"Dasar anak nggak berguna! Apa kamu nggak bisa contoh Kakak kamu, hah! Walaupun dia Kakak tiri kamu, tapi dia nurut dan membanggakan Papa. Tiap hari adanya cuma bikin ulah ... ulah ... dan ulah. Papa bosen! Papa capek harus berurusan terus dengan polisi, Galang! Bisa nggak sih kamu buat Papamu ini sekali aja bangga sama kamu, hah!"
Entah sudah berapa kali Galang mendapatkan perbandingan dengan Galih, sang Kakak tiri, yang berhasil membuat perusahaan Tuan Baskoro mendapatkan penghargaan selama dua tahun terakhir.
Sebenarnya, Galang bukan tidak mau membantu dan meneruskan perusahaan milik Papa kandungnya tersebut, tetapi sejak sang Papa menikah dengan wanita bernama Laras yang membawa serta anaknya Galih, Galang membenci sang Papa yang menyingkirkan semua barang peninggalan Mamanya tanpa sisa alih-alih perintah Mami tirinya.
Lima tahun tinggal bersama keluarga baru, Galang merasa terabaikan karena sang Papa begitu menurut dengan istri keduanya itu. Bahkan setiap Galang berpendapat, tidak pernah di dengar oleh Tuan Baskoro. Itu sebabnya Galang selalu melampiaskan rasa kesalnya dengan balap motor dan menjadi ketua geng motor sebab terus menerus memenangkan lomba balap motor tersebut.
"Galang ... coba kamu rubah sedikit kebiasaan kamu, Nak. Pelan-pelan aja, nggak pa-pa. Mami juga sedih liat kamu hidup nggak jelas di luar sana. Usia kamu juga udah bukan remaja lagi, Nak," ucap Mami Laras dengan lemah lembutnya.
Sebenarnya Galang muak dengan sikap ibu tirinya itu. Entah kenapa Galang selalu merasa bahwa sikap baik sang ibu tiri adalah sebuah kepura-puraan demi mendapatkan perhatian sang Papa.
"Nak?" Galang mengulang sebutan Mami Laras. Satu alisnya terangkat dan sudut bibirnya menyungging. "Saya bukan anak anda, Nyonya Baskoro!" seru Galang segera beranjak dari tempat duduknya dan menatap sinis beberapa saat wanita yang menjadi ibu sambungnya tersebut.
"Jaga mulut kamu, Galang!" teriak Papa Baskoro tidak terima istrinya direndahkan.
"Mas, udah nggak pa-pa! Tahan emosi kamu. Ingat kesehatan kamu Mas!" kata Mami Laras menahan tubuh sang suami yang sedang meluap amarahnya. Jika tidak ditahan, pastilah Papa Baskoro akan memberikan tambahan memar di wajah Galang.
"Galang! Apa kamu buta dan tuli, hah! Mami kamu tulus sayang sama kamu, tapi kamu jadi anak kurang ajar, begini!" seru Papa Baskoro, tetapi tidak membuat hati Galang tersentuh sama sekali. Segera Galang melangkah pergi dengan menenteng jaket jeans hitamnya tanpa pamit.
Beberapa saat kemudian, suara keras kenalpot motor milik Galang menggema hingga terdengar jelas ke dalam rumah.
Ya, Galang sengaja melakukan itu supaya Papanya tahu rasa sakit karena selalu mendapatkan perbandingan. Namun Galang sadar, Papanya yang sekarang bukan lagi Papanya yang dulu. Galang amat sadar jika saat ini Papa Baskoro adalah milik istri keduanya.
"Mama ... Galang rindu! Dimana kasih sayang yang selalu Galang dapatkan dari Mama juga Papa selama ini? Dimana Galang bisa mendapatkan itu kembali, Ma? Apa Galang harus menyusul, Mama?" gumam Galang dengan setitik cairan bening menetes di kedua pipinya.
Tidak mau ada yang melihat dia bersedih, Galang segera memakai helm kebanggaannya. Sebelum melajukan motornya, Galang sempat menoleh menatap pintu utama rumah mewah dengan nuansa serba putih itu. Di ambang pintu tersebut, Galang selalu melihat kedua orang tuanya melambaikan tangan saat dia akan pergi. Namun hal itu hanya tinggal kenangan.
Galang pun melajukan motornya untuk pergi entah kemana. Satu-satunya yang Galang pikirkan saat ini adalah sang Mama.
"Satu ... dua ... tiga ... go!"
Setelah aba-aba tersebut, sepuluh pembalap yang sejak tadi berdiam diri segera melajukan motor kebanggaan mereka masing-masing, termasuk Galang. Kali ini geng motor yang mengikuti balapan tersebut bukan sembarang geng.
Mereka sedang memperebutkan posisi ketua geng karena banyak yang tidak suka dengan Galang. Mereka beranggapan Galang lembek dan terlalu baik hati sampai membagikan sembako juga beberapa bahan pokok pada janda dan tua renta juga orang-orang yang membutuhkan. Galang juga kerap menolong. Kebaikan itu benar-benar banyak yang tidak suka karena tidak menunjukkan wibawa seorang ketua geng motor.
Sikap itu juga dianggap tidak layak sebagai ketua geng motor selama dua tahun terkahir ini. Padahal tidak ada salahnya berbuat baik. Namun masih saja ada yang berniat jahat untuk membuat kecelakaan kecil pada Galang. Dia adalah Remos. Laki-laki yang usianya sama dengan Galang, yaitu dua puluh lima tahun. Remos selalu kalah melawan Galang dan dia punya banyak dendam. Untuk itu Remos merencanakan hal buruk pada Galang.
"Galang ... Galang ... Galang!" Banyak sekali para wanita yang begitu mengidolakannya Galang. Selain mempunyai wajah yang tampan dan mirip bule, Galang mempunyai tinggi badan yang ideal dengan postur tubuhnya. Itu kenapa Galang begitu diidolakan banyak wanita. Sayangnya teriakan itu memuakkan ditelinga Remos.
"Kita liat apakah mereka masih seperti orang gila seperti itu saat lu lenyap, heh!" batin Remos seraya menyunggingkan senyum pada Galang.
Laju motor semakin cepat melewati sirkuit. Semua orang yang mengikuti balapan itu fokus menatap jalanan yang cukup banyak belokan. Namun sayangnya fokus Galang teralihkan saat dua orang lawan bermainnya memepet motor Galang dan membawa Galang keluar dari sirkuit.
"Brengsekk!" teriak Galang malah membuat dua orang tersebut tertawa. Setelah membawa Galang keluar jalur, dua orang itu terus mencoba membuat Galang terjatuh sesuai dengan rencana mereka sebelumnya.
"Minggir, Bangsatt!" teriak Galang tidak membuat dua orang tersebut takut dan malah semakin menjadi.
Pada akhirnya Galang benar-benar jatuh ke dasar jurang yang sebenarnya tidak terlalu dalam, tetapi bebatuan dan semak belukar juga bekas pohon tumbang di jurang itu cukup membuat Galang terluka parah hingga kemungkinan bisa cacat. Dengan begitu, Galang tidak akan pernah bisa naik motor lagi.
"Mampus!" gumam Remos begitu mengetahui rencananya berhasil.
Galang yang masuk ke dalam jurang tersebut langsung tidak sadarkan diri. Namun dia sempat mendengarkan panggilan seorang wanita.
"Mas ... bangun, Mas!" Galang tidak bisa merespon walaupun sebenarnya dia ingin membuka mata.
...***...
"Belum bangun juga, Uma?" tanya pria paruh baya yang baru saja pulang dari masjid dan segera mengaitkan sajadahnya lalu menghampiri Galang yang sedang terbaring lemah di atas kasur single di depan televisi. Pria itu duduk di sisi Galang dan memeriksa keningnya apakah masih demam atau sudah turun.
"Belum, Aba. Gimana kalau kita bawa aja ke rumah sakit. Kita lapor polisi biar keluarganya tahu," usul wanita yang usianya tidak beda jauh dengan pria tadi.
"Tapi kita nggak ada uang, Uma. Bagaimana kalau kita susah cari keluarganya? Terus yang bayar biaya perawatan dia siapa nanti? Mau jual kambing lagi? Kayaknya nggak cukup deh. Ke rumah sakitnya juga naik apa coba?" sahut gadis cantik dengan jilbab instan menutup dada berwarna peach dan balutan gamis hitam yang juga duduk di sisi Galang.
Mereka kompak menatap Galang yang masih menutup mata. Belum ada gerakan sama sekali dari Galang sejak lima jam lalu. Namun ada sebuah keberuntungan, Galang tidak terluka parah. Dia hanya mengalami lecet dibeberapa bagian tangan juga kakinya padahal motor yang dia kendarai ringsek.
"Kita tunggu saja dia sadar. Setelah itu kita tanya rumah dia. Uma masih ada uang kan buat ongkos pemuda ini nanti?" tanya ustadz Jefri, kepala keluarga di rumah sederhana tersebut.
"Masih Aba. Mungkin seratus ribu cukup ya?" jawab Uma Siti, istri dari ustadz Jefri.
"InsyaAllah cukup, Uma. Dulu waktu Airin ke kota nggak sampe segitu sih," sahut Airin, satu-satunya anak dari pasangan ustadz Jefri dan Uma Siti.
"Sayang sekali nggak ada kartu identitas yang membantu kita untuk menghubungi keluarganya. Pasti mereka mencari pemuda ini dan sangat khawatir. Mungkin juga dia kerampokan sebelum jatuh. Malang sekali nasibnya," kata Uma Siti terlihat sedih menatap Galang.
Namun siapa sangka ternyata Galang sudah sadar sejak beberapa menit yang lalu dan mendengar semua percakapan antara ustadz Jefri, Uma Siti juga Airin. Galang tiba-tiba sedih mendengar ucapan Uma Siti.
"Andai saja Papa khawatir, pasti orang yang paling dia khawatirkan adalah istri kedua juga anak tiri yang membanggakannya itu," batin Galang perlahan membuka mata menatap satu persatu tiga orang yang sedang duduk di sampingnya.
"Nak, kamu udah bangun? Apa yang kamu rasakan, Nak?" tanya Uma Siti sangat antusias melihat Galang membuka mata.
"Nak, siapa nama kamu? Dimana kamu tinggal?" Kali ini ustadz Jefri yang bertanya.
"Uma, Aba ... jangan buru-buru tanya ini itu. Airin ambilin minum dulu ya," kata Airin segera beranjak untuk mengambilkan segelas air.
Ustadz Jefri membantu Galang duduk. Walaupun ada banyak rasa sakit ditubuhnya, Galang mencoba untuk tidak merintih dan duduk bersandar bantal mengikuti bantuan dari ustadz Jefri.
"Saya Jefri, ini istri saya namanya Siti. Sedangkan yang tadi anak kami namanya Airin. Kami menemukanmu terluka dan kamu baru sadar setelah lima jam pingsan. Kamu sempat demam saat kami membawamu kemari. Tapi untungnya kamu nggak terluka parah," jelas ustadz Jefri tidak mendapatkan respon dari Galang. Dia masih sedikit bingung dan pusing.
Airin datang dengan segelas air dan memberikan pada ustadz Jefri untuk segera diberikan pada Galang. Perlahan Galang meminum air yang diberikan ustadz Jefri dan meneguknya cukup banyak. Dia tentu haus setelah lima jam menutup mata.
"Nak, kamu udah baikan? Kamu bisa ceritakan asal usul kamu?" tanya Uma dengan lemah lembut.
Galang masih diam. Dia kembali menatap bergantian tiga orang yang telah berbaik hati menolongnya. Ada rasa kagum saat Galang menatap Airin yang begitu cantik dan terlihat seperti gadis desa yang polos.
"Nak, siapa nama kamu?" tanya ustadz Jefri. Galang pun memikirkan sebuah ide yang menurutnya sedikit tidak masuk akal, tetapi dari sorot mata orang-orang yang berbaik hati padanya itu, Galang melihat sebuah ketulusan.
"Saya ... saya tidak tahu. Siapa saya? Apa kalian mengenal saya?" kata Galang pura-pura melupakan semuanya.
"Apa? Kakak nggak ingat siapa dan darimana Kakak berasal?" tanya Airin khawatir. Galang hanya menggelengkan kepalanya dengan raut wajah kebingungan.
"Nak, coba kamu ingat baik-baik bagaimana kamu bisa jatuh ke jurang?" tanya Uma yang juga khawatir.
"Tentu saya sangat ingat, tapi saya rasa kalian akan memberikan apa yang selama ini saya cari," batin Galang seraya tertunduk. Dia berakting seolah sedang merasa sangat sedih.
........
Terjadi keheningan beberapa saat di ruang keluarga ustadz Jefri. Baik Uma Siti maupun Airin saling menatap iba pada Galang yang masih menundukkan kepalanya. Sedangkan ustadz Jefri terdengar beristighfar seraya mengelus dada dengan tangan kanannya dan mengusap bahu Galang dengan tangan kirinya.
"Kamu benar-benar nggak ingat apa-apa, Nak?" tanya ustadz Jefri kembali memastikan. Galang hanya menggelengkan kepalanya pelan.
"Maaf ... maafkan saya harus berbohong. Saya rasa hanya dengan cara ini saya bisa tinggal dan mendapatkan apa yang saya cari selama lima tahun ini," batin Galang masih dengan posisi yang sama.
"Aba ... kita biarkan dia istirahat dulu. Pasti dia masih bingung dengan keadaan ini. Uma sama Airin mau siapkan makan malam. Aba ada janji sama ustadz Hafiz kan?" kata Uma Siti dan suaminya mengangguk.
"Nak, istirahatlah! Kami tinggal dulu. Kamu nggak perlu memaksa mengingat kejadian sebelumnya. Pelan-pelan aja dan kamu boleh tinggal disini sampai kamu ingat dengan identitasmu," kata ustadz Jefri kembali mengusap bahu Galang dan beranjak pergi. Galang masih tertunduk dengan anggukan pelan kemudian Uma Siti dan Airin juga beranjak pergi ke dapur.
Setelah mereka semua pergi, Galang pun mendongak menatap sekeliling ruangan sempit yang hanya berukuran 3x3 tersebut. Tentu saja ruangan itu tidak sebanding dengan setiap ruangan di rumahnya. Di depan Galang ada sebuah tv tabung 14 inci dan di sisinya ada tiga kursi rotan lengkap dengan meja yang terbuat dari rotan juga. Di atas meja itu ada dua toples berisi kacang tanah juga makanan ringan yang Galang tidak tahu apa nama makanan tersebut.
Di dinding di atas tv, ada beberapa foto yang menunjukkan bahwa keluarga ustadz Jefri adalah keluarga cemara. Galang benar-benar iri melihat senyuman di setiap foto-foto tersebut. Tentu dia juga punya, tetapi itu dulu karena sekarang semua foto yang berhubungan dengan sang Mama yang telah meninggal sudah di simpan rapi di dalam gudang.
"Sepertinya aku harus seperti ini terlebih dahulu. Berpura-pura amnesia. Papa pasti senang kalau seorang Galang nggak ada di rumah dan buat ulah," gumam Galang diiringi helaan napas panjang.
Galang pun menyibak selimut yang menutupi kedua kakinya. Dia pikir dia akan patah tulang atau cacat, tetapi pada kenyataannya Galang bisa menggerakkan kakinya dengan baik walaupun ada sedikit rasa sakit karena banyaknya luka lecet di bagian betis dan lutut.
Tubuhnya juga belum cukup kuat untuk berdiri, tetapi dia memaksakan diri. Dia ingin tahu seperti apa tempat tinggalnya sekarang. Namun saat dia akan melangkah, tubuh juga kakinya seperti tersengat listrik saking ada rasa sakit yang menjalar. Galang tidak mau jadi lemah dan akhirnya bisa melangkah walaupun dengan susah payah.
"Sial, ini pasti rencana Remos. Liat saja, suatu saat nanti aku pasti akan balas perbuatannya." Galang terus memaksa untuk berjalan karena penasaran dengan aktivitas Airin juga Uma Siti.
"Uma, kasian ya dia. Tapi kita panggil pemuda itu siapa ya Uma bagusnya?" kata Airin yang sedang sibuk mengiris bawang merah.
"Tanya dia aja mau dipanggil apa," jawab Uma Siti yang sedang mencuci piring.
"Gimana kalau Yusuf aja, Uma? Dia terlihat baik dan juga ganteng," kata Airin dengan nada dibuat-buat.
"Hust! Jaga ain, Airin! Kamu ini perempuan, nggak boleh begitu!" protes Uma Siti seraya memercikkan anaknya dengan air.
"Uma ... kan Airin bicara jujur," rengek Airin yang tidak terima sang Uma memercikkan air ke wajahnya.
Mendengar percakapan antara ibu dan anak tersebut, Galang mencoba menahan tawanya. Dia senang karena Airin terdengar menyukai seperti dia yang menyukai Airin sejak pandangan pertama.
Galang tidak mau kehadirannya yang diam-diam itu diketahui oleh Airin juga Uma Siti, jadi Galang segera berbalik badan dan kembali ke kasur untuk berbaring. Galang benar-benar merasa beruntung karena sebelum melakukan balap motor, Galang menitipkan semua barangnya pada Tomi.
"Tunggu aja hadiah dariku, Tom," gumam Galang kemudian meraih remot yang ada di atas meja rotan yang tak jauh dari tempatnya berbaring.
Galang pun menyalakan tv tabung itu. Kebetulan acara malam itu masih siaran berita. Hal pertama yang dia lihat adalah seorang pria yang sedang memeluk seorang pemuda. Setelah beberapa detik, Galang sadar pria itu adalah Papanya dan orang yang dipeluk tadi adalah Galih, Kakak tirinya.
"Ck, benar-benar terlihat seperti anak dan ayah kandung. Aku iri sekali dengan Galih," gumam Galang segera mematikan saluran televisi itu dan meletakkan kembali remote tv di atas meja.
"Loh, Kakak tadi kayaknya ngidupin tv, kenapa dimatiin lagi?" tanya Airin yang tadi sempat mendengar suara tepuk tangan.
"Oh, itu ... em acaranya jelek," jawab Galang seraya tersenyum begitu manis. Galang jadi salah tingkah.
"Kalau butuh apa-apa, Kakak bisa panggil aku atau Uma. Kakak istirahat aja sambil tunggu makan malam ya?" kata Airin dengan sopan dan lemah lembut.
"Terima kasih." Airin mengangguk kemudian kembali ke dapur. "Gila nih cewek! Baru kali ini seorang Galang punya perasaan aneh kayak gini," gumam Galang lalu mengusap dada. Dia merasa anggota tubuhnya bekerja tidak wajar saat mendengar betapa menyejukkan tutur kata Airin.
Akhirnya karena dia tidak punya aktivitas lain, Galang pun memejamkan matanya berusaha menenangkan hati dan pikiran. Bukan itu saja, tetapi Galang juga sedang membayangkan senyum manis Airin dengan wajah cantik tanpa make up itu.
Namun baru Galang akan menggapai mimpi indahnya, ustadz Jefri datang.
"Assalamualaikum." Suara ustadz Jefri memaksa Galang untuk membuka mata.
"Wa'alaikumsalam, Aba kok udah pulang?" tanya Airin.
"Iya, ustadz Hafiz ternyata ada acara lain. Jadi kami berbincang besok aja. Gimana dia? Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Aba masih di ruang tamu bersama Airin. Namun percakapan mereka berdua terdengar jelas ditelinga Galang.
"Nggak, Aba. Dia baik-baik aja. Tapi, sebaiknya kita cari nama buat manggil Kakak itu. Masa iya kita panggil dia terus, Aba." Galang tiba-tiba tersenyum lebar dan segera memejamkan matanya kembali karena ada suara langkah kaki yang terdengar mendekat.
"Nak, apa kamu tidur?" tanya Aba seraya duduk di sisi Galang dan duduk di dekat ustadz Jefri.
"Ah, iya Aba. Saya ketiduran," jawab Galang pura-pura terkejut dan berusaha untuk duduk. Segera ustadz Jefri membantu memberikan dua tumpukan bantal untuk menopang punggung Galang.
"Nak, kami bingung mau panggil kamu apa, jadi apa kamu punya nama panggilan? Ya kalau nggak saya yang akan memberikan nama supaya kami gampang memanggil nama kamu," kata ustadz Jefri langsung disambut senyuman oleh Galang.
"Bagaimana kalau panggil saya Yusuf saja, Aba." Galang menjeda bicaranya dan melirik Airin yang terlihat terkejut. "Tadi waktu nonton tv saya rasa nama Yusuf bagus," lanjut Galang masih dengan senyum yang begitu manis. Ustadz Jefri hanya mengangguk sebagai tanda setuju.
"Kalau begitu, mulai hari ini kami akan panggil kamu dengan nama Yusuf. Mulai hari ini juga kamu jadi bagian keluarga kami. Nanti kamu bisa pakai baju saya, nggak pa-pa ya?" Galang langsung menggelengkan kepalanya.
"Saya belum mengucapkan terima kasih atas kebaikan Aba juga Uma dan Dek Airin."
........
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!