..."Taruhan denganku! Yang duluan sampai ke garis finish, berhak menduduki posisi Ketua Maddog!" – Austin Xaquille Mendes...
...💨💨💨...
"Bangsat!" umpat Austin dengan suara yang lantang.
Pria bertubuh kekar dengan mata hazel tersebut mengumpat dengan wajah yang bengis. Meski begitu, ketampanannya tetap terlihat jelas dan sedikitpun tak menghilang.
Austin Xaquille Mendes. Anak kedua dari salah satu pengusaha textile di tanah air. Ketampanannya menurun dari sang ayah yang merupakan idaman para wanita saat masih muda.
"Ayo! Taruhan denganku!" seru Austin sambil menatap lurus ke arah sosok pria yang menjadi biang kerok kerusuhan malam itu.
"Yang duluan sampai ke garis finish, dia berhak menduduki posisi Ketua Maddog!" tegas Austin tanpa basa basi. Sedikitpun tak ia rasakan yang namanya ketakutan.
Di saat yang sama, seluruh anggota Maddog terbelalak kaget mendengarkan ucapan Austin. Pria yang selama ini sosoknya mereka junjung tinggi sebagai pemimpin dan ketua geng mereka, sekarang malah mempertaruhkan kedudukannya demi area perkumpulan mereka yang sedang diganggu oleh geng Black Wolf.
"Yang kalah, harus menyerahkan lima puluh persen anggotanya ke Maddog!" tegas Austin dengan lantang.
"Ck!" Adam berdecak sebal sambil menatap Austin dengan tatapan mengejek. Pria berkulit eksotis yang juga tak kalah tampan dengan Austin itu menyeringai.
Adam Macguire. Seorang pria yang merupakan musuh bebuyutan Austin sejak mereka masih di bangku SMA. Bukan karena ketampanan Austin, tapi Adam membenci semua keberuntungan yang Austin miliki. Ia merasa dunia ini tak adil padanya yang merupakan anak broken home dan juga miskin.
"Deal!" seru Adam dengan lantang. Ia menaiki motor Honda CBR 250 RR miliknya.
Brum... Brum...
Suara knalpot racing mulai terdengar dari motor yang sedang dinaiki oleh Adam. Begitu juga Austin, pria tampan berdarah bule itu juga tak ingin kalah dari musuhnya itu. Ia pun bersiap-siap untuk menghadapi taruhan itu.
Kala itu, seluruh anggota geng Maddog semakin terkejut saat Adam menyetujui taruhan Austin.
Siapa yang tak kenal dengan kelincahan Austin dan Adam dalam mengendarai motor? Apalagi kedua orang tersebut merupakan musuh bebuyutan sejak sekian lama. Bukan hanya memiliki paras yang memikat, keterampilan mereka dalam bela diri dan juga sifat arrogant mereka cukup membuat siapapun bergidik ngeri.
"Bro, lo yakin?" tanya Jason dengan nada yang sedikit pelan. Pria bertubuh jangkung dengan rambut gondrong yang bernama Jason tersebut berbisik ke arah Austin yang merupakan sahabatnya sejak lama.
Saat itu, Austin sedang bersiap-siap mengenakan sarung tangannya. Kemudian ia memakai helm full facenya yang berwarna hitam doff. Lalu ia menaiki motor Ducati Superleggera V4 kesayangannya yang berwarna hitam itu.
“Siapin hati lo buat pindah ke Black Wolf,” ejek Austin sambil menepuk pelan bahu Adam. Meskipun hanya candaan semata, Austin percaya pada dirinya sendiri bahwa ia dapat mempertahankan posisinya sebagai ketua Maddog.
Sesaat setelah menaiki motornya, Austin langsung menghidupkan mesin motornya dan bersiap-siap menuju garis start.
Jason menghela nafas berat seiring menyusutnya bahu kekar pria itu. Meskipun ada sedikit kekhawatiran, entah kenapa ia percaya bahwa Austin akan memenangkan taruhan ini. Karena ia tahu, sahabatnya itu tak terkalahkan.
Semua geng Maddog dan Black Wolf bergegas menuju garis start. Di sana, telah berdiri seorang wanita dengan pakaian minim yang sering disebut dengan ‘Grid Girl’.
Grid Girl itu memegang sebuah sapu tangan yang siap ia ayunkan ke udara saat sisi kiri dan kanannya, telah ada Austin dan Adam yang siap memacu motor.
“One … two … three! Go!” seru Laura dengan suaranya yang lantang namun merdu sembari sapu tangan yang tadinya di udara ia ayunkan ke bawah.
Sesaat setelah itu, motor yang dikendarai oleh Austin dan Adam langsung melaju dengan kecepatan tinggi. Keduanya melaju di ruas jalanan yang saat itu sedang sepi karena malam sangat larut. Tak ada rembulan bahkan bintang yang menyinari langit tersebut.
...💨💨💨...
Di saat yang sama, di sebuah rumah mewah yang ada di salah satu komplek elit di Jakarta Selatan, Sasha terlihat sedang duduk di depan posko satpam yang memang disediakan di pagar rumah untuk berjaga.
“Sha … tidur, Nak,” tutur Robert yang merupakan ayah Sasha. Pria bertubuh gemuk dengan pakaian satpam itu duduk di samping anak gadisnya yang baru saja melepas masa SMA-nya siang tadi.
“Yah … aku langsung kerja aja, ya?” pinta Sasha sambil menatap langit malam yang begitu gelap. “Kuliah itu ‘kan, untuk mereka yang mampu.”
Sasha Ridrigoes. Seorang gadis yang sebentar lagi berusia delapan belas tahun itu merupakan primadona di sekolahnya. Ia menjadi idaman para pria karena kecantikannya yang murni dan natural. Tapi ... karena anugerah tersebut, banyak yang tak menyukainya. Sampai-sampai ia tak memiliki teman di sekolah. Bukan karena sombong, tapi karena ia pernah dikhianati oleh sahabat dekatnya sendiri.
“Ayah mampu kok nyekolahin, Sasha,” sahut Robert sambil tersenyum getir.
Gaji bulanan Robert yang tak lebih dari tiga juta rupiah itu, saat ini memang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari ia dan anak tunggalnya. Lagi pula, mereka tinggal di mes yang di sediakan oleh pemilik rumah mewah itu. Sejak kepergian istrinya dua bulan yang lalu, Sasha bertekad ingin menggantikan ibunya sebagai pembantu rumah tangga di rumah mewah itu.
“Tapi … aku pengen nerusin kerjaan Ibu di sini, Yah,” ucap Sasha sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi plastik berwarna merah itu.
"Nak ... percaya sama Ayah, ya? Kamu harus sekolah biar nggak jadi kayak Ayah dan Ibu," Robert menepuk pelan pundak anaknya. Ia pun ikut menatapi langit mengikuti buah hati semata wayang.
"Emangnya, apa yang salah sih sama pekerjaanAyah dan Ibu? Selagi itu halal-"
Brak!
Sebuah motor tiba-tiba menabrak pintu pagar kayu yang menjulang tinggi milik rumah mewah tersebut. Sasha dan Robert yang saat itu sedang duduk di pos satpam, keduanya saling tatap dengan rasa penasaran tingkat tinggi.
...💨💨💨...
BERSAMBUNG…
...“Apa anak orang kaya emang selalu seenaknya begini?! Kasian banget orangtua yang punya anak kayak kamu. Cape-cape di didik, tapi anaknya malah jadi parasit di keluarga sendiri!” – Sasha Rodrigoez...
...💨💨💨...
“Astaga! Austin!” seru Robert saat membuka pintu.
Pria tua bertubuh gempal itu melihat Austin yang tergeletak di depan pintu pagar dengan tubuh yang berdarah-darah. Seperti … habis dipukulin secara beramai-ramai. Ia langsung berlari meraih tubuh Austin yang sedang terkapar tak berdaya.
Wajah Robert begitu panik dan pucat pasi menatap Austin.
"Nak, bangun." Robert menepuk pipi Austin dengan pelan. "Kita harus ke rumah sakit sekarang!"
"Shaaa!!! Telfon ambulance cepat!!!" perintah Robert pada anak gadisnya.
Sasha yang saat itu juga terkejut melihat peristiwa tersebut, ia kembali masuk ke dalam pagar menuju pos satpam. Pasalnya, ponselnya kala itu sedang di cas.
Brak!
Tiba-tiba saja sebuah motor melaju menabrak tubuh Robert yang tak ada sangkut paut sama sekali dengan geng motor Black Wolf.
Tanpa sadar, sesaat sebelum Robert tertabrak, ia memeluk tubuh Austin agar tubuh anak tersebut tak terluka lebih parah lagi.
"Ck! Dasar tua bangka! Satpam rendahan yang sok jadi jagoan buat anak majikannya!" umpat pria yang belum lama tadi menabrak Robert.
Broom... Broomm... Broommm...
Tak lama kemudian, beberapa motor melaju dan berhenti tepat di depan pintu pagar. Mereka berniat ingin menghabisi Austin, tapi Robert menghalangi dan mencoba menyelamatkan Austin yang ada dalam pelukannya.
"Sekalian aja habisi tua bangka yang udah bau tanah ini!" perintah pria yang menabrak Robert tadi kepada gerombolan motor yang baru saja tiba.
Mendengarkan perintah tersebut, sekitar sepuluh orang pria turun dari motor dan memukul tubuh Robert tanpa belas kasih. Tak hanya menendang, tubuh gempal pria tua itu juga di tendang berkali-kali. Bahkan diinjak-injak!
“Tolong! Tolong!” teriak Sasha.
Betapa terkejutnya Sasha saat ia kembali keluar setelah membuat panggilan menelefon ambulance. Matanya memanas dan darahnya mendidih melihat ayah yang ia cintai penuh luka dan mendadak sekarat akibat ulah pria binatang itu.
Meski begitu, Sasha yang saat itu seorang wanita dan hanya sendiri, ia bergidik ketakutan. Ia ingin berlari dan segera menolong ayahnya, namun ia sadar kekuatannya yang lemah tak mampu menolong ayahnya dari kebengisan anggota geng motor yang entah dari mana ia pun tak tahu.
"Cakep tuh," celetuk salah seorang pria. "Lumayan, buat dipake sampe bosen."
"Bajingan!" umpat Sasha kesal. "Pergi kalian! Kalau nggak aku teriak!"
Sesaat setelah Sasha mengatakan hal tersebut, tiba-tiba, beberapa satpam dari rumah mewah yang merupakan tetangga di sana pun keluar dan menghampiri insiden pemukulan membabi buta itu.
“Cabut!” teriak salah seorang dengan suara yang begitu lantang. Seluruh pria tadi langsung menaiki motor mereka dan bergegas pergi.
...💨💨💨...
Tit … Tit … Tit …
Bunyi elektrokardiogram atau biasanya dikenal dengan alat deteksi jantung, terdengar memenuhi ruangan yang kosong tersebut. Sasha yang sudah tujuh hari menangis tanpa henti itu, kini tak lagi mampu menangis karena stok airmatanya yang telah mengering.
“Ayah … ayo bangun,” tutur Sasha sambil memegang tangan Robert yang sudah tujuh hari koma akibat insiden mengenaskan malam itu.
Di ruangan ICU di salah satu rumah sakit umum di Jakarta tersebut, Sasha di datangi oleh seorang perawat.
“Maaf, Mba. Untuk pasien Robert Stockhorst harus dipindahkan ke ruang rawat inap. Tapi sebelum itu harus membayar biaya selama tujuh hari ini terlebih dahulu,” tutur perawat wanita tersebut.
Sasha langsung terbelalak kaget. Di tangannya saat ini tak ada sepeserpun uang. Bahkan, ia tak memiliki tabungan.
“Be-berapa … kira-kira, Sus?” tanya Sasha ragu-ragu.
“Mba bisa ke kasir dulu untuk mendapatkan rinciannya.”
...💨💨💨 ...
“Se-sebelas juta?!” seru Sasha dengan mata yang terbelalak.
Sasha menghadap ke arah petugas kasir di rumah sakit tersebut. Kemudian ia berkata dengan nada yang terkesan begitu memelas dan mengiba.
"Bu, tolong beri saya waktu. Saya bakalan cari uangnya dan jangan hentikan pengobatan pasien Robert Stockhorst, ya.”
Tak lama setelah itu, Sasha langsung keluar dari rumah sakit. Ia pulang ke rumah mewah di mana ia dibesarkan selama delapan belas tahun ini. Meskipun ia hanya tinggal di sebuah kamar pembantu di luar rumah, kamar yang yang lebih pantas disebut gudang, tetap saja ia memiliki kenangan masa kecil di sana.
Setibanya di rumah mewah tersebut, ia mencoba masuk ke dalam dan mencari keberadaan Nyonya pemilik rumah tersebut. Ia bermaksud ingin meminta gaji di awal untuk ayahnya, serta ia juga ingin meminta pinjaman untuk biaya rumah sakit.
Sasha melihat Austin yang saat itu sedang berada di dapur. Kedua matanya membulat.
"Ck! Udah sembuh?! Bajingan tengik yang menjadi penyebab Ayah koma sekarang!" umpat Sasha dalam hati.
"Haaa ... kalo nggak gara-gara mau nyariin orangtunya, aku nggak mau berurusan sama cowo dingin itu!" rutuknya lagi dalam hati.
“K-Kak … Austin,” Sasha yang semula menyumpahi Austin, mendadak suaranya menjadi lembut dan terbata-bata. Pasalnya, aura dari pria itu saja sudah mengerikan. Apalagi berususan langsung dengannya. “M-maaf, Bu Diana ada di rumah nggak, ya?”
Austin tak bergeming. Ia hanya diam dan tak menggubris pertanyaan Sasha. Menyadari Sasha yang saat itu ada di dapur bersamanya, Austin langsung menegak air putih digelasnya dengan sekali teguk.
Lalu, pria dengan luka yang sudah membaik itu berlalu pergi meninggalkan Sasha di dapur. Ia berlari-lari kecil menapaki tangga dan menuju ke kamarnya dengan wajah yang dingin dan datar.
“Cih! Arrogant banget. Kalo bukan gara-gara dia, ayah nggak bakalan kayak gini sekarang!” gerutu Sasha dalam hati.
Gadis itu berjalan menuju pintu dapur sambil bergulat dengan pikirannya sendiri. Ia tak henti-hentinya mengutuki Austin, anak dari pemilik rumah mewah itu. Meskipun terpaut jarak usia lima tahun, ia tak dapat mengerti kenapa sifat pria itu begitu kekanakan dan dingin.
“Tunggu!”
Suara bariton seorang pria tiba-tiba menghentikan langkah kaki Sasha. Sasha menoleh ke arah suara tersebut berasal.
“Nih, untuk biaya rumah sakit Pak Robert,” Austin memberikan amplop coklat ke arah Sasha.
Sasha menatap ke arah Austin yang kerap kali ia kutuk di dalam hati sejak tadi. Ia mengerutkan keningnya sambil menatap ke arah amplop coklat yang disodorkan oleh Austin.
“Hah!” Austin menghela nafasnya. Ia merasa muak karena berlama-lama di depan gadis itu. Ia pun mengambil tangan kanan Sasha dan meletakkan amplop tadi ke atas tangan Sasha. Kemudian, ia bergegas pergi meninggalkan Sasha yang masih mematung.
“Kamu pikir, uang bisa ngembaliin kesehatan Ayah?! Apa anak orang kaya emang selalu seenaknya begini?! Kasian banget orangtua yang punya anak kayak kamu. Cape-cape di didik, tapi anaknya malah jadi parasit di keluarga sendiri!”
Sesaat setelah Sasha melihat isi dari amplop tersebut, dengan lantang ia mengatakan kalimat tersebut kepada Austin yang langsung pergi setelah memberikannya uang.
Sedikitpun tak ada kata maaf atau penyesalan yang ia dengarkan dari mulut pria yang menjadi penyebab ayahnya terkapar di rumah sakit saat ini. Sejak peristiwa malam itu, ia benar-benar membenci anak dari majikan orangtuanya.
“Kalau bukan gara-gara geng motor, Ayah nggak bakalan kayak sekarang!” imbuhnya meluapkan rasa sesalnya.
Austin menghentikan langkah kakinya. Ia memutar tubuh menghadap ke arah Sasha. Kemudian ia berjalan mendekat ke arah gadis yang setinggi bahunya.
“Heh, aku akan bertanggung jawab dengan biaya rumah sakit Pak Robert! Nggak usah takut” hardik Austin dengan mata hazelnya yang menatap tajam ke arah Sasha.
“Nggak usah brisik. Bilang kalo uangnya kurang!” imbuhnya dengan nada yang pelan namun penuh penekanan.
...💨💨💨...
BERSAMBUNG…
...“Open BO karena lagi BU. Gue masih perawan dan belum pernah ciuman. Harga tertinggi di kolom komentar bakalan gue hubungi melalui DM.” – Sasha Rodrigoez...
...💨💨💨...
Di ruangan yang steril dan berbau khas wipol tersebut, Sasha melihat Robert yang sedang ditangani oleh beberapa suster dan dokter. Setelah membayar tagihan rumah sakit berkat uang yang diberikan Austin tadi, Ayahnya pun segera dipindahkan ke ruang rawat inap. Tentunya dengan beberapa selang yang tertancap di beberapa bagian tubuh ayahnya.
“Haaa …” Sasha menghela nafasnya pelan.
Begitu banyak hal yang gadis itu pikirkan saat ini. Setelah membayar biaya satu minggu ayahnya di ruang ICU, bagaimana caranya ia dapat membayar tagihan rumah sakit selanjutnya sampai ayahnya sembuh? Meskipun Austin menawarkan diri untuk membiayai biaya perobatan Robert, tetap saja ia menolak. Cukup sekali ia diperlakukan seperti siang tadi. Tidak untuk kedua kalinya.
“Ck! Kalo aku biarin dia nanggung biaya rumah sakit Ayah, ke depannya dia pasti berbuat sesuka hatinya sendiri,” gumam Sasha dalam hati.
Sasha menunggu di luar ruangan rawat inap sambil menunggu proses pemindahan ayahnya selesai. Ia duduk di atas kursi yang ada di sana. Kemudian, dikeluarkannya ponsel lusuh miliknya yang sudah enam tahun tak pernah di ganti-ganti.
Untuk menghilangkan kejenuhan, ia membuka aplikasi sosial media dengan logo burung putih.
“Dih, apaan sih, open BO open BO,” celetuk Sasha kesal melihat foto-foto vulgar yang di upload di sosial media. Terlebih lagi foto tersebut memamerkan beberapa anggota tubuh yang tak seharusnya dipamerkan.
Tiba-tiba Sasha terdiam. Ia memikirkan suatu hal yang tak seharusnya ia pikirkan. Pasalnya, ini sangat berpengaruh dengan kelangsungan masa depannya.
“Apa … itu cara tercepat menghasilkan uang?” gumamnya lirih dengan sorot mata yang menerawang jauh.
Cukup lama Sasha berfikir sambil sesekali ia mondar mandir bak setrika.
“Ya … nggak masalah. Apapun itu, aku bakalan lakuin buat Ayah, satu-satunya keluargaku yang tersisa.”
...💨💨💨...
Tiga hari telah berlalu.
Di sebuah jalanan yang sangat sepi oleh pengendara umum, geng Maddog berkumpul di sana. Ada yang sedang duduk di atas motor, ada yang sedang sibuk memamerkan sparepart terbaru yang mereka pasang di motor, bahkan ada yang memamerkan motor baru mereka.
Sesaat kemudian, seluruh aktifitas geng Maddog terhenti saat bunyi sebuah motor yang cukup khas dikeluarkan oleh Ducati Superleggera V4. Itu adalah motor mahal yang dimiliki oleh ketua dari geng Maddog. Austin Xaquille Mendes.
Seluruh geng Maddog mengelilingi Austin yang memberhentikan motornya.
“Gimana keadaan lo?” tanya Jason khawatir.
Austin melepaskan helm full facenya dan meletakkan helm tersebut ke atas motornya. Pria berkulit kuning langsat tersebut menaikkan kedua alisnya.
“Gue bakalan bikin perhitungan sama Black Wolf,” gumam Austin lirih.
“Gue ikut!” seru Jason dengan penuh penegasan. “Berani-beraninya mereka menggunakan trik busuk buat menang!”
Sesaat setelah Jason menawarkan diri untuk membantu Austin untuk membalaskan dendam kepada Black Wolf, seluruh anggota Maddog menawarkan diri untuk membuat perhitungan dengan Black Wolf.
“Kita semua ikut!” ujar salah satu dari anggota Maddog dengan lantang.
Austin menghela nafasnya sembari mengangguk pelan. “Perbanyak anggota Maddog. Latih fisik dan keterampilan kalian. Jangan asal ngebut tapi nggak tau triknya.”
“Siap!!!” seru seluruh anggota Maddog.
“Ya udah, lanjutkan aktifitas kalian. Maaf hari ini aku sedang nggak mood,” tutur Austin datar. Ia masih duduk di atas motornya.
Jason tersenyum sambil memikirkan sesuatu. Sahabatnya itu mendekat ke arah Austin sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya.
“Ke Hotel Nerium Oleander, gih,” ucap Jason sembari membakar rokok yang ia jepit diantara kedua bibirnya.
“Ck!” Austin hanya berdecak tanpa menggubris ucapan dari sahabatnya yang sejak dulu terkenal mesum itu.
“Gue udah bayar mahal loh buat menangin ‘sayembara’, soalnya dia masih ting-ting,” celetuk Jason sambil menghembuskan asap rokoknya ke samping kiri. “Gue ikhlasin deh virgin tuh cewe buat lo.”
“Itung-itung ngembaliin mood lo,” sambung Jason.
“Bayar berapa? Biar gue ganti duitnya,” tanya Austin yang mulai tertarik.
“Nah … ini baru Austin yang gue kenal,” Jason menyeringai sambil merangkul bahu sahabatnya.
“Tadi sih gue kasih uang muka tiga puluh juta, pelunasannya ntar aja gue bayarin pas lo udah puas,” imbuhnya.
“Eebusettt!” Austin langsung mengernyitkan dahinya sambil menatap Jason.
“Tadi ada yang nawarin dua puluh juta juga.” Celetuk Jason sambil membuka aplikasi sosial media di mana ia menemukan tawaran Open BO.
“It’s okay lah. Soalnya gue pengen nyobain yang virgin. Tapi nih, karna gue care sama lo, nggak pa-pa deh, lo nikmatin aja,” imbuh Jason.
...💨💨💨...
...“Open BO karena lagi BU. Gue masih perawan dan belum pernah ciuman. Harga tertinggi di kolom komentar bakalan gue kirimin kontak melalui DM.”...
Di salah satu kamar yang ada di hotel terbesar se-Asia Tenggara, Sasha terlihat kebingungan sekaligus ketakutan. Pasalnya, percobaan iseng yang tadi ia unggah menggunakan akun fake di sosial media, dengan cepat dibalas oleh beberapa pengguna.
"Dasar gila! Bisa-bisanya aku serius melakukan ini!" umpat Sasha sambil mengepalkan kedua tangannya.
Kedua matanya berkeliling melihat seisi kamar hotel mewah tersebut. Ia berusaha menenangkan dirinya yang saat ini tak bisa tenang. Benar-benar gugup dan takut.
Sasha mencoba duduk dengan tegap di sisi ranjang. Kemudian ia menghela bafas pelan. Lalu ia mencoba berfikir baik-baik. Kurang lebih beberapa menit ia berfikir dan bergulat dengan akal dan hati kecilnya.
“Haaa … nggak deh. Aku transfer lagi aja uangnya,” gumam Sasha. Ia memutuskan untuk tak jadi melakukan hal gila ini.
Dipikirannya saat itu, bagaimana jika pria yang akan mengambil mahkotanya malam ini adalah pria tua yang jelek dan bertubuh gendut? Terus sudah tua? Atau om-om? Argh … memikirkannya saja sudah membuat Sasha bergidik ngeri.
“Pulang,” gumam Sasha lagi. “Ya, aku harus pulang!”
Sasha yang semula duduk di sisi ranjang, ia bergegas berdiri. Kemudian ia mengambil tas sandang berwarna hitam yang tadinya ia bawa. Dengan langkah yang cepat, ia bergegas menuju pintu untuk segera meninggalkan kamar hotel yang mewah itu.
Ceklek!
Di saat Sasha membuka pintu kamar hotel tersebut, di saat yang sama juga ada sosok pria yang sedang berdiri di depan pintu dengan tangan di udara yang bersiap ingin mengetuk pintu.
“K-Kak Austin?!”
“Sasha?!”
...💨💨💨...
BERSAMBUNG…
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!