NovelToon NovelToon

Istri Rahasia Ketua BEM

Hamil di Luar Nikah

“Ini anak kamu loh! Bukannya kamu harusnya tanggung jawab?!” teriak Nara yang sudah terlihat kesal sembari menunjuk perutnya yang sudah semakin membesar.

“Kamu suruh aku tanggung jawab? Kita ini masih kuliah loh! Kenapa kamu nggak bisa mikirin

itu sih? Aku suruh nikahin kamu? Duit dari mana sih!” ketus pria itu yang sudah semakin kesal dengan ucapan Nara.

“Beberapa bulan yang lalu, dengan percaya dirinya kamu bilang kalau kamu bakal tanggung

jawab, Rendi! Aku juga masih kuliah, kamu nggak mikirin posisiku?” Nara juga naik pitam karena posisinya sedikit susah dan kekasihnya tidak mau mengerti.

“Aku udah bilang kamu buat gugurin kandungan itu dari awal, tapi kamu sendiri yang nggak

mau gugurin! Sekarang kandungan kamu sudah membesar, kamu nyalahin aku?!” Rendi semakin marah, padahal dia sendiri yang sudah berjanji.

“Kamu ada cewek lain ya?” tuduh Nara.

“Apa lagi itu! Kamu selalu saja seperti itu, menuduhku tanpa alasan!”

“Ya terus kenapa kamu marah? Kalau kamu nggak ngerasa ngelakuin itu harusnya kamu nggak usah marah-marah dong!” Nara semakin emosi dan merasa bahwa kekasihnya melakukan

sesuatu yang buruk.

“Denger ya, Nara! Aku ini emang Ketua BEM, dilanda masalah kaya gini, harusnya kamu bisa

ngertiin aku dong! Harusnya kamu bisa memahami, kalaupun ada cewek yang deket sama aku, bukan berarti aku deket sama dia! Popularitasku itu besar, Nara! Ngertiin lah!”

PLAK!

Merasa pria itu semakin banyak bicara dan Nara juga ingin diprioritaskan, dia menampar pria itu

dengan sangat keras hingga membuat pria itu hanya bisa diam saja. Namun, beberapa menit

kemudian, Nara merasa bersalah kepada pria itu.

“Maaf, Rendi. Ini semua salahku.” Nara menitihkan air matanya karena dia sudah tidak kuat dengan cobaan ini. Rendi sebenarnya

masih kesal, namun, perlahan emosinya mereda kala merasakan tamparan dari kekasihnya itu.

Rendi menarik tubuh Nara agar wanita itu mendekat ke hadapannya dan menatap Rendi

dengan tatapan yang penuh dengan kehangatan.

“Jangan menyalahkan diri kamu begitu, ini salah kita karena terlalu terbawa hawa nafsu dan

pada akhirnya hal seperti ini terjadi. Aku bahkan tidak bisa mengusahakan apa-apa untuk

kamu, aku cuma bisa support kamu aja, nggak lebih.” Rendi mengusap rambut wanita itu

dengan lembut dan mencium kening Nara.

“Terima kasih, Rendi. Kamu selalu ada buat aku,” ucap Nara dengan penuh haru. Rendi hanya

menjawabnya dengan senyuman, dan mereka pun memulai adegan panas seperti tidak pernah

terjadi apa-apa akibat hubungan yang sering mereka lakukan di luar nikah itu.

Rendi mulai mengotak-atik tubuh Nara yang semakin gempal karena kandungannya semakin

membesar dan makannya juga semakin banyak. Tangan Rendi semakin bersemangat

menggerayangi tubuh wanita itu karena di matanya, Nara terlihat sangat seksi. Erangan kecil pun mulai memenuhi ruangan itu. Di malam yang cukup dingin itu, mereka menghangatkan

tubuh mereka dengan bersenggama di dalam kontrakan yang ditinggali oleh Nara.

Rendi tidak bisa terlalu cepat menggerakkan pinggulnya karena takut jika menindih perut besar

Nara. Untuk meluapkan keresahan dan juga rasa gelisahnya, Rendi bisa tetap tenang karena

sering melakukan itu dengan Nara, sehingga semuanya terasa baik-baik saja di matanya.

Semenjak kehamilan Nara, tubuh wanita itu jadi sangat sensitif dan mudah sekali bergairah,

alhasil dia juga sering keluar berkali-kali karena gairahnya memuncak.

“Nara, aku sayang sekali padamu.” Rendi berucap begitu di tengah mereka tengah

bersenggama.

“Aku juga, jangan tinggalin aku ya, Sayang. Aku butuh kamu.” Nara berucap begitu dengan

penuh harap sembari merasa kenikmatan.

Tubuh Rendi bergerak dengan cepat dan diiringi lengkuhan kecil mereka berdua, hingga pada

akhirnya mereka berhasil mencapai puncaknya bersama-sama.

Sebelum selesai, Rendi mencium kening Nara dengan lembut dan tersenyum kepadanya. Nara

merasa beruntung karena dia bisa bertemu dengan pria baik seperti Rendi, meskipun mereka

juga sering bertengkar.

Hamil di luar nikah sudah membuat Nara hanya bisa pasrah saja dengan situasinya saat ini. Bahkan, dia ada pemikiran akan meninggalkan Rendi dan juga keluarganya setelah dia akan

melahirkan, biar Nara yang menanggung semua ini sendirian. Sebenarnya, Rendi juga tidak

siap jika harus menikah, karena keluarganya berasal dari keluarga terpandang dan dia pasti

malu dengan teman-temannya, belum lagi, statusnya yang merupakan Ketua BEM.

Dia hanya punya waktu dua bulan lagi untuk memikirkan apa yang akan dia lakukan saat ini.

Malam itu, Rendi menginap di kos Nara atas keinginan wanita itu. Belakangan ini Nara sedang

ingin ditemani dan tidak ingin jauh dari Rendi karena dia sering sekali merasa down dan

gelisah.

Saat fajar sudah tiba, Rendi bersiap pergi dari kontrakkan Nara, dan Nara mengantarkan pria

itu keluar kontrakkan.

“Jaga diri baik-baik ya,” tutur Rendi sembari mengusap rambut Nara.

“Iya, kamu juga semangat acaranya ya!” Nara kembali menyemangati pria itu dan sama sekali

tidak memikirkan keadaannya sendiri yang lebih butuh semangat.

“Oh iya, tanggal 1 besok, kayaknya aku nggak bisa ikut kamu ke Jogja deh.” Pria itu ingat jika

ada hal yang harus dilakukan.

“Loh? Kenapa? Aku udah pesen hotel loh, bisa aja ini kali terakhir kita ke Jogja dan bisa piknik

bareng,” bujuk Nara.

“Aku ada acara keluarga yang nggak bisa ditinggal. Bisa-bisa keluargaku marah sama aku,”

jawab Rendi sembari mengusap rambutnya perlahan.

Nara sedikit kecewa dengan ucapan pria itu, karena dia tidak mengabari sebelumnya dan baru

bisa mengabarkan sekarang. Biasanya pria itu selalu abai dengan acara keluarga di rumahnya,

sekarang tiba-tiba jadi lebih peduli.

“Ya sudah, nggakpapa kok. Sebelum acara keluarga kamu bisa ke sini dulu?” tanya Nara.

“Aku usahakan ya.” Rendi tersenyum dan berusaha menyanggupi keinginan wanita itu.

Rendi pun pergi meninggalkan kontrakkan Nara. Setelah Rendi menjauh, Nara hanya bisa

menghela nafas panjang dan kembali masuk ke dalam kamar.

Ia bersiap untuk pergi kuliah dan menjalani rutinitasnya seperti biasa. Saat dia mengenakan pakaiannya, dia selalu melihat ke cermin dan selalu memastikan bahwa perutnya tidak terlihat besar saat dia kuliah nanti. Sehingga, tidak akan ada orang yang curiga.

“Untuk saat ini masih aman sih, aku harus semangat!” pungkas Nara yang berusaha untuk

menyemangati dirinya sendiri.

Jujur saja, beberapa bulan ini nilainya juga semakin turun karena tidak fokus dengan

kehamilannya. Hubungan mereka berdua juga sebenarnya tidak diketahui oleh publik, sebagai

ketua BEM, identitas Nara pun harus disembunyikan.

Nara pun pergi ke kampus bersama dengan temannya, hingga saat ia sampai di kampus,

karena teledor, dia menabrak seseorang bertubuh besar hingga membuat Nara terjatuh dengan

keras.

BRUK!

“Nara!” teriak temannya yang panik kala melihat Nara jatuh.

Kakak Tingkat yang Aneh

Nara yang baru saja terjatuh karena menabrak orang tersebut langsung terkejut bukan main.

Dia berusaha untuk merasakan sesuatu di perutnya, namun, tak terjadi apa-apa. Karena bisa

saja terjadi keguguran jika terjatuh, atau terbentur sesuatu yang cukup keras. Hingga

seseorang mengulurkan tangannya untuk Nara.

Ia menatap pria itu dan langsung berdiri sendiri, dia tidak ingin dibantu sedikitpun karena dia

juga tidak mengenal siapa pria itu.

“Maaf, Kak! Saya nggak lihat!”

Nara langsung pergi meninggalkan pria itu dan sedikit merasa malu. Kenapa dia bisa sampai

terjatuh seperti itu. Namun, hal yang paling dia sesali, karena dia tidak keguguran setelah jatuh

cukup keras, mungkin karena semakin tua usia kandungan, maka janin juga akan semakin kuat

dan akan susah digugurkan.

Hal itu membuat Nara menghela nafas panjang dan hanya bisa pasrah saja. Nara juga sudah

jarang sekali pulang ke rumah karena dia takut jika sampai ketahuan jika dia tengah hamil.

Karena jika di rumah dia agak susah menutupi perutnya itu.

Setelah kuliah yang cukup panjang, dia selalu pulang ke kosnya dengan tidak semangat. Nara

juga berulang kali memutuskan untuk mengakhiri hidupnya karena dia tidak mau menjadi beban

keluarga jika sampai ketahuan hamil. Dia juga tidak mau membuat nama baik keluarga Rendi

menjadi jelek hanya karena harus bertanggung jawab kepada Nara.

Seharian penuh, dia menjalani kuliah, dia juga hanya bisa makan mie instan karena uang

sakunya menipis. Dia lebih sering menggunakan uangnya untuk pergi bersama dengan Rendi

dan makan berdua. Meski dari keluarga terpandang, namun orang tua pria itu sebenarnya

sudah hancur dan Rendi merupakan korban keluarga broken home.

Sampai di kontrakkan, Nara sendirian di dalam kontrakkan karena teman-teman kontrakannya

sedang mengurus kegiatan di kampus. Mereka masih bersemangat karena belum masuk ke

mahasiswa semester akhir.

Nara menghubungi kekasihnya itu, dan ternyata tidak ada jawaban sama sekali. Alhasil

membuat Nara hanya bisa diam saja di dalam kamarnya sembari mengerjakan beberapa tugas

yang menumpuk. Jika dikata dia kuat atau tidak menjalani semua ini, dia akan langsung

menjawab tidak kuat dan ingin menyerah secepat mungkin. Namun, rasa bersalah kepada anak

yang tidak bersalah dalam kandungannya itu tidak bisa dia hilangkan dengan mudah.

Di sela-sela dia mengerjakan tugas, dia mendapatkan tamu yang datang dan mengetuk pintu

kontrakkan. Nara langsung keluar dan menemui orang tersebut.

“Iya?” Nara membuka pintu kontrakannya dan melihat seorang pria berdiri di depan kontrakkan.

“Loh, kamu ngontrak di sini?” tanya pria itu seakan mengenal Nara, sedangkan Nara sama

sekali tidak ingat pria itu.

“Maaf, siapa ya?” Nara sedikit takut karena dia di kontrakkan sendirian.

“Tadi kita ketemu waktu kamu jatuh.” Pria itu menjelaskan apa yang tadi terjadi dan siapa

dirinya.

“Oh, yang tadi mau nolongin saya tapi nggak jadi ya?” Nara mulai mengingat pria itu.

“Iya, kamu baik-baik aja, kan?” Pria itu justru malah basa-basi dengan Nara.

“Baik, Kak. Ada apa datang ke sini?”

“Ini, aku disuruh kasih ini ke rumah yang ini. Kebetulan pak kos sedang mengadakan syukuran,

sepertinya kontrakkan kita dikelola oleh orang yang sama,” pungkas pria itu sembari

memberikan bingkisan roti kepada Nara.

“Oh, makasih ya, Kak.”

“Kenalin, namaku Gibran. Kamu siapa?” Pria itu justru dengan mudahnya mengajak Nara kenalan.

“Nara, Kak. Salam kenal.”

Setelah menjabat tangan Nara, Gibran justru melihat ke arah perut Nara yang sudah membesar.

Hal itu membuat Gibran mengernyitkan keningnya dan sedikit aneh. Namun, dia hanya bisa

menerka-nerka saja tanpa berani bertanya. Nara justru semakin risih jika dilihat seperti itu. Dia

langsung melepaskan jabatan tangan Gibran dan berpamitan.

“Kalau gitu, saya permisi dulu.” Nara langsung menutup pintu kontrakan karena takut. Meskipun

kelihatannya tidak sopan, tapi dia tidak peduli dan tetap menutup pintu kontrakkan.

Ia meletakkan bingkisan di meja ruang tengah dan kembali ke kamarnya. Nara lebih suka

menghabiskan waktu untuk mengurung dirinya sendiri. Dia juga memiliki sedikit trauma dengan

pria lain. Jadi, dia sama sekali tidak berani bertingkah dengan pria lain. Nara masih mencoba

untuk menghubungi kekasihnya, namun sama sekali tak ada jawaban.

Hal itu membuat Nara sedikit kesal dan memutuskan untuk tidur saja.

Malam harinya, Nara baru terbangun dari tidurnya tepat pukul 7, dan Rendi sudah membalas

pesan Nara. Ia berkata jika dia sudah berada di depan kontrakkan.

Nara langsung keluar menemui kekasihnya itu.

“Kamu dari tadi nunggunya? Kenapa nggak langsung masuk aja?” tanya Nara.

“Aku malu, lagian aku juga baru aja sampe kok. Jadi makan bareng?” Rendi langsung

menanyakan perihal makan malam.

“Ya udah aku siap-siap dulu ya, sebentar.”

Nara yang tadinya kesal karena pesannya tidak dibalas seharian pun berubah menjadi senang

karena tiba-tiba kekasihnya datang. Nara memang sering sekali mentraktir makanan karena dia

tahu, di rumah Rendi bukan seperti rumah bagi dirinya sendiri. Rendi berasa seperti tamu dan

merasa tidak enak hati dengan ibu tirinya.

Setelah Nindy siap, mereka pun pergi untuk makan malam. Namun, sedari tadi dia mencium

bau yang cukup aneh di jaket Rendi. Dia familiar dengan baunya tapi tidak tahu apa itu. Sampai

makan malam berakhir pun dia masih berusaha mencari tahu bau apa itu.

Saat di motor, Rendi justru membahas perihal kehamilan Nara.

“Perut kamu makin gede loh, Sayang,” celetuk pria itu.

“Iya, ya beginilah. Aku juga nggak tahu harus bagaimana lagi. Aku cuma bisa pasrah aja,” ucap

Nara.

“Aku nggak mau beasiswa aku hilang gara-gara nikah duluan,” ucap Rendi yang sudah

ketakutan jika kehilangan pendidikannya. Hal itu sedikit membuat Nara sedih, namun, sebagai

wanita yang kuat dan lebih tua dari Rendi, dia berusaha sekuat mungkin menenangkan Rendi.

“Nggak bakal sayang. Aku nggak bakal setega itu sama kamu loh.” Nara masih mementingkan

kekasihnya sendiri.

“Tapi kalau orang tua kamu tahu gimana? Bukannya aku harus nikahin kamu?”

Hal itu terdengar seperti Nara memaksa Rendi untuk menikahi wanita itu, padahal itu memang

hal yang harus dilakukan oleh Rendi sebagai bentuk tanggung jawab pria.

“Pikir besok, Sayang. Belum tentu terjadi juga kok, aku bakal berusaha biar kamu nggak

terlibat.” Hanya sebatas itu saja Nara bisa menenangkan kekasihnya.

“Kamu mau lakuin apa?” Rendi sedikit penasaran.

“Udah, pokoknya kamu percaya aja sama aku. Aku janji bakal nyelesain sendiri kok,” ucap

Rendi.

“Kamu jangan aneh-aneh ya, aku nggak mau kamu kenapa-kenapa.” Perkataan itu saja sudah

membuat Nara sangat bahagia dan memeluk Rendi dengan erat di motornya.

Nara pun diantrakan sampai ke kontrakkan dan Rendi segera pergi karena dia mau pergi ke

warnet. Kala itu dia suka bermain game online yang ada di pc dan cukup ketagihan. Rendi

berpamitan kepada Nara dan meninggalkan Nara.

Namun, saat ia akan masuk ke dalam rumah, Nara justru baru mengingat bau yang ada di

pakaian Rendi.

“Eh? Kayaknya ini bau parfum cewek bukan sih?” gumam Nara.

Pengkhianatan Cinta

Satu minggu setelah pertemuan terakhir Nara dan Rendi, mereka jadi jarang sekali bertemu.

Rendi berkata jika dia sedang banyak pekerjaan yang dia sendiri cukup susah untuk menyelesaikannya. Nara yang pernah ada di posisi itu pun berusaha mengerti keadaan Rendi.

Meski mereka dekat, dia tidak boleh terlalu egois dan berlaku sesuka hati. Dia harus bisa mengerti waktu luang yang dimiliki oleh Rendi dan juga waktu sibuknya.

Hingga di tanggal 30 November 2018, dia berjanji akan datang menemui Nara. Bahkan seharian itu Nara sama sekali tidak mendapat kabar apapun dari kekasihnya itu. Dia baru mendapat kabar sorenya, dan berkata bahwa dia pergi dengan teman satu angkatannya. Hal itu tidak masalah bagi Nara, dia justru bahagia karena kekasihnya bisa dengan mudah beradaptasi. Namun, tidak ada kabar sama sekali membuat Nara merasa bahwa dirinya sangat tidak dibutuhkan saat Rendi sedang merasa bahagia bersama teman-temannya.

Nara jadi sering menikmati kesendiriannya, meskipun di dalam hatinya dia merasa kesepian

dan ingin rasanya menghabiskan waktu bersama kekasihnya. Hingga malam tiba, dia baru bisa bertemu dengan Rendi, dan pria itu seperti biasa, datang seperti tidak pernah ada masalah apa-apa di antara mereka berdua. Rendi bahkan tidak merasa bersalah sama sekali kepada Nara. Saat bertemu dengan Nara, bau Rendi masih sama seperti kemarin, di mana ada parfum wanita yang melekat di tubuh kekasihnya itu. Sampai di kontrakkan Nara pun, pria itu sempat ketiduran di dalam kamar karena kelelahan. Inilah saatnya Nara mengecek ponsel milik Rendi.

“Maaf ya, Sayang. Bukan aku nggak mau percaya sama kamu, tapi kamu yang bikin aku curiga

belakangan ini.”

Nara membuka ponsel pria itu, dan benar saja ada beberapa foto di mana dia tengah merayakan ulang tahun bersama dengan teman-temannya dan ada satu wanita di sana yang sering sekali foto dengan Rendi dan juga sering dekat dengannya.

Hati Nara langsung sakit kala melihat apa yang ada di tangannya itu. Apalagi foto mereka cukup mesra dengan raut wajah yang bahagia, seakan tak ada masalah apapun. Padahal Rendi masih memiliki tanggung jawab besar kepada Nara. Nara menitihkan air matanya dan menangis sesenggukkan hingga membuat Rendi terbangun dan langsung terkejut melihat kekasihnya menangis.

“Nara? Kamu kenapa?” tanya Rendi dengan rambut yang masih sedikit berantakan. Wanita itu hanya menunjukkan ponsel Rendi dengan foto dirinya dengan wanitanya itu. Rendi terbelalak dan terkejut bukan main kala melihat apa yang diberikan oleh Nara.

“Nggak Nara! Dengerin aku dulu, aku bakal jelasin ya.”

“Jadi, dari kemarin kamu sibuk sama temen-temen kamu itu karena kamu juga pingin jalan sama wanita ini, bener?” tanya Nara yang berusaha menghapus air matanya itu. Rendi terdiam dan tak bisa mengelak perkataan Nara. “Apa kamu nggak mikirin perasaan aku sama sekali? Aku di sini berjuang mati-matian buat

hidup, tapi kamu di sana malah main dengan tenang seakan nggak punya beban apa-apa!

Kenapa kamu tega berbuat gitu ke aku, Rendi? Kenapa!” Nada bicara Nara meninggi dan dia masih berusaha untuk tidak menangis. Untungnya saat itu di dalam kontrakkan hanya ada mereka berdua saja. Rendi pun hanya

terdiam saja ketika Nara memergoki pria itu. “Udah berapa lama kalian deket?” Nara semakin ingin tahu.

“Sekitar 5 bulan ini. Tapi aku nggak ngapa-ngapain sama dia!”

“Nggak ngapa-ngapain sama dia? Jalan sama dia, chat, makan berdua, kamu bilang itu nggak ngapa-ngapain? Terus apa guna aku di sini, Rendi?! ATM berjalan?” Nara sudah tak bisa menahan sesak di dadanya, dia tidak peduli apa ucapan yang keluar dari mulutnya sendiri akan menyakiti perasaan Rendi atau tidak.

“Nara, maafin aku. Aku janji nggak bakal ngulangin lagi, aku cuma setress dan tertekan aja sama kondisi kita yang kaya gini, aku nggak tahu lagi harus berbuat apa dan gimana lagi. Kandungan kamu itu udah nggak bisa disembunyikan lagi dan bentar lagi pasti bakal ketahuan, disaat itu aku bisa apa lagi kalau bukan menghadapi semua kenyataan ini?” Rendi menggenggam kedua tangan Nara dengan erat.

“Terus kamu pikir aku ini nggak pusing? Aku nggak bingung dengan apa yang harus kulakukan? Aku yang tertekan ini juga kalau bisa mau milih pergi ninggalin dunia ini aja, Rendi! Aku tahu kok kamu nggak bahagia sama aku sejak kedatangan anak ini di rahimku, tapi apa kamu nggak bisa sedikit aja mengerti perasaanku?!” Mata Nara membendung air mata dan dia tidak bisa menahannya lagi.

“Maaf ya, please maafin aku. Kita ulangin dari awal lagi ya? Aku janji nggak bakal pergi dari kamu, aku bakal tanggung jawab sampai akhir, sampai anak kita lahir, ya?” Mata Rendi juga terlihat berkaca-kaca, namun, Nara sendiri merasa bahwa hatinya sudah terkhianati. “Aku khilaf, karena keegoisanku, kamu jadi menderita kaya gini dan aku bahkan mengkhianati kamu. Maafin aku, Nara. Kasih aku kesempatan satu kali lagi, ya? Aku bakal perbaiki semua ini.”

“Keluar dari sini, aku pingin kita udahan aja. Aku pingin kita putus!” Nara sudah memutuskan yang terbaik untuk mereka berdua.

“Nggak, jangan lakuin ini, Nara. Aku masih sayang sama kamu, aku janji sama kamu bakal tanggung jawab kok. Aku nggak bakal ninggalin kamu, aku janji.” Rendi berusaha memohon kepada wanita itu untuk tidak mengakhiri hubungan mereka berdua.

“Kamu pikir gampang ngembaliin kepercayaan yang udah hancur? Meski aku hamil anak kamu, aku juga nggak bakal segan mutusin kamu. Aku bisa menanggungnya sendiri, dan kamu nggak perlu repot-repot ngurusin bayi ini. Kamu benci anak ini, bukan? Dia menghancurkan hidup kamu, bukan? Lebih baik kita akhiri saja sampai di sini. Aku minta dengan sangat, kamu keluar dari sini.” Nara yang termakan emosi pun sudah tidak ingin lagi melihat wajah pria itu. Ia menarik tangan pria itu agar mau berdiri dan Nara mendorong Rendi untuk keluar dari kamarnya.

“Nggak! Nara dengerin aku dulu! Aku janji nggak bakal ngelakuin hal ini lagi! Kita udah jalan dua tahun lebih, kamu mau mengusaikan hubungan kita begitu saja?” Pria itu masih berusaha untuk menenangkan Nara.

“Bukankah seharusnya kamu yang berpikir lebih dulu sebelum selingkuh di belakangku? Kenapa kamu baru bilang seperti itu sekarang, kemarin kamu nggak mikirin aku sama sekali?!” Nara semakin naik pitam dengan sikap pria itu.

“Iya, aku salah. Aku salah, maafin aku. Please kasih aku kesempatan lagi.” Nara berusaha mendorong pria itu keluar, namun, Rendi justru memeluk tubuh Nara dengan erat sampai Nara

kembali tenang.

Tangis Nara pun pecah, begitu pula dengan Rendi yang merasa bersalah atas apa yang sudah dia lakukan kepada Nara selama ini. Dia hanya membahagiakan dirinya saja, namun tidak peduli dengan keadaan Nara yang semakin hari semakin down.

“Maafkan aku, Nara. Maaf.” Air mata mengalir di pipi pria itu.

Seluruh kontrakkan saat itu dipenuhi oleh isak tangis Nara. Selama ini, dia percaya bahwa Rendi adalah pria baik yang akan membawanya menuju kebahagiaan, namun, baru kali ini dia merasa bahwa semua itu hanyalah sebuah harapan Nara yang terlalu tinggi saja. Nyatanya, Rendi sama saja dengan pria lain, yang ingin lari dari tanggung jawabnya.

Dengan satu pelukan itu, membuat hati Nara langsung luluh dan emosinya mereda. Dua tahun mereka berpacaran, baru kali ini mereka menghadapi masalah yang cukup besar. Entah apa lagi yang akan terjadi di kemudian harinya, setelah kejadian miris di hari ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!