik kecil di suatu desa yang cukup terpencil, sebuah kota kecil yang sangat tenang dan hanya berpenduduk tidak lebih dari lima ratus orang yang tinggal disini. Sebuah kota yang di kelilingi oleh perbukitan hijau sehingga udaranya sangat menyegarkan, hiruk pikuk kehidupan perkotaan terasa tidak terdengar di kota kecil ini.

Sedikitnya jumlah penduduk di desa yang aku tinggali membuatku sangat mudah untuk mengenali mereka, tentu saja hal itu tidak terlepas karena aku merupakan satu - satunya orang yang berprofesi sebagai dokter di desa kecil ini. Aku pun seringkali mendatangi beberapa rumah warga untuk memeriksa kesehatan mereka karena ketidakmampuannya untuk mendatangi klinik ku yang lumayan jauh dari pusat kota.

Jalan menuju rumahku sedikit menanjak dan cukup jauh untuk ditempuh bagi orang yang kesehatannya sedang tidak prima. Namun berada di pelosok desa ini membuatku senang karena pemandangan pada malam hari begitu indah, temaram lampu kota pada malam hari terlihat memanjakan mata bagiku.

Seperti biasa di suatu hari, klinik ku dipenuhi banyak orang yang ingin memeriksakan kesehatannya. Aku biasa membuka klinik tepat pada pukul delapan pagi hingga pukul empat sore, itu pun tergantung apa pasien ku sudah benar - benar habis pada saat itu. Tepat pada pukul empat sore, ketika aku merasa pasienku telah habis ada satu orang yang masuk kedalam ruang pemeriksaan ku.

"Selamat sore Dokter Lee" sapa seorang pria dengan nadanya yang santun itu.

Suasana tiba - tiba menjadi agak hening dan aku terkejut sambil menatap mata orang tersebut. Dokter Lee? ya itu namaku, namun itu nama khusus yang aku gunakan sebagai dokter khusus untuk menangani kesehatan mental bagi korban KDRT, pemerkosaan, penjualan anak dibawah umur dan banyak lagi kasus yang membuat korban menjadi hancur mentalnya. seketika dia kembali menyapa dalam senyap nya suasana.

"Apa aku harus memanggilmu dengan nama aslimu? Dokter Andrews Hopkins" ucap pria itu lagi untuk memecah keheningan diantara kami

Namaku Andrews Hopkins, sebelum menjadi dokter umum di desa ini aku adalah dokter khusus yang menangani kesehatan mental korban kekerasan pada sebuah kota besar jauh dari desa yang kini aku tinggali. Dokter Lee adalah nama yang aku gunakan sebelum akhirnya aku memutuskan untuk tidak lagi bekerja sebagai dokter khusus.

"Ada yang bisa aku bantu? Tuan....?" tanyaku padanya dengan berusaha menyembunyikan rasa penasaranku

"Sepertinya anda lupa denganku, mungkin karena sudah terlalu banyak orang yang telah anda tolong mentalnya selama ini" jawab pria itu seakan dia telah lama mengenalku

Nama yang dia sebutkan untukku serta kalimatnya tentang pertolongan mental jujur saja membuatku sejenak bernostalgia dengan pekerjaan lama ku, saat aku masih bekerja disebuah rumah sakit besar yang juga bekerja sama dengan pihak penegak hukum untuk merehabilitasi korban kejahatan disebuah pusat kota besar yang amat sangat jauh dari desaku saat ini. Aku sudah mendengar banyak kejahatan dari para korban - korban itu dan banyak yang membuatku merasa Wow, diluar sana banyak orang - orang yang hidupnya tidak beruntung sampai mengalami kehidupan yang sangat buruk. Kebanyakan dari mereka merasa mati lebih baik dan itulah tugasku, membuat mereka merasa lebih baik untuk tetap bertahan hidup.

"Aku Daniel Osborn, Korban perdagangan anak dibawah umur yang beberapa tahun lalu pernah anda selamatkan" pria itu kembali memecahkan keheningan ditengah lamunanku

Saat itu aku langsung teringat seorang anak yang menjadi korban perdagangan anak, anak itu bahkan sampai tidak bisa mengekspresikan dirinya sama sekali. Keadaannya benar - benar membuat ku miris untuk menjadi seorang manusia yang katanya memiliki rasa kemanusiaan, "Mengapa ada orang yang begitu kejam pada seorang anak tidak berdaya?" tanyaku dalam benak. Aku merawatnya secara pribadi pada saat dia berumur enam belas tahun dan kemudian berpisah dengannya ketika umurnya delapan belas tahun dan sejak saat itu sudah berlalu lima tahun aku tidak pernah bertemu lagi dengannya.

"Aku terkejut dengan perubahanmu, kamu telah tumbuh sangat besar dan terlihat sangat kuat. lihat otot - otot itu, aku hampir tidak dapat mengenalimu" timpal ku dengan bahagia, sebagai seorang dokter tentu saja melihat pasien yang terlihat sehat adalah kebahagiaan tiada tara.

"Ya, jika dokter Lee ingat keadaanku saat itu. aku pun tidak menyangka akan seperti ini jika aku mengingat kembali bagaimana aku dimasa lalu, semua terasa seperti di dalam neraka" timpalnya seraya menatapku agak sedih

"Aku hanya melakukan tugasku sebagai dokter namun kamu lah yang merubah hidupmu, baik. apa yang membuatmu datang ke desa kecil seperti ini?" tanyaku penasaran

Kedatangan Daniel tentu saja membuatku terkejut, Daniel tentu sangat bersungguh - sungguh mencari keberadaan ku yang telah meninggalkan kota dan juga pekerjaanku selama lima tahun yang lalu. Pertemuan kami membuatku banyak menimbulkan tanda tanya, terutama tentang keterlibatan para mafia - mafia perdagangan manusia yang sudah tidak dapat lagi terselamatkan.

"Selain aku ingin bernostalgia denganmu ada satu hal lagi yang aku ingin anda lakukan, bisakah kita ketempat yang lebih tertutup?" pintanya

Aku agak heran dengan permintaannya kali ini, namun aku hanya menganggukkan kepala saja tanda aku setuju dengan permintaannya. Aku berdiri dari kursi ku dan mempersilahkannya untuk masuk lebih dalam dari rumah yang juga termasuk klinik ku menuju ruang keluarga, namun Daniel nampak berbalik badan dan kemudian membuka pintu klinik lalu menyuruh seseorang masuk kedalam ruang pemeriksaan ku.

Saat itu aku terkejut dengan keadaan seorang anak perempuan yang usianya mungkin antara empat belas sampai enam belas tahun dengan badan penuh bekas luka yang berada hampir memenuhi sekujur tubuhnya, baju dress hitam pendek tanpa lengan yang dia kenakan mempertegas goresan luka yang membekas dari lengan sampai ke bahu, bahkan kakinya pun penuh dengan bekas luka sayat dan sundutan rokok, serta tubuh yang begitu kurus kering menggambarkan penderitaan yang dia alami selama ini.

Melihat pemandangan itu aku hampir tidak dapat berkata - kata, aku hanya bisa terus memandu mereka masuk kedalam rumahku yang terhubung dengan ruang pemeriksaan klinik. Aku mempersilahkan mereka duduk disebuah sofa yang ada di ruang keluarga, nampak Daniel duduk santai di sofa itu namun tidak dengan anak perempuan yang bersamanya. Aku berdiri terpaku beberapa saat dan sepertinya Daniel paham apa yang sedang aku pikirkan ketika itu.

"Mengenaskan bukan? aku bahkan tidak separah ini pada saat dokter Lee menyelamatkanku. apa pendapat anda?" tanyanya sambil memandangi ku, aku tidak dapat menjawabnya. Aku terduduk seketika di depan Daniel sambil menatapnya.

"Apa yang terjadi?" tanyaku penasaran dengan pemandangan yang tidak mengenakkan ini.

Aku kemudian mengalihkan pandanganku kembali pada gadis kecil itu, dia melihatku tajam nampak seperti dia mencurigai ku atau apapun pada saat itu didalam pikirannya. Jujur saja ini pertama kalinya aku melihat korban dapat menatap dengan tajam seseorang yang baru ditemuinya, tidak seperti kebanyakan korban yang selalu ketakutan ketika bertemu dengan orang baru. Gadis kecil ini terlihat sangat tegar, sorot mata itu tajam menatapku dan juga cara berdirinya yang terlihat begitu tegap.

"Namanya Aida, dia adalah korban penjualan anak dibawah umur. Sejak umur enam tahun telah dijual oleh orang tuanya dan kehidupan nerakanya dimulai saat itu. aku sedang menyelidiki kasus ini dan ingin meminta bantuan dokter Lee untuk mendapatkan informasi darinya." jawab Daniel, Beberapa saat aku kembali menatap mata Daniel.

Daniel memberikan aku sebuah dokumen yang terlihat rahasia lalu memberi gestur wajah untuk memintaku segera membacanya, dalam dokumen itu banyak sekali nama - nama dari anak beserta foto - foto yang juga menjadi korban penjualan anak dan nampaknya Daniel memintaku melihat kertas terakhir dengan gestur tangan. Aku segera melewatkan beberapa daftar yang banyak itu namun di kertas terakhir aku pun terkejut bukan main. Bagaimana tidak, isinya merupakan laporan kasus bunuh diri yang dilakukan oleh anak - anak korban penjualan anak beserta dengan foto - foto terakhir mereka. Aku segera menutup berkas itu dan kemudian kembali menatap kearah Daniel.

"Aku paham yang kamu inginkan dariku" ucapku tegas

"Dokter Lee, aku tidak tahu mengapa anda meninggalkan kota namun disana tidak berjalan baik. aku adalah salah satu contoh keberhasilan anda" Daniel nampak heran dengan keputusanku meninggalkan kota, aku hanya bisa bersandar dan menghela nafas yang panjang lalu menatap langit - langit rumahku.

"Sudah lama ya kita tidak bertemu, saat terakhir berpisah aku meninggalkanmu di Akademi Polisi dan saat ini kamu sepertinya menjadi Polisi yang hebat, tahun demi tahun berlalu aku semakin tidak kuasa menahan emosiku terhadap dunia ini sehingga aku merasa putus asa. Seperti melawan dunia, tidak ada habisnya aku melakukan hal ini" tidak terasa air mataku pun menetes saat mengucapkannya, beberapa saat aku mengusap air mataku dan kembali menatap Daniel.

"Aku tahu yang harus aku lakukan Daniel, aku hanya lari dari suatu masalah yang tidak dapat aku selesaikan dan aku menyesali itu. namun saat ini aku akan fokus untuk membantumu memecahkan misteri yang kamu maksud kan, aku akan merawat gadis ini" Saat itu aku merasa yakin aku dapat melakukannya.

Ternyata lima tahun mengasingkan diri bukanlah waktu yang cukup bagiku untuk meninggalkan profesi lama yang pernah aku jalani. Sebagai seorang dokter yang menjunjung tinggi rasa kemanusiaan terhadap pasien khusus tentu saja bukan hal yang mudah untuk terlepas dari belenggu itu begitu saja. Karena pada kenyataannya kekerasan tidak pernah berhenti terjadi, selalu saja ada sosok Daniel selanjutnya. Beban mental serta tanggung jawab yang tinggi mendorongku untuk kembali membuka lembaran lama yang sempat aku tutup terlebih saat ini aku melihat salah satu keberhasilan dalam pencapaianku sebagai dokter khusus pada diri Daniel Osborn.

"Aku percaya anda dapat melakukannya Dokter Lee, aku akan pergi sementara waktu karena masih ada hal yang harus aku selesaikan" ucapnya seraya berdiri lalu menjulurkan tangannya untuk mengajakku bersalaman.

Aku terdiam sebentar dan menatap gadis bernama Aida itu, dia masih berdiri menatapku dengan tajam. Aku sempat berfikir "Hei, kamu terlalu tangguh untuk disebut sebagai korban. Jika saja aku tidak melihat bekas - bekas lukamu itu mungkin aku menganggap mu baik - baik saja". Beberapa saat aku menutup mataku dan kemudian aku berdiri menyambut tangan Daniel lalu kami pun berjabat tangan.

"Aku masih memiliki hutang budi yang besar kepada anda, Dokter Lee. Maaf aku malah membebani mu lagi dari masalah yang sedang anda hindari, namun aku tidak tahu harus kepada siapa lagi dapat meminta pertolongan selain kepada anda" Ucap Daniel kepadaku sambil tersenyum lebar, matanya agak tertutup pada saat tersenyum lalu seketika aku teringat saat dia masih kecil dan aku berhasil membuatnya tersenyum untuk pertama kalinya.

Setelah beberapa saat Daniel berbalik berjalan kearah Aida dan nampak mengelus kepalanya seraya berkata

"Aida, kamu berada ditangan yang tepat. Ikuti sarannya dan jangan buat masalah disini"

Disaat itu aku melihat Aida menatap kearah Daniel dan hanya mengangguk saja, lalu Daniel berjalan menuju ke ruang pemeriksaan dan segera menuju pintu keluar. aku yang membuntutinya pun melepaskan kepergian anak yang dulu pernah aku rawat dan akhirnya terpisah. jujur saja aku tidak kuasa melepasnya pergi lagi namun aku sadar dia dan aku kini memiliki tugas yang berat kedepannya. Disini lah kehidupan ku yang tenang di kota terpencil ini berubah seketika.

Hari Pertama

Ku antar kepergian Daniel hanya sampai halaman depan klinik dan ku lepas dengan rasa bangga yang aku rasakan terhadapnya. Kemudian aku memasuki kembali rumah dan langsung menuju kearah dimana aku meninggalkan Aida didalam rumahku, aku sedikit melamun pada saat itu dan aku terkejut saat melihat Aida masih berdiri tetap pada posisinya dan tidak bergerak sedikitpun. Aku melewatinya dan duduk di sofa kemudian mulai menatap matanya, Aida hanya menatapku dengan tajam tanpa berkata apapun. Jujur saja saat itu aku tidak tahu apa yang ada dalam benaknya dan kekakuan itu berlangsung agak lama sampai aku mulai dapat memikirkan kata pertama yang aku ingin sampaikan padanya.

"Eemmm...." Aku belum selesai menuntaskan kalimatku, Aida langsung memotongnya.

"Aku hanyalah budakmu, kamu boleh memperlakukan seperti apapun yang kamu inginkan" timpal Aida di tengah keheningan yang cukup lama tadi.

Untuk pertama kalinya aku mendengar suara gadis dengan penuh bekas luka itu, suaranya begitu tenang dan tidak bergetar dengan tatapan mata yang tajam menatap ke arahku. Aku cukup terkejut dia bisa menimpali perkataanku, sekali lagi Aida menunjukkan keteguhan hatinya di hadapanku. Aku kembali meragukan kebenaran jika Aida adalah korban yang menderita gangguan mental, tapi Daniel tidak akan membuang waktu menitipkan anak yang sehat kepadaku tanpa alasan setelah apa yang dia lakukan untuk menemukan keberadaan ku di desa terpencil ini.

"Aku tidak akan berbuat jahat apapun itu, aku hanya..." belum selesai aku berbicara, Aida kembali menjawab perkataanku

"Tidak apa, aku sudah biasa mendapatkan perlakuan buruk. jadi lakukan lah sesukamu" timpalnya

Aku tidak menjawab apapun dan hanya beranjak dari sofa lalu pergi meninggalkannya dengan senyuman, tapi dia tidak merespon ku sama sekali walau mata kami bertemu. kemudian aku menuju dapurku untuk menyiapkan makan malam kami.

Di dapur aku mulai berfikir "Apa yang harus aku lakukan saat ini? walau ini pekerjaanku, tapi jujur saja aku merasa kesulitan saat ini". Aida terlihat sangat tangguh dengan tatapan dan sikapnya, namun disisi lain aku tahu mentalnya tidak baik - baik saja dari apa yang sempat dia ucapkan padaku. Aku ingin mencoba mencairkan suasana hatinya dengan cara memasakkan masakan yang aku ahli dalam mengolahnya, sebuah pasta dengan saus bolognese yang menggugah selera dan segelas coklat hangat untuk menghangatkan badannya. Aku berharap masakan ini akan membuatnya sedikit bisa terbuka padaku, ini merupakan langkah awal penting yang bisa aku pikirkan disaat seperti ini.

Beberapa saat berlalu aku sudah selesai mengolah masakan itu, aku berjalan menuju ruang keluarga dan berniat memanggil Aida untuk mengajaknya makan malam bersama. Diruang tengah itu aku melihat Aida masih berada ditempatnya, berdiri tegak dan tidak berpindah sedikit pun dari awal dia sampai di rumahku hingga aku selesai memasak. Tatapannya kosong kearah depan dimana hanya ada sudut rumah disana, aku yakin tidak ada satu pun hal menarik yang bisa dia lihat namun sepertinya dia tidak peduli akan itu.

"Ayo kita makan malam bersama" ajak ku

Respon Aida kembali membuatku terkejut, tanpa kata dia berjalan mendekatiku seakan ingin segera memenuhi ajakanku. Meski banyak pertanyaan berkecamuk di kepalaku karena keheranan namun aku berusaha untuk tetap bersikap seperti itu hal yang wajar didepannya, aku berbalik dan berjalan menuju ruang makan diikuti oleh Aida di belakangku.

Di ruang makan aku segera menarik salah satu kursi makan lalu memberi gestur tangan kepada Aida agar dia duduk di kursi itu, tanpa kata Aida langsung duduk di kursi itu dan bersikap sempurna selayaknya anak bangsawan yang akan malam bersama dengan keluarga besarnya. Setelah itu aku berjalan memutari meja makan untuk duduk di kursi yang berhadapan dengannya, kami sempat terdiam sejenak saling tatap.

"Apakah akan ada tamu? aku akan bersembunyi jika memang akan ada yang datang, itu tidak masalah untukku" ucapnya tiba - tiba memecahkan keheningan

"Tidak akan ada yang datang, makanlah. Aku sengaja membuatkan menu spesial ini untukmu, aku tidak tahu apa kamu suka atau tidak. tapi aku harap kamu menikmatinya" jawabku sambil memberi gestur tangan bahwa itu makanannya

"Benarkah aku boleh memakannya? Tidak kah akan ada masalah jika aku memakan ini tanpa teriakan kesakitan? tuanku yang dulu hanya akan memberiku makan sepotong roti gandum dan segelas air putih setelah dia puas mendengarkan teriakan kesakitanku" ucapnya dengan lirih.

Aku terkejut dengan yang aku dengar, dalam hatiku berkata "Manusia seperti apa yang tega melakukan hal itu pada gadis ini?". Jika aku perhatikan, gadis ini memiliki paras yang cantik dengan tatapan matanya yang tajam dan bola mata biru yang besar, pipi yang tirus, bibirnya yang tipis dengan hidungnya yang nampak proporsional membuatnya terlihat semakin mempesona, badannya kurus dengan tinggi badan kurang lebih 160 sentimeter, serta kulitnya yang putih tentu saja merupakan idaman banyak orang.

Namun bekas luka tipis di pelipis mata kiri dan pipi sebelah kanannya membuatku merasa marah kepada orang yang melakukan ini padanya, bekas luka di tangan kanan yang sepertinya menyambung sampai bagian bahu dan leher serta bekas sayatan di lengan kiri tepat di pergelangan tangannya, dimana dia selalu berusaha menutupi bekas lukanya itu ketika mataku tertuju pada bekas - bekas luka yang dideritanya. Tapi seberapa kerasnya dia berusaha menutupi bekas luka - luka itu, aku masih dapat melihatnya dengan sangat jelas. Aku bahkan mulai dapat meraba seberapa parah luka didalam dress hitam yang dia kenakan malam itu, benakku meracau ketika mencoba membayangkannya.

Aku tidak berkata apapun lagi, hanya menatap makananku lalu mulai memakannya dengan harapan Aida mengikuti apa yang aku lakukan yaitu menikmati hidangan makan malam ini. Terlihat tangan Aida perlahan mulai mengambil garpunya dan sesekali mata tajamnya itu melirikku, kecemasan nampak jelas diraut wajahnya walau pada akhirnya Aida mulai memakan Pasta itu secara perlahan. Aku berharap suapan pertamanya dapat membuat dia terkesan dan tersenyum, namun itu tidak terjadi.

Dia hanya diam dan terus makan tanpa ekspresi apapun meski terlihat lahap dan sesekali sorot matanya melihatku dengan tatapan penuh kecemasan, aku tidak tahu apa yang harus aku ucapkan ketika melihat sorot matanya. Ingin aku mendapatkan respon apakah masakanku enak atau tidak dari Aida, namun dia sama sekali tidak berkata apapun. Beberapa saat berlalu, Aida terlihat sudah menghabiskan pasta dan juga coklat hangat yang sudah aku sediakan.

"Terima kasih" Ucap Aida

"Apakah itu enak?" Tanyaku

"Apa yang harus aku katakan untukmu? aku tidak mau membuat hatimu kesal karena ucapanku salah, tuanku yang dulu akan langsung memukuliku ketika aku salah menjawab pertanyaan yang tidak sesuai dengan keinginannya." Jawabnya

Saat itu aku seperti tidak ingin kembali bertanya kepadanya, sepertinya aku harus melakukan pendekatan lain untuk mendapatkan kepercayaannya. Sesaat aku menatap jendela di ruang makan ku dan melihat hari telah gelap, aku saat ini masih kehabisan kata - kata karena perasaanku yang campur aduk. Aku beranjak dari kursiku dan mulai membereskan piring - piring di meja, namun tiba - tiba Aida memegang piringnya dan menahan piring itu.

"Aku akan segera membersihkannya, mohon maaf aku tidak segera membersihkannya. tolong jangan sakiti aku" ucapnya dengan suara lirih dan raut wajah yang penuh rasa takut, seketika tatapan mata tajamnya hilang bersamaan dengan kalimatnya.

Inilah perubahan pertamanya yang aku lihat dan dengar, ekspresi ketakutan itu dan suaranya yang tidak lagi terdengar tenang. Saat itu juga aku menyadari jika kondisi mental Aida lebih parah dibanding dengan anak - anak yang pernah aku tangani dulu bahkan jika itu termasuk Daniel.

"Tidak apa, aku yang akan melakukannya. Aku tahu kamu pasti lelah, tunggulah aku di ruang keluarga itu" ucapku sedikit memberikannya perintah dengan selembut mungkin, tanpa berkata apapun Aida langsung berdiri dari duduknya lalu berjalan menuju ruang keluarga.

Setelah selesai membereskan meja makan dan mencuci piring serta gelas, aku keluar dari ruang makan dan mencari keberadaan Aida di ruang keluarga. Dia kembali berdiri dan menatap sudut rumah, posisinya juga tidak berubah sejak awal dia berada dirumah ini. Aku mulai bisa merasakan perlakuan seperti apa yang telah dia terima selama ini, mungkin sebuah siksaan jika tidak melakukan sesuatu, siksaan untuk suatu perbuatan dan siksaan karena melanggar perintah majikannya, tapi hati kecilku berkata "TIDAK!! itu lebih dari sekedar yang mampu aku pikirkan".

"Hari sudah malam, aku akan menunjukkan kamarmu" Ucapku sambil menunjuk sebuah kamar

Aida berjalan di belakangku menuju sebuah kamar yang aku siapkan untuk pasien rawat inap di klinik ini, namun akhir - akhir ini aku jarang mendapatkan pasien yang harus mendapatkan rawat inap di klinik. Jadi ruangan itu agak sedikit berdebu dan tidak terawat, tapi aku tidak memiliki pilihan lain selain memberikan kamar itu kepada Aida. Aku menghidupkan lampu kamar itu lalu memasangkan sprei serta selimut dan juga bantal di kasur yang sudah tersedia, tidak lupa aku membersihkan debu - debu disekitar kasur agar Aida tidak terganggu dengan debu ketika dia meniduri kasur itu.

"Sedikit berdebu disini, tapi besok akan aku panggilkan seseorang untuk membersihkannya. Aku harap kamu tidak keberatan saat ini" Ucapku sambil menatapnya, tatapan matanya kembali tajam menatap mataku.

"Bolehkan aku memakai kamar ini? aku tidak masalah tidur di lantai ruang tadi" sambil menatap ruang keluarga, Aku dapat merasakan kecemasannya berada didalam kamar ini berdua denganku.

Mungkin dia memiliki sedikit trauma terhadap kamar, aah apa yang baru saja aku katakan. Betapa bodohnya aku masih mengatakan 'mungkin' tentu saja itu terjadi, tidak ada orang yang membeli manusia lalu dia tidak melakukan hal keji terhadap manusia yang dibelinya itu.

"Beristirahatlah, Selamat malam" jawabku sembari memberinya kunci kamar lalu meninggalkan kamar itu dengan Aida didalamnya, aku berjalan untuk menuju kamarku sendiri yang posisinya berhadap - hadapan dengan kamar Aida.

Di Perjalananku menuju kamar aku sempat menoleh kebelakang dan melihat Aida tetap berdiri dekat pintu sembari terus menatapku yang semakin menjauhinya, tatapan tajamnya seperti mengawasi ku dari kejauhan dan aku tahu didalam hatinya pasti sangat cemas jika aku tiba - tiba menyerangnya. Tapi tidak aku hiraukan tatapan tajamnya itu dan aku terus berjalan hingga masuk kedalam kamarku, perlahan aku menutup pintu kamar dan aku melihat Aida hanya diam saja sampai pintu kamarku tertutup.

Didalam kamar aku tidak dapat tidur, jujur saja keadaan Aida sangat membuatku khawatir yang memenuhi pikiranku. Hari pertama bersama Aida sedikit membuatku dapat membaca kejadian yang menimpanya dan membuat rasa yang ingin aku hilangkan dulu kembali hadir menghantui hatiku. YA! rasa ingin menolong seseorang menyembuhkan gangguan mentalnya. Ini adalah tugasku dan aku pernah membuangnya karena suatu alasan.

Tentang Aida

Aku berusaha tidur malam ini, entah sudah berapa lama aku masih terjaga sejak aku meninggalkan Aida di kamarnya. Ditengah gelisah nya aku ketika itu pada akhirnya aku memutuskan untuk membaca berkas yang ditinggalkan oleh Daniel di ruang keluarga, aku juga ingin melihat apa Aida sudah menutup pintu kamarnya atau malah dia tetap berdiri di depan pintu kamarnya. Perlahan aku membuka pintu kamarku dan aku melihat kamar Aida telah tertutup, sebenarnya aku ingin melihat keadaannya didalam kamar itu namun hati kecilku berkata "Jangan, mungkin itu akan semakin mengganggu mentalnya".

Mataku langsung tertuju ke sebuah meja tempat aku meninggalkan berkas yang diberikan oleh Daniel, setelah mengambilnya lalu aku membawa berkas itu kedalam kamarku dan mulai membacanya disebuah sofa kecil yang berada didalam kamar. Perhatianku langsung tertuju pada berkas yang berkaitan dengan Aida dan aku menemukan berkas Aida dengan nomor berkas 110710, di berkas itu aku mulai membaca semua tentang biodata Aida namun itu sia - sia. Tidak ada identitas disana, selain nama semua hanya tertulis "No Data". Aku mengalihkan fokusku pada berkas perkaranya namun lagi - lagi aku tidak mendapatkan informasi apapun dari berkas itu, semuanya hanya bertuliskan "No Data".

Sudah hampir lima tahun aku tidak membaca berkas seperti ini, perasaanku tak menentu antara senang atau takut. Bukan waktu yang sebentar bagiku untuk meninggalkan semua yang telah aku kerjakan dulu sebagai dokter Lee, mungkinkah ini awal dari aku harus kembali menjadi dokter Lee? bagiku dokter Andrews saat ini adalah identitas ternyaman yang aku jalani.

Kehidupan yang damai dan tenang tanpa tekanan mental merupakan dambaan setiap manusia di bumi, dan aku sebagai dokter Andrews hopkins sudah merasakan pencapaian itu. Aku tidak siap untuk kembali namun keberadaan Aida tidak bisa menghilangkan rasa kemanusiaanku begitu saja. Bagaimana jika Aida bukanlah satu - satunya, pantaskah aku yang seharusnya bertanggung jawab malah memutuskan untuk meninggalkan mereka yang membutuhkan bantuanku... itulah yang saat ini memenuhi pikiranku hingga sulit rasanya bagiku untuk memejamkan mata

"Apa apaan berkas laporan ini?" begitu kesalnya aku saat itu, tangan ini pun segera melempar semua tumpukan dokumen itu kesebuah meja baca.

Itu adalah berkas pertama yang berbeda dari biasanya, ada apa sebenarnya dan siapa Aida ini sampai tidak ada sedikitpun catatan tentang selain nama yang dia sandang. Hal itu menyebalkan bagiku, benar - benar sangat menyebalkan namun disisi lain gejolak penasaran dalam hatiku meningkat. Insting dan naluri sebagai dokter untuk pasien kebutuhan khusus penanganan mental seperti kembali mengalir dalam darahku.

Aku mengalihkan pandanganku ke jendela kamar dan aku melihat bintang - bintang bersinar indah, perlahan aku beranjak dari dudukku dan berjalan mendekati jendela kamar yang terletak disebelah meja baca tempat aku membuang dokumen yang Daniel bawakan untukku. Tangan ini aku arahkan untuk membuka jendela itu lalu aku hirup udara segar malam ini agar aku dapat mengendalikan rasa kesal ku, beberapa hembusan angin menerpa wajahku dan secara tidak sengaja menerbangkan beberapa kertas dokumen yang sempat aku lempar tadi.

Setelah menghembuskan nafas berat, aku memunguti satu demi satu kertas yang berterbangan itu. Sebuah kertas mencuri perhatianku, seperti yang sudah aku katakan bahwa instingku mulai bekerja dan aku rasa bekerja dengan sangat baik. Didalam kertas itu aku melihat sebuah sketsa gambar yang diarsir menggunakan sebuah pensil.

Kertas putih dengan banyak arsiran juga garis - garis namun tidak berpusat pada satu titik, beberapa bahkan terlihat menggambarkan sebuah pola yang bisa aku tebak. Aku mulai menenangkan pikiranku dan ku hembuskan nafas perlahan agar konsentrasi ku terpusat pada gambar itu, benar saja... aku bisa mengartikan bahwa garis itu adalah sebuah sudut ruangan yang gelap dengan jendela kecil yang memancarkan cahaya untuk menerangi sudut kecil ruangan itu. Tapi perhatianku tidak berhenti sampai disana karena aku tertarik pada tekanan dari sebuah pensil didalam arsiran. Aku membawa kertas itu kesebuah lampu dan berusaha untuk menerawang dan menerka gambar yang terlihat mendapatkan tekanan khusus saat seseorang menggambarnya.

Benar dugaanku, aku melihat gambar sosok manusia didalam arsiran yang digambarkan secara sederhana sedang meringkuk di sudut garis, aku terus mencoba mencari gambar lain dan aku sedikit terkejut melihat hasilnya. Sebuah garis yang tampak seperti alat - alat penyiksaan yang ada dalam pikiranku ketika menerawang lebih teliti lagi, ditempat lain aku juga melihat seseorang berdiri didepan orang yang meringkuk itu dengan membawa sebuah garis panjang ditangan kanannya dan sebuah benda yang cukup besar di tangan kirinya.

Cukup lama aku mencoba mencari gambar lain yang mungkin tersembunyi, aku berharap ada petunjuk atau apapun itu yang mungkin akan berguna untuk Daniel tapi sayang aku tidak menemukan apapun lagi. Perlahan aku menaruh kertas itu di atas meja baca lalu aku segera beranjak untuk merebahkan tubuh ini di kasur, dalam benakku hanya ada satu pertanyaan setelah melihat semua berkas itu "Kehidupan seperti apa yang kamu alami beberapa tahun ini, Aida?". Tidak terasa aku pun tertidur dengan sangat pulas.

Aku terbangun ketika mendengar suara ayam berkokok, karena kaget aku sampai terjerembab jatuh dari kasurku. Tangan ini segera aku arahkan untuk menggapai jam weker yang berada disebuah meja kecil bersebelahan dengan kasur.

"Jam berapa ini?" tanyaku gusar sembari menatap jam weker yang telah aku genggam, jarum pada jam weker menunjukkan pukul 8 pagi.

"Ooh sial... aku kesiangan" ucapku panik, aku bergegas membereskan tempat tidur lalu segera keluar dari kamar untuk membuka klinik dan juga menyiapkan sarapan untukku dan Aida. Ketika aku membuka pintu kamar, aku sudah melihat Aida berdiri ditempat yang sama dengan posisinya yang kemarin ketika dia pertama kali ketempat ini bersama Daniel.

"Selamat pagi tuan.." sapanya sembari melihatku dengan tatapan tajamnya

Hari ini adalah pagi pertamaku bersama Aida, sambutan seperti itu seharusnya menghangatkan pagi yang dingin namun tidak dengan apa yang aku rasakan. Aida membuatku merinding namun aku tetap berusaha tenang.

"Pagi Aida, sejak kapan kamu berdiri disini?" tanyaku penasaran

"Aku akan disiksa jika aku tidak bangun tepat pada pukul 4 pagi oleh tuanku yang dulu, aku sedikit terlambat bangun hari ini, aku mohon jangan siksa aku" Jawabnya, nampak rasa ketakutan tergambar jelas di mata dan gestur tubuhnya.

Aku membaca gestur tubuh Aida yang seakan dia sudah siap jika aku akan memukulnya atas kesalahan yang dia ucapkan tadi, sangat jelas dari posisi badannya yang sedikit membungkuk dan bergetar seakan dia sudah mempersiapkan diri untuk menerima pukulan ku agar dia tidak sampai terjatuh. Aku berjalan mendekatinya lalu hendak mengelus kepalanya seraya berkata...

"Tidak apa, kamu bisa bangun lebih siang jika kamu mau" ucapku lembut, Saat tangan ini mendekat, seketika aku melihat tubuhnya merespon dengan tubuh yang menegang, kedua tangannya mengepal kuat, matanya terpejam, dan juga tubuhnya semakin gemetaran.

"Benarkah tidak masalah buatmu?" tanyanya padaku, perlahan kedua matanya terbuka dan kembali menatapku.

Aku melepaskan tanganku dari kepalanya seraya meninggalkannya begitu saja tanpa menjawab pertanyaan, tujuanku adalah dapur sambil berfikir dalam hati "Sarapan apa yang bisa membangkitkan semangatnya?". Kemudian aku mengalihkan perhatianku untuk melihat bahan - bahan apa yang ada didalam lemari pendingin, dari semua yang ada pada akhirnya aku memutuskan untuk membuat pancake dengan madu dan susu hangat.

Tidak ingin membuang waktu aku segera memasak lalu menyajikan hasil masakanku di atas meja makan, semua terlihat sempurna dan menggugah selera. Namun belum sempat aku menikmati hasil masakanku, aku mendengar orang - orang sudah berkumpul di depan pintu klinik. Mataku langsung tertuju pada jam dinding yang ada di dapur dan aku menyadari jika aku benar - benar sudah terlambat.

"Pukul 9 tepat, aku tidak sempat sarapan hari ini" Ucapku panik.

Aku berjalan cepat meninggalkan dapur untuk menemui Aida di ruang keluarga, sama seperti semalam Aida tetap berdiri ditempatnya sambil menatap sudut ruangan yang sama. Tidak ada yang berubah dari caranya berdiri, caranya menatap, posisinya, bahkan kearah mana sorot mata tajam itu menatap, lalu aku berjalan mendekatinya dan kembali mengelus kepalanya seraya berkata

"Sarapan sudah siap di meja makan" Ucapku.

"Bukankah seharusnya aku yang menyiapkan sarapan? Tidak kah ini akan menjadi masalah untukku?" tanya nya.

"Tidak apa, tidak akan ada masalah apapun. kamu tidak perlu melakukan apapun disini, kamu adalah tamu ku. bergegaslah ke meja makan dan aku berharap kamu menyukai menu pagi ini" jawabku sembari melepaskan tanganku dari kepalanya lalu segera berlari menuju ke ruang pemeriksaan.

"Bagaimana denganmu?" Tanya nya kembali.

"Aku akan menyusul mu setelah pekerjaanku selesai" jawabku dan aku segera meninggalkannya untuk membuka klinik

Semua berjalan seperti biasa, aku memeriksa dan merawat beberapa orang yang telah menungguku pagi ini. Tidak terasa jam telah menunjukkan pukul 1 siang, aku mulai merasakan lapar. Aku pun segera memberi tahu pasienku yang masih menunggu bahwa aku akan beristirahat sejenak dan segera menuju ruang makan, namun tidak ada Aida di ruang keluarga saat itu. Aku pun berfikir mungkin Aida telah kembali ke kamarnya, tapi ternyata tidak. Aida tetap berada diruang makan dan hanya menatap pancake yang sudah aku siapkan untuknya tanpa menyentuhnya sama sekali, terlihat susu hangatnya pun masih memenuhi gelas itu. Aku terheran dan benakku berkata "Apa yang dia lakukan?".

"Selamat siang" sapanya ketika dia menyadari keberadaan ku di ruang makan

Seperti sebuah sistem yang otomatis terucap dari bibirnya, aku mulai berfikir dia adalah sebuah robot. "Tidak!!" dalam benakku menentangnya, dia adalah seorang anak gadis yang tidak sepantasnya seperti ini.

"Apa yang kamu lakukan? mengapa kamu biarkan pancake itu? itu sudah pasti dingin dan tidak akan nikmat" tanyaku

Sebuah pancake dan segelas susu hangat yang mulai dingin dibiarkan begitu saja oleh Aida, tersirat dalam benakku entah karena sudah terbiasa menahan lapar atau karena ketakutan yang membuat Aida hanya berdiam saja tanpa menikmati hidangan yang aku siapkan khusus untuknya.

"Aku tidak boleh makan sebelum tuanku makan, jika aku melakukannya tuanku yang dulu akan menendang perutku hingga aku mengeluarkan makanan yang telah aku makan" Jawabnya

Sontak aku terkejut ketika mendengarkan jawabannya, pernyataan Aida membuatku menyadari bahwa penyiksaan yang Aida alami benar - benar telah merusak mentalnya dan menjadikannya seperti sebuah robot dan bukan lagi seorang manusia.

Aku bergetar emosi dan segera mendekati Aida lalu mengambil Pancake serta susu yang telah aku siapkan untuknya, namun tiba - tiba Aida berdiri dari kursinya dan segera bersujud di depanku lalu mengatakan...

"Maafkan aku tuan.... aku tidak tahu ini tindakan yang salah... aku hanya tidak ingin makan sebelum dirimu tuan... tolong jangan siksa aku..." Ucapnya lirih menahan tangis.

Jujur saja aku benar benar emosi saat itu, dalam benakku hanya ada bagaimana bisa ada orang yang tega melakukan itu? namun tidak aku hiraukan Aida dan terus membawa makanan itu menuju dapur. Aku mulai memasak untuk makan siang sebuah Steak dengan saus Marinara, cukup menyita waktu memang tapi hasilnya memuaskan. Aku segera menyajikannya dan membawanya ke meja makan namun Aida masih tetap sujud tidak bergerak sedikitpun. Aku masih dapat mendengarkan suaranya walau samar

"Ampuni aku... Ampuni aku...." ucapnya lirih.

Aku meletakkan Steak itu di meja dan perlahan aku dekati Aida, dengan lembut kedua tanganku menyentuh kedua lengan Aida sambil mengarahkannya ke tempat duduknya.

"Makanlah, kali ini aku akan menemanimu makan. aku berharap kamu menikmati steak yg aku buat" Ucapku sambil tersenyum, ekspresi wajah ketakutannya perlahan berubah menjadi ekspresi keheranan dan juga kebingungan.

Untuk pertama kali aku melihat perubahan pada ekspresi wajah Aida, aku yakin itu akan menjadi perkembangan yang berarti. Baiklah dokter Lee.. memang sudah saatnya kamu harus kembali dengan apa yang sudah menjadi tujuan hidupmu dulu.

"Bolehkah aku memakannya? ini terlihat begitu lezat, apakah kamu tidak salah memberiku?" tanya nya, suara itu membuyarkan lamunanku

"Tidak, aku membuatnya dua porsi. Satu untukku dan satu untukmu, kamu tidak keberatan kan?" tanyaku dengan penuh kehangatan agar Aida merasakan sebuah kenyamanan, aku yakin penjahat yang telah menyiksanya tidak pernah berkata lembut padanya.

"Terima kasih, aku akan memakannya" ucapnya, aku melihat Aida menikmati Steak itu

"Bagaimana? apakah enak?" Ucapku untuk mencairkan suasana.

"Aku tidak tahu harus menjawab apa, aku takut jawabannya..."belum selesai dia melanjutkan kalimatnya aku langsung memotongnya

"Tidak apa, kamu boleh mengutarakan pendapatmu saat kamu ingin" Timpalku

"Lezat...." ucap Aida dengan suara yang sangat pelan

Jujur aku hampir tidak dapat mendengarnya dengan jelas namun aku tahu dia mengatakan itu, sejenak hatiku seperti disiram air setelah dipenuhi oleh api kemarahan. Aku sampai tidak dapat mengekspresikan rasa bahagiaku saat itu, Aida kemudian menatap ku dan kembali berkata...

"Ini lezat.... menurutku... Terima kasih...." ucapnya lagi dengan suara yang lebih keras, senyumku merekah sesaat setelah mendengarnya. Itu kata kata terindah yang aku dengar setelah beberapa tahun yang aku lewati saat ini.

Beberapa saat setelah kami selesai menyantap steak, aku sedikit ingin bertanya padanya

"Aku telah membaca berkas mu, tidak ada data lain selain namamu. Mau kah kamu menceritakan tentangmu?" tanyaku

"Aku tidak tahu harus menjawab apa, tapi memang hanya itu yang aku tahu tentang diriku" jawabnya

"Baik, Selain Aida namamu ,kamu tidak ingat darimana kamu berasal?" tanyaku lagi

"Tidak, aku tidak mengingat apapun selain Aida" Jawabnya, belum sempat aku bertanya kembali Aida kembali menjawab

"Hadiah yang berharga..." Setengah berbisik dia mengatakannya padaku, kemudian dia melanjutkan perkataannya

"Yang aku tahu Aida memiliki arti hadiah yang berharga walaupun sepertinya aku bukanlah hadiah yang berharga" ucapnya, saat itu aku melihat matanya berkaca yang membuatku tidak ingin melanjutkan pertanyaan.

"Kembalilah ke kamarmu, aku ingin kamu beristirahat" perintahku untuknya

"Biarkan aku melakukan tugasku, aku akan segera membereskan peralatan makan ini" kembali Aida mengatakannya dengan nada penuh rasa takut.

"Tidak perlu, perintahku adalah memintamu untuk beristirahat. kamu tidak akan melanggar perintahku kan?" nada bicaraku agak menekan saat itu, respon Aida benar - benar sesuai dengan yang aku bayangkan. Dia segera meninggalkan ruang makan dan menuju kamarnya tanpa sepatah katapun, aku sedikit merasa bersalah saat itu.

Aida, memiliki arti hadiah yang berharga. aku tidak tahu siapa yang memberikan nama itu, jika memang orang tuanya yang memberikan nama itu mengapa mereka tega menjual anak ini sehingga dia mendapatkan mimpi buruk itu. Selain itu aku tidak dapat menarik kesimpulan apapun, aku sedikit lelah sacara batin karena luapan emosiku hari ini. semoga esok hari aku dapat lebih dalam mengetahui tentang Aida dan semakin mendekatkan diri untuk memecahkan misteri ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!